Anda di halaman 1dari 3

A HASSAN; Ulama Teladan Berjiwa Militan

Pada suatu sambutan buku yang membahas biografi Ahmad Hassan, Muhammad
Natsir(Seorang Dai sekaligus Pahlawan Nasional RI) memberikan prakata berikut:

“......Beliau memiliki sifat-sifat utama yang jarang dimiliki oleh ulama-ulama rekan beliau
yang lain. Seorang ulama yang mengajar dan mendidik pemuda-pemuda hidup dan berdiri di
atas kaki sendiri. Beliau tidak kaya, tapi tak pernah kekurangan. Hidup dalam agama, dan
senantiasa menegakkan agama, adalah filsafat hidupnya. Pendiriannya teguh, jiwanya kuat,
pantang mundur dalam menegakkan kebenaran agama. Beliau berdakwah dengan segala jalan
yang ditempuhnya. Dengan perkataan, pidato, dan ceramah sebagai kebiasaan mubalig, dan
lebih banyak dengan tulisan. Beliau seorang penulis karangan yang enak dibaca, baik dalam
majalah yang beliau terbitkan sendiri, maupun dalam buku-buku yang sengaja ditulisnya. Di
samping itu, beliau gemar sekali berdebat, demi membela agama dan menegakkan
keyakinannya. Beliau telah berdebat dengan orang Kristen, dengan golongan Ahmadiyah,
dengan kaum Komunis, dan entah dengan siapa lagi. Untuk keperluan debat tersebut beliau
tidak keberatan di mana pun tempatnya, bahkan kalau perlu semua biaya atas tangungannya
sendiri.”(Muhamad Natsir dalam sambutan buku Tamar Djaja[1980] yang dikutip oleh:
Dadan Wildan dalam buku, Yang Da`i Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh
Persis, hal.31).
Demikianlah sambutan yang diberikan oleh Muhammad Natsir mengenai sosok
gurunya yang dikenal publik sebagai ulama serba bisa. Dari paparan Natsir di atas, kita bisa
mengambil beberapa kata kunci dalam menakar sosok A.Hassan: Pertama, beliau adalah
sosok yang penuh teladan dan militan dalam berjuang. Selama yang ia pegang adalah
kebenaran, maka dia pantang menyerah. Walaupun harus berpolemik dengan Ir.
Soekarno(sebagai murid spiritualnya ketika diasingkan di Endeh), yang diabadikan dalam
bukunya yang berjudul: “Islam dan Kebangsaan”. Uniknya, ia tidak segan-segan rujuk, jika
pendapat yang dipegangnya lemah dan bisa dipatahkan orang lain.

Kedua, ia bukan hanya sebagai pengajar, tapi sekaligus pendidik. Pendidikan yang
selalu ditanamkan pada murid-muridnya ialah, ‘hidup berdiri di atas kaki sendiri’ sebagai
sebuai nilai berharga yang mengajarkan sikap kemandirian dalam kehidupan materil sehingga
tidak bergantung pada orang lain. Darinya lahir tokoh-tokoh besar(seperti: Endang
Abdurrahman, Muhammad Isa Anshari, dll) bahkan berkaliber internasional, seperti
Muhammad Natsir dan Soekarno. Ketiga, Dalam urusan prinsip ia sangat teguh pendirian,
dalam hal akhlak dan mendidik ia pun sangat santun. Sehingga wajar kalau dia disegani dan
disayangi murid-muridnya. Bahkan ia dihormati baik oleh kawan maupun lawannya.
Keempat, beliau memiliki filosofi: “Hidup dalam agama, dan senantiasa menegakkan
agama”. Agama yang dimaksud bukanlah agama yang terpisah dari negara sebagaimana
pemahaman orang sekular. Dalam Islam, tidak ada dikotomi antara urusan agama dan negara.
Karena itu dalam bukunya yang berjudul ‘Islam dan Kebangsaan’ beliau mengkritik secara
tegas pandangan sekular dan nasionalisnya Bung Karno. Agama –bagi beliau- bukan sekadar
ajaran yang diikuti, tapi juga ditegakkan. Di situlah nanti terkandung perjuangan dan
pengorbanan. Tidak mengherankan jika di antara prinsipnya ialah: “Tidak ada kehidupan
yang lebih baik daripada hidup dalam batas-batas agama”[baca: Dadan Wildan, Yang Da`i
Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1997) hal. 19].

Kelima, adalah ulama yang menggabungkan dua metode sekaligus dalam berdakwah:
lisan dan tulisan. Dalam hal lisan, beliau banyak mengisi ceramah, pidato, dan pengajaran-
pengajaran baik di pesantren maupun di luar pesantren. Bahkan beliu dikenal dengan
kepiawaian berdebat. Ia pernah berdebat dengan orang atheis yang kemudian dibukukan
dengan judul, ‘Adakah Tuhan?’; ia juga pernah berdepat dengan tokoh Ahmadiyah; ia juga
dengan tokoh Kristen; bahkan komunis. Semua itu ia tempuh dalam rangka mempertahankan
dan menegakkan kebenaran. Meskipun terkenal kritis dalam berdebat, namun ia dikenal
mempunyai kepribadian yang santun.
Dalam hal tulisan, ia juga menonjol. Menurut catatan Dadan Wildan, beliau sudah
menulis sekitar delapan puluh tulisan. Di antara yang terkenal ialah: Pengajaran Shalat, Soal-
Jawab, Tafsir al-Furqon dan lain sebagainya. Ini berarti, A. Hassan di samping piawai
berdebat ia juga penulis produktif. Suatu keahlian yang jarang dimiliki oleh kebanyakan
ulama. Kalau kita membaca sejarah, ulama-ulama Muslim berkaliber dunia, mereka bisa
dikenang hingga sekarang karena juga meninggalkan karya tulis. Sebut saja seperti Imam
Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Hanbal, Qurthubi, dan lain-lain, adalah
penulis produktif. Dan ini barangkali yang sudah kian langkah. Baik orang PERSIS sendiri,
maupun di luarnya, sangat jarang yang mempunyai dua kemampuan sekaligus. Karena itu
dibutuhkan kaderisasi ulama yang mumpuni baik secara lisan maupun tulisan.
Yang terakhir, sebagai manifestasi kepeduliannya baik dalam kaderisasi ulama
maupun pendidikan, setiap ulama –khususnya Indonesia- memiliki tradisi unik, yaitu:
mendirikan pondok pesantren. Demikian pula A. Hassan. Setelah berperan aktif dalam
dakwah lewat lisan dan tulisan di PERSIS Bandung(sejak 1926), akhirnya pada tahun 1941-
masa kependudukan Jepang- beliau pindah ke Bangil, mendirikan pondok Pesantren Persis
Bangil. Demikianlah kiprah A.Hassan. Ulama teladan berjiwa militan. Maukah kita tergerak
untuk melahirkan ulama sekaliber A.Hassan? atau tak usah menunggu. Bangunlah dalam
dirimu tekad kuat, untuk menjadi sepertinya. Syukur-syukur bisa menjadi dirimu sendiri yang
lebih hebat darinya, dan bermanfaat baik bagi diri keluarga, agama, maupun bangsa.
Akhirnya:
Dari Ahmad Hassan
Kita mendapat pelajaran
Ulama itu mesti pandai lisan dan tulisan
Atau tinggal batu nisan

Anda mungkin juga menyukai