SKI
Nama Guru :
H.Masykur M.PD.I
Di susun oleh :
1. Syifaria Deamoza
TA. 2022/2023
PERADABAN ISLAM
Pendahuluan
Sekarang, etnis Kurdi menyebar di banyak negara, di antaranya Mesir, Irak, Israel,
Yordania, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Turki dan
Yaman. Problema Kurdi kontemporer adalah kisah suku bangsa tanpa negara. Mereka
tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan
bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.
Dinasti Ayyubiyah adalah yang terbesar dari suku Kurdi yang memerintah di dunia
Islam. Umur dinasti ini tercatat selama 2 abad lebih, namun kekuasan efektifnya hanya
berlangsung selama 79 tahun (1175-1254 M) dengan kekuasaan efektif di wilayah
Mesir. Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun 1299, dan
Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310, sultan
Mamluk an-Nasir Muhammad memberikan Hamat kepada salah satu anggota Dinasti
Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, Abu al-Fida. Abu al-Fida
wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, al-Afdhal Muhammad. Hubungan
al-Afdhal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia dicabut
dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai oleh Mamluk
Secara berturut ibukota Dinasti Ayyubiyah ini berpindah-pindah dari Kairo (1171–
1174 M), Damaskus (1174–1218 M), kembali ke Kairo (1218–1250 M), terakhir di
Aleppo (1250–1260). Dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di
Baghdad sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.
Selanjutnya, kekuasaan Ayyubiah berkembang hingga ke Yaman, Palestina dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Ayyubiyah dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadi dari suku Rawadiyah
yang beretnis Kurdi.5 Najmuddin Ayub adalah saudara Asasuddin Syirkuh. Meskipun
demikan, Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi6 pada tahun 1171 M
setelah menaklukkan al Adiid (1160-1171 M), khalifah terakhir Bani
Fatimiyah.7Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Tikrit, Irak, pada
tahun 532 H (1136 M). Sebagaimana ayahnya yang menjadi pejabat bagi Imaduddin
pada masa Dinasti Zanki,8 Salahuddin juga mengikuti jejak ayahnya bersama pamannya
Asaduddin Syirkuh untuk mengabdi pada Nuruddin Zanki. 9Keluarga Salahuddin berjasa
besar pada keberhasilan Nuruddin dalam menggabungkan Damaskus ke wilayahnya.
Pada saat Syawar, wazir bagi Khalifah al-Adid dari Dinasti Fatimiyah memohon bantuan
kepada Nuruddin agar dapat menduduki jabatan wazir, maka Nuruddin mengirimkan
Syirkuh dan Salahuddin ke Mesir. Misi berhasil dilaksanakan dan bahkan Syirkuh
kemudian menggantikan Syawar sebagai wazir. Tapi, tidak seberapa lama, Syirkuh juga
meninggal. Sehingga, jabatan wazir diserahkan kepada Salahuddin. 10
Salahudin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan
Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup
sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir
mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam
beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk
posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki
kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah Al-Adid
yang dinilai sebagai khalifah yang lemah.
Setelah al Adid wafat pada tahun 1171 M, kekuasaan Bani Fatimiyah dianggap
selesai. Salahuddin kemudian diangkat menjadi penguasa (Imam) mesir dengan status
sebagai wakil pemerintah Saljuk di Mesir. Setelah kematian Nuruddin Zanki pada tahun
1174 M, barulah Salahuddin Al Ayyubi mengumumkan berdirinya Dinasti Ayyubiyah di
Mesir sebagai pengganti Dinasti Fathimiyah yang sudah dihapuskan.11
Secara umum, dunia Islam pada waktu itu sedang disibukkan dengan Perang Salib.
Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah serta berbagai dinasti yang terpisah dihadapkan pada
satu musuh bersama (common enemy) yaitu kekuatan Kristen Eropa.
Tidak mengherankan, nama Salahuddin al Ayyubi sangat dikenal di dunia Islam dan di
negeri-negeri Eropa.
Birokrasi dan jabatan militer Dinasti Ayyubiyah pada umumnya diisi orang Kurdi,
Turki, dan orang-orang dari Kaukasus. Para prajurit Ayyubiyah, kebanyakan terdiri dari
orang-orang Kurdi dan Turki. Selain itu, terdapat pasukan berbangsa Arab, bekas satuan-
satuan Fatimiyah yang pernah dipimpin oleh Salahuddin ketika mengabdi sebagai
panglima Bani Fathimiyah, serta kontingenkontingen pasukan Arab yang terpisah
(khususnya dari suku Kinaniya, yang biasanya ditugaskan untuk mempertahankan
Mesir). Pasukan Kurdi dan Turki kadang-kadang saling bersaing memperebutkan
jabatan militer, dan menjelang akhir kekuasaan Ayyubiyah, jumlah pasukan Turki jauh
lebih besar daripada Kurdi. Walaupun para sultan Ayyubiyah memiliki latar belakang
Kurdi, mereka tetap berlaku adil terhadap kedua kelompok tersebut. 12
Ayyub al-Muazzam
Turanshah, anNasir Yusuf
Aleppo 1177– : Az-Zahir Ghazi, al-Aziz
1260 Muhammad,
Muhammad
Jazira 1180– : Al-Awhad Ayyub, al-Ashraf
1260 Musa, alMuzaffar Ghazi, al-
Kamil Muhammad
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Dinasti Ayyubiyah berkuasa dan
mengembangkan peradaban Islam. Di tengah keadaan yang sulit tersebut, Dinasti
Ayyubiah sempat mencapai masa keemasannya. Selain sosok Salahuddin al Ayyubi,
Para penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar dalam bidang
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tak heran jika kota-kota Islam yang
dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat pengembangan peradaban dunia pada masanya.
Beberapa kemajuan yang dapat dituliskan antara lain sebagai berikut:
1. Bidang Politik
Selain itu, beberapa kota penting seperti Aleppo, Suriah, Mesir dan Palestina
berhasil ia satukan dalam penguasaan Dinasti Ayyubiyah. Kota-kota ini berkembang
menjadi basis perlawananan melawan tentara Salib. Selain itu, kota-kota tersebut juga
dibangun menjadi pusat-pusat terpenting pengembangan ilmu dan peradaban Islam.
Sekilas, kebijakan ini terlihat pro Sunni dan mewakili pribadi Shalahudin yang
notabene pengikut Sunni. Namun, kebijakan ini justru penting karena faktanya
muslim Mesir justru hidup dalam dualisme mazhab yang pada taraf tertentu
membawa kepada sikap talfiq21 yang justru ditolak oleh mayoritas penganut Sunni.
Implementasi kebijakan ini semakin jelas terlihat ketika ia Qadhi yang bermazhab
Syi’ah menjadi Sunni dan mendirikan madrasah yang mengajarkan fikih Syafi’i
seperti Madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah dan Salahiyah di Yerusalem dan
Damaskus.22
Sementara dalam bidang hubungan antar agama, Salahuddin dan para penerusnya
menempatkan diri menjadi pelindung bagi umat Nasrani dan Yahudi, terutama di
Yerusalem atau Baitul Maqdis, lokasi yang menjadi sumber persaingan selama
Perang Salib. Pada tahun 1192, Salahuddin dan Richard I, Raja Inggris yang bergelar
si Hati Singa (Lion Heart) membuat perjanjian, bahwa kaum muslimin tetap akan
memiliki Yerusalem, namun orang Islam akan melindungi tempat ibadah orang
Kristen, membiarkan orang Kristen hidup di kota itu menjalankan iman mereka tanpa
gangguan dan membiarkan para peziarah Kristen datang dan pergi sesuka
mereka.23Perjanjian ini menjadi dasar kebijakannya dalam bidang hubungan antar
agama. Kebijakan inilah yang membuat Yerusalem dalam waktu yang lama berada
dalam kekuasaan umat Islam, hingga perang dunia I (1914).
3. Ilmu Pengetahuan
4.Kebudayaan
5.Arsitektur
Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor
intern juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah
adanya perselisiah di kalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan.
Sedangkan faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena kebangkitan Dinasti
Mamluk yang menyebabkan terbunuhnya Sultan al Ma’azzam Turansyah (1250 M) serta
serangan bangsa Mongol.
Profil Sultan Salahuddin Al-Ayyubi
Salahuddin Al Ayyubi adalah seorang jenderal dan pejuang Islam yang berasal
dari Tikrit, sebelah utara Irak saat ini.orang-orang Eropa mengenalnya sebagai Saladin,
seorang jenderal hebat yang gagah berani memerangi tentara Salib. Selain itu,
Salahuddin Al Ayyubi dikenal sebagai pendiri Dinasti Ayyubiyah, yang kekuasaannya
meliputi Mesir, Suriah, Mekkah, Madinah, sebagian Yaman, Irak, dan Palestina.
Kehidupan awal
Salahuddin Al Ayyubi lahir di benteng Tikrit, Irak, pada 532 H/1138 M ketika
ayahnya, Najmuddin Ayyub, menjadi penguasa Seljuk di Tikrit di bawah Imaduddin
Zanki, gubernur Seljuk untuk Kota Mosul di Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut
wilayah Baalbek di Lebanon pada 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub diangkat menjadi
gubernurnya.
Al-Adhim Lahir di Allepo pada 1219, Ibnu Al-Adhim menuntut ilmu hingga ke
Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz, dan Irak. Ia pernah bekerja di istana Dinasti
Ayyubiyah pada masa Amir Al Aziz dan An-Najir di Allepo.
Al-Adhim pula yang dikenal sebagai ilmuwan muslim Dinasti Ayyubiyah yang
pernah menjadi duta besar di Bagdad dan Kairo pada masa Amir Al Aziz dan An-Najir.
Al-Adhim diketahui menerbitkan beberapa karya fenomenal, dua di antaranya adalah
Zubdah al hallab min tarikh Hallaba dan Bughyah at Thalib fi Tharikh Halaba. Kitab
tersebut berisi tentang sejarah Allepo/Halaba yang terdiri dari 10 jilid.
Ibnu al-Nafis Ibnu al-Nafis adalah seorang ilmuwan yang mendeskripsikan secara
detail terkait peredaran darah manusia. Selain itu, tokoh yang lahir di Damaskus pada
1210 ini juga menjadi orang yang mengemukakan teori pembuluh darah kapiler.
Ibnu Al-Qifti Ibnu Al-Qifti adalah ilmuwan Muslim bidang sejarah pada masa
Dinasti Ayyubiyah yang juga menjabat di pemerintahan. Setelah meninggalnya
Salahuddin Al-Ayyubi, ia pergi ke Allepo dan diangkat menjadi pejabat keuangan oleh
Al-Malik Al-Zhahir. Selama menjadi pejabat di Allepo, Ibnu Al-Qifti mulai
mencurahkan perhatiannya pada dunia kepenulisan. Ia telah melahirkan sebanyak 26
judul karya tulis, beberapa di antaranya adalah Inabah Al-Ruwat ala Anbah Al-Nuhat,
Tarikh Al-Yaman, dan Al-Kalam ala Al-Muwaththa.
Al-Bushiri Salah satu ilmuwan Muslim yang turut mendorong kebudayaan Islam
pada masa Dinasti Ayyubiyah adalah Al-Bushiri. Ia adalah seorang Sufi besar yang
menjadi pengikut Thariqat Syadziliyah dan Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-
Syadzily. Al-Bushiri sangat menonjol dalam bidang sastra, di mana ia menghasilkan
karya terkenal berjudul Kasidah Burdah. Beberapa puisinya diciptakan sebagai pujian
kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang ahli fikih,
ilmu kalam, dan ahli tasawuf.
Syams al Din Ibnu Khalikan Syams al Din Ibnu Khalikan adalah seorang ilmuwan
Muslim Kurdi abad ke-13, yang terkenal dengan karya ensiklopedia biografi yang
berjudul Wafayat al-Ayan. Ibnu Khalikan mulai mengerjakan karyanya tersebut pada
1256, dan baru selesai pada 1274.
Kehadiran Ayyubiyah dalam sejarah Islam telah menyelamatkan dunia Islam dari
kebangkrutan kekuasaan dan peradaban selama berlangsungnya Perang Salib dan dalam
keadaan melemahnya kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, dari segi
politik Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol pemersatu dunia Islam
yang semestinya pada waktu itu harus diemban oleh Daulah Bani Abbasiyah.
Dijelaskan dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Mamluk oleh Dr.
Muhammad Suhail Thaqqus, para Mamluk, datang ke kawasan tersebut melalui jalur
tawanan perang atau pembelian budak. Masuknya mereka ke Mesir berlangsung tanpa
berhenti sejak akhir periode dinasti Abbasiyah. Seiring berjalannya waktu, mereka
sangat dominan dalam bidang militer dan politik. Kata “Mamluk” dalam bahasa Arab
adalah bentuk tunggal. Sedangkan bentuk jamaknya “Mamalik”. Yang berarti seorang
budak yang ditawan, namun orang tuanya tidak. Kalau budak yang orang tuanya juga
merupakan budak disebut “al-qin”. Dapat diartikan, Mamluk adalah budak yang
diperjualbelikan.
Dalam perjalanan selanjutnya, nama ini memiliki makna istilah khusus dalam
sejarah Islam. Sebab, sejak era Khalifah Abbasiyah Al-Makmun (198-218 Hijriyah atau
813-833 Masehi), lalu era Al-Mu’tashim (218-227 Hijriyah atau 833-842 Masehi), kata
ini menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok budak kulit putih.
Dijelaskan dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Mamluk oleh Dr.
Muhammad Suhail Thaqqus, para Mamluk, datang ke kawasan tersebut melalui jalur
tawanan perang atau pembelian budak. Masuknya mereka ke Mesir berlangsung tanpa
berhenti sejak akhir periode dinasti Abbasiyah. Seiring berjalannya waktu, mereka
sangat dominan dalam bidang militer dan politik.
Temui Teman Baru Berbulu di Sydney[, Dalam perjalanan selanjutnya, nama ini
memiliki makna istilah khusus dalam sejarah Islam. Sebab, sejak era Khalifah
Abbasiyah Al-Makmun (198-218 Hijriyah atau 813-833 Masehi), lalu era Al-Mu’tashim
(218-227 Hijriyah atau 833-842 Masehi), kata ini menjadi istilah yang digunakan untuk
menyebut kelompok budak kulit putih.Kamboja Bubarkan Aksi Protes di Dekat Kedubes
China
Para khalifah, panglima besar, dan gubernur Khilafah Abbasiyah membeli mereka
dari pasar-pasar budak ulit putih. Tujuannya, untuk digunakan membentuk kelompok
pasukan militer khusus. Pasukan ini menjadikan mereka sebagai penopang untuk
memperkuat pengaruh mereka.
Pertempuran Ain Jalut (atau Ayn Jalut dalam bahasa Arab: عين جالوتyang artinya
Mata Jalut) terjadi pada tanggal 3 September 1260 di Palestina antara Bani Mamluk
(Mesir) yang dipimpin oleh Qutuz dan Baibars berhadapan dengan tentara Mongol
pimpinan Kitbuqa.
Banyak ahli sejarah menganggap pertempuran ini termasuk salah satu pertempuran
yang penting dalam sejarah penaklukan bangsa Mongol di Asia Tengah di mana mereka
untuk pertama kalinya mengalami kekalahan telak dan tidak mampu membalasnya
dikemudian hari seperti yang selama ini mereka lakukan jika mengalami kekalahan.
Kemunduran dan Keruntuhan Dinasti Mamluk.
Setelah masa Baybar dan Qallawun, tidak ditemukan lagi figur sultan seperti mereka,
sehingga kondisi dinasti Mamluk pun menjadi memburuk dan puncaknya ketika Mesir
menjadi daerah kekuasaan Utsmani, setelah sultan Salim dari Utsmani berhasil
mengalahkan Tuman Bay (sultan terakhir Mamluk) di pertempuran 22 Juni 1517 M .
Pada bagian ini kita akan membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran
dan runtuhnya dinasti Mamluk, di sini penulis membagi faktor keruntuhan tersebut
menjadi empat.
1. Konflik perebutan kekuasaan
Konflik politik intern yang sebelumnya terjadi di keluarga Ayyubiyah, kembali terjadi
pada pemerintahan dinasti Mamluk. Kita dapat melihat konflik tersebut pada dua
periode yang berbeda.