Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

SKI

Nama Guru :

H.Masykur M.PD.I

Di susun oleh :

1. Syifaria Deamoza

2. Nadya Afitria Amanda Putri

MTs NEGERI 2 KOTA JAMBI

TA. 2022/2023
PERADABAN ISLAM

MASA DINASTI AYYUBIYAH (1171–1254 M)12

Pendahuluan

Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah (al-Ayyūbīyūn) adalah sebuah dinasti


Muslim Sunni beretnis Kurdi. Kurdi adalah sebuah kelompok etnis di Timur Tengah,
yang sebagian besar menghuni di suatu daerah yang kemudian dikenal sebagai
Kurdistan, meliputi bagian yang berdekatan dari Iran, Irak, Suriah, dan Turki. Orang
Kurdi adalah orang-orang Iran dan berbicara dalam bahasa Kurdi, yang merupakan
anggota bahasa Iran cabang dari Indo-Eropa.34

Sekarang, etnis Kurdi menyebar di banyak negara, di antaranya Mesir, Irak, Israel,
Yordania, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Turki dan
Yaman. Problema Kurdi kontemporer adalah kisah suku bangsa tanpa negara. Mereka
tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan
bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.

Dinasti Ayyubiyah adalah yang terbesar dari suku Kurdi yang memerintah di dunia
Islam. Umur dinasti ini tercatat selama 2 abad lebih, namun kekuasan efektifnya hanya
berlangsung selama 79 tahun (1175-1254 M) dengan kekuasaan efektif di wilayah
Mesir. Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun 1299, dan
Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310, sultan
Mamluk an-Nasir Muhammad memberikan Hamat kepada salah satu anggota Dinasti
Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, Abu al-Fida. Abu al-Fida
wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, al-Afdhal Muhammad. Hubungan
al-Afdhal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia dicabut
dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai oleh Mamluk

Secara berturut ibukota Dinasti Ayyubiyah ini berpindah-pindah dari Kairo (1171–
1174 M), Damaskus (1174–1218 M), kembali ke Kairo (1218–1250 M), terakhir di
Aleppo (1250–1260). Dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di
Baghdad sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.
Selanjutnya, kekuasaan Ayyubiah berkembang hingga ke Yaman, Palestina dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Ayyubiyah

Ayyubiyah dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadi dari suku Rawadiyah
yang beretnis Kurdi.5 Najmuddin Ayub adalah saudara Asasuddin Syirkuh. Meskipun
demikan, Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi6 pada tahun 1171 M
setelah menaklukkan al Adiid (1160-1171 M), khalifah terakhir Bani
Fatimiyah.7Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Tikrit, Irak, pada
tahun 532 H (1136 M). Sebagaimana ayahnya yang menjadi pejabat bagi Imaduddin
pada masa Dinasti Zanki,8 Salahuddin juga mengikuti jejak ayahnya bersama pamannya
Asaduddin Syirkuh untuk mengabdi pada Nuruddin Zanki. 9Keluarga Salahuddin berjasa
besar pada keberhasilan Nuruddin dalam menggabungkan Damaskus ke wilayahnya.
Pada saat Syawar, wazir bagi Khalifah al-Adid dari Dinasti Fatimiyah memohon bantuan
kepada Nuruddin agar dapat menduduki jabatan wazir, maka Nuruddin mengirimkan
Syirkuh dan Salahuddin ke Mesir. Misi berhasil dilaksanakan dan bahkan Syirkuh
kemudian menggantikan Syawar sebagai wazir. Tapi, tidak seberapa lama, Syirkuh juga
meninggal. Sehingga, jabatan wazir diserahkan kepada Salahuddin. 10

Salahudin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan
Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup
sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir
mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam
beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk
posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki
kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah Al-Adid
yang dinilai sebagai khalifah yang lemah.

Setelah al Adid wafat pada tahun 1171 M, kekuasaan Bani Fatimiyah dianggap
selesai. Salahuddin kemudian diangkat menjadi penguasa (Imam) mesir dengan status
sebagai wakil pemerintah Saljuk di Mesir. Setelah kematian Nuruddin Zanki pada tahun
1174 M, barulah Salahuddin Al Ayyubi mengumumkan berdirinya Dinasti Ayyubiyah di
Mesir sebagai pengganti Dinasti Fathimiyah yang sudah dihapuskan.11

Selanjutnya, Salahuddin mulai menegakkan kekuasaannya di Mesir. Semua


tampak berlangsung dengan mudah, sebab ketika Salahuddin tiba di Mesir, semua rakyat
merasa mempunyai harapan besar kepadanya karena selama ini mereka merasa selalu
dizalimi para pemimpin sebelumnya. Karena itulah, kecintaan masyarakat Mesir begitu
besar kepadanya.

Secara umum, dunia Islam pada waktu itu sedang disibukkan dengan Perang Salib.
Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah serta berbagai dinasti yang terpisah dihadapkan pada
satu musuh bersama (common enemy) yaitu kekuatan Kristen Eropa.
Tidak mengherankan, nama Salahuddin al Ayyubi sangat dikenal di dunia Islam dan di
negeri-negeri Eropa.

Dengan tegaknya Dinasti Ayyubiyyah, menandakan pengaruh Syiah berakhir dan


berganti dengan Sunni. Dengan ini, seluruh kelompok Sunni, termasuk yang ortodoks
turut mendukung segala langkahnya dalam menyatukan seluruh kekuatan Islam di
bawah kendali satu kekuasaan. Ia menyadari bahwa situasi sulit sedang dihadapi umat
Islam. Sebagaimana Nuruddin Zanki berupaya menyatukan dan menjalin hubungan
dengan dinasti-dinasti kecil untuk melawan kekuatan Salib, maka Salahauddin pun
melakukan hal yang sama. Di awal pemerintahannya, ia menyerang dinasti-dinasti kecil
di sekitarnya untuk kemudian diajak bergabung melawan tentara Salib.

Awalnya, ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, Dinasti Abbasiyah kembali tegak.


Khalifah Al Musthadi dari Abbasiyah meminta Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menjadi
pemimpin pasukan. Tetapi ia memilih menjadi sultan di Mesir dan mengakui kekuasaan
Bani Abbasiyah di Baghdad. Hal ini menunjukkan kesadaran Salahuddin akan
pentingnya kesatuan dalam menghadapi perang Salib. Ia menghindari konflik dengan
Nuruddin Zanki dan tetap menghormati posisi Khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai
simbol pemersatu umat Islam.

Sejak 1775 M Khalifah al-Mustadi dari Abbasiyah memberikan beberapa daerah


seperti Yaman, Palestina, Suriah Tengah, dan Magribi kepada Salahuddin. Dengan
demikian, ia pun mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah sebagai penguasa
muslim di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.

Pendukung Utama Dinasti Ayyubiyah

Birokrasi dan jabatan militer Dinasti Ayyubiyah pada umumnya diisi orang Kurdi,
Turki, dan orang-orang dari Kaukasus. Para prajurit Ayyubiyah, kebanyakan terdiri dari
orang-orang Kurdi dan Turki. Selain itu, terdapat pasukan berbangsa Arab, bekas satuan-
satuan Fatimiyah yang pernah dipimpin oleh Salahuddin ketika mengabdi sebagai
panglima Bani Fathimiyah, serta kontingenkontingen pasukan Arab yang terpisah
(khususnya dari suku Kinaniya, yang biasanya ditugaskan untuk mempertahankan
Mesir). Pasukan Kurdi dan Turki kadang-kadang saling bersaing memperebutkan
jabatan militer, dan menjelang akhir kekuasaan Ayyubiyah, jumlah pasukan Turki jauh
lebih besar daripada Kurdi. Walaupun para sultan Ayyubiyah memiliki latar belakang
Kurdi, mereka tetap berlaku adil terhadap kedua kelompok tersebut. 12

Selama kiprahnya di Timur Tengah, Salahuddin tidak pernah mendirikan sebuah


kerajaan yang terpusat. Sistem yang ia dirikan adalah kepemilikan turun temurun yang ia
bagi-bagi kepada kerabat-kerabatnya, sehingga mereka mengendalikan wilayah-wilayah
semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti Ayyubiyah setia kepada sultan, mereka
memiliki kebebasan tersendiri di wilayahnya. 13

Pusat pemerintahan Ayyubiyah dari masa pemerintahan Salahuddin pada


dasawarsa 1170-an hingga akhir masa pemerintahan al Malik al-Adil pada tahun 1218
terletak di kota Damaskus. Kota tersebut lebih strategis dalam upaya untuk mengalahkan
tentara Salib, dan juga memungkinkan sultan mengawasi bawahanbawahannya yang
cukup ambisius di Syam dan al-Jazira. Kairo terlalu jauh untuk dijadikan pangkalan
operasi, tetapi kota tersebut merupakan landasan ekonomi Dinasti Ayyubiyah. Maka dari
itu, kota ini merupakan wilayah yang sangat penting. Dengan demikian terlihat jelas,
bahwa berdirinya Dinasti ini merupakan sebuah upaya mempersatukan negeri-negeri
Islam dalam satu isu melawan tentara Salib, lebih dari sekadar menyatukan wilayah
kekuasaan politik.

Daftar Sultan Dinasti Ayyubiyah14

No. : Nama Sultan : Masa Pemerintahan

1 : Salahuddin Ayyubi : 1174–1193


2 : Al-Aziz ibn Salahuddin : 1193–1198
3 : Al-Mansur ibn al-Aziz : 1198–1200
4 : Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub : 1200–1218
5 : Al-Kamil : 1218–1238
6 : Al-Adil II : 1238–1240
7 : Malik Al-Shalih Ayyub : 1240–1249
8 : Mu’azzam Turansyah ibn al Shalih : 1249
9 : Syajarah al Dur (istri Malik al Shalih) : 1249
10 : Al-Asyraf ibn Yusuf : 1250–1254

Daftar Amir di bawah Dinasti Ayyubiyah

Kota : Tahun : Nama Amir


Damaskus : 1174– : Salahuddin, al Afdal, al-Adil,
1260 alMu'azzam, Isa an-Nasir,
(Pusat
Dawud alAshraf, Musa as-
Salih, Ismail as-Salih,
Pemerintahan)

Ayyub al-Muazzam
Turanshah, anNasir Yusuf
Aleppo 1177– : Az-Zahir Ghazi, al-Aziz
1260 Muhammad,

Dayfa Khatun (bupati), an-Nasir


Yusuf
Homs 1175– : Asad ad-Din Shirkuh, Muhammad
1262 ibn

Shirkuh, al-Mujahid, al-Mansur

Ibrahim, al-Ashraf Musa


Hamma 1175– : Al-Muzaffar Umar, al-Mansur
1341
Muhammad I, Nasir Kilij-Arslan,
al-

Muzaffar Mahmud, al-Mansur

Muhammad II, al-Muzaffar


Mahmud II,

al-Mu'ayyad Abu al-Fida, al-


Afdal

Muhammad
Jazira 1180– : Al-Awhad Ayyub, al-Ashraf
1260 Musa, alMuzaffar Ghazi, al-
Kamil Muhammad

Yaman : 1173–1228 : Turan-Shah,Tughtakin ibn Ayyub, al-

Mu'izz Ismail, an-Nasir Ayyub,

Muzaffar Sulayman, Mas'ud Yusuf

Baalbek : 1175–1260 : Ibn al-Muqaddam, Turan-Shah,

Farrukhshah, Bahramshah, Al-Ashraf

Musa, as-Salih Ismail, as-Salih


Ayyub,

Saʿ d al-Din al-Humaidi, an-Nasir


Yusuf

Peradaban Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah

Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah diisi dengan kesibukan konsolidasi negeri-


negeri Islam yang yang terpecah-pecah. Masa ini dikenal dengan masa masa
disintegrasi. Masa disintegrasi berlangsung antara tahun 1000-1250 M.15Penyebabnya
antara lain pertama, luasnya wilayah Islam tidak sebanding dengan kemampuan khalifah
Abbasiyah dalam mengelolanya. Kedua, persaingan antar bangsa membuat kesatuan
politik dalam ikatan daulah Islam terganggu, Ketiga, di daerah-daerah Islam muncul
tokoh-tokoh kuat yang memperoleh dukungan kuat dari masyarakatnya. Hal ini
mendorong mereka untuk melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah Abbasiyah di
Baghdad. Keempat, meskipun terlihat lemah, namun patut dipertimbangkan, yaitu
khalifah Abbasiyah sejak periode al Ma’mun (786-833 M) lebih senang
mengembangkan peradaban dibanding mengembangkan sistem politik ketatanegaraan
dan pembinaan wilayah.16 Terkait dengan wilayah ini, agaknya benar apa yang ditulis
William Muir, bahwa dalam kenyataannya banyak daerah-daerah yang tidak benar-benar
dikuasai oleh khlaifah.17 Mungkin saja, ketundukan penduduk wilayah-wilayah tersebut
kepada khalifah disebabkan kesatuan agama dan mungkin saja doktrin keagamaan
terkait dengan status khalifah sebagai pemimpin umat Islam (amir al mukminin), bukan
sebagai pemimpin negara (amir al daulah).

Dalam situasi sosial politik seperti inilah Dinasti Ayyubiyah berkuasa dan
mengembangkan peradaban Islam. Di tengah keadaan yang sulit tersebut, Dinasti
Ayyubiah sempat mencapai masa keemasannya. Selain sosok Salahuddin al Ayyubi,
Para penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar dalam bidang
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tak heran jika kota-kota Islam yang
dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat pengembangan peradaban dunia pada masanya.
Beberapa kemajuan yang dapat dituliskan antara lain sebagai berikut:

1. Bidang Politik

Puncak kegemilangan politik Dinasti Ayyubiyah adalah ketika Salahuddin al


Ayyubi mengambil alih Yerusalem dari pasukan Salib pada tanggal 2 Oktober 1187
M. Wilayah ini dapat dipertahankan terus hingga akhir abad ke13. Keberhasilan ini
melanjutkan tradis kemenangan atas pasukan Salib yang telah diperoleh sebelumnya
oleh pendahulu sekaligus tempat mengabdi Salahuddin sebelum menjadi Sultan.
Imadudin Zangi (Zanki) Amir Mosul dan Aleppo pada tahun 1144 juga berhasil
memukul pasukan Salib dari Armenia.

Selain itu, beberapa kota penting seperti Aleppo, Suriah, Mesir dan Palestina
berhasil ia satukan dalam penguasaan Dinasti Ayyubiyah. Kota-kota ini berkembang
menjadi basis perlawananan melawan tentara Salib. Selain itu, kota-kota tersebut juga
dibangun menjadi pusat-pusat terpenting pengembangan ilmu dan peradaban Islam.

Sistem politik ketatanegaraan Dinasti Ayyubiyah tidak berupa kerajaan yang


terpusat. Sultan sebagai sebutan penguasa dinasti ini hanya mengendalikan wilayah-
wilayah semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti Ayyubiyah setia kepada sultan,
mereka memiliki kebebasan tersendiri di wilayahnya. 19

Penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki hubungan yang erat dengan penguasa


Bani Fathimiyah (Syi’ah-Mesir), Dinasti Zanki (Sunni-Seljuk) dan Bani Abbasiyah
(Sunni-Baghdad). Kedekatan hubungan ini membuat Dinasti Ayyubiyah dapat
disebut pemersatu dunia Islam pada masa disintegrasi. Bahkan, dari segi politik
Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol pemersatu dunia Islam yang
semestinya pada waktu itu harus diemban oleh Daulah Bani Abbasiyah. 18
2. Bidang Keagamaan

Salah satu kebijakan yang diambil oleh Salahuddin di awal pemerintahnanya


adalah menetapkan mazhab Sunni sebagai mazhab resmi negara menggantikan
mazhab Syi’ah Ismailiyah yang sebelumnya dianut oleh Bani Fathimiyah. beberapa
alasan mengganti mazhab Syi’ah Islamailiyah menjadi mazhab Sunni adalah secara
faktual syi’ah bukanlah mazhab yang dianut oleh mayoritas rakyat Mesir. Selama
pemerintahan Bani Fathimiyah yang muncul justru sikap dualisme rakyat mesir
terhadap mazhab syia’h yang dianut oleh penguasa. 19 Sementara, di tubuh dinasti
Fathimiyah sendiri Syi’ah Ismailiyah mengalami konflik internal yang tak kunjung
usai sejak perempat pertama abad ke-12. Dua kelompok Syi’ah Ismailiyah di bawah
putra al Mustanshir yaitu Nizar (ekstrim) dan al Musta’li (moderat) saling bertikai.
Praktis, ketika khalifah dijabat oleh al Musta’li yang moderat, gelora Syi’ah sudah
mulai luntur.20 Sebab lainnya adalah perlawanan dari pendukung Dinasti Fathimiyah.
Tercatat beberapa perlawanan yang membuat Syi’ah Ismailiyah tidak mendapat
tempat dalam kebijakan keagamaan dinasti Ayyubiyah, di antaranya pemberontakan
pendukung Fathimiyah di Sudan yang berkekuatan 50.000 tentara. Pemberontakan ini
baru berhasil dipadamkan oleh al Malik al ‘Adil saudara Salahuddin pada tahun 1174
M. Berikutnya pemberontakan yang dipimpin oleh Imarah al Yamani, yang berhasil
dipadamkan pada 1173 M.

Sekilas, kebijakan ini terlihat pro Sunni dan mewakili pribadi Shalahudin yang
notabene pengikut Sunni. Namun, kebijakan ini justru penting karena faktanya
muslim Mesir justru hidup dalam dualisme mazhab yang pada taraf tertentu
membawa kepada sikap talfiq21 yang justru ditolak oleh mayoritas penganut Sunni.
Implementasi kebijakan ini semakin jelas terlihat ketika ia Qadhi yang bermazhab
Syi’ah menjadi Sunni dan mendirikan madrasah yang mengajarkan fikih Syafi’i
seperti Madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah dan Salahiyah di Yerusalem dan
Damaskus.22

Sementara dalam bidang hubungan antar agama, Salahuddin dan para penerusnya
menempatkan diri menjadi pelindung bagi umat Nasrani dan Yahudi, terutama di
Yerusalem atau Baitul Maqdis, lokasi yang menjadi sumber persaingan selama
Perang Salib. Pada tahun 1192, Salahuddin dan Richard I, Raja Inggris yang bergelar
si Hati Singa (Lion Heart) membuat perjanjian, bahwa kaum muslimin tetap akan
memiliki Yerusalem, namun orang Islam akan melindungi tempat ibadah orang
Kristen, membiarkan orang Kristen hidup di kota itu menjalankan iman mereka tanpa
gangguan dan membiarkan para peziarah Kristen datang dan pergi sesuka
mereka.23Perjanjian ini menjadi dasar kebijakannya dalam bidang hubungan antar
agama. Kebijakan inilah yang membuat Yerusalem dalam waktu yang lama berada
dalam kekuasaan umat Islam, hingga perang dunia I (1914).

3. Ilmu Pengetahuan

Para penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan mereka


mendukung kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun di wilayah
Ayyubiyah tidak hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk menyebarkan agama
Islam Sunni. Kota Damaskus pada masa pemerintahan Salahuddin memiliki 20
madrasah, 100 tempat pemandian, serta biara-biara darwis Sufi dalam jumlah yang
besar. Ia juga membangun madrasah-madrasah di Aleppo, Yerusalem, Kairo,
Iskandariyah, dan berbagai kota di Hijaz. Banyak pula madrasah yang dibangun oleh
para penerusnya. Bahkan istri para penguasa Ayyubiyah, para panglima, dan para
bangsawan juga ikut mendirikan dan mendanai sejumlah lembaga pendidikan. 24

Meskipun para penguasa Ayyubiyah mengikuti mazhab Syafi'i, mereka juga


membangun madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum Bani
Ayyubiyah berkuasa, tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan Maliki di Syam,
tetapi Bani Ayyubiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mazhab-
mazhab tersebut. Pada pertengahan abad ke-13, Ibnu Syaddad mendirikan 40
madrasah Syafi'i, 34 madrasah Hanafi, 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah
Maliki di Damaskus.25

4.Kebudayaan

Meskipun Dinasti Ayyubiyah berbangsa Kurdi, namun para penguasa Ayyubiyah


yang memerintah pada abad ke-12 sudah jauh dari budaya Kurdi, tidak seperti para
pendahulu mereka di Seljuk dan para penerus mereka di Mamluk, para penguasa
Ayyubiyah telah "terarabisasi". Bahasa dan budaya Arab menjadi unsur utama dalam
jati diri mereka alih-alih bahasa dan budaya Kurdi.26 Mereka sendiri sudah cukup
terasimilasi ke dalam budaya Arab sebelum mereka mulai berkuasa, dan marga-
marga Arab pun jauh lebih lazim daripada marga-marga non Arab di kalangan
penguasa Bani Ayyubiyah. Salah satu sumbangan terpenting Dinasti Ayyubiyah
adalah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa tutur bangsa Mesir. Kebanyakan
orang Mesir menuturkan bahasa Arab pada masa Dinasti Ayyubiyah. 2728

5.Arsitektur

1. Bangunan dan arsitektur merupakan salah satu sumber sejarah yang


penting. Di antara bangunan arsitektur yang dapat dijadikan sumber
sejarah kejayaan dinansty Ayyubiyah antara lain: Tembok Kota Aleppo
yang dibangun Sultan Az-Zahir Ghazi pada tahun 1183. Tembo kota
tergolong arsitektur militer. Pembangunan ini telah mengubah wajah kota
Aleppo secara total.29
2. Menara Masjid Agung Aleppo yang dibangun oleh Sultan Az-Zahir
Ghazi pada 1214 M. Bangunan menara menjulang ke langit, terdiri atas
lima tingkat dengan puncak mahkota yang dikelilingi oleh beranda.
Menara banyak dihiasi berbagai ornamen. Dalam ilmu arsitektur menara
ini digolongkan kepada arsitektur keagamaan.
3. Tembok Ayyubiyah di Kairo yang ditemukan selama pembangunan
Taman Al-Azhar, Januari 2006.30
4. Madrasah Al-Firdaus didirikan pada tahun 1236 di kota Aleppo dengan
dukungan dari Dhaifa Khatun. Madrasah ini merupakan
5. bukti peran wanita yang menjadi pendukung proyek-proyek arsitektur
keagamaan di masa Ayyubiyah.

Akhir Dinasti Ayyubiyah

Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor
intern juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah
adanya perselisiah di kalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan.
Sedangkan faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena kebangkitan Dinasti
Mamluk yang menyebabkan terbunuhnya Sultan al Ma’azzam Turansyah (1250 M) serta
serangan bangsa Mongol.
Profil Sultan Salahuddin Al-Ayyubi

Salahuddin Al Ayyubi adalah seorang jenderal dan pejuang Islam yang berasal
dari Tikrit, sebelah utara Irak saat ini.orang-orang Eropa mengenalnya sebagai Saladin,
seorang jenderal hebat yang gagah berani memerangi tentara Salib. Selain itu,
Salahuddin Al Ayyubi dikenal sebagai pendiri Dinasti Ayyubiyah, yang kekuasaannya
meliputi Mesir, Suriah, Mekkah, Madinah, sebagian Yaman, Irak, dan Palestina.
Kehidupan awal

Salahuddin Al Ayyubi lahir di benteng Tikrit, Irak, pada 532 H/1138 M ketika
ayahnya, Najmuddin Ayyub, menjadi penguasa Seljuk di Tikrit di bawah Imaduddin
Zanki, gubernur Seljuk untuk Kota Mosul di Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut
wilayah Baalbek di Lebanon pada 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub diangkat menjadi
gubernurnya.

Selama di Baalbek inilah, Salahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni


teknik, strategi, maupun politik perang.Ia juga mengenyam pendidikan di Damaskus
untuk memelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun.
Daulah Ayyubiyah adalah dinasti Muslim Sunni keturunan etnis Kurdi yang
pernah berkuasa selama sekitar satu abad, antara 1174-1250.Pada masa jayanya, dinasti
yang berpusat di Mesir ini pernah menguasai hampir seluruh wilayah Timur
Tengah.Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri menggantikan Dinasti Fatimiyah, juga
mencapai kemajuan di berbagai bidang, salah satunya di bidang ilmu pengetahuan.Salah
satu buktinya, lahirnya ilmuwan-ilmuwan Muslim terkemuka yang mahir dalam
bidangnya.

Peran ilmuwan Muslim dalam membawa kegemilangan Dinasti Ayyubiyah pun


sangat besar.Berikut ini ilmuwan-ilmuwan Muslim masa Daulah Ayyubiyah dan
karyanya.Ibnu Al-Adhim Lahir di Allepo pada 1219, Ibnu Al-Adhim menuntut ilmu
hingga ke Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz, dan Irak. Ia pernah bekerja di istana Dinasti
Ayyubiyah pada masa Amir Al Aziz dan An-Najir di Allepo.

Al-Adhim Lahir di Allepo pada 1219, Ibnu Al-Adhim menuntut ilmu hingga ke
Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz, dan Irak. Ia pernah bekerja di istana Dinasti
Ayyubiyah pada masa Amir Al Aziz dan An-Najir di Allepo.

Al-Adhim pula yang dikenal sebagai ilmuwan muslim Dinasti Ayyubiyah yang
pernah menjadi duta besar di Bagdad dan Kairo pada masa Amir Al Aziz dan An-Najir.
Al-Adhim diketahui menerbitkan beberapa karya fenomenal, dua di antaranya adalah
Zubdah al hallab min tarikh Hallaba dan Bughyah at Thalib fi Tharikh Halaba. Kitab
tersebut berisi tentang sejarah Allepo/Halaba yang terdiri dari 10 jilid.
Ibnu al-Nafis Ibnu al-Nafis adalah seorang ilmuwan yang mendeskripsikan secara
detail terkait peredaran darah manusia. Selain itu, tokoh yang lahir di Damaskus pada
1210 ini juga menjadi orang yang mengemukakan teori pembuluh darah kapiler.

Ibnu Al-Qifti Ibnu Al-Qifti adalah ilmuwan Muslim bidang sejarah pada masa
Dinasti Ayyubiyah yang juga menjabat di pemerintahan. Setelah meninggalnya
Salahuddin Al-Ayyubi, ia pergi ke Allepo dan diangkat menjadi pejabat keuangan oleh
Al-Malik Al-Zhahir. Selama menjadi pejabat di Allepo, Ibnu Al-Qifti mulai
mencurahkan perhatiannya pada dunia kepenulisan. Ia telah melahirkan sebanyak 26
judul karya tulis, beberapa di antaranya adalah Inabah Al-Ruwat ala Anbah Al-Nuhat,
Tarikh Al-Yaman, dan Al-Kalam ala Al-Muwaththa.

Al-Bushiri Salah satu ilmuwan Muslim yang turut mendorong kebudayaan Islam
pada masa Dinasti Ayyubiyah adalah Al-Bushiri. Ia adalah seorang Sufi besar yang
menjadi pengikut Thariqat Syadziliyah dan Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-
Syadzily. Al-Bushiri sangat menonjol dalam bidang sastra, di mana ia menghasilkan
karya terkenal berjudul Kasidah Burdah. Beberapa puisinya diciptakan sebagai pujian
kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang ahli fikih,
ilmu kalam, dan ahli tasawuf.
Syams al Din Ibnu Khalikan Syams al Din Ibnu Khalikan adalah seorang ilmuwan
Muslim Kurdi abad ke-13, yang terkenal dengan karya ensiklopedia biografi yang
berjudul Wafayat al-Ayan. Ibnu Khalikan mulai mengerjakan karyanya tersebut pada
1256, dan baru selesai pada 1274.

Muhammad al-Idrisi Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-


Sabti atau singkatnya Al-Idrisi dikenal sebagai ahli geografi dari Dinasti Ayyubiyah. Ia
adalah keturunan dari penguasa Idrisiyyah di Maroko, yang juga keturunan Hasan bin
Ali. Al-Idrisi memiliki karya di bidang geografi yang sangat fenomenal berjudul
Nuzhatul Mushtaq, yang menjadi rujukan bagi ilmuwan dan sarjana di dunia.Penutup

Kehadiran Ayyubiyah dalam sejarah Islam telah menyelamatkan dunia Islam dari
kebangkrutan kekuasaan dan peradaban selama berlangsungnya Perang Salib dan dalam
keadaan melemahnya kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, dari segi
politik Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol pemersatu dunia Islam
yang semestinya pada waktu itu harus diemban oleh Daulah Bani Abbasiyah.

Sejarah Berdirinya Daulah Mamluk


Dinasti Mamluk merupakan salah satu dinasti yang berpengaruh terhadap
peradaban Islam. Sejak paruh kedua abad ke-13 sampai awal zaman modern, para
peneliti melihat saat itu sejarah sangat dipengaruhi oleh pergerakan bangsa Mamluk.
Bersamaan para Mamluk berhasil meraih kekuasaan di Mesir dan Negeri Syam.

Dijelaskan dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Mamluk oleh Dr.
Muhammad Suhail Thaqqus, para Mamluk, datang ke kawasan tersebut melalui jalur
tawanan perang atau pembelian budak. Masuknya mereka ke Mesir berlangsung tanpa
berhenti sejak akhir periode dinasti Abbasiyah. Seiring berjalannya waktu, mereka
sangat dominan dalam bidang militer dan politik. Kata “Mamluk” dalam bahasa Arab
adalah bentuk tunggal. Sedangkan bentuk jamaknya “Mamalik”. Yang berarti seorang
budak yang ditawan, namun orang tuanya tidak. Kalau budak yang orang tuanya juga
merupakan budak disebut “al-qin”. Dapat diartikan, Mamluk adalah budak yang
diperjualbelikan.

Dalam perjalanan selanjutnya, nama ini memiliki makna istilah khusus dalam
sejarah Islam. Sebab, sejak era Khalifah Abbasiyah Al-Makmun (198-218 Hijriyah atau
813-833 Masehi), lalu era Al-Mu’tashim (218-227 Hijriyah atau 833-842 Masehi), kata
ini menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok budak kulit putih.

Awal Berdirinya Dinasti Mamluk, Budak Kulit Putih TurkiDinasti Mamluk


menjadi salah satu dinasti berpengaruh. Dinasti Mamluk merupakan salah satu dinasti
yang berpengaruh terhadap peradaban Islam. Sejak paruh kedua abad ke-13 sampai awal
zaman modern, para peneliti melihat saat itu sejarah sangat dipengaruhi oleh pergerakan
bangsa Mamluk. Bersamaan para Mamluk berhasil meraih kekuasaan di Mesir dan
Negeri Syam.

Dijelaskan dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Mamluk oleh Dr.
Muhammad Suhail Thaqqus, para Mamluk, datang ke kawasan tersebut melalui jalur
tawanan perang atau pembelian budak. Masuknya mereka ke Mesir berlangsung tanpa
berhenti sejak akhir periode dinasti Abbasiyah. Seiring berjalannya waktu, mereka
sangat dominan dalam bidang militer dan politik.

Akhir Oktober Mobil Barang Dikenakan Pembatasan Operasional Kata “Mamluk”


dalam bahasa Arab adalah bentuk tunggal. Sedangkan bentuk jamaknya “Mamalik”.
Yang berarti seorang budak yang ditawan, namun orang tuanya tidak. Kalau budak yang
orang tuanya juga merupakan budak disebut “al-qin”. Dapat diartikan, Mamluk adalah
budak yang diperjualbelikan.

Temui Teman Baru Berbulu di Sydney[, Dalam perjalanan selanjutnya, nama ini
memiliki makna istilah khusus dalam sejarah Islam. Sebab, sejak era Khalifah
Abbasiyah Al-Makmun (198-218 Hijriyah atau 813-833 Masehi), lalu era Al-Mu’tashim
(218-227 Hijriyah atau 833-842 Masehi), kata ini menjadi istilah yang digunakan untuk
menyebut kelompok budak kulit putih.Kamboja Bubarkan Aksi Protes di Dekat Kedubes
China

Para khalifah, panglima besar, dan gubernur Khilafah Abbasiyah membeli mereka
dari pasar-pasar budak ulit putih. Tujuannya, untuk digunakan membentuk kelompok
pasukan militer khusus. Pasukan ini menjadikan mereka sebagai penopang untuk
memperkuat pengaruh mereka.

Seiring berjalannya waktu, para Mamluk menjadi satu-satunya perangkat militer di


beberapa negara Islam, seperti Dinasti Mamluk yang berdiri di Mesir dan Syam. Kala
itu, para budak atau Mamluk tersebut dipasok dari kawasan Transoxiana. Transoxiana
adalah sebutan pada masa lalu untuk sebuah wilayah di bagian Asia Tengah, yang saat
ini berdekatan dengan Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgystan, dan Kazakhstan. Transoxania
dalam bahasa Arab disebut “Maa wara’a nahr” atau dalam bahasa Inggirs “across the
oxus river” atau sering disebut juga dengan “mawarannahar”.

Kota seperti Samarkand, Fergana, Osyrusana, Syasy, dan Khawarizmi dikenal


sebagai sumber utama pengekspor budak kulit putih asal Turki. Para Mamluk, didapat
dengan tiga cara, yakni pembelian, tawanan dalam perang, dan hadiah yang diberikan
oleh gubernur kawasan Transoxiana kepada khalifah. Dengan demikian, kawasan
Transoxiana menjadi sumber penting pemasuk budak Turki.
Pertempuran Ain Jalut (bahasa Arab: ‫معركة عين جالوت‬, translit. Ma'rakat ‘Ayn Jālūt),
juga dieja Ayn Jalut, terjadi antara Bahri Mamluk dari Mesir dan Kekaisaran Mongol
pada 3 September 1260 (25 Ramadhan 658 H) di Galilea tenggara di Lembah Yizreel
dekat tempat yang sekarang dikenal sebagai Sumur Harod (bahasa Arab: ‫عين جالوت‬,
translit. ‘Ayn Jālūt, har. 'Musim semi Goliat'). Pertempuran tersebut menandai puncak
jangkauan penaklukan Mongol, dan merupakan pertama kalinya pasukan Mongol
dipukul mundur secara permanen dalam pertempuran langsung di medan perang.
Melanjutkan ekspansi ke barat dari Kekaisaran Mongol, tentara Hulagu Khan
menangkap dan menjarah Baghdad pada tahun 1258, bersama dengan ibukota
Ayyubiyah Damaskus beberapa waktu kemudian. Hulagu mengirim utusan ke Kairo
menuntut Qutuz menyerahkan Mesir, yang ditanggapi Qutuz dengan membunuh utusan
dan menunjukkan kepala mereka di gerbang Bab Zuweila Kairo. Tak lama setelah ini,
Hulagu kembali ke Mongolia dengan sebagian besar pasukannya sesuai dengan
kebiasaan Mongol, meninggalkan sekitar 10.000 pasukan di sebelah barat Efrat di bawah
komando Jenderal Kitbuqa.

Pertempuran Ain Jalut (atau Ayn Jalut dalam bahasa Arab: ‫ عين جالوت‬yang artinya
Mata Jalut) terjadi pada tanggal 3 September 1260 di Palestina antara Bani Mamluk
(Mesir) yang dipimpin oleh Qutuz dan Baibars berhadapan dengan tentara Mongol
pimpinan Kitbuqa.

Banyak ahli sejarah menganggap pertempuran ini termasuk salah satu pertempuran
yang penting dalam sejarah penaklukan bangsa Mongol di Asia Tengah di mana mereka
untuk pertama kalinya mengalami kekalahan telak dan tidak mampu membalasnya
dikemudian hari seperti yang selama ini mereka lakukan jika mengalami kekalahan.
Kemunduran dan Keruntuhan Dinasti Mamluk.

Setelah masa Baybar dan Qallawun, tidak ditemukan lagi figur sultan seperti mereka,
sehingga kondisi dinasti Mamluk pun menjadi memburuk dan puncaknya ketika Mesir
menjadi daerah kekuasaan Utsmani, setelah sultan Salim dari Utsmani berhasil
mengalahkan Tuman Bay (sultan terakhir Mamluk) di pertempuran 22 Juni 1517 M .
Pada bagian ini kita akan membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran
dan runtuhnya dinasti Mamluk, di sini penulis membagi faktor keruntuhan tersebut
menjadi empat.
1. Konflik perebutan kekuasaan
Konflik politik intern yang sebelumnya terjadi di keluarga Ayyubiyah, kembali terjadi
pada pemerintahan dinasti Mamluk. Kita dapat melihat konflik tersebut pada dua
periode yang berbeda.

1. konflik pada masa awal pembentukan kesultanan, yang menyebabkan kematian


Aybak, Syajarah al-Durr dan Quthuz. Konflik ini hanya pada tingkat pimpinan
Mamluk, tidak berpengahruh hingga ke bawah. Justru konflik pada masa ini
sebagai pengantar proses integrasi.

2. konflik perebutan kekuasaan masa Mamluk Burji, persaingan menduduki


jabatan sultan di lingkungan Mamluk Burji lebih keras dan kejam dibanding
masa Mamluk Bahri. Pembunuhan terahadao sultan untuk menggantikan
kedudukannya menjadi hal yang biasa, sehingga pada masa itu banyak sultan
yang meninggal dengan cara tidak wajar. Konflik kedua ini lah yang
mengantarkan kesultanan Mamluk menuju kehancurannya.

2.Munculnya Budaya Hidup Mewah dan Hedonistik.


Pada tahun 1390 M, kekuasaan Mamluk Bahri berakhir. Sejak periode ini,
jabatan sultan tidak lagi menggambarkan lembaga yang menjamin kelangsungan
pemerintahan, tetapi tempat kesenangan, dan kemewahan untuk diperebutkan.
Penggunaan uang negara untuk kemewahan sultan yang dimulai An-Nasir jauh
bertambah parah di tangan Mamluk Burji. Untuk memenuhi keinginan sultan, pajak
kepada rakyat dan pedagang ditingkatkan. Sikap sultan ini jelas menghilangkan wibawa
sultan dalam pandangna para amir seingga menghilangkan kemampuan kontrolnya
terhadap daerah.

3.Rusaknya Moralitas Para Penguasa dan Lemahnya Kontrol Pendidikan Agama.


Pendidikan yang diberikan dinasti Ayyubiyah kepada Mamluk Bahri berbeda
dengan yang dilakukan Mamluk Bahri terhadap Mamluk Burji. Ketika Mamluk Bahri
dalam pendidikan di Rawdah, di samping latihan-latihan militer yang bersifat fisik,
pendidikan keagamaan tidak ketinggalan, bahkan merupakan dasar. Mamluk Burji
kurang mendapatkan pendidikan keagamaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan para
penguasa dari Mamluk Burji yang rusak moralnya. Contohnya Barsbay yang tidak
mengenal huruf Arab, Muayyad Syah yang pemabuk, Inal tidak bisa baca tulis, dan
Yalbay yang kurang waras.

4.Munculnya Turki Utsmani. Ancaman dari luar semakin membahayakan dinasti


Mamluk. Ancaman ini bukan dari Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk. Melainkan
ancaman ini datang dari Turki Utsmani, kemajuan yang luar biasa Utsmani menjadikan
mereka sebagai ancaman terbesar dinasti Mamluk.
Konflik kedua dinasti ini mulai memanas sejak pemerintahan Qait Bay dan Bayazid II.
Penemuan senjata api di Eropa telah banyak membantu Utsmani dalam pertempuran
melawan Mamluk. Dinasti Mamluk menganggap penggunaan senjata seperti itu
mengurangi harga diri. Keahlian perang gaya lama masih menjadi kebanggan mereka.
Oleh karena itu, senjata api hanya diberikan kepada kelas militer paling rendah yang
terdiri dari orang-orang Negro yang kesetiaannya diragukan
Puncak konflik kedua dinasti ini berlangsung pada 22 Juni 1517 M, yaitu peperangan
antara Tuman Bay dan Sultan Salim yang berlangsung di luar kota Kairo. Kekalahan
Mamluk dalam perang ini sekaligus mengakhiri riwayat dinasti tersebut.

Anda mungkin juga menyukai