MAKALAH
DI SUSUN OLEH :
MUH FARID ARIFIN
NIM : 80100219042
DOSEN PENGAMPUH
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinasti Ayyubiyah adalah sebuah daulah besar yang berbentuk dinasti
atau kerajaan, berkuasa di Timur Tengah antara abad ke-12 sampai abad ke-13.
Namun daulah ini mungkin asing bagi umat Islam bahkan nama Daulah ini kalah
tenar dibandingkan sultan mereka sendiri.
Dinasti Ayyubiyah sejak awal hingga akhir, adalah dinasti penakluk
dalam jihad. Pendiri sekaligus penguasa pertamanya adalah Salahuddin al-
Ayyubi dan penguasa Terakhirnya adalah Turansyah. Sultan dari kerajaan ini
sangat berperan dalam upaya mematahkan gempuran musuh dalam perang Salib.
Andai saja tidak ada Dinasti Ayyubiyah yang menghalau gempuran Kristen-
Eropa, Islam pasti sudah tercerabut dari bumi Syam, Jazirah, Mesir dan Afrika
Utara. Begitu juga dengan keluarga Zangki yang menjadi guru pertama dalam
mengusir pasukan Salib.
Adanya kesempatan dan kemampun yang dimiliki oleh pemimpinnya,
Salahuddin menunjukkan eksistensinya sebagai Sultan sekaligus penakhluk yang
cakap hingga dapat mendirikan Dinastinya sendiri. Kedudukannya sebagai
seorang Sultan menandai bertambahnya tantangan yang harus ia hadapi. Tidak
hanya itu, problematika selepas meninggalnya Salahuddin seperti lahirnya
pertentangan-pertentangan internal oleh salah satu resimen budak (Mamluk)nya,
yang menjadi transisi kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke Mamlukiyah menjadi hal
menarik untuk dikaji. Dari penjelasan di atas, termuat beberapa pembahasan
yang terangkum dalam rumusan masalah di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang lahirnya Dinasti Ayyubiyah ?
2. Bagaimana Masa Kejayaan dan Kemunduran Dinasti Ayyubiyah ?
3. Bagaimana Lahirnya Dinasti Mamlukiyah?
4. Bagaimana Masa Kejayaan dan Kemunduran Dinasti Mamlukiyah?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Klasik (Jakarta:Akbar Media,2013), h. 295-296
2
Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,2008), h. 824
3
Nuruddin memerintahkan panglima perangnya, Asaduddin Syirkuh untuk
berangkat ke Mesir dan merebut kekuasaan Dirgham. Dengan bantuan ini Sawar
berhasil menjadi wazir. Setelah kedudukannya aman, ia berusaha menghianati
perjanjiannya dengan Nuruddin dan mengadakan konspirasi baru dengan Meric
dalam upaya mengusir Asaduddin Syirkuh dari Mesir dengan janji yang sama.
Usahanya pun berhasil mengusir Syirkuh. Tindakan Sawar inilah yang
membawa kehancuran bagi Dinasti Fatimiyah.3
Bermula dari sini tentara salib menjarah Mesir. Nuruddin segera
mengirim tentaranya ke Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Pada
akhirnya, terjadilah pertempuran antara pihak Islam dan Salib untuk merebut
Mesir. Pada 564 H/1169 M, Syirkuh dan pasukannya dapat mengalahkan tentara
Salib sekaligus dapat menguasai Mesir dan diangkat sebagai wazir. Syirkuh
memegang jabatan hanya selama dua bulan karena meninggal dunia dan
jabatannya digantikan oleh keponakannya yaitu Salahuddin al-
Ayyubi. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564 H/1169
M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada
tahun 567 H/1171 M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa
penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui
kekhalifahan Daulah Fatimiyah.4
Periode kedua atau periode orang-orang Syiria (1174-1186) mulai dengan
wafatnya Nuruddin dan digantikan oleh anaknya Sultan Ismail Malik Syah yang
masih berusia belia, sehingga amir-amirnya saling berebut pengaruh yang
menyebabkan timbulnya krisis politik internal. Kondisi demikian ini
memudahkan bagi pasukan Salib untuk menyerang Damaskus dan
menundukannya. Setelah beberapa lama tampillah Salahuddin berjuang
mengamankan Damaskus dari pendudukan pasukan Salib. Lantaran hasutan
Gumusytag, sang sultan belia Malik Syah menaruh kemarahan terhadap sikap
Salahuddin ini sehingga menimbulkan konflik antara keduanya. Sultan Malik
Syah menghasut masyarakat Alleppo berperang melawan Salahuddin, Kekuatan
3
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2014), h. 208
4
Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedia Tematis dunia Islam II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),
h. 137
4
Malik Syah di Alleppo dikalahkan oleh pasukan Salahuddin. Merasa tidak ada
pilihan lain, Sultan Malik Syah meminta bantuan pasukan Salib. Semenjak
kemenangan melawan pasukan Salib di Alleppo ini, terbukalah jalan bagi tugas
dan perjuangan Salahuddin di masa-masa mendatang sehingga ia berhasil
mencapai kedudukan sultan. Semenjak tahun 578 H/1182 M, Kesultanan Saljuk
di pusat mengakui kedudukan Salahuddin sebagai Sultan.5
Pada Sultan yang pertama sekaligus pendiri dinasti, tantangan yang
dihadapi Salahuddin pasca menjadi Sultan adalah memusatkan perhatiannya
untuk menyerang Yerusalem, yang mana ribuan rakyat muslim dibantai oleh
pasukan Salib-Kristen. Setelah mendekati kota ini, Salahuddin segera
menyampaikan perintah agar seluruh pasukan Salib di Yerussalem menyerah.
Perintah Salahuddin sama sekali tidak dihiraukan, sehingga Salahuddin berjanji
untuk membalas dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah terjadi
beberapa kali pengepungan, pasukan salib kehilangan semangat tempurnya dan
memohon damai dengan Salahuddin. Karena kemurahan hati sang sultan
permintaan damai pun diterima. Akhirnya Yerussalem dapat direbut kembali dan
warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan damai.
Jatuhnya Yerusalem dalam kekuasaan kaum Muslimin, menimbulkan
keprihatinan besar kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh penguasa negeri
Kristen di Eropa berusaha menggerakkan pasukan Salib lagi. Ribuan pasukan
Kristen berbondong-bondong menuju Tyre untuk berjuang mengembalikan
kekuasaan mereka yang hilang. Seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre,
mereka segera bergerak mengepung Acre.6
Segera Salahuddin menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Salib.
Ia menetapkan strategi bertahan di dalam negeri dengan mengabaikan saran para
amir dan mengambil sikap yang kurang tepat sehingga Salahuddin terdesak dan
kepayahan oleh pasukan Salib dan akhirnya Salahuddin mengajukan tawaran
damai. Namun sang raja yang tidak mempunyai balas budi ini menolak tawaran
Salahuddin dan membantai pasukan muslim secara kejam.
5
K. Ali, Sejarah Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo,1996), h. 146
6
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, h. 103
5
Setelah berhasil merebut Acre, pasukan Salib bergerak menuju Ascalon
dipimpin oleh Jenderal Richard. Bersama dengan itu, Salahuddin sedang
mengarahkan operasi pasukannya dan tiba di Ascalon lebih awal. Ketika tiba di
Ascalon, Richard mendapatkan kota ini sudah dikuasai pasukan Salahuddin.
Merasa tidak berdaya mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi
perdamaian menghadap Salahuddin, atas kemurahan hati sang sultan tawaran
damai tersebut diterima dengan kesepakatan bahwa antara pihak muslim dan
pasukan Salib, wilayah kedua belah pihak saling tidak menyerang dan menjamin
keamanan. Jadi perjanjian damai yang menghasilkan kesepakatan di atas
mengakhiri perang Salib ketiga. Kemudian Salahuddin meninggal pada tahun
1193.7
Sebelum wafat, Salahuddin memberikan berbagai bagian dari Dinasti
Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, al-Malik
al-Afdal, menguasai Damaskus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz,
menguasai Mesir, dan al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Salahuddin, al-Adil,
menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai
Hama, Balbek dan Yaman.8
Setelah Salahuddin wafat, kendali Dinasti Ayyubiyah dipegang al-Aziz
Imaduddin. Tetapi al-Aziz berkonflik melawan saudaranya, al-Afdal, penguasa
Damaskus. Jabatan al-Afdal lalu diberikan kapada al-Adil Syaifuddin Mahmud
(saudara Salahuddin). Pada tahun 595 H, al-Aziz wafat, kemudian kekuasaan
berpindah ke tangan putranya, al-Manshur. Al-Adil segera datang ke Mesir
mengalahkan dan melengserkan al-Manshur ibn al-Aziz yang masih berusia belia
dari kursi kesultanan dan menggantikannya sebagai sultan. Pada tahun 615 H,
Sultan al-Adil wafat dan digantikan oleh anaknya, Sultan al-Kamil. Pada masa
awal kekuasaan al-Kamil, serangan Salib kelima dilancarkan guna memenuhi
seruan Paus Innocent III. Serangan diarahkan ke Mesir. Setelah mengalami
pertempuran yang sengit, pasukan Salib bisa menguasai Dimyath dengan
mengandalkan jumlah, pasukan Salib terus bergerak dan berniat menyerang
7
K. Ali, Sejarah Islam, h. 147
8
K. Ali, Sejarah Islam, h.148
6
Kairo pada 619 H. Karena kesalahan mereka dalam mengambil rute, kapal-kapal
perang pasukan Islam mengambil posisi di sungai Nil untuk menutup jalan
mereka. Alhasil, pasukan Salib terkepung dan terpaksa mengajukan tawaran
damai. Al-Kamil bersedia menerima, tapi dengan syarat mereka harus
memberikan jaminan bahwa Dimyath kembali ke tangan umat Islam. Akhirnya
kota Dimyath dapat direbut kembali.9
Pada 625 H, Federick II (Raja Jerman) mengiginkan kekuasaan atas
Baitul Maqdis. Di lain tempat, Sultan al-Kamil terlibat konflik sengit dengan
saudaranya, al-Asyraf, dan hampir berujung pada perang saudara. Melihat
posisinya yang semakin kritis, al-Kamil menekan perjanjian dengan melepaskan
Baitul Maqdis, membersihkan jalan bagi kaum Kristen menuju Akkad dan Haifa,
dan membebaskan seluruh kaum Franka yang ditawan. Dengan gencatan senjata
yang yang dibuatnya bersama Federick II, al-Kamil menyatukan kekuatan untuk
menyingkirkan para penguasa daerah-daerah sekitar, al-Kamil berhasil. Tidak
ada lagi keluarga Ayyub yang berani menentangnya dan tidak ada pasukan Salib
yang memeranginya.10
7
b. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah Adelard Of Bath yang telah diterjemahkan,
karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang
kedokteran. Di bidang kedokteran telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang
yang cacat pikiran.
c. Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang
Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet,
pabrik kain, dan pabrik gelas. Di samping itu, adanya perang Salib telah
membawa dampak positif, keuntungan di bidang industri, perdagangan, dan
intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
d. Bidang Militer
Selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan
sebagainya, Salahuddin juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-
burung dalam peperangan. Ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan
perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa muslim di kawasan lain. Ia
juga membangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit
Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika.
e. Bidang perdagangan
Dalam hal perekonomian, dinasti bekerja sama dengan penguasa muslim
di wilayah lain. Di samping itu, ia juga menggalakkan perdagangan dengan kota-
kota di Laut Tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan.
Pada bidang perdagangan, dinasti ini membawa pengaruh bagi Eropa dan
negara-negara yang dikuasainya. Di Eropa terdapat perdagangan arikultur dan
industri. Hal ini menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak
saat itu dunia ekonomi dan perdangan sudah menggunakan sistem kredit bank.11
11
Musyrifah Susanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media,2004), h. 146
8
2. Masa Kemunduran Dinasti Ayyubiyah
12
C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasah, ( Mizan: Bandung, 1993), h. 87
13
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam , h. 630
9
C. Lahirnya Dinasti Mamlukiyah
Mamalik adalah jamak dari kata Mamluk yang berarti budak dan hamba
yang di beli dan di didik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai
pemerintahan. Mamalik juga merupakan pegunungan Kaukasus yang berada
diantara Laut Kaspia dan Laut Hitam (Black Sea).14
Dinasti Mamalik didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah
orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayubiyah sebagai budak
kemudian dididik dan dijadikan tentaranya.15 Mereka ditempatkan pada
kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat, oleh penguasa Ayubiyah
yang terakhir, Al-Malik Al-Shaleh, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin
kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa, mereka mendapat hak-hak
istimewa, baik dalam ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan materiil. Di
Mesir, mereka di tempatkan di pulai Raudhah di sungai Nil untuk menjalani
latihan militer dan keagamaan, karena itulah mereka dikenal dengan Mamalik
Bahri (laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara
yang berasal dari suku kurdi.
Pondasi kekuasaan Mamalik di letakkan oleh Syajar al-Durr, janda Al-
Malik Al-Shaleh dari Dinasti Ayubiyah yang tadinya merupakan seorang budak
dari Turki dan Armenia. Pada awalnya, dia adalah seorang pengurus rumah
tangga, dan salah satu harem Al-Mu’tashim. Kemudian ia mengabdi kepada al-
Shaleh, khalifah yang membebaskannya setelah ia melahirkan anak laki-laki.
Dikatakan bahwa berdasarkan pengetahuannya tentang kekuasaan tertinggi dari
mantan-mantan suami sekaligus tuannya, ia pernah mengirimkan catatan penting
kepada amir-amir di Mesir yang berbunyi : “Jika engkau tidak punya orang
untuk mengatur, kabari kami, dan kami akan mengirimkannya untukmu”. 16
Ketika Al-Malik Al-Shaleh meninggal (1249 M), anaknya Turansyah naik tahta
sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih
14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 124.
15
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2016), h. 279
16
Philip K. Hitty, History of The Arab, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 860.
10
dekat dengan tentara Kurdi dari pada mereka. 17 Pada tahun 1250 M, Mamalik
dibawah pimpinan Aybak dan Baybars
Sebagaimana di jelaskan sebelumnya, dinasti Mamalik dibagi menjadi
dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama di sebut dengan
Mamalik Bahri, golongan pertama ini berasal dari kawasan Kipchak (Rusia
Selatan), Mongol dan Kurdi, tetapi kebanyakan dari budak/budak ini berasal dari
Mongol dan turki. Mereka di tempatkan dipulau Raudhoh di pinggiran sungai
Nil. Disinilah mereka menjalani pelatihan militer dan pelajaran keagamaan.
Karena penempatan inilah mereka dikenal dengan julukan Mamalik Bahri
(budak laut/air).
Dalam rangka menangkis ancaman dari dalam dan luar negeri, Baybar
secara sungguh-sungguh melakukan konsolidasi di bidang kemiliteran dan
pemerintahan. Kaum elit militer ditempatkan pada kelompok politik elit dan
jabatan-jabatan penting di pegang oleh anggota militer yang berprestasi. Dalam
pemerintahannya, Baybar menjalin hubungan erat dengan negara-negara tetangga
seperti Konstantinopel, Sycilia dan negara lainnya. sebagai panglima yang
tangguh. Dalam kurun waktu enam tahun, ia habiskan waktunya untuk
menghancurkan sebagian besar kekuatan salib di sepanjang pantai Laut Tengah.
Pemberontakan kaum Asasin dipegunungan Syria dapat juga dilumpuhkan.
Kerajaan Nubia (Ethiopia) dan sepanjang pantai Laut Merah ditaklukkannya
bahkan kapal-kapal Mongol di Anatolia pun dirampasnya.18
b. Bidang Ekonomi
17
Faisal Ismail, Sejarah dan Kebudayaan Islam : Periode Klasik (Abad VII-XIII M), (Yogyakarta
: IRCiSoD, 2017), h. 370.
18
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah,
Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 127
11
Dinasti Mamalik membuka hubungan dagang Perancis dan Italia melalui
perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir
sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antar
Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur
perdagangan Laut Merah, Laut Tengah dengan Eropa. Di samping itu, hasil
pertanian juga berhasil meningkat, keberhasilan dari bidang ekonomi ini di
dukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik
laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu
perkembangan perekonomiannya.
12
tembok-tembok rumah atau istananya yang menggambarkan keperkasaan dan
kemuliaan, salah satu diantaranya Masjid As-Sultan di Mesir. Selain itu didapati
sekolah-sekolah yang didirikan dengan indahnya yang mengajarkan empat
mazhab secara bersamaan.
Kemajuan-kemajuan ini tercapai berkat kepribadian dan wibawa sultan
yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat dan stabilitas negara yang aman
dari gangguan. Akan tetapi faktor-faktor tersebut menghilang dari Dinasti
Mamalik sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Adapun factor-faktor yang
mendukung kemajuan peradaban Islam pada masa Dinasti Mamalik antara lain
sebagai berikut :19
19
Abdur Rahim Yunus dan Abu Haif, Sejarah Islam Pertengahan, (Yogyakarta : Ombak, 2013),
h. 61.
13
Sebagaimana temuan Ibn-Al-Taghri Birdi yang dikutip Philip K Hitty,
menjelaskan bahwa : “ faktor kehancuran Mamalik Burji tampak terlihat dari para
sultan dan pegawainya yang berperilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan,
dan pembantaian. Sebagian sultan melakukan tindakan kejam, curang, dan
sebagian lain tidak efisien atau bahkan bermoral bejat dan kebanyakan dari
mereka tidak beradab. Sultan Al-Mu‟ayyan (1412 M-1421 M), seorang pemabuk
yang dibeli Barquq dari penjual budak Sirkasius, melakukan berbagai tindakan
keji yang melampui batas” begitu pula dalam tulisan Asy- Syuyuthi, bahwa : “
Hanya Sultan Barquq dari begitu banyak sultan yang mempunyai ayah seorang
muslim”.
a. Konflik perebutan kekuasaan
Konflik politik intern yang sebelumnya terjadi di keluarga Ayyubiyah,
kembali terjadi pada pemerintahan dinasti Mamluk. Kita dapat melihat konflik
tersebut pada dua periode yang berbeda. Pertama, konflik pada masa awal
pembentukan kesultanan, yang menyebabkan kematian Aybak, Syajarah al-Durr
dan Quthuz. Konflik ini hanya pada tingkat pimpinan Mamluk, tidak
berpengahruh hingga ke bawah. Justru konflik pada masa ini sebagai pengantar
proses integrasi.
Kedua, konflik perebutan kekuasaan masa Mamluk Burji, persaingan
menduduki jabatan sultan di lingkungan Mamluk Burji lebih keras dan kejam
dibanding masa Mamluk Bahri. Pembunuhan terahadao sultan untuk
menggantikan kedudukannya menjadi hal yang biasa, sehingga pada masa itu
banyak sultan yang meninggal dengan cara tidak wajar. Konflik kedua ini lah
yang mengantarkan kesultanan Mamluk menuju kehancurannya.
14
pajak kepada rakyat dan pedagang ditingkatkan. Sikap sultan ini jelas
menghilangkan wibawa sultan dalam pandangna para amir seingga
menghilangkan kemampuan kontrolnya terhadap daerah.
3. Rusaknya Moralitas Para Penguasa dan Lemahnya Kontrol Pendidikan
Agama
Pendidikan yang diberikan dinasti Ayyubiyah kepada Mamluk Bahri
berbeda dengan yang dilakukan Mamluk Bahri terhadap Mamluk Burji. Ketika
Mamluk Bahri dalam pendidikan di Rawdah, di samping latihan-latihan militer
yang bersifat fisik, pendidikan keagamaan tidak ketinggalan, bahkan merupakan
dasar. Mamluk Burji kurang mendapatkan pendidikan keagamaan. Oleh karena
itu, tidak mengherankan para penguasa dari Mamluk Burji yang rusak moralnya.
Contohnya Barsbay yang tidak mengenal huruf Arab, Muayyad Syah yang
pemabuk, Inal tidak bisa baca tulis, dan Yalbay yang kurang waras.
4. Munculnya Turki Utsmani
Ancaman dari luar semakin membahayakan dinasti Mamluk. Ancaman ini
bukan dari Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk. Melainkan ancaman ini
datang dari Turki Utsmani, kemajuan yang luar biasa Utsmani menjadikan mereka
sebagai ancaman terbesar dinasti Mamluk.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Mamalik adalah
karena para penguasa Mamalik Burji sangat tidak peduli dengan urusan luar
negerinya, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurusi
persoalan domistik. Akibatnya, mereka tidak mampu menghadapi tekanan dan
serangan dari musuh-musuh lama mereka, seperti tentara Mongol yang
berkeinginan merebut kembali kekuasaan Dinasti Mamalik.37
Dalam tulisan Ahmad Al-Usairy dipaparkan detik-detik berakhirnya Mamalik
Burji sebagai berikut :
Pasukan Ustmani di bawah pimpinan Sultan Salim, mengalahkan
pemerintahan Al-Saffariah pada perang Jaladiran yang sangat terkenal pada tahun
920 H/1514 M. Mereka berhasil memasuki ibu kotanya Tibriz. Dengan demikian,
Irak kini berhasil masuk dibawah kekuasaan Ustmani. Setelah itu, mereka berhasil
15
pula mengalahkan pemerintahan Mamalik di negeri Syam pada perang Marj
Dabiq di Halb. Sultan Qanshuh Al-Ghawri dibunuh dalam perang ini pada tahun
922 H, kemudian Sultan Salim melanjutkan serangannya ke Mesir dan berhasil
menang atas orang-orang Mamalik pada perang Raydaniyah di Kairo. Pada perang
ini, Sultan Thumanbai terbunuh, denga n terbunuhnya sultan terakhir Burji, maka
berakhir pulalah pemerintahan Mamalik. Khalifah Abbasiyah terakhir, Al-
Mutawakkil„Ala Allah, turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada sultan
Salim, terjadi pada tahun 923 H/1517 M. Kairo yang sebelumnya menjadi ibu
kota kerajaan, kemudian menjadi kota provinsi dari kesultanan Turki Ustmani.3
DAFTAR PUSTAKA
16
Abdullah,dkk.Taufik. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002.
Haif, Abdul Rahim Yunus dan Abu. Sejarah Islam Pertengahan. Yogyakarta:
Ombak, 2013.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Ismail, Faisal. Sejarah dan Kebudayaan Islam: Periode Klasik (Abad VII-XIII
M). Yogyakarta: IRCisoD, 2017.
Ibrahim, Qasim dan Muhammad A. Saleh. Buku Pintar Sejarah Islam. Jakarta:
Zaman, 2014.
17