Anda di halaman 1dari 9

Dinasti Ayyubiyah adalah dinasti Muslim dengan asal-usul Kurdi, didirikan oleh

Salahuddin dan berpusat di Mesir. Dinasti ini menguasai sebagian besar Timur Tengah
selama abad ke-12 dan ke-13. Salahuddin adalah wazir Fatimiyah sebelum ia
mengakhiri kekuasaan Fatimiyah pada 1171. Pada 1774, ia menyatakan diri sebagai
sultan menyusul kematian penguasa Ayyubiyah terdahulu, sultan Zengiyah, Nuruddin.
Ayyubiyah menghabiskan dasawarsa berikutnya melancarkan penaklukan di seluruh
kawasan tersebut dan pada 1183 M, wilayah kekuasaan mereka meliputi Mesir, Suriah,
Mesopotamia utara, Hejaz, Yaman, dan pesisir Afrika hingga perbatasan Tunisia
modern. Sebagian besar Kerajaan Yerusalem direbut Salahuddin setelah
kemenangann dalam Pertempuran Hattin pada 1187, akan tetapi pasukan salib kembali
merebut pantai Palestina pada 1190-an.
Setelah kematian Salahuddin, para putranya memperebutkan kendali atas kesultanan
namun akhirnya saudaranya Al-Adil yang menjadi Sultan pada 1200. Pada 1230-an,
para penguasa Ayyubiyah di Suriah berusaha memerdekaan diri dari kendali Mesir dan
terus terpecah hingga Sultan As-salih Ayyub mempersatukan kembali Ayyubiyah
dengan menaklukan sebagian besar Suriah, kecuali Aleppo, pada 1247. Pada saat itu,
dinasti-nasti Muslim lokal telah mengusir para penguasa Ayyubiyah dari Yaman, Hejaz,
dan sebagian Mesopotamia. Setelah kematiannya pada 1249, As-Salih Ayyub
digantikan di Mesir oleh Al-Mu'azzam Turansyah, akan tetapi ia digulingkan oleh para
jenderal Mamluk yang sebelumnya sukses memukul mundur invasi pasukan salib di
Delta Nil. Peristiwa ini secara efektif mengakhiri kekuasaan Ayyubiyah di Mesir dan
sejumlah upaya para penguasa Suriag, dipimpin oleh An-Nasi Yusuf dari Aleppo, untuk
memulihkannya berakhir dengan kegagalan. Pada 1260, Mongol menghancurleburkan
Aleppo dan setelahnya merebut sisa-sisa wilayah Ayyubiyah. Mamluk yang berhasil
menghalau Mongol setelah penghancuran dinasti Ayyuibiyah, tetap mempertahankan
kepangeranan Ayyubiyah di Hama hingga akhirnya menggulingkan pemimpin
terakhirnya pada 1341.
Selama kekuasaan yang relatif singkat, Ayyubiyah menciptakan kemakmuran di wilayah
mereka dan fasilitas serta sokongan yang diberikan Ayyubiyah berujung pada
kebangkitan kegiatan keilmuan di dunia Islam. Periode ini juga ditandai oleh proses
Ayyubiyah dalam secara keras menguatkan dominasi Muslim Sunni di kawasan
tersebut dengan mmebangun banyak sekali madrasah di kota-kota besar mereka.
Perluasan wilayah
Salahuddin mendatangi kota Iskandariyah pada tahun 1171–72. Walaupun ia memiliki
banyak pendukung di kota tersebut, pada kala itu ia sedang menghadapi kesulitan
keuangan. Pertemuan dewan keluarga kemudian diadakan di kota tersebut, dan
mereka pun memutuskan bahwa mereka akan mengirim al-Muzhaffar Taqiuddin
Umar (keponakan Salahuddin) sebagai pemimpin ekspedisi militer ke wilayah
pesisir Barqa (Kirenaika) di sebelah barat Mesir dengan pasukan yang hanya terdiri dari
500 pasukan berkuda. Untuk membenarkan penyerangan tersebut, mereka mengirim
surat kepada suku-suku Badui di Barqa yang mengecam mereka karena mereka telah
melakukan perampokan terhadap para musafir. Surat tersebut juga menuntut agar
mereka membayar zakat hewan ternak.[17]
Pada akhir tahun 1172, kota Aswan dikepung oleh para mantan prajurit Fatimiyah
dari Nubia. Gubernur Aswan yang bernama Kanz ad-Dawlah (mantan loyalis Fatimiyah)
memohon bantuan kepada Salahuddin, dan Salahuddin pun mengabulkan permohonan
tersebut. Bala bantuan dari Salahuddin baru datang setelah pasukan Nubia sudah
meninggalkan Aswan, tetapi pasukan Ayyubiyah yang dipimpin oleh Turansyah terus
bergerak hingga mereka berhasil merebut kota Ibrim dan menaklukkan Nubia utara.
Turansyah dan prajurit-prajurit Kurdinya untuk sementara berdiam di tempat tersebut.
Dari Ibrim, mereka menjarah wilayah-wilayah sekitar, dan mereka baru menghentikan
serangan mereka setelah menerima usulan gencatan senjata dari raja Nubia yang
berkuasa dari Dongola. Meskipun Turansyah awalnya menanggapinya dengan agresif,
ia kemudian mengirim utusan ke Dongola. Utusan tersebut menjabarkan bagaimana
Nubia merupakan wilayah yang miskin. Oleh sebab itu, Dinasti Ayyubiyah (seperti
pendahulu mereka, Fatimiyah) tidak mencoba memperluas wilayahnya ke selatan,
tetapi mereka menuntut Nubia untuk menjaga Aswan dan Mesir Hulu.[18] Garnisun
Ayyubiyah di Ibrim kemudian ditarik pulang ke Mesir pada tahun 1175.[19]
Pada tahun 1174, Syarifuddin Qaraqusy, seorang komandan yang mengabdi kepada al-
Muzaffar Umar, berhasil menaklukan Tharabulus dari bangsa Norman dengan
mengerahkan pasukan yang terdiri dari prajurit Turki dan Badui.[17][20] Kemudian, ketika
pasukan Ayyubiyah sedang disibukkan oleh perang melawan Tentara Salib di
wilayah Syam, pasukan Ayyubiyah yang dipimpin oleh Syarafuddin berhasil merebut
kota Kairouan dari Muwahhidun pada tahun 1188.[17]
Perang Salib Ketiga
Paus Gregorius VIII menyerukan Perang Salib Ketiga melawan kaum Muslimin pada
awal tahun 1189. Friedrich Barbarossa dari Kekaisaran Romawi Suci, Philippe
Auguste dari Prancis, dan Richard I dari Inggris membentuk persekutuan dengan tujuan
untuk menaklukkan kembali Yerusalem. Tentara Salib bertarung melawan pasukan
Ayyubiyah di dekat Akko pada tahun yang sama, dan bala bantuan dari Eropa
kemudian tiba. Dari tahun 1189 hingga 1191, Akko dikepung oleh Tentara Salib.
Meskipun pasukan Muslim pada awalnya cukup berhasil, kota tersebut pada akhirnya
jatuh ke tangan pasukan Raja Richard. Kemudian terjadi pembantaian 2.700 warga
Muslim, dan Tentara Salib lalu berencana merebut Ashkelon di selatan.[46]
Tentara Salib yang dipimpin oleh Raja Richard berhasil mengalahkan Salahuddin
dalam Pertempuran Arsuf, alhasil Tentara Salib dapat menaklukkan Jaffa dan sebagian
besar wilayah pesisir Palestina, tetapi mereka tak dapat merebut kembali wilayah-
wilayah pedalaman. Raja Richard lalu menandatangani sebuah perjanjian dengan
Salahuddin pada tahun 1192 yang mendirikan kembali Kerajaan Yerusalem di wilayah
pesisir yang terletak di antara Jaffa dan Beirut. Perang ini merupakan perang besar
terakhir pada masa hidup Salahuddin, dan ia menjemput ajalnya satu tahun kemudian
pada tahun 1193.
Kebangkitan Mamluk dan lepasnya wilayah Mesir
Pada tahun 1248, armada Tentara Salib yang terdiri dari 1.800 perahu dan kapal
mendatangi pulau Siprus dengan maksud untuk menaklukkan Mesir sebagai bagian
dari Perang Salib Ketujuh. Komandan mereka, Louis IX, mencoba mengajak
bangsa Mongol melancarkan serangan yang terkoordinasi ke Mesir, tetapi ajakan
tersebut tidak membuahkan hasil. Maka Tentara Salib memutuskan untuk berlayar ke
Dimyath dan penduduk setempat langsung melarikan diri setelah mereka mendarat.
ash-Shalih Ayyub sendiri sedang berada di Syam pada saat itu. Setelah mendengar
kabar mengenai serangan tersebut, ia bergegas kembali ke Mesir, tetapi ia tidak
mendatangi Dimyath. Ia pergi ke Manshurah dan di situ ia mengumpulkan pasukan
yang melancarkan serangan-serangan untuk mengganggu Tentara Salib.[67]
Ash-Shalih Ayyub jatuh sakit dan kesehatannya makin menurun akibat tekanan dari
Tentara Salib. Istrinya yang bernama Syajaruddur menyerukan pertemuan para
panglima dan kemudian ia menjadi panglima tertinggi pasukan Mesir. Syajaruddur
memerintahkan agar Mansurah dibentengi, dan juga agar persediaan-persediaan
ditimbun di tempat tersebut. Selain itu, ia menitahkan agar pasukan Mesir dipusatkan di
Mansurah, dan ia juga mengatur armada Mesir dan menempatkannya di berbagai
tempat strategis di sepanjang Sungai Nil. Maka upaya Tentara Salib untuk merebut
Mansurah berhasil dipatahkan, dan Raja Louis tiba-tiba menghadapi situasi yang
genting. Ia memutuskan untuk menyeberangi Sungai Nil dan melancarkan serangan
kejutan terhadap Mansurah. Sementara itu, ash-Shalih Ayyub tutup usia. Walaupun
begitu, panglima-panglima Mamluk Bahri yang tunduk kepada Syajaruddur dan as-Salih
Ayyub (termasuk Ruknuddin Baibars dan Aybak) melancarkan serangan balasan dan
menimbulkan korban jiwa yang besar di pihak Tentara Salib. Pada saat yang sama,
pasukan Mesir memutus jalur persediaan Tentara Salib dari Dimyath, sehingga bala
bantuan tidak dapat didatangkan. Anak laki-laki As-Salih Ayyub yang baru saja
dinyatakan sebagai sultan Ayyubiyah yang baru, al-Mu'azzam Turansyah, juga berhasil
mencapai Mansurah pada saat itu dan semakin memperhebat pertempuran melawan
Tentara Salib. Tentara Salib akhirnya menyerah dalam Pertempuran Fariskur, dan Raja
Louis dan para pengikutnya ditangkap.[68]
Setelah berhasil mengalahkan Tentara Salib, hubungan Al-Mu'azzam Turansyah
dengan Mamluk semakin memburuk, dan Turansyah berulang kali mengancam mereka
dan Syajaruddur. Kelompok Mamluk tidak ingin kehilangan kekuasaan mereka,
sehingga mereka memberontak melawan sultan dan menghabisi nyawanya pada April
1250.[47] Aybak menikahi Syajaruddur dan kemudian memerintah Mesir sebagai
perantara Sultan al-Asyraf II. Walaupun al-Asyraf II merupakan sultan Ayyubiyah secara
resmi, statusnya hanya berupa gelar saja.[69]
Pemerintahan
Struktur

Sebuah koin Ayyubiyah yang dicetak di Aleppo dengan nama


Amir al-Zahir
Salahuddin membentuk struktur pemerintahan yang berasaskan kedaulatan kolektif: ia
membentuk sebuah konfederasi yang terdiri dari berbagai wilayah yang disatukan oleh
gagasan pemerintahan keluarga. Berdasarkan sistem ini, terdapat sejumlah "sultan
kecil", sementara salah satu anggota keluarga Ayyubiyah akan menjadi as-Sultan al-
Mu'azzam, yaitu pemegang jabatan tertinggi. Setelah kematian Salahuddin, jabatan
yang amat didambakan tersebut diperebutkan oleh anggota keluarga Ayyubiyah.
Persaingan yang terjadi di antara anggota Bani Ayyubiyah di Mesir dan Syam menjadi
begitu sengit sampai-sampai salah satu dari antara mereka kadang-kadang akan
bekerja sama dengan Tentara Salib.[84] Kedua wilayah itu sendiri memiliki gaya
pemerintahan yang berbeda. Di Syam, setiap kota besar diperintah oleh seorang
anggota keluarga Ayyubiyah yang relatif independen, sementara di Mesir, terdapat
tradisi pemerintahan tersentralisasi yang memungkinkan kendali langsung atas
provinsi-provinsi lain dari ibu kota di Kairo.[85] Namun, Kekhalifahan Abbasiyah di
Baghdad masih memegang hegemoni di wilayah Ayyubiyah, terutama di Asia Barat
Daya. Contohnya, hakim kepala Damaskus masih diangkat oleh Abbasiyah pada masa
kekuasaan Ayyubiyah.[84]
Kekuasaan politik terpusat di rumah tangga Ayyubiyah yang tidak hanya terikat oleh
hubungan darah; budak dan orang-orang terdekat dapat memperoleh kekuasaan yang
besar atau bahkan yang tertinggi. Seringkali ibu kandung seorang penguasa Ayyubiyah
yang masih muda bertindak secara independen atau bahkan sebagai penguasa.
Para kasim juga memiliki kekuasaan yang besar di Ayyubiyah. Mereka berperan
sebagai pengiring dan atabeg di dalam rumah tangga atau sebagai amir dan panglima
pasukan di luar rumah tangga. Salah satu pendukung Salahuddin yang paling penting
adalah kasim Bahauddin bin Syaddad yang membantunya melengserkan Fatimiyah,
merampas harta benda mereka, dan membangun tembok benteng Kairo.
Sepeninggalan al-Aziz Utsman, Bahauddin menjadi wali anak laki-laki Utsman, al-
Mansur, sehingga ia sempat menguasai Mesir hingga al-Adil naik ke tampuk
kekuasaan. Sultan-sultan berikutnya mengangkat kasim sebagai wali sultan dan
bahkan menganugerahi mereka dengan kedaulatan atas kota-kota tertentu, seperti
Syamsuddin Sawab yang dianugerahi kota Amid dan Diyar Bakr pada tahun 1239.[86]
Dalam sistem pemerintahan dinasti Ayyubiyah, terdapat tiga cara utama dalam
merekrut elit-elit terdidik yang diperlukan untuk memerintah kota-kota. Cara pertama
adalah dengan memberikan dukungan ekonomi dan politik kepada para syekh yang
mengabdi kepada keluarga penguasa Ayyubiyah di tingkatan daerah. Cara lainnya
adalah dengan memberikan kepada para syekh pendapatan yang diperoleh diwan,
yakni badan pemerintahan negara. Metode ketiga adalah dengan
memberikan wakaf kepada para syekh.[87] Seperti negara-negara pendahulunya, Dinasti
Ayyubiyah hanya memiliki segelintir lembaga negara. Untuk membentuk ikatan dengan
elit-elit terdidik di kota-kota Ayyubiyah, mereka menjalankan praktik patronase. Praktik
pemberian wakaf kepada golongan elit mirip dengan pemberian fief (iqta'at) kepada
para panglima. Dengan ini, Dinasti Ayyubiyah dapat merekrut elit yang bergantung
kepada mereka, tetapi tidak terhitung sebagai bawahan secara administratif.[88]
Setelah berhasil menaklukkan Yerusalem pada tahun 1187, Dinasti Ayyubiyah di bawah
pemerintahan Salahuddin mungkin merupakan negara pertama yang menciptakan
jabatan amir al-hajj (panglima peziarahan) untuk melindungi karavan Haji tahunan yang
bertolak dari Damaskus ke Mekkah, dan Salahuddin menganugerahkan jabatan
tersebut kepada Tughtakin bin Ayyub.[89]
Pusat pemerintahan
Pusat pemerintahan Ayyubiyah dari masa pemerintahan Salahuddin pada dasawarsa
1170-an hingga akhir masa pemerintahan al-Adil pada tahun 1218 terletak di kota
Damaskus. Kota tersebut lebih strategis dalam upaya untuk mengalahkan Tentara
Salib, dan juga memungkinkan sultan mengawasi bawahan-bawahannya yang cukup
ambisius di Syam dan al-Jazira. Kairo terlalu jauh untuk dijadikan pangkalan operasi,
tetapi kota tersebut merupakan landasan ekonomi Dinasti Ayyubiyah. Maka dari itu,
kota ini merupakan wilayah yang sangat penting.[84] Ketika Salahuddin dinyatakan
sebagai sultan di Kairo pada tahun 1171, ia memilih Istana Barat Kecil yang dibangun
oleh Fatimiyah (bagian dari kompleks istana yang lebih besar di Kairo yang terpisah
dari perkotaan) sebagai pusat pemerintahan. Salahuddin sendiri tinggal di bekas istana
wazir Fatimiyah, Turansyah menetap di bekas tempat tinggal pangeran Fatimiyah, dan
ayah mereka menduduki Anjungan Mutiara yang berada di luar Kairo dan menghadap
ke terusan kota. Sultan-sultan Ayyubiyah berikutnya di Mesir tinggal di Istana Barat
Kecil.[90]
Setelah al-Adil I memperoleh kekuasaan di Kairo, dimulailah persaingan antara kota
Damaskus dan Kairo untuk menjadi ibu kota Dinasti Ayyubiyah. Pada masa kekuasaan
al-Adil dan al-Kamil, Damaskus masih menjadi provinsi otonom dan penguasanya
berhak memilih penerus mereka sendiri, tetapi pada masa kepemimpinan as-Salih
Ayyub, kampanye-kampanye militer melawan Syam mengakibatkan penurunan status
Damaskus menjadi vasal Kairo.[91] Selain itu, Ayyub menetapkan aturan-aturan
pemerintahan yang baru untuk melakukan sentralisasi terhadap rezimnya; ia
memberikan jabatan-jabatan terpenting kepada orang-orang terdekatnya dan bukan
kepada kerabat-kerabat Ayyubiyahnya. Sebagai contoh, istrinya yang bernama
Syajaruddur mengurus pemerintahan di Mesir ketika Ayyub sedang berada di Syam.
Ayyub mendelegasikan kekuasaannya kepada anaknya yang sudah meninggal, Khalil,
dan Syajaruddur secara resmi bertindak atas nama Khalil.[92]
Ekonomi
Setelah berhasil mengusir Tentara Salib dari sebagian besar wilayah Syam, Dinasti
Ayyubiyah memberlakukan kebijakan perdamaian dengan mereka. Perang melawan
Tentara Salib juga sama sekali tidak menghentikan hubungan dagang dengan negara-
negara Eropa. Malahan hubungan ekonomi di antara mereka bermanfaat bagi kedua
belah pihak, khususnya dalam bidang pertanian dan perdagangan.[110]
Dinasti Ayyubiyah telah mengambil berbagai tindakan untuk meningkatkan produksi
pertanian. Terusan-terusan digali untuk menyediakan irigasi di berbagai wilayah
kekaisaran. Pembudidayaan tebu secara resmi didukung untuk memenuhi permintaan
yang besar dari penduduk setempat maupun dari bangsa Eropa. Sementara itu, akibat
Perang Salib, berbagai jenis tanaman dari wilayah Ayyubiyah menyebar ke Eropa,
seperti wijen, tanaman kharub, milet, beras, lemon, melon, aprikot, dan bawang merah.
[110]

Faktor utama yang memperkuat industri dan perdagangan di Dinasti Ayyubiyah adalah
ketertarikan bangsa Eropa terhadap barang-barang baru yang mereka temui saat
sedang berhubungan dengan kaum Muslim. Komoditas-komoditas tersebut meliputi
dupa, wewangian, dan tanaman aromatik dari Arabia dan India, serta jahe, tawas,
dan lidah buaya. Bangsa Eropa juga tertarik dengan gaya busana dan perabotan yang
baru. Permadani, karpet, dan dewangga yang dibuat di Timur Tengah dan Asia
Tengah mulai diperkenalkan di dunia Barat berkat hubungan antara Tentara Salib
dengan Ayyubiyah. Para peziarah Kristen yang mengunjungi Yerusalem kembali
dengan membawa tempat penyimpanan pusaka buatan Arab. Selain itu, karya-karya
seni dari timur yang terbuat dari berbagai macam bahan (seperti kaca, tembikar, emas,
atau perak) bernilai tinggi di Eropa.[110]
Permintaan dari Eropa terhadap produk-produk pertanian dan komoditas-komoditas
industri telah menggairahkan perdagangan internasional. Dinasti Ayyubiyah berperan
penting dalam hal ini, karena mereka menguasai jalur dagang di Laut Merah yang
melewati pelabuhan-pelabuhan di Yaman dan Mesir.[110] Walaupun Dinasti Ayyubiyah
bekerja sama dengan Republik Genova dan Venesia di Laut Tengah, kedua negara
tersebut tidak dapat mengakses Laut Merah. Oleh sebab itu, Dinasti Ayyubiyah dapat
memperoleh keuntungan dari perdagangan di Samudra Hindia tanpa persaingan kedua
negeri pedagang tersebut. Di Laut Tengah, Dinasti Ayyubiyah sangat diuntungkan dari
pajak dan komisi yang mereka pungut dari para pedagang Italia.[111]
Seiring dengan perkembangan perdagangan internasional, asas-asas dasar kredit dan
perbankan mulai dikembangkan. Para pedagang Yahudi dan Italia memiliki agen-agen
perbankan di Syam yang melaksanakan transaksi bisnis. Wesel juga digunakan untuk
bertransaksi, sementara uang disimpan di bank-bank di Syam. Kegiatan perdagangan
dan industri telah memasok dana yang diperlukan oleh sultan-sultan Ayyubiyah untuk
memenuhi kebutuhan perbelanjaan militer serta untuk pembangunan. Pada masa
kekuasaan al-Adil dan al-Kamil, pemerintah sangat memperhatikan kondisi ekonomi
negara. Al-Kamil bahkan sangat ketat dalam mengatur pengeluaran negara; konon saat
ia menjemput ajalnya, ia meninggalkan kas yang nilainya setara dengan anggaran
setahun penuh.[111]
Pendidikan
Para penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan mereka
mendukung kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun di wilayah
Ayyubiyah tidak hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk menyebarkan agama
Islam Sunni. Menurut Ibnu Jubayr, kota Damaskus pada masa pemerintahan
Salahuddin memiliki 20 madrasah, 100 tempat pemandian, serta biara-
biara darwis Sufi dalam jumlah yang besar. Ia juga membangun madrasah-madrasah di
Aleppo, Yerusalem, Kairo, Iskandariyah, dan berbagai kota di Hijaz. Banyak pula
madrasah yang dibangun oleh para penerusnya. Bahkan istri para penguasa
Ayyubiyah, para panglima, dan para bangsawan juga ikut mendirikan dan mendanai
sejumlah lembaga pendidikan.[111]
Meskipun para penguasa Ayyubiyah mengikuti mazhab Syafi'i, mereka juga
membangun madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum Bani
Ayyubiyah berkuasa, tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan Maliki di Syam,
tetapi Bani Ayyubiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mazhab-
mazhab tersebut. Pada pertengahan abad ke-13, Ibnu Syaddad mendirikan 40
madrasah Syafi'i, 34 madrasah Hanafi, 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah Maliki
di Damaskus.[112]
Setelah Salahuddin menegakkan kembali agama Sunni di Mesir, 10 madrasah didirikan
di Kairo pada masa kekuasaannya, ditambah dengan 25 madrasah lainnya pada masa
penguasa-penguasa setelah Salahuddin. Madrasah-madrasah tersebut didirikan di
tempat yang penting dari segi ekonomi, politik, dan agama, khususnya madrasah yang
terletak di al-Fusthath. Sebagian besar dari madrasah-madrasah tersebut merupakan
madrasah bermazhab Syafi'i, tetapi ada pula yang mengikuti mazhab Maliki dan Hanafi.
Madrasah yang dibangun di dekat makam Imam Asy-Syafi'i terletak bersebelahan
dengan pusat peziarahan Sunni.[113]
Selain dirintis oleh para penguasa, sejarah mencatat bahwa para pejabat tinggi di
Dinasti Ayyubiyah membangun 26 madrasah di Mesir, Yerusalem, dan Damaskus.
Rakyat jelata juga mendirikan sekitar 18 madrasah di Mesir, termasuk dua lembaga
medis, padahal pembangunan madrasah oleh rakyat jelata merupakan hal yang tidak
lazim pada masa itu. Sebagian besar madrasah di Dinasti Ayyubiyah mewajibkan guru
dan siswanya untuk tinggal di asrama. Para guru di madrasah tersebut merupakan ahli
fikih dan akidah, dan mereka mendapatkan gaji dari madrasah tempat mereka bekerja.
Sementara itu, para siswa di madrasah tidak hanya mendapatkan tempat tinggal, tetapi
juga memperoleh bimbingan dari guru untuk bidang yang ingin mereka kuasai serta
uang saku untuk memenuhi segala kebutuhan. Madrasah dianggap sebagai lembaga
yang bergengsi di Dinasti Ayyubiyah. Pada masa itu, orang yang ingin menjadi pejabat
di pemerintahan harus lulus dari madrasah terlebih dahulu.[112]
Ilmu pengetahuan
Berkat dukungan yang diberikan oleh Dinasti Ayyubiyah, kegiatan intelektual kembali
bangkit di wilayah yang dikuasai oleh Ayyubiyah. Para cendekiawan di Ayyubiyah
sangat berminat pada bidang kedokteran, farmakologi (ilmu obat-obatan),
dan botani (ilmu tanaman). Salahuddin membangun dua rumah sakit di Kairo yang
mengikuti Rumah Sakit Nuri di Damaskus; rumah sakit tersebut tak hanya merawat
pasien, tetapi juga menawarkan pendidikan medis. Banyak ilmuwan dan dokter yang
telah berkiprah di Mesir, Syam, dan Irak pada zaman Ayyubiyah. Beberapa dari antara
mereka adalah Moshe ben Maimon ("Maimonides"), Ibnu Jami, Abdullatif al-
Baghdadi, ad-Dakhwar, Rasyidun as-Suri, dan Ibnu al-Baithar. Beberapa cendekiawan
mengabdi kepada keluarga penguasa Ayyubiyah secara langsung, dan bahkan ada
juga yang menjadi dokter pribadi sultan.[114]
Arsitektur
Pencapaian arsitektur terbesar pada zaman Ayyubiyah adalah arsitektur militernya,
ditambah dengan pembangunan madrasah-madrasah Sunni untuk memperkuat agama
tersebut (khususnya di wilayah Mesir yang sebelumnya didominasi oleh Syiah).
Perubahan terbesar yang diberlakukan oleh Salahuddin di Mesir adalah dengan
menutup Kairo dan al-Fusthath di dalam tembok kota.[115] Beberapa teknik
perbentengan dipelajari dari Tentara Salib, seperti tembok luar yang mengikuti topografi
alami. Banyak juga teknik yang diwarisi dari Fatimiyah, seperti makikolasi dan menara
bundar, sementara teknik-teknik lainnya dikembangkan sendiri oleh Ayyubiyah,
khususnya perencanaan konsentrik.[116]
Wanita Muslim (terutama dari keluarga Ayyubiyah), keluarga gubernur setempat, dan
keluarga ulama turut serta dalam mengembangkan arsitektur Ayyubiyah. Di Damaskus,
wanita menjadi pendukung proyek-proyek arsitektur keagamaan. Berkat dukungan dari
mereka, telah dibangun lima belas madrasah, enam khanqah Sufi, dan dua puluh enam
lembaga amal dan keagamaan di kota tersebut. Di Aleppo, Madrasah al-Firdaus, yang
dikenal sebagai salah satu mahakarya Ayyubiyah di Syam, didukung pembangunannya
oleh ratu Dhaifa Khatun.[117]
Pada September 1183, pembangunan Benteng Kairo dimulai atas perintah dari
Salahuddin. Menurut al-Maqrizi, Salahuddin memilih Perbukitan Muqattam sebagai
tempat pembangunan benteng tersebut karena udara di sana lebih segar daripada
tempat lainnya di Kairo. Namun, pembangunannya tidak semata-mata didasarkan pada
udara yang menyegarkan, tetapi untuk keperluan pertahanan. Tembok dan menara di
bagian utara benteng tersebut kebanyakan dibangun pada masa kekuasaan
Salahuddin dan al-Kamil.[115] Pembangunan benteng tersebut diselesaikan pada masa
kepemimpinan Al-Kamil. Ia memperkuat dan memperbesar beberapa menara yang
sudah ada, seperti dua menara dari masa kekuasaan Salahuddin (Burg al-Haddad dan
Burg al-Ramla) yang diperbesar dengan menutupinya dengan struktur berbentuk
setengah lingkaran. Al-Kamil juga menambahkan beberapa menara berbentuk persegi
yang berfungsi sebagai menara benteng. Menurut Richard Yeomans, struktur paling
menakjubkan yang dibangun oleh al-Kamil adalah sejumlah menara benteng raksasa
berbentuk persegi panjang yang berada di tembok utara.[118] Perbentengan yang
dibangun oleh al-Kamil memiliki ciri khas berupa batu-batuannya yang tampak
menonjol, sementara menara-menara buatan Salahuddin memiliki bebatuan yang
terlihat halus. Gaya bebatuan yang menonjol merupakan ciri khas benteng-benteng
Ayyubiyah lainnya, seperti yang dapat ditemui pada Benteng Damaskus dan Busra di
Syam.[113]
Kota Aleppo mengalami perubaan besar pada zaman Ayyubiyah, khususnya pada
masa pemerintahan az-Zahir Ghazi. Tembok di kota tersebut mulai dirombak ulang
setelah az-Zahir Ghazi merobohkan vallum dari zaman Nuruddin dan membangun
ulang tembok utara dan barat laut (tempat yang paling rentan diserang) yang
terbentang dari Gerbang Bab al-Jinan hingga Bab an-Nasr. Ia membagi-bagikan tugas
pembangunan menara di bagian tembok ini kepada para pangeran dan perwira
militernya; nama pangeran yang terkait dengan pembangunan suatu menara ditorehkan
di menara tersebut. Kemudian, az-Zahir Ghazi memperluas tembok timur sampai ke
arah selatan dan timur, dan tindakan ini menunjukkan keinginannya untuk
menggabungkan benteng Qala'at al-Syarif yang sudah lapuk di luar tembok kota
Aleppo.[119] Gerbang Bab Qinnasrin dibangun ulang oleh an-Nasir Yusuf pada tahun
1256. Gerbang tersebut masih berdiri saat ini dan merupakan salah satu mahakarya
arsitektur militer Ayyubiyah.[120] Secara keseluruhan, pembangunan yang diprakarsai
oleh Bani Ayyubiyah sangat mengubah wajah kota Aleppo. Bentengnya dibangun
ulang, fasilitas penyediaan air diperluas, dan air mancur dan tempat pemandian juga
dibangun di jalanan dan berbagai daerah kota. Selain itu, puluhan tempat suci, masjid,
madrasah, dan makam dibangun di berbagai tempat di Aleppo.[121]
Setelah kota Yerusalem berhasil dikuasai oleh Salahuddin, pemerintah Ayyubiyah
menggelontorkan dana yang besar untuk membangun rumah, pasar, tempat
pemandian umum, dan penginapan untuk para peziarah. Sejumlah pengerjaan juga
dilakukan di Al Haram Asy Syarif.[122] Salahuddin memerintahkan agar seluruh tembok
dalam dan tiang di Kubah Shakhrah dilapisi dengan pualam, dan ia juga memprakarsai
renovasi mosaik di bagian penopang kubah. Mihrab masjid al-Aqsa diperbaiki, dan
pada tahun 1217, al-Mu'azzam Isa membangun serambi utara masjid yang dilengkapi
dengan tiga gerbang.[123] Kubah Mi'raj juga dibangun, sementara pemugaran dilakukan
terhadap kubah-kubah yang berdiri sendiri di Al Haram Asy Syarif.[124]

Anda mungkin juga menyukai