Anda di halaman 1dari 12

PERADABAN ISLAM

MASA DINASTI AYYUBIYAH (1171–1254 M)1


Oleh: Muhammad Nasir2
muhammadnasir@uinib.ac.id

Pendahuluan
Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah (al-Ayyūbīyūn) adalah sebuah
dinasti Muslim Sunni beretnis Kurdi. Kurdi adalah sebuah kelompok etnis di
Timur Tengah, yang sebagian besar menghuni di suatu daerah yang kemudian
dikenal sebagai Kurdistan, meliputi bagian yang berdekatan dari Iran, Irak,
Suriah, dan Turki. Orang Kurdi adalah orang-orang Iran dan berbicara dalam
bahasa Kurdi, yang merupakan anggota bahasa Iran cabang dari Indo-Eropa.3
Sekarang, etnis Kurdi menyebar di banyak negara, di antaranya Mesir, Irak,
Israel, Yordania, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia,
Turki dan Yaman. Problema Kurdi kontemporer adalah kisah suku bangsa tanpa
negara. Mereka tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut
sebagai Kurdistan bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.
Di masa lalu, bangsa Kurdi pernah mengalami masa jaya. Tercatat beberapa
dinasti berbangsa Kurdi yang sempat menderikan kekuasaan pemerintahan
sendiri. Di antaranya, al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M), Abu 'Ali, (380-489
H/990-1095 M), serta yang paling signifikan kekuasaannya yaitu dinasti al-
Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1254 M).4
Untuk dinasti al Barzuqani belum ada catatan yang cukup untuk
menjelaskan signifikansi kekuasaannya. Sementara Abu ‘Ali merupakan salah
satu dari penguasa Dinasty Ghurid yang memeluk Islam Sunni setelah
sebelumnya menganut ajaran Budhisme. Dinasti Ghurid memeluk Islam setelah
ditaklukkan oleh Dinasti Ghaznawi (1011 M). Kekuasaannya dilegitimasi oleh
khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid. Sebelum pertengahan abad ke-12, Ghurid
telah terikat dengan Dinasti Ghaznawi dan Seljuk selama sekitar 150 tahun.
Wilayahnya mencakup meliputi Khorasan di barat dan mencapai India utara

1
Disampaikan pada Diklat Teknis Substantif Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MTs
Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan kepulauan Riau, Rabu, 22 Januari
2020 di Balai Diklat Keagamaan Padang
2
Muhammad Nasir, Lektor dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas
Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang.
3
D.N. Mackenzie, The Origin of Kurdish, Transactions of Philological Society, 1961, h.
68–86
4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Utama, 2006, h.66

1
sejauh Bengal di timur. Ibu kota pertama mereka adalah Firozkoh di Mandesh,
Ghor, yang kemudian digantikan oleh Herat, dan akhirnya Ghazna.5
Dinasti Ayyubiyah adalah yang terbesar dari suku Kurdi yang memerintah
di dunia Islam. Umur dinasti ini tercatat selama 2 abad lebih, namun kekuasan
efektifnya hanya berlangsung selama 79 tahun (1175-1254 M) dengan kekuasaan
efektif di wilayah Mesir. Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia
pada tahun 1299, dan Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun,
pada tahun 1310, sultan Mamluk an-Nasir Muhammad memberikan Hamat
kepada salah satu anggota Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi
dan penulis, Abu al-Fida. Abu al-Fida wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh
putranya, al-Afdhal Muhammad. Hubungan al-Afdhal Muhammad dengan
Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia dicabut dari jabatannya pada
tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai oleh Mamluk
Secara berturut ibukota Dinasti Ayyubiyah ini berpindah-pindah dari Kairo
(1171–1174 M), Damaskus (1174–1218 M), kembali ke Kairo (1218–1250 M),
terakhir di Aleppo (1250–1260). Dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah
Abbasiyah di Baghdad sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz,
dan Suriah Tengah. Selanjutnya, kekuasaan Ayyubiah berkembang hingga ke
Yaman, Palestina dan Suriah.

Berdirinya Dinasti Ayyubiyah


Ayyubiyah dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadi dari suku
Rawadiyah yang beretnis Kurdi.6 Najmuddin Ayub adalah saudara Asasuddin
Syirkuh. Meskipun demikan, Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al

5
Ensiklopedia Iranica, Ghurids, Edmund Bosworth, Edisi Online 2001
6
Stephen Humphreys, Ayyubids, Encyclopedia Iranica, 1987

2
Ayyubi7 pada tahun 1171 M setelah menaklukkan al Adiid (1160-1171 M),
khalifah terakhir Bani Fatimiyah.8
Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Tikrit, Irak, pada
tahun 532 H (1136 M). Sebagaimana ayahnya yang menjadi pejabat bagi
Imaduddin pada masa Dinasti Zanki,9 Salahuddin juga mengikuti jejak ayahnya
bersama pamannya Asaduddin Syirkuh untuk mengabdi pada Nuruddin Zanki.10
Keluarga Salahuddin berjasa besar pada keberhasilan Nuruddin dalam
menggabungkan Damaskus ke wilayahnya. Pada saat Syawar, wazir bagi Khalifah
al-Adid dari Dinasti Fatimiyah memohon bantuan kepada Nuruddin agar dapat
menduduki jabatan wazir, maka Nuruddin mengirimkan Syirkuh dan Salahuddin
ke Mesir. Misi berhasil dilaksanakan dan bahkan Syirkuh kemudian
menggantikan Syawar sebagai wazir. Tapi, tidak seberapa lama, Syirkuh juga
meninggal. Sehingga, jabatan wazir diserahkan kepada Salahuddin.11
Salahudin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit
mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric
I. Kedudukannya cukup sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia
akan berada cukup lama di Mesir mengingat sebelumnya telah banyak terjadi
pergantian pergantian kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir disebabkan
bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk posisi wazir. Sebagai
pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas
pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah Al-Adid yang dinilai
sebagai khalifah yang lemah.
Setelah al Adid wafat pada tahun 1171 M, kekuasaan Bani Fatimiyah
dianggap selesai. Salahuddin kemudian diangkat menjadi penguasa (Imam) mesir
dengan status sebagai wakil pemerintah Saljuk di Mesir. Setelah kematian
Nuruddin Zanki pada tahun 1174 M, barulah Salahuddin Al Ayyubi
mengumumkan berdirinya Dinasti Ayyubiyah di Mesir sebagai pengganti Dinasti
Fathimiyah yang sudah dihapuskan.12

7
Ali Muhammad al Shalabi, Shalah al Din al Ayyubiwa Juhuduhu fi al Qadha ‘ala al
Daulah al Fathimiyyah wa Tahrir al Bait al Maqdis, Beirut: Dar al Ma’arif, 2008, h. 229
8
Salahuddin al Ayyubi hidup di antara dua kekhalifahan Islam, yaitu Khalifah Abbasiyah
di Baghdad dan Khalifah Fatimiyah di Mesir.
9
Dinasti Zanki adalah sebutan untuk keluarga Imaduddin Zanki, Gubernur Dinasti Seljuk
untuk daerah Mosul Irak. Imaduddin Zanki (Zangi) dalam jabatannya sebagai gubernur juga
bertugas sebagai panglima (atabeq) perang Dinasti Seljuk yang berkuasa di Aleppo (Suriah).
10
Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin 'Imaduddin Zengi (1118 –1174
M), menguasai Suriah dari tahun 1146 sampai tahun 1174. Ia bercita-cita untuk menyatukan
pasukan Muslim dari Efrat sampai Mesir. Ia juga memimpin pasukannya melawan berbagai
macam pasukan lain termasuk tentara Salib. Amin Maalouf, The Crusades Through Arab Eyes,
1985; Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2005
11
Ahmad Choirul Rofiq, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam, Yogyakarta: DIVA Press,
261
12
Carole Hillenbrand, Op.cit.

3
Selanjutnya, Salahuddin mulai menegakkan kekuasaannya di Mesir. Semua
tampak berlangsung dengan mudah, sebab ketika Salahuddin tiba di Mesir, semua
rakyat merasa mempunyai harapan besar kepadanya karena selama ini mereka
merasa selalu dizalimi para pemimpin sebelumnya. Karena itulah, kecintaan
masyarakat Mesir begitu besar kepadanya.
Secara umum, dunia Islam pada waktu itu sedang disibukkan dengan Perang
Salib. Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah serta berbagai dinasti yang terpisah
dihadapkan pada satu musuh bersama (common enemy) yaitu kekuatan Kristen
Eropa. Tidak mengherankan, nama Salahuddin al Ayyubi sangat dikenal di dunia
Islam dan di negeri-negeri Eropa.
Dengan tegaknya Dinasti Ayyubiyyah, menandakan pengaruh Syiah
berakhir dan berganti dengan Sunni. Dengan ini, seluruh kelompok Sunni,
termasuk yang ortodoks turut mendukung segala langkahnya dalam menyatukan
seluruh kekuatan Islam di bawah kendali satu kekuasaan. Ia menyadari bahwa
situasi sulit sedang dihadapi umat Islam. Sebagaimana Nuruddin Zanki berupaya
menyatukan dan menjalin hubungan dengan dinasti-dinasti kecil untuk melawan
kekuatan Salib, maka Salahauddin pun melakukan hal yang sama. Di awal
pemerintahannya, ia menyerang dinasti-dinasti kecil di sekitarnya untuk kemudian
diajak bergabung melawan tentara Salib.
Awalnya, ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, Dinasti Abbasiyah kembali
tegak. Khalifah Al Musthadi dari Abbasiyah meminta Shalahuddin Al-Ayyubi
untuk menjadi pemimpin pasukan. Tetapi ia memilih menjadi sultan di Mesir dan
mengakui kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad. Hal ini menunjukkan kesadaran
Salahuddin akan pentingnya kesatuan dalam menghadapi perang Salib. Ia
menghindari konflik dengan Nuruddin Zanki dan tetap menghormati posisi
Khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai simbol pemersatu umat Islam.
Sejak 1775 M Khalifah al-Mustadi dari Abbasiyah memberikan beberapa
daerah seperti Yaman, Palestina, Suriah Tengah, dan Magribi kepada Salahuddin.
Dengan demikian, ia pun mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah sebagai
penguasa muslim di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.

Pendukung Utama Dinasti Ayyubiyah


Birokrasi dan jabatan militer Dinasti Ayyubiyah pada umumnya diisi orang
Kurdi, Turki, dan orang-orang dari Kaukasus. Para prajurit Ayyubiyah,
kebanyakan terdiri dari orang-orang Kurdi dan Turki. Selain itu, terdapat pasukan
berbangsa Arab, bekas satuan-satuan Fatimiyah yang pernah dipimpin oleh
Salahuddin ketika mengabdi sebagai panglima Bani Fathimiyah, serta kontingen-
kontingen pasukan Arab yang terpisah (khususnya dari suku Kinaniya, yang
biasanya ditugaskan untuk mempertahankan Mesir). Pasukan Kurdi dan Turki
kadang-kadang saling bersaing memperebutkan jabatan militer, dan menjelang

4
akhir kekuasaan Ayyubiyah, jumlah pasukan Turki jauh lebih besar daripada
Kurdi. Walaupun para sultan Ayyubiyah memiliki latar belakang Kurdi, mereka
tetap berlaku adil terhadap kedua kelompok tersebut.13
Selama kiprahnya di Timur Tengah, Salahuddin tidak pernah mendirikan
sebuah kerajaan yang terpusat. Sistem yang ia dirikan adalah kepemilikan turun
temurun yang ia bagi-bagi kepada kerabat-kerabatnya, sehingga mereka
mengendalikan wilayah-wilayah semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti
Ayyubiyah setia kepada sultan, mereka memiliki kebebasan tersendiri di
wilayahnya.14
Pusat pemerintahan Ayyubiyah dari masa pemerintahan Salahuddin pada
dasawarsa 1170-an hingga akhir masa pemerintahan al Malik al-Adil pada tahun
1218 terletak di kota Damaskus. Kota tersebut lebih strategis dalam upaya untuk
mengalahkan tentara Salib, dan juga memungkinkan sultan mengawasi bawahan-
bawahannya yang cukup ambisius di Syam dan al-Jazira. Kairo terlalu jauh untuk
dijadikan pangkalan operasi, tetapi kota tersebut merupakan landasan ekonomi
Dinasti Ayyubiyah. Maka dari itu, kota ini merupakan wilayah yang sangat
penting. Dengan demikian terlihat jelas, bahwa berdirinya Dinasti ini merupakan
sebuah upaya mempersatukan negeri-negeri Islam dalam satu isu melawan tentara
Salib, lebih dari sekadar menyatukan wilayah kekuasaan politik.

Daftar Sultan Dinasti Ayyubiyah15


No. : Nama Sultan : Masa Pemerintahan
1 : Salahuddin Ayyubi : 1174–1193
2 : Al-Aziz ibn Salahuddin : 1193–1198
3 : Al-Mansur ibn al-Aziz : 1198–1200
4 : Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub : 1200–1218
5 : Al-Kamil : 1218–1238
6 : Al-Adil II : 1238–1240
7 : Malik Al-Shalih Ayyub : 1240–1249
8 : Mu’azzam Turansyah ibn al Shalih : 1249
9 : Syajarah al Dur (istri Malik al Shalih) : 1249
10 : Al-Asyraf ibn Yusuf : 1250–1254

13
M.W. Daly,; Carl F. Petry, The Cambridge History of Egypt: Islamic Egypt, 640-1517,
M.D. Publications: 1998, h.226
14
Josef W Meri; Jeri L. Bacharach, Medieval Islamic civilization: An Encyclopedia, Taylor
and Francis, 2006. h. 86
15
Musyrifah Susanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Meia, 2004), h. 146

5
Daftar Amir di bawah Dinasti Ayyubiyah
Kota : Tahun : Nama Amir

Damaskus : 1174–1260 : Salahuddin, al Afdal, al-Adil, al-


(Pusat Mu'azzam, Isa an-Nasir, Dawud al-
Pemerintahan) Ashraf, Musa as-Salih, Ismail as-Salih,
Ayyub al-Muazzam Turanshah, an-
Nasir Yusuf
Aleppo : 1177–1260 : Az-Zahir Ghazi, al-Aziz Muhammad,
Dayfa Khatun (bupati), an-Nasir Yusuf
Homs : 1175–1262 : Asad ad-Din Shirkuh, Muhammad ibn
Shirkuh, al-Mujahid, al-Mansur
Ibrahim, al-Ashraf Musa
Hamma : 1175–1341 : Al-Muzaffar Umar, al-Mansur
Muhammad I, Nasir Kilij-Arslan, al-
Muzaffar Mahmud, al-Mansur
Muhammad II, al-Muzaffar Mahmud II,
al-Mu'ayyad Abu al-Fida, al-Afdal
Muhammad
Jazira : 1180–1260 : Al-Awhad Ayyub, al-Ashraf Musa, al-
Muzaffar Ghazi, al-Kamil Muhammad
Yaman : 1173–1228 : Turan-Shah,Tughtakin ibn Ayyub, al-
Mu'izz Ismail, an-Nasir Ayyub,
Muzaffar Sulayman, Mas'ud Yusuf
Baalbek : 1175–1260 : Ibn al-Muqaddam, Turan-Shah,
Farrukhshah, Bahramshah, Al-Ashraf
Musa, as-Salih Ismail, as-Salih Ayyub,
Saʿ d al-Din al-Humaidi, an-Nasir Yusuf

Peradaban Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah


Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah diisi dengan kesibukan konsolidasi
negeri-negeri Islam yang yang terpecah-pecah. Masa ini dikenal dengan masa
masa disintegrasi. Masa disintegrasi berlangsung antara tahun 1000-1250 M.16
Penyebabnya antara lain pertama, luasnya wilayah Islam tidak sebanding dengan
kemampuan khalifah Abbasiyah dalam mengelolanya. Kedua, persaingan antar
bangsa membuat kesatuan politik dalam ikatan daulah Islam terganggu, Ketiga, di
daerah-daerah Islam muncul tokoh-tokoh kuat yang memperoleh dukungan kuat
dari masyarakatnya. Hal ini mendorong mereka untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Keempat, meskipun terlihat lemah,
namun patut dipertimbangkan, yaitu khalifah Abbasiyah sejak periode al Ma’mun

16
Badri Yatim., Op.Cit., h. 61

6
(786-833 M) lebih senang mengembangkan peradaban dibanding
mengembangkan sistem politik ketatanegaraan dan pembinaan wilayah. 17
Terkait dengan wilayah ini, agaknya benar apa yang ditulis William Muir,
bahwa dalam kenyataannya banyak daerah-daerah yang tidak benar-benar
dikuasai oleh khlaifah.18 Mungkin saja, ketundukan penduduk wilayah-wilayah
tersebut kepada khalifah disebabkan kesatuan agama dan mungkin saja doktrin
keagamaan terkait dengan status khalifah sebagai pemimpin umat Islam (amir al
mukminin), bukan sebagai pemimpin negara (amir al daulah).
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Dinasti Ayyubiyah berkuasa dan
mengembangkan peradaban Islam. Di tengah keadaan yang sulit tersebut, Dinasti
Ayyubiah sempat mencapai masa keemasannya. Selain sosok Salahuddin al
Ayyubi, Para penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar
dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tak heran jika
kota-kota Islam yang dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat pengembangan
peradaban dunia pada masanya. Beberapa kemajuan yang dapat dituliskan antara
lain sebagai berikut:

1. Bidang Politik
Puncak kegemilangan politik Dinasti Ayyubiyah adalah ketika Salahuddin
al Ayyubi mengambil alih Yerusalem dari pasukan Salib pada tanggal 2
Oktober 1187 M. Wilayah ini dapat dipertahankan terus hingga akhir abad ke-
13. Keberhasilan ini melanjutkan tradis kemenangan atas pasukan Salib yang
telah diperoleh sebelumnya oleh pendahulu sekaligus tempat mengabdi
Salahuddin sebelum menjadi Sultan. Imadudin Zangi (Zanki) Amir Mosul dan
Aleppo pada tahun 1144 juga berhasil memukul pasukan Salib dari Armenia.
Selain itu, beberapa kota penting seperti Aleppo, Suriah, Mesir dan
Palestina berhasil ia satukan dalam penguasaan Dinasti Ayyubiyah. Kota-kota
ini berkembang menjadi basis perlawananan melawan tentara Salib. Selain itu,
kota-kota tersebut juga dibangun menjadi pusat-pusat terpenting
pengembangan ilmu dan peradaban Islam.
Sistem politik ketatanegaraan Dinasti Ayyubiyah tidak berupa kerajaan
yang terpusat. Sultan sebagai sebutan penguasa dinasti ini hanya
mengendalikan wilayah-wilayah semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti
Ayyubiyah setia kepada sultan, mereka memiliki kebebasan tersendiri di
wilayahnya.19
Penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki hubungan yang erat dengan
penguasa Bani Fathimiyah (Syi’ah-Mesir), Dinasti Zanki (Sunni-Seljuk) dan

17
Ibid., h. 62-64
18
Sir William Muir, The Caliphate, New York: Ams.Inc., 1975, h.432
19
Josef W Meri, dkk. Op.Cit.

7
Bani Abbasiyah (Sunni-Baghdad). Kedekatan hubungan ini membuat Dinasti
Ayyubiyah dapat disebut pemersatu dunia Islam pada masa disintegrasi.
Bahkan, dari segi politik Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai
simbol pemersatu dunia Islam yang semestinya pada waktu itu harus diemban
oleh Daulah Bani Abbasiyah.20

2. Bidang Keagamaan
Salah satu kebijakan yang diambil oleh Salahuddin di awal
pemerintahnanya adalah menetapkan mazhab Sunni sebagai mazhab resmi
negara menggantikan mazhab Syi’ah Ismailiyah yang sebelumnya dianut oleh
Bani Fathimiyah. beberapa alasan mengganti mazhab Syi’ah Islamailiyah
menjadi mazhab Sunni adalah secara faktual syi’ah bukanlah mazhab yang
dianut oleh mayoritas rakyat Mesir. Selama pemerintahan Bani Fathimiyah
yang muncul justru sikap dualisme rakyat mesir terhadap mazhab syia’h yang
dianut oleh penguasa.21 Sementara, di tubuh dinasti Fathimiyah sendiri Syi’ah
Ismailiyah mengalami konflik internal yang tak kunjung usai sejak perempat
pertama abad ke-12. Dua kelompok Syi’ah Ismailiyah di bawah putra al
Mustanshir yaitu Nizar (ekstrim) dan al Musta’li (moderat) saling bertikai.
Praktis, ketika khalifah dijabat oleh al Musta’li yang moderat, gelora Syi’ah
sudah mulai luntur.22 Sebab lainnya adalah perlawanan dari pendukung Dinasti
Fathimiyah. Tercatat beberapa perlawanan yang membuat Syi’ah Ismailiyah
tidak mendapat tempat dalam kebijakan keagamaan dinasti Ayyubiyah, di
antaranya pemberontakan pendukung Fathimiyah di Sudan yang berkekuatan
50.000 tentara. Pemberontakan ini baru berhasil dipadamkan oleh al Malik al
‘Adil saudara Salahuddin pada tahun 1174 M. Berikutnya pemberontakan yang
dipimpin oleh Imarah al Yamani, yang berhasil dipadamkan pada 1173 M.
Sekilas, kebijakan ini terlihat pro Sunni dan mewakili pribadi Shalahudin
yang notabene pengikut Sunni. Namun, kebijakan ini justru penting karena
faktanya muslim Mesir justru hidup dalam dualisme mazhab yang pada taraf
tertentu membawa kepada sikap talfiq23 yang justru ditolak oleh mayoritas
penganut Sunni. Implementasi kebijakan ini semakin jelas terlihat ketika ia
Qadhi yang bermazhab Syi’ah menjadi Sunni dan mendirikan madrasah yang

20
Mungkin inilah satu wacana yang perlu didiskusikan lebih serius!
21
Ali Muhammad al Shalabi, Shalahuddin al Ayyubi, Pahlawan Islam Pembebas Baitul
Maqdis, Terj. Muslich Taman dan Ahmad Tarmudzi, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2013, h.376
22
Syafiq A. Mughni, Perpecahan Kekuasaan Islam, Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h.136
23
Talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan
dua madzhab atau lebih

8
mengajarkan fikih Syafi’i seperti Madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah
dan Salahiyah di Yerusalem dan Damaskus.24
Sementara dalam bidang hubungan antar agama, Salahuddin dan para
penerusnya menempatkan diri menjadi pelindung bagi umat Nasrani dan
Yahudi, terutama di Yerusalem atau Baitul Maqdis, lokasi yang menjadi
sumber persaingan selama Perang Salib. Pada tahun 1192, Salahuddin dan
Richard I, Raja Inggris yang bergelar si Hati Singa (Lion Heart) membuat
perjanjian, bahwa kaum muslimin tetap akan memiliki Yerusalem, namun
orang Islam akan melindungi tempat ibadah orang Kristen, membiarkan orang
Kristen hidup di kota itu menjalankan iman mereka tanpa gangguan dan
membiarkan para peziarah Kristen datang dan pergi sesuka mereka.25
Perjanjian ini menjadi dasar kebijakannya dalam bidang hubungan antar
agama. Kebijakan inilah yang membuat Yerusalem dalam waktu yang lama
berada dalam kekuasaan umat Islam, hingga perang dunia I (1914).

3. Ilmu Pengetahuan
Para penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan
mereka mendukung kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun
di wilayah Ayyubiyah tidak hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk
menyebarkan agama Islam Sunni. Kota Damaskus pada masa pemerintahan
Salahuddin memiliki 20 madrasah, 100 tempat pemandian, serta biara-biara
darwis Sufi dalam jumlah yang besar. Ia juga membangun madrasah-madrasah
di Aleppo, Yerusalem, Kairo, Iskandariyah, dan berbagai kota di Hijaz. Banyak
pula madrasah yang dibangun oleh para penerusnya. Bahkan istri para
penguasa Ayyubiyah, para panglima, dan para bangsawan juga ikut mendirikan
dan mendanai sejumlah lembaga pendidikan.26
Meskipun para penguasa Ayyubiyah mengikuti mazhab Syafi'i, mereka
juga membangun madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum
Bani Ayyubiyah berkuasa, tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan
Maliki di Syam, tetapi Bani Ayyubiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah
khusus untuk mazhab-mazhab tersebut. Pada pertengahan abad ke-13, Ibnu
Syaddad mendirikan 40 madrasah Syafi'i, 34 madrasah Hanafi, 10 madrasah
Hanbali, dan tiga madrasah Maliki di Damaskus.27

24
Syafiq A. Mughni, Ibid, h.137
25
Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Serambi,
2018, h. 247
26
Abdul Ali, Islamic Dynasties of the Arab East: State and Civilization During the Later
Medieval Times, Delhi: M.D. Publications Pvt. Ltd., 1996, h. 38
27
Ibid., h.39

9
4. Kebudayaan
Meskipun Dinasti Ayyubiyah berbangsa Kurdi, namun para penguasa
Ayyubiyah yang memerintah pada abad ke-12 sudah jauh dari budaya Kurdi,
tidak seperti para pendahulu mereka di Seljuk dan para penerus mereka di
Mamluk, para penguasa Ayyubiyah telah "terarabisasi". Bahasa dan budaya
Arab menjadi unsur utama dalam jati diri mereka alih-alih bahasa dan budaya
Kurdi.28 Mereka sendiri sudah cukup terasimilasi ke dalam budaya Arab
sebelum mereka mulai berkuasa, dan marga-marga Arab pun jauh lebih lazim
daripada marga-marga non Arab di kalangan penguasa Bani Ayyubiyah. Salah
satu sumbangan terpenting Dinasti Ayyubiyah adalah menjadikan bahasa Arab
sebagai bahasa tutur bangsa Mesir. Kebanyakan orang Mesir menuturkan
bahasa Arab pada masa Dinasti Ayyubiyah.29

5. Arsitektur
Bangunan dan arsitektur merupakan salah satu sumber sejarah yang
penting. Di antara bangunan arsitektur yang dapat dijadikan sumber sejarah
kejayaan dinansty Ayyubiyah antara lain:
- Tembok Kota Aleppo yang dibangun Sultan Az-Zahir Ghazi pada tahun
1183. Tembo kota tergolong arsitektur militer. Pembangunan ini telah
mengubah wajah kota Aleppo secara total.30
- Menara Masjid Agung Aleppo yang dibangun oleh Sultan Az-Zahir Ghazi
pada 1214 M. Bangunan menara menjulang ke langit, terdiri atas lima
tingkat dengan puncak mahkota yang dikelilingi oleh beranda. Menara
banyak dihiasi berbagai ornamen. Dalam ilmu arsitektur menara ini
digolongkan kepada arsitektur keagamaan.
- Tembok Ayyubiyah di Kairo yang ditemukan selama pembangunan Taman
Al-Azhar, Januari 2006.31
- Madrasah Al-Firdaus didirikan pada tahun 1236 di kota Aleppo dengan
dukungan dari Dhaifa Khatun. Madrasah ini merupakan bukti peran wanita
yang menjadi pendukung proyek-proyek arsitektur keagamaan di masa
Ayyubiyah.32

28
Tabbaa, Yasser, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Penn State Press,
1977, h. 31
29
Arthur Goldschmidt, A Brief History of Egypt, New York: Infobase Publishing, 2008, h.
48
30
Yasser, Tabbaa, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Pennsylvania:
Penn State Press, 1997. h. 31
31
Belum banyak informasi tentang tembok ini. Reka gambar dapat dilihat di
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Ayyubid_Wall_Al-Azhar_Park_Cairo_01-2006.jpg, diakses
19/01/2020
32
R. Stephen Humphreys, Women as Patrons of Religious Architecture in Ayyubid
Damascus, Muqarnas, Vol.11,1994, h. 35–54, DOI: 10.2307/1523208

10
Akhir Dinasti Ayyubiyah
Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari
faktor intern juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan
Ayyubiyyah ini adalah adanya perselisiah di kalangan keluarga yang
memperebutkan wilayah kekuasaan. Sedangkan faktor ekstern keruntuhan
Ayyubiyyah adalah karena kebangkitan Dinasti Mamluk yang menyebabkan
terbunuhnya Sultan al Ma’azzam Turansyah (1250 M) serta serangan bangsa
Mongol.

Penutup
Kehadiran Ayyubiyah dalam sejarah Islam telah menyelamatkan dunia
Islam dari kebangkrutan kekuasaan dan peradaban selama berlangsungnya Perang
Salib dan dalam keadaan melemahnya kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad.
Bahkan, dari segi politik Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol
pemersatu dunia Islam yang semestinya pada waktu itu harus diemban oleh
Daulah Bani Abbasiyah.

11
Daftar Pustaka

Ali, Abdul, Islamic Dynasties of the Arab East: State and Civilization During the
Later Medieval Times, Delhi: M.D. Publications Pvt. Ltd., 1996
Ansary, Tamim, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta:
Serambi, 2018
Daly, M.W.; Carl F. Petry, The Cambridge History of Egypt: Islamic Egypt, 640-
1517, M.D. Publications: 1998.
Maalouf, Amin, The Crusades Through Arab Eyes, 1985; Carole Hillenbrand,
Perang Salib Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2005
Goldschmidt, Arthur, A Brief History of Egypt, New York: Infobase Publishing,
2008.
Mackenzie, D.N., The Origin of Kurdish, Transactions of Philological Society,
1961.
Muir, Sir William, The Caliphate, New York: Ams.Inc., 1975
Rofiq, Ahmad Choirul, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam, Yogyakarta: DIVA
Press, 2019
Shalabi, Ali Muhammad al-, Shalah al Din al Ayyubiya Juhuduhu fi al Qadha ‘ala
al Daulah al Fathimiyyah wa Tahrir al Bait al Maqdis, Beirut: Dar al Ma’arif, 2008.
___________________, Shalahuddin al Ayyubi, Pahlawan Islam Pembebas Baitul
Maqdis, Terj. Muslich Taman dan Ahmad Tarmudzi, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2013.
Tabbaa, Yasser, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Penn State
Press, 1977
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Utama, 2006.

Jurnal
R. Stephen Humphreys, Women as Patrons of Religious Architecture in Ayyubid
Damascus, Muqarnas, Vol.11,1994, h. 35–54, DOI: 10.2307/1523208

Ensiklopedia
Ensiklopedia Iranica, Ghurids, Edmund Bosworth, Edisi Online 2001
Meri, Josef W.; Jeri L. Bacharach, Medieval Islamic civilization: An Encyclopedia,
Taylor and Francis, 2006.
Humphreys, Stephen, Ayyubids, Encyclopedia Iranica, 1987
Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002.

12

Anda mungkin juga menyukai