Anda di halaman 1dari 6

NURUDDIN ZANKI

Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin 'Imaduddin


Zengi (Februari 1118 – 15 Mei 1174), juga diketahui dengan nama Nur ad-Din, Nur
al-Din, dan lain-lain (dalam bahasa Arab: ‫نور الدين‬ Nūruddīn) adalah anggota dari dinasti
Zengi yang menguasai Suriah dari tahun 1146 sampai tahun 1174. Ia bercita-cita untuk
menyatukan pasukan Muslim dari Efrat sampai Mesir. Ia juga memimpin pasukannya
melawan berbagai macam pasukan lain termasuk tentara salib.

KEHIDUPAN AWAL
Ia dilahirkan pada hari Ahad 17 Syawwal 511 H yang bertepatan dengan
bulan Februari tahun 1118 di mana ia adalah anak dari Zengi,
seorang atabeg Aleppo dan Mosul.

MENJADI PEMIMPIN
Nuruddin adalah anak kedua Imaduddin Zengi, atabeg Tripoli Aleppo dan Mosul, yang
adalah musuh tentara salib. Setelah ayahnya dibunuh, Nuruddin dan
kakaknya Saifuddin Ghazi I membagi kerajaan tersebut di antara mereka berdua, di
mana Nuruddin menguasai Aleppo Narzebha menguasai Tripoli dan Saif ad-Din
menguasai Mosul. Perbatasan antara kedua kerajaan baru dibentuk oleh sungai Khabur.

MELAWAN TENTARA SALIB


Segera setelah ia memimpin, Nuruddin menyerang Kerajaan Antiokhia, merebut
beberapa istana di utara Suriah, di mana pada waktu yang sama ia menaklukan sebuah
usaha oleh Joscelin II untuk mengembalikan Kerajaan Edessa yang telah dikuasai oleh
Zengi tahun 1144. Nuruddin mengusir seluruh populasi Kristen di kota tersebut sebagai
hukuman karena membantu Joscelin.
Nuruddin mencoba bersekutu dengan tetangga Muslimnya di Irak utara dan Suriah
untuk memperkuat Muslim melawan musuh mereka di barat. Pada tahun 1147, ia
menandatangani perjanjian bilateral dengan Mu'inuddin Unur, gubernur Damaskus,
sebagai bagian persetujuan ini, ia menikahi anak perempuan Mu'inuddin. Mu'inuddin
dan Nuruddin menyerang kota Bosra dan Sarkhand, di mana kota itu direbut oleh
pengikut Mu'in ad-Din yang memberontak yang bernama Altuntash, tetapi Mu'inuddin
selalu curiga dengan tujuan Nuruddin dan tidak mau mengganggu mantan sekutu tentara
salibnya di Yerusalem, yang telah membantu mempertahankan Damaskus melawan
Zengi. Untuk menenangkan Mu'in ad-Din, Nuruddin mengurangi dirinya di Damaskus
dan berbalik menuju kerajaan Antiokhia, di mana ia dapat merebut Artah, Kafar Latha,
Basarfut, dan Balat.
Pada tahun 1148, Perang Salib Kedua tiba di Suriah, dipimpin oleh Louis
VII dan Conrad III. Mereka memutuskan untuk menyerang Damaskus. Mu'inuddin
dengan rasa malas memanggil bantuan dari Nuruddin. Pengepungan Damaskus hanya
terjadi selama 4 hari sebelum Nuruddin tiba.
Nuruddin mengambil kesempatan dari kegagalan tentara salib dengan mempersiapkan
serangan lainnya atas Antiokhia. Pada tahun 1149, ia melancarkan serangan melawan
teritori yang didominasi oleh istana Harim yang terletak di tepi timur Orontes, setelah di
mana ia menyerang istana Inab. Pangeran Antiokhia, Raymond dari Poitiers, dengan

1
cepat datang untuk membantu istana yang diserang. Pasukan Muslim menghancurkan
tentara salib di Inab, di mana Raymond terbunuh. Kepala Raymond dikirim ke
Nuruddin, yang mengirimnya ke khalifah di Baghdad. Ia selanjutnya merebut semua
teritori Antiokhia di timur Orontes, di mana segera daerah tersebut jatuh ke
tangan Kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1150, ia menaklukan Joscelin II untuk
terakhir kalinya, setelah bersekutu dengan sultan Rüm, Mas'ud (di mana anak
perempuan Mas'ud juga dinikahi oleh Nuruddin). Joscelin meninggal di penjaranya di
Aleppo tahun 1159. Pada tahun 1152 Nuruddin merebut Tortosa setelah
dibunuhnya Raymond II dari Tripoli.

MENYATUKAN KESULTANAN
Nuruddin bercita-cita untuk menyatukan berbagai pasukan Muslim dari
sungai Euphrates dan sungai Nil untuk membuat kesatuan front menghadapi tentara
salib. Pada tahun 1149, Saifuddin Ghazi meninggal dunia, dan adik laki-lakinya,
Qutbuddin, meneruskannya. Qutbuddin mengakui Nuruddin sebagai maharaja Mosul,
sehingga kota Mosul dan Aleppo kemudian disatukan dibawah satu orang.
Setelah kegagalan Perang Salib Kedua, Mu'inuddin memperbaharui perjanjiannya
dengan tentara salib, dan setelah kematiannya tahun 1149,
penerusnya Mujiruddin mengikuti peraturan yang sama. Pada tahun 1150 dan
tahun 1151, Nuruddin mencoba menyerang Damaskus, namun mundur dengan tidak
meraih kesuksesan. Ketika Ascalon direbut oleh tentara salib tahun 1153, Mujiruddin
melarang Nuruddin untuk melakukan perjalanan di teritorinya. Namun Mujiruddin
adalah pemimpin yang tidak sekuat pemimpin sebelumnya, dan ia juga setuju untuk
membayar upeti untuk tentara salib sebagai ganti atas perlindungan yang mereka
berikan. Kelemahan Damaskus dibawah Mujiruddin membuat Nuruddin
menurunkannya tahun 1154 dengan bantuan penduduk kota. Damaskus menjadi bagian
teritori Zengid, dan seluruh Suriah disatukan dibawah kepemimpinan Nuruddin,
dari Edessa di utara sampai Hauran di selatan. Ia berhati-hati dengan tidak menyerang
Yerusalem, dan meneruskan mengirim upeti tahunan yang dilakukan oleh Mujiruddin.
Pada tahun 1157 Nuruddin menyerang Ksatra Rumah Sakit di benteng tentara salib
di Banias dan memukul mundur mereka, tetapi ia jatuh sakit pada tahun itu dan tentara
salib dapat beristirahat dari serangannya. Pada tahun 1159, kaisar Bizantium Manuel I
Comnenus tiba untuk menegaskan kekuasaannya di Antiokhia, dan tentara salib
berharap ia akan mengirim ekspedisi ke Aleppo. Namun, Nuruddin mengirim duta
besarnya dan menegosiasikan persekutuan dengan kaisar melawan Seljuk. Nuruddin,
bersama dengan Danishmend dari Anatolia timur menyerang sultan Seljuk Kilij Arslan
II dari timur pada tahun berikutnya, ketika Manuel menyerang dari barat. Nantinya pada
tahun 1160, Nuruddin menangkap pangeran Antiokhia, Raynald dari Chatillon setelah
serangan di pegunungan Anti-taurus. Raynald tetap ditangkap selama 16 tahun. Pada
tahun 1162, dengan Antiokhia dibawah kekuasaan Bizantium dan Negara-negara
Tentara Salib di selatan tidak memiliki kekuatan untuk menyerang Suriah, Nuruddin
naik haji ke Mekah.Ia juga mengunjungi kota Madinah. Segera setelah Nuruddin
kembali, ia belajar dari raja yang telah meninggal Baldwin III dari Yerusalem, menahan
diri untuk tidak menyerang secara langsung negara-negara tentara salib. William dari
Tirus melaporkan bahwa Nuruddin pada saat itu mengatakan:
PERMASALAHAN MESIR

2
Karena tidak ada yang dapat dilakukan tentara salib di Suriah, mereka terpaksa beralih
ke selatan sejauh mereka memang ingin memperluas kekuasaannya. Jatuhnya Ascalon
pada tahun 1153 ke tangan Raja Baldwin III dari penguasaan Kekhalifahan Fatimiyah
sudah berhasil sepenuhnya memutuskan jalur logistik Mesir dari Suriah. Sementara itu
Mesir pun secara politik melemah karena diperintah barbagai khalifah fatimiyah yang
masih sangat muda bahkan terkadang masih anak-anak atau remaja. Pada tahun 1163,
khalifah Fatimiyah adalah al-Adid (memerintah 1160-1171) yang masih muda (14
tahun), tetapi pemerintahan dijalankan oleh wazir Shawar. Pada tahun itu, Shawar
disingkirkan oleh Dirgham. Dirgham menawan 3 anaknya yang bernama Thayib,
Sulaiman dan Khalil. Thayib dan Sulaiman dibunuh sedangkan Khalil dipenjara.
Setelah itu, Raja Yerusalem, Amalric I memulai serangan terhadap Mesir, dengan dalih
bahwa Fatimiyah tidak membayar upeti selama ini seperti yang telah mereka janjikan
untuk dibayar selama pemerintahan Baldwin III. Penyerangan ini gagal dan ia terpaksa
menarik kembali pasukannya ke Yerusalem, tetapi hal ini telah mendorong Nuruddin
untuk mengawali kampanyenya melawan tentara salib di Suriah untuk mengalihkan
perhatian mereka dari Mesir. Serangannya atas Tripoli tidak berhasil, tetapi ia
dikunjungi oleh Shawar, sang wazir yang terusir dari kampung halamannya sendiri,
yang memohon padanya untuk mengirim pasukan khusus untuk memulihkan
kedudukannya sebagai wazir di Mesir dengan kompensasi akan memberikan sepertiga
hasil bumi dari tanah Mesir kepada Nurudin. Pada mulanya, Nuruddin tidak mau
membagi pasukannya untuk pertahanan Mesir, tetapi panglimanya sendiri yang berasal
dari suku kurdi, Shirkuh, meyakinkan dia untuk menyerang Mesir pada tahun 1164.
Sebagai balasan, Dirgham bersekutu dengan Amalric, tetapi sang raja tersebut tidak
dapat menggerakkan pasukannya tepat waktu untuk menyelamatkannya. Dirgham
terbunuh selama invasi Shirkuh dan kepalanya dipenggal dan dipamerkan keseluruh
pelosok negeri. Shawar pun dipulihkan kembali sebagai wazir. Namun ia melanggar
janjinya dan bersekongkol dengan khalifah Al Adhid meminta Shirkuh segera angkat
kaki dari Mesir.
Permintaan tersebut tidak ditanggapi oleh Shirkuh, malahan ia berkeliling ke pelosok
Mesir, menaklukan banyak wilayah di timur dan menghimpun kekayaan yang banyak.
Shawar kemudian bersekutu dengan Amalric, yang kemudian tiba dengan pasukan yang
banyak untuk mengepung Shirkuh di Bilbeis. Shirkuh bertahan di benteng tersebut
selama 8 bulan. Ia dalam keadaan aman dibentengnya itu. Kepergian pasukan salib ke
Mesir itu, dimanfaatkan oleh Nurudin untuk menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai
kerajaan salib. Nuruddin menyerang Antiokhia dan mengepung istana Harenc meskipun
saat itu Antiokia menjadi daerah protektorat Bizantium (ketika kejadian tersebut
Manuel, Raja Bizantium berada di Balkan). Disana, Nuruddin mengalahkan pasukan
gabungan Antiokhia dan Tripoli bahkan Bohemond III of Antioch dan Raymond III of
Tripoli ditawan olehnya. Meskipun begitu ia tidak menyerang kota Antiokhia itu
sendiri, kuatir tindakan balasan dari Bizantium. Sebagai gantinya ia mengepung dan
merebut Banias (kota Banias berhasil direbut pada bulan Zulhizah 560 H/ Oktober 1165
M), dan selama 2 tahun berikutnya tetap melanjutkan menyerang perbatasan Negara-
negara salib. Keberhasilan Nurudin Mahmud menembus jantung wilayah-wilayah
dinasti salibiyah dan menawan raja-rajanya termasuk Bohemond III of Antioch,
Raymond III of Tripoli dan Dauq dari Byzantium menyebabkan pasukan Salib yang
sedang berjuang mengusir Shirkuh di Mesir benar-benar terpukul mundur. Raja Amaric
mengajak Shirkuh berdamai dengannya. Asadudin Shirkuh menerima tawarannya

3
dengan syarat Shawar bin Mujirudin membayar 60.000 dinar sebagai hukuman
penghianatannya.
Selanjutnya Amalric pun terpaksa pulang ke Yerusalem sedangkan Shirkuh pulang ke
Syria meninggalkan Mesir. Ternyata Shawar membuat perjanjian rahasia dengan Raja
Amalric lagi yang mana isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa Raja Almaic wajib
membantu Shawar bila diganggu pihak lain. Perjanjian ini diketahui oleh Nurudin. Ia
berpendapat bahwa adalah bijaksana kalau membebaskan Mesir dari penghianat seperti
Shawar bin Mujirudin ini. Pada tahun 1166 Shirkuh dikirim kembali ke Mesir dengan
pasukan yang mungkin terdiri dari 2.000 kavaleri. Pasukan ini menyebrangi sungai Nil
dan berhenti di Giza (Jizah) untuk melakukan pengepungan pada Mesir selama dua
bulan dengan pengepungan yang sangat ketat. Shawar pun meminta bantuan pasukan
Salib. Pasukan salib yang dipimpin Amalric masuk ke Mesir dari arah Dimyath pada
awal tahun 1167. Kedatangan mereka diketahui oleh Shirkuh yang kemudian ia dan
pasukannya bertolak menuju Sha’id dan memungut pajak dari warganya. Dan perang
pun dimulai, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan yang dipimpin Asaduddin
Shirkuh.
Setelah berhasil mengalahkan pasukan Salib, Asadudin Shirkuh bergerak ke kota
Alexandria dan menaklukannya. Ia mengangkat keponakannya, Shalahudin Yusuf
sebagai gubernur provinsi Alexandria, sedang ia sendiri pulang ke Sha’id. Rupanya
Shawar menyusun kekuatan baru dan bersekutu dengan pasukan Salib untuk
mengepung kota Alexandria dan merebutnya dari tangan Shalahudin Yusuf. Shalahudin
mempertahankan kota tersebut dengan gigih meskipun ia dan pasukannya mengalami
kesulitan dan kekurangan stok makanan. Tidak lama kemudian Asadudin Shirkuh
datang dari Sha’at memberi bala bantuan. Kedatangan pasukan Shirkuh ini diketahui
Shawar dan iapun merasa takut kalau kedua pasukan itu bergabung mengalahkan
pasukannya. Ia menawarkan perdamaian kepada Shalahudin dengan kompensasi
menyerahkan uang senilai 50.000 dinar. Asadudin Shirkuh menerima tawaran yang ia
nilai cukup besar ini. Lalu ia keluar dari kota Alexandria dan menyerahkan urusan kota
Alexandria pada orang-orang mesir itu sendiri. Ia pun lalu kembali ke Syria. Sementara
itu Shawar memperbaharui perjanjian dengan pasukan Salib dengan memberi tentara
Prancis sebesar seratus ribu dinar agar mereka tetap bermarkas pusat di Mesir. Pasukan
Salib menerima tawaran Shawar walaupun tanpa menerima pembayaran pun mereka
dengan senang hati membantu. Dengan demikian Tentara salib menduduki Alexandria
dan Kairo serta menjadikan Mesir sebagai negara pembayar upeti bagi negara dinasti
salibiyah. Akan tetapi Amalric tidak dapat menguasai Mesir secara penuh, selama
Nuruddin masih menguasai Suriah. Akhirnya ia pun terpaksa kembali ke Yerusalem,
dan menjadi sangat kaget karena menyaksikan Nurudin telah menaklukan benteng
daerah-daerah yang dikuasai dinasti salibiyah sebelumnya dan menawan banyak sekali
wanita dan anak-anak mereka serta mendapat rampasan perang yang banyak seperti
perhiasan dan harta mereka.
Pada tahun 1168 Amalric bersekutu dengan Kaisar Manuel dan menyerang Mesir sekali
lagi. Ia menyiapkan pasukan besar dan melengkapinya dengan senjata yang komplet
dari yang dimilikinya untuk meraih kemenangan. Dengan kekuatan tersebut mereka
menyerang Mesir dan menguasai Bilbeis (Balbis) dan menjadikannya markas utama
pasukannya. Dari Balbis mereka bertolak ke Kairo. Hal ini diketahui oleh Shawar dan ia
menyadari bahwa hal ini di luar kontrolnya. Dan tidak sesuai dengan kesepakatan yang
ia buat dengan Raja Yerusalem sebelumnya. Maka ia bakar kota Fustat (Shawar

4
sebelumnya tinggal mendiami Fustat) dan menyuruh penduduknya hijrah ke Kairo. Api
menyala dan kemungkinan hanya membakar tanaman-tanaman pangan selama 54 hari.
(1168) Menurut suatu sumber yang tidak diketahui apakah dapat dipercaya, dinasti
salibiyah banyak menawan kaum muslimin, menguasai negara dan menjarah
kekayaannya serta mengancam Khalifah al Adhid. Ancaman pasukan Salib ini mungkin
saja memaksa khalifah untuk memohon bantuan kepada Nurudin. Khalifah berjanji dan
menyatakan siap memberikan semua pajak yang ia dapatkan di mesir kepada Sultan
Nurudin Mahmud dan meminta Sultan mau tinggal bersamanya di Kairo guna
melindungi Kairo dari serangan mereka. Selain itu ia berjanji memberikan tambahan
pajak kepada militer Nurudin di luar sepertiga pajak yang ia janjikan.
Awal tahun 1169 Asadudin Shirkuh diutus ke Mesir dan mengalahkan pasukan Salib
serta mengusir pasukan salib dan membunuh menteri penghianat, Shawar.
Bulan Rabiul Akhir (8 Januari 1169), Asadudin Shirkuh menemui Khalifah Al Adhid
dan ia diangkat sebagai wazir untuk menggantikan Shawar. Khalifah melepaskan baju
dinas Shawar dan memberikannya kepada Shirkuh. Setelah itu Shirkuh pulang ke
kemahnya di Dzahirul Balad. Ternyata Khalifah Al Adhid tidak menepati janjinya
kepada Sultan Nurudin. Sementara Shirkuh sepertinya tidak peduli dengan sikap
khalifah itu. Ia mulai merealisir rencananya, mengangkat para gubernur, mengirim duta
dan memungut pajak. Ia menjabat sebagai wazir selama 2 bulan 5 hari. Ia meninggal
dunia tanggal 12 Jumadil Akhir 564 H (14 Maret 1169). Ia digantikan oleh
keponakannya, Shalahudin Yusuf bin Ayub sebagai wazir Kekhalifahan Fatimiyah dan
sang Khalifah memberinya gelar Al Malik An Nasir.
Mulanya Nurudin kurang begitu senang dengan pengangkatan Shirkuh dan Shalahudin
sebagai Wazir khalifah Fattimiyah, karena dia tidak mempercayai kaum Shi’ah. Namun
Shalahudin dengan kebijaksanaannya berhasil meyakinkan Nurudin akan loyalitasnya.
Di bulan Oktober 1169, Raja Almuric dan Manuel menginvasi Mesir sekali lagi.
Pasukan Salib mengepung kota Damietta (Dimyat) selama 50 hari tanpa kenal lelah dan
membatasi ruang gerak penduduknya.
Katanya Salahudin mengirim surat kepada sultan Nurudin minta bantuan, dan Nurudin
pun secepatnya mengirim pasukan untuk memperkuat pasukan Salahudin. Pengepungan
yang dilakukan Salibiyah terhadap kota Damietta ini dimanfaatkan oleh Nurudin untuk
menyerang negara-negara salib tersebut dengan kekuatan besar. Ia tembus daerah-
daerah kekuasaan mereka dan mendapatkan harta rampasan perang yang banyak,
membunuh dan menawan banyak sekali wanita dan anak-anak mereka.
Berita penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Nurudin itu didengar oleh Pasukan salib
yang mengepung kota Damietta. Mereka pun terpaksa menarik mundur pasukan dan
menghentikan pengepungan. Mendengar hal ini, Nurudin Mahmud senang sekali. Pada
tahun 1171, Nurudin memerintahkan kepada Salahudin untuk mendoakan khalifah
Abasiyah di Khutbah Sholat Jum’at menggantikan Khalifah Fatimiyah. Mulanya
Salahudin tidak setuju takut akan ada pembrontakan masyarakat di Mesir. Namun salah
seorang pengikutnya yang bernama Al Amir Al Amin meyakinkannya untuk
menjalankan perintah Sultan Nurudin. Jum’at pertama bulan Muharam 567H
(September 1171), Al Amir Al Amin naik mimbar Jum’at mendahului khatib resmi
kemudian berdoa untuk Khalifah Abbasiah, Al Mustanjid Billah, dan ternyata tidak satu
pun yang menentangnya. Dan pada hari jum’at kedua Salahudin memerintahkan seluruh
khatib Jumat untuk menghentikan doanya bagi khalifah Fatimiyah, al Adid dan

5
menambah Khalifah Abasiyah, Al Mustanjid Billah dalam daftar doanya. Shalahudin
juga memecat seluruh hakim pengadilan Mesir karena mereka berasal dari aliran Syi’ah,
dan menggantinya dengan hakim pengadilan yang baru dari kalangan Sunni bermazhab
Syafi’i.
Dilain pihak, Khalifah Al Adid jatuh sakit dan akhirnya wafat pada tgl 10 Muharam 567
H (14 September 1171 M), dengan demikian berakhirlah Kekhalifahan Fatimiyah.

KEMATIAN
Selama waktu-waktu tersebut, Nurudin sibuk dengan urusan di wilayah utara negaranya,
melawan dinasti artoqids, dan pada tahun 1170 ia harus menyelesaikan persengketaan di
antara keponakannya ketika Qutbudin wafat. Setelah menaklukan Mesir, Nurudin
meyakini bahwa ia telah mencapai tujuannya mempersatukan Negara-negara Muslim,
namun terjadi keretakan hubungan antara Nurudin dan Salahudin yang dipicu oleh
kesalapahaman di antara kedua pemimpin tersebut. Waktu itu Nurudin bermaksud
mengepung kota Al Kurk. Ia menyurati Salahudin untuk mengirimkan pasukan
ketempat yang disepakati. Salahudin pun berangkat dengan pasukannya menuju tempat
tersebut. Selang beberapa hari Salahudin menyadari akan kemungkinan adanya bahaya
bila Mesir ia tinggalkan. Maka ia mengirim surat kepada Sultan Nurudin tentang hal itu,
dan minta maaf atas ketidakhadirannya. Salahudin pun kembali ke Mesir. Hal ini
menerbitkan rasa amarah Sultan Nurudin. Ia bermaksud menyerang Mesir untuk
menundukan Salahudin. Salahudin pun menggelar rapat yang dihadiri para amir di
wilayah tersebut untuk membahas hal ini. Atas nasihat ayahnya, Najmudin, Salahudin
menyurati Sultan Nurudin yang menyatakan ketundukannya. Nurudin pun puas dalam
hal ini dan membatalkan penyerangannya. Tercatat Salahudin tidak ikut serta dalam
beberapa serangan yang dipimpin Nurudin dalam melawan Yerusalem pada tahun 1171
dan 1173.
Di Tahun 1174, ketika Nurudin sedang dalam ambang saat-saat penyerangan ke Mesir
karena absennya Salahudin dalam penyerangan pada tahun 1173( Saat itu Shalahudin
menarik mundur pasukannya ketika mendapat kabar berita bahwa ayahnya telah
meninggal dunia), Ia terkena demam karena komplikasi peritonsillar abscess, dan wafat
di usianya yang ke 59. Putranya yang masih muda As-Salih Ismail al-Malik menjadi
penggantinya. Shalahuddin mengirim utusan kepada As-Salih Ismail al-Malik dan
menawarkan jasa bakti dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk
menyebutkan nama sultan muda tersebut dalam khotbah-khotbahnya pada hari Jumat
dan mata uangnya.

Anda mungkin juga menyukai