Anda di halaman 1dari 63

A.

Hasan - Sang Guru Besar PERSIS

Ahmad Hasan
Assalaamu alaikum wr.wb..
A.Hassan, namanya mungkin tidak cukup dikenal oleh sebagian umat Islam
Indonesia dewasa ini, tetapi ia pernah menjadi sangat populer diera tahun 1930
hingga 1940-an, ketokohannya diakui tidak hanya oleh mereka yang mengaguminya
saja tetapi bahkan oleh mereka-mereka yang menjadi lawan debatnya. Pada
kesempatan kali ini, saya akan mencoba menampilkan profil beliau yang merupakan
1 dari 3 orang tokoh Islam yang tulisan dan pemikirannya sangat mendominasi cara
saya memahami agama Islam. Profil A. Hassan ini saya cuplik dan simpulkan dari
Majalah Dua Mingguan Amanah No. 88, 17 - 30 November 1989. InsyaAllah
berikutnya akan saya tampilkan pula profil dari Nazwar Syamsu, orang kedua
setelah A. Hassan yang telah memberi sumbangsih besar melalui pemikirannya
kedalam diri saya pribadi.
Bahkan dalam banyak kasus, saya sering merujukkan pendapat saya kepada
mereka berdua, terjemahan al-Qur'an yang saya pegangpun mengacu pada
terjemahan mereka yang dalam pandangan saya jauh lebih original ketimbang
terjemahan manapun termasuk Departemen Agama Republik Indonesia yang
seringkali ditambah-tambahi malah sampai merubah arti ayat dari yang seharusnya.
Demikian, selamat membaca ...
A. Hassan, lahir di Singapura pada tahun 1887 dari pasangan Hajjah Muznah yang
asli Surabaya dan Ahmad Sinna Wappu Maricar yang masih merupakan keturunan
ulama Mesir yang sekaligus berprofesi sebagai wartawan dan penerbit buku serta
surat kabar berbahasa Tamil.
Pendidikan A. Hassan semasa kecil sebagian besar didapat dari ayahnya, diusia 7
tahun beliau mulai belajar al-Qur'an dan selama 4 tahun belajar disekolah Melayu
(setingkat SD sekarang), selebihnya dia mempelajari bahasa Melayu, Tamil, Inggris
dan Arab secara privat. Sejak usia 7 tahun itu juga A. Hassan sudah dididik belajar
bekerja, entah sebagai buruh ditoko kain, agen distribusi es, vulkanisir ban mobil
hingga guru bahasa Melayu, Inggris dan Arab.
Pada usia 34 tahun A. Hassan hijrah dari Singapura ke Bandung untuk memimpin
pabrik tekstil milik pamannya. Disini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh politik seperti
H.O.S Tjokroaminoto, Sangaji, H. Agus Salim dan Wondomiseno. Surabaya saat itu
sedang hangat-hangatnya pertentangan antara kaum tua dan kaum muda, kaum
tradisionalis dan kaum pembaharu agama seperti perbedaan masalah usholli dan

ucapan niat sebelum sholat yang dipertahankan pemakaiannya oleh kaum tua
(tradisionalis).
A. Hassan sendiri dalam hal ini berada pada posisi kaum muda (pembaharu) yang
menentang pelaksanaan kedua hal tadi karena menurutnya itu sama sekali tidak ada
ajarannya dari Allah dan Rasul-Nya, semua itu adalah hasil penambahan baru dari
para ulama yang tidai ada dasar dan contoh dari jaman kenabian.
Walaupun bukan sebagai pendirinya, tetapi nama A. Hassan sering di-identikkan
dengan nama PERSIS (Persatuan Islam), yaitu suatu organisasi pembaharu
keagamaan yang lahir pada tanggal 12 September 1923 di Bandung. Kelahiran
Persis setidaknya merupakan jawaban dari sikap kolonial Belanda masa itu yang
mencoba menerapkan unifikasi hukum, yaitu mematikan syariat Islam dan
menampilkan hukum barat melalui pemberlakuan hukum adat sebagai perantara
pengalihan. Dakwah Persis diambil langsung dari sumber al-Qur'an dan Hadis,
karenanya pula Persis menolak bermazhab.
Dakwah Persis dimulai secara sembunyi-sembunyi karena adanya pengawasan
yang ketat dari pihak Belanda, baru setelah Moh. Natsir pada tahun 1934
memintakan pengesahan organisasi tersebut pada kementerian kehakiman maka
Persis memulai dakwah secara terbuka.
Moh. Natsir sendiri merupakan mantan ketua umum PP Persis dan salah satu murid
kesayangan dari A. Hassan, ia yang paling menonjol dari semua murid-muridnya.
Bersama Moh. Natsir dan Persis maka A. Hassan menerbitkan majalan Pembela
Islam, gerakan dakwah Persis sempat memasuki arena politik setelah pada tahun
1930-an pemerintahan Belanda semakin keras melakukan tekanan pada kegiatan
kaum pribumi sementara dalam waktu bersamaan kaum Salibis mulai melancarkan
misi Kristenisasinya secara meluas.
Secara internal kebangsaan, Persis berhadapan dengan kelompok PNI yang dilakoni oleh
mantan presiden Sokarno, perbedaan terjadi karena adanya perbedaan ideologi dari keduanya.
Meski demikian Persis tidak menganggap PNI sebagai musuhnya, bahkan saat Soekarno
dipenjara di Banceuy Bandung, orang-orang Persis merupakan yang pertama membesuknya.
Persis bukan organisasi pembaharuan agama yang pertama di Indonesia, sebelumnya sudah
berdiri Muhammadiyah dikota Yogya, al-Irsyad di Jakarta serta Syarikat Dagang Islam,
Syarikat Islam dan Perseryikatan Ulama. Namun karena masing-masing organisasi itu telah
membatasi dirinya dibidang-bidang tertentu seperti Syarikat Dagang Islam menitik beratkan
perhatiannya pada sektor Ekonomi yang membidani kelahiran Koperasi, Syarikat Islam
dibidang politik dan Perseryikatan Ulama yang berdiri di Majalengka Jawa Barat pada
keterampilan para santri dibidang usaha sementara Muhammadiyah sendiri sibuk dengan
bidang sosial dan pendidikan, maka Persis berdiri untuk menjembatani semuanya dan menitik
beratkan pada dakwah agama.
Tahun 1942 saat invasi Jepang ke Indonesia, Persis sudah mendirikan 6 masjid
dengan anggota jemaahnya berjumlah 500-an orang. Jum'atan pertama Persis
mendapat reaksi keras dari masyarakat. Soalnya ketika itu khutbah Jum'at biasa dan
harus disampaikan dengan bahasa Arab, sedangkan Persis menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa daerah sebagaimana lazimnya sekarang.

Persis juga yang pertama kali membuat tafsir al-Qur'an dari kiri kekanan,
karena tafsirnya itu menggunakan huruf latin. Pada waktu itu orang beranggapan
kafir bila memakai huruf latin disebelah huruf Arab. Barangkali saking bencinya
kepada Belanda, huruf Latinpun dikafirkan. Sedangkan A. Hassan sendiri melalui
Persisnya menganggap masalah huruf Latin hanyalah urusan duniawi. Pesantren
Persis juga mempelopori gerakan pembaharuan internal, gurunya berdasi dan
muridnya harus bersih dan necis tidak seperti kalangan Pesantren waktu itu yang
masih menggunakan sarung dan tidak terlalu memperhatikan masalah pakaian.

Logo PERSIS (Persatuan Islam)


A.Hassan melalui Persisnya melakukan dakwah secara frontal, beliau menganggap
bahwa umat sudah menjadi jumud (beku) bahkan mundur karena telah menyimpang
dari ajaran al-Qur'an dan hadis. Baginya Islam itu sesuai tuntutan jaman, Islam
berarti kemajuan dan agama tidak menghambat malah menyetujuinya, mencari ilmu
pengetahuan, perkembangan sains modern, persamaan hak antara kaum wanita
dan pria dan seterusnya.
Mereka melakukan perdebatan-perdebatan dengan orang-orang yang tidak
menyetujui cara pandang mereka terhadap agama, perdebatan panjang telah
mereka lalui, mulai dengan pihak Kristen, kaum Tua atau tradisional, kaum
kebangsaan, Ahmadiyah sampai pada komunis Ateis. Contoh kisah Mubahalah
antara kaum Persis dengan pihak Ahmadiyah Jakarta yang pernah menghebohkan,
peristiwa tersebut didahului dengan perdebatan sengit antara keduanya yang
mengakibatkan banyak anggota Ahmadiyah keluar dan sebagian lagi menjadi
anggota Persis. Contoh lain misalnya bagaimana A. Hassan menolak keras paham
mengenai sampainya pahala bacaan Yasin orang hidup kepada orang yang sudah
mati.
Berdebat dalam hal agama menurut A. Hassan bagaikan membebaskan katak dari
kurungan tempurung sehingga memberi kesempatan bagi manusia untuk memilah
dan memilih kebenaran sejati. Tindakan dan cara seperti ini memang banyak
ditentang oleh sejumlah orang terutama bagi mereka yang sama sekali tidak
memiliki kemampuan atau keberanian dalam berdebat, tetapi seperti yang
diungkapkan oleh Moh. Natsir bahwa beragama itu harus cerdas dan jelas, sebab
antara yang hak dan yang batil tidak bisa dicampur. Memang bagi orang yang kalah
berdebat bisa saja menjadikannya sebuah tamparan dimuka umum sehingga
menjadikannya trauma, tetapi bagaimanapun agama ini tidak boleh dipahami secara
beku, kita harus berani kritis dalam beragama.

Bid'ah dalam agama bukan suatu perbedaan, bid'ah adalah penyimpangan dari
Qur'an dan Sunnah, membiarkan Bid'ah artinya kita memupuk perbuatan yang salah
dan kemunafikan.
A.Hassan tahu benar bahwa pendiriannya yang terlalu keras dalam beragama
menimbulkan banyak orang benci dan memusuhinya. Tetapi disayang atau dibenci
buatnya adalah urusan orang lain. Dia tidak memperdulikan masalah itu. Baginya
musuh dalam tulisan tetapi tidak dengan orangnya. Dia selalu hormat kepada setiap
orang walaupun itu musuhnya sendiri. Bertamu kerumahnya pintu terbuka lebar,
apalagi orang itu datang dari jauh, diterimanya bahkan dilayaninya sebaik-bainya.
Dia sangat memuliakan tamu. Setiap surat yang datang dari siapapaun pasti
dibalasnya sehingga ia disebut juga singa dalam tulisan dan domba dalam
pergaulan.
A.Hassan ahli dalam segala macam masalah agama, segala macam pertanyaan
dapat dijawabnya. Dia mempunyai buku catatan mengenal hampir semua masalah
agama. Setiap masalah disusun menurut abjad, dan dalam seuatu munazarah atau
perdebatan ia hanya membawa buku catatan tersebut.
Menurut Buya Hamka, banyak buku karangan A. Hassan dalam bahasa Indonesia
menyiarkan paham Islam dengan dasar al-Qur'an dan Hadis, memerangi taklid atau
ikut-ikutan paham orang lain tanpa mengetahui dasarnya. Dia menganjurkan
kebebasan berpikir, menolak Bid'ah dan khurafat atau ajaran yang tidak masuk akal
dan membersihkan akidah dari pengaruh ajaran lainnya. A. Hassan juga sangat
gigih memberantas penyimpangan praktek keagamaan Islam yang berlebihan
seperti pendudukan posisi ulama yang lebih tinggi dari ajaran Rasul sampai-sampai
meskipun suatu pengajaran itu bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah namun
tetapi conding untuk taklid kepada ulama.
Keistimewaan seorang A. Hassan adalah pada kekuatan hujjahnya atau dasar
argumentasinya serta keteguhan dalam mempertahankan pendirian yang beliau
yakini kebenarannya.
A.Hassan berpulang kerahmatullah pada hari Senin tanggal 10 November 1958,
meninggalkan banyak buku dan tulisan lainnya, dia mewariskan ilmu dan dia pantas
disebut sebagai gudang ilmu ulama Indonesia modern meskipun pendidikan
formalnya rendah. Selamat Jalan A. Hassan ... semoga Allah mengampuni semua
salah dan dosa yang telah kau lakukan dan memberikan ganjaran sesuai dengan
apa yang telah engkau perbuat untuk menegakkan kebenaran agama-Nya, bebas
dari semua khurafat, mitos dan bid'ah.
Demikianlah kiranya sedikit biografi singkat dari A. Hassan Bandung yang nama
besarnya sekarang jarang disebut-sebut dan dikenal oleh umat Islam, semoga apa
yang sudah disampaikan ini bisa memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
bagi kita semua.
Wassalam,
Sumber: http://laskarpenasukowati.blogspot.com/2011/09/profil-ulama-hassan.html

http://ust-tik.blogspot.com/2012/03/hasan-sang-guru-besar-persis.html

Persatuan Islam ( Persis )

Persis dan Gerakan Tajdid


Oleh : Syahruddin El-Fikri
Persis ingin kembali menjadi gerbong pembaruan pemikiran keislaman untuk
mewujudkan Islam rahmatan lil alamin.

Jumlah organisasi Islam di Indonesia sangat banyak. Salah satunya adalah


Persatuan Islam ( Persis ). Organisasi ini didirikan pada 12 September 1923 di Bandung, oleh
H Zamzam dan H Muhammad Yunus. Keduanya merupakan ulama yang berasal dari
Sumatra. Organisasi ini didirikan sebagai respons atas kondisi umat Islam yang terbelakang
akibat penjajahan.
Organisasi ini dikenal luas sebauah gerakan pembaruan Islam ( harakah tajdid ). Misi
utamanya adalah mengembalikan umat Islam kepada Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad
SAW. Persis lahir untuk menghadirkan Islam yang sesuai dengan kedua sumber hukum Islam
tersebut.
Aktivitas utama Persis adalah dalam bidang dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan.
Melalui peran ini, Persis ingin berperan aktif dalam memberikan kontribusi untuk meluruskan
pemahaman umat Islam yang keliru terhadap agamanya. Ada dua agenda besar yang ingin
dicapai Persis, yakni memurnikan akidah umat ( Ishlah al-Aqidah ), dan meluruskan ibadah
umat ( Ishlah al-Ibadah ).
Sejak berdirinya pada 1923, Persis tetap konsisten berjuang menegakkan misi utama
organisasi ini. Bahkan, Ahmad Hassan, sang guru utama Persis, harus berhadapan dengan
sejumlah tokoh yang mendebatnya, karena dianggap pandangannya yang radikal. Namun,
semua itu dibuktikan A Hassan dengan dasar-dasar yang konkret dalam Alquran. A Hassan
menginginkan umat ini kembali mengkaji Al-Quran dan Sunnah, sebagai rujukan utama. Bila
tidak ditemukan dasarnya dalam kedua sumber hukum Islam tersebut, maka perbuatan itu
harus ditinggalkan.
Dari sini, lahirlah sejumlah tokoh Islam. seperti Mohammad Natsir (mantan perdana menteri
RI), KH Mohammad Isa Anshary ( singa mimbar ), KH Endang Abdurrahman ( ulama yang
rendah hati ), KH Abdul Lutfi Muchtar ( ulama yang memberi warna baru di tubuh Persis ),
Shiddiq Amien ( ulama dan dai yang rendah hati ), serta masih banyak lagi. Semuanya
memiliki visi yang sama, yakni memurnikan ajaran Islam yang berkembang di masyarakat,
seperti bidah, khurafat, dan takhayul.
Untuk memperkuat visi dan misinya, maka dibentuklah sejumlah badan otonom. Seperti
Persatuan Islam Istri ( Persistri ), Pemuda Persatuan Islam, Himpunan Mahasiswa Persatuan
Islam, Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam, dan Ikatan Santri dan Pelajar Persatuan Islam,
yang kini tengah digodok. Upaya ini dilakukan untuk membekali dan membentengi akidah
umat Islam sejak dini.

Persatuan Islam sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah, saat
ini telah memiliki sekitar 215 pondok pesantren, 400 masjid, serta sejumlah lembaga
pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Itu semua tersebar di seluruh
Indonesia.
Tak hanya itu, Persis juga berkontribusi dalam pengelolaan dan pendistribusian aset umat
dalam bentuk zakat, wakaf, dan pengelolaan ekonomi umat, seperti Pusat Zakat Umat
( PZU ) dan Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ).
Kini, program utama yang dikembangkan Persis pada lima tahun ke depan adalah
menegaskan kembali peran Persis sebagai gerbong pembaruan pemikiran keislaman, gerakan
dakwah dan pendidikan untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 3 Oktober 2010 / 24 Syawal 1431 H

Persis dan Pemurnian Islam


Oleh : Nidia Zuraya
Persis bermula dari kelompok tadarusan di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Keberadaan penjajah Belanda di Indonesia telah melahirkan semangat


persatuan dan keberagamaan umat Islam. Sebab, kedatangan penjajah ke bumi nusantara
telah membawa sejumlah peradaban baru yang sebagian di antaranya tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Sementara itu, tingkat keberagamaan umat Islam juga mulai bercampur dengan
kebiasaan dan tradisi yang menurut beberapa tokoh tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
murni.
Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi nusantara.
Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia. Salah satunya adalah
Persatuan Islam ( Persis ). Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh
sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan
pembaruan ( tajdid ) Islam. Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang
sebagian besar berusia muda.
Sebagaimana diketahui, gerakan pembaruan Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun
1802 atau bersamaan dengan kembalinya sejumlah ulama Indonesia dari Tanah Suci Makkah.
Para ulama ini melihat secara langsung gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arab.
Mereka kemudian mengembangkan gerakan tajdid. Melalui gerakan tersebut, para ulama ini
berupaya meluruskan semua praktik ibadah di kalangan masyarakat Muslim yang masih
bercampur dengan bidah dan khurafat. Praktik ibadah seperti itu dipandang tidak sesuai
dengan Al-Quran dan Sunnah.
Semangat dan isi gerakan pembaruan Islam ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat
Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat

berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Mereka yang mendukung
gerakan ini menamakan diri sebagai kelompok modernis Islam.
Pada awal abad ke-20, gerakan pembaruan Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya
berbagai organisasi kelompok modernis Islam di sejumlah kota besar, di antaranya AlJamiyyah Al-Khoiriyah atau dikenal dengan nama Jamiat Khair pada 17 Juli 1905 di Jakarta,
Al-Irsyad ( berdiri di Jakarta, 11 Agustus 1915 ), dan Muhammadiyah di Yogyakarta ( 12
November 1912 ).
Kota Bandung, sebagaimana dijelaskan Dadan Wildan dalam buku Yang Dai Yang Politikus:
Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, tampaknya agak lambat menerima arus gerakan
pembaruan Islam ini dibandingkan daerah-daerah lain meskipun Syarekat Islam ( SI ) telah
beroperasi di daerah ini sejak 1913. Kesadaran akan keterlambatan ini merupakan salah satu
cambuk berdirinya sebuah organisasi baru, yakni Persatun Islam ( Persis ).
Kelompok tadarusan
Berdirinya Persis, terang Dadan, diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan
( penelaahan agama Islam ) di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus. Kelompok tadarusan yang berjumlah sekitar 20 orang itu menelaah,
mengkaji, dan menguji ajaran-ajaran Islam yang berkembang di tengah masyarakat.
Para anggota tadarusan tersebut sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, tertutupnya
pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian praktik bidah. Mereka kemudian mencoba
melakukan gerakan tajdid ( pembaruan ) dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang
dianggap menyesatkan. Seiring dengan banyaknya peminatnya, kelompok ini menyadari
perlunya membentuk sebuah organisasi baru yang memiliki karakter khusus.
Pada 1 Shafar 1342 H, bertepatan dengan 12 September 1923, kelompok tadarus ini sepakat
mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam. Nama Persatuan Islam ini diberikan
dengan maksud untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad: berusaha sekuat tenaga mencapai
harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan
pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Ide persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini diilhami firman Allah dalam AlQuran surah Ali-Imran ayat 103 dan hadis Nabi SAW yang memerintahkan pentingnya
persatuan.
Dan, berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Allah
seluruhnya; dan janganlah kamu bercerai-berai. (QS Ali Imran [3]: 103). Kekuatan Allah
itu beserta jamaah. ( HR Tirmidzi ). Kedua dasar inilah yang menjadi moto Persis dan ditulis
dalam lambang Persis yang berbentuk lingkaran bintang bersudut 12.
Dalam perkembangannya, konsep persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini
dituangkan Persis melalui gerakan pendidikan Islam dan dakwah. Persis juga berusaha
menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bidah. Saat ini,
organisasi Persis telah tersebar di sejumlah provinsi, di antaranya Jawa Barat, Jawa Timur,
DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Gorontalo. ed: syahruddin elfikri

Sekilas tentang Persis


Nama : Persis
Berdiri : 12 September 1923
Lokasi : Bandung
Pendiri : H Zamzam dan H Muhammad Yunus

Visi : Memurnikan Ajaran Islam Berdasarkan Al-Quran dan Hadis


Ketua Umum : Prof Dr KH Maman Abdurrahman

Prof. Dr. KH. Maman Abdurrahman


Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 3 Oktober 2010 / 24 Syawal 1431 H

Penerapan Hukum Islam


Oleh : Nidia Zuraya

Sebagai organisasi Islam, Persis mempunyai tujuan utama untuk


memberlakukan hukum Islam di tengah masyarakat, sebagaimana tuntunan Al-Quran dan
Hadis di masyarakat.
Menurut Tafsir Qanun Asasi Persis, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada
masa penjajahan kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau
kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya mendirikan organisasi ini karena
terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW
berdiri di atas bukit Shafa untuk menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkan atas
kepentingannya.
Menurut Dadan Wildan, para pendiri Persis menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika
itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka
melihat bahwa sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam buaian taklid, jumud,
khurafat, bidah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, tulis Wildan,

Persis berdiri atas dasar kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk mengubah kemandekan
berpikir dan membuka ketertutupan pintu ijtihad.
Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, menurut
Howard M Federspiel dalam tulisannya yang bertajuk Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia, Persis mempunyai ciri tersendiri. Kegiatan organisasi ini dititikberatkan pada
pembentukan paham keagamaan.
Sejalan dengan ini, Isa Anshary dalam buku Manifest Perjuangan Persatuan Islam
menyatakan bahwa Persis tampil sebagai sebuah organisasi kaum Muslim yang sepaham dan
sekeyakinan, yakni kaum pendukung dan penegak Alquran dan sunah.
Menurut Isa Anshary, Persis mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam dan
bukan dalam bidang organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari
kaum Muslim. Ia mencari kualitas, bukan kuantitas. Ia mencari isi, bukan jumlah. Karena
itu, organisasi ini tampil sebagai salah satu sumber kebangkitan dan kesadaran baru bagi
umat Islam serta menjadi kekuatan dinamika dalam menggerakkan kebangkitan umat Islam.
Sejak awal berdirinya, Persis tidak memberikan penekanan pada kegiatan organisasi. Para
pengurus Persis tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah
sebanyak mungkin jumlah anggota. Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah semangat
keberagamaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana dikehendaki oleh Allah dan
rasul-Nya yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, organisasi ini tidak cepat berkembang menjadi sebuah organisasi yang besar.
Sebab, itu bukan tujuan utamanya. Namun, pengaruh organisasi ini tampak jauh lebih besar
dibandingkan jumlah cabang ataupun anggotanya. ed: syahruddin el-fikri
Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 3 Oktober 2010 / 24 Syawal 1431 H

Kiprah Persis
Oleh : Nidia Zuraya
Pengamalan ajaran Islam terus dikembangkan dari bidang pendidikan, penerbitan,
hingga masalah ekonomi umat.

Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran paham


Alquran dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di antaranya dengan
mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus,
pendirian sekolah-sekolah ( pesantren ), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta
berbagai aktivitas keagamaan lainnya.
Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah
bagi orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan Holland
Inlandesch School ( HIS ) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di
bawah pimpinan Mohammad Natsir. Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi didirikan
Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung.

Dalam bidang penerbitan ( publikasi ), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalahmajalah, di antaranya majalah Pembela Islam ( 1929 ), Al-Fatwa ( 1931 ), Al-Lissan ( 1935 ),
At-Taqwa ( 1937 ), majalah berkala Al-Hikam ( 1939 ), Aliran Islam ( 1948 ), Risalah
( 1962 ), Pemuda Persis Tamaddun ( 1970 ), majalah berbahasa Sunda Iber ( 1967 ), dan
berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di
berbagai tempat. Beberapa di antara majalah tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi.
Melalui penerbitan inilah, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide mengenai dakwah
dan tajdid. Bahkan, tak jarang di antara para dai ataupun organisasi-organisasi keislaman
lainnya menjadikan buku-buku dan majalah-majalah terbitan Persis ini sebagai bahan
referensi mereka.
Gerakan dakwah dan tajdid Persis juga dilakukan melalui serangkaian kegiatan khutbah dan
tabligh yang kerap digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis,
permintaan dari cabang-cabang, undangan dari organisasi Islam lainnya, maupun atas
permintaan masyarakat luas.
Pada masa Ahmad Hassan-guru utama Persis-kegiatan tabligh yang digelar Persis tidak hanya
bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang berbagai masalah
keagamaan. Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul Islam di Sukabumi pada 1932,
kelompok Ahmadiyah ( 1933 ), Nahdlatul Ulama ( 1936 ), kelompok Kristen, kalangan
nasionalis, bahkan polemik yang berkepanjangan antara Ahmad Hassan dan Ir Soekarno
tentang paham kebangsaan.
Sepeninggal Ahmad Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini mulai jarang dilakukan.
Persis tampaknya lebih menonjolkan sikap low profile sambil tetap melakukan edukasi untuk
menanamkan semangat keislaman yang benar. Namun, bukan berarti tidak siap untuk
berdiskusi dengan kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam satu bidang tertentu.
Jika dibutuhkan, Persis siap melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy.
Di pengujung abad ke-20, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain. Orientasi Persis
dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan umat. Mulai dari bidang
pendidikan ( tingkat dasar hingga pendidikan tinggi ), dakwah, bimbingan haji, zakat, sosial,
ekonomi, perwakafan, dan lainnya.
Dalam perkembangannya, sejak tahun 1963, Persis mengoordinasi pesantren-pesantren dan
lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Hingga Muktamar II di
Jakarta tahun 1995, Persis tercatat telah memiliki 436 unit pesantren dari berbagai tingkatan.
Selain itu, Persis pun menyelenggarakan bimbingan jamaah haji dan umrah dalam kelompok
Qornul Manazil, mendirikan beberapa bank Islam skala kecil ( Bank Perkreditan Rakyat /
BPR ), mengembangkan perguruan tinggi, mendirikan rumah yatim dan rumah sakit Islam,
membangun masjid, seminar, serta lainnya.
Dalam bidang organisasi, Persis membentuk Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam
struktur organisasi. Dewan Hisbah ini difungsikan dalam pengambilan keputusan hukum
Islam di kalangan Persis. ed: syahruddin el-fikri
Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 3 Oktober 2010 / 24 Syawal 1431 H

Mengenal Tokoh-tokoh Persis


Oleh : Nidia Zuraya

Ahmad Hassan
Keberadaan sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga sekarang tidak terlepas dari peran
serta para tokohnya. Demikian pula halnya dengan Persis. Organisasi yang pertama kali
dibentuk oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus ini telah melahirkan sejumlah tokoh
besar. Mereka menjadi tumpuan umat dalam memahami masalah agama.
Selain Ahmad Hassan ( A Hassan ), salah seorang tokoh dan menjadi guru utama Persis,
organisasi Islam ini juga melahirkan tokoh lainnya, seperti Mohammad Natsir, Mohammad
Isa Anshary, KHE Abdurrahman, dan KH Abdul Latief Muchtar. Bagaimana sosok dan kiprah
mereka?

Mohammad Natsir
Dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada 17 Juli
1908. Ia adalah putra pasangan Sutan Saripado-seorang pegawai pemerintah-dan Khadijah. Ia
pergi ke Bandung pada 1927 untuk melanjutkan studinya di AMS A-2 (setingkat SMA
sekarang).
Di Kota Kembang ini, minat Natsir terhadap agama semakin berkembang. Karena itu, selama
di Bandung, Nastir berusaha memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti pengajianpengajian Persis yang disampaikan Ahmad Hassan.
Selain itu, Natsir juga mengikuti pelajaran agama di kelas khusus yang diadakan oleh Ahmad
Hassan untuk anggota muda Persis yang sedang belajar di sekolah milik Pemerintah Belanda.
Bahkan, dengan inisiatif Natsir, Persis kemudian mendirikan berbagai lembaga pendidikan,
antara lain Pendidikan Islam ( Pendis ) dan Natsir sebagai direkturnya ( 1932-1942 ) serta
Pesantren Persatuan Islam pada 4 Maret 1936.
Keberadaan sekolah-sekolah ini ditujukan untuk membentuk kader-kader yang mempunyai
keinginan memperdalam dan mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan membela ajaran
Islam. Natsir adalah orang yang terlibat langsung dalam proses kaderisasi di bawah
bimbingan Ahmad Hassan.
Dengan demikian, Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan Persis. Di bawah
kepemimpinannya, Persis menjelma menjadi organisasi yang bukan hanya berupa kelompok
diskusi atau pengajian tadarusan kelas pinggiran, melainkan sebuah organisasi Islam modern
yang potensial. Dalam waktu singkat, ia berhasil menempatkan Persis dalam barisan
organisasi Islam modern.

Mohammad Isa Anshary


Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan periode kedua Persis
sesudah kepemimpinan KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan
Mohammad Natsir yang mendengungkan slogan Kembali kepada Alquran dan As-Sunnah.
Pada periode kedua ini, salah seorang tokoh Persis yang pernah memimpin adalah KH
Mohammad Isa Anshary.
KH Mohammad Isa Anshary lahir di Maninjau Sumatra Tengah pada 1 Juli 1916. Pada usia
16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam di tempat kelahirannya, ia
merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum. Di
Bandung pula, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam Jamiyyah Persis hingga
menjadi ketua umum Persis.
Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai pada 1940 ketika ia menjadi
anggota hoofbestuur ( Pusat Pimpinan ) Persis. Tahun 1948, ia melakukan reorganisasi Persis
yang mengalami kevakuman sejak masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan.
Tahun 1953 hingga 1960, ia terpilih menjadi ketua umum Pusat Pimpinan Persis.
Selain sebagai mubaligh, Isa Anshary juga dikenal sebagai penulis yang tajam. Ia termasuk
salah seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar
V Persis ( 1953 ) dan disempurnakan pada Muktamar VIII Persis ( 1967 ).
Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary menganggap perjuangan Persis sungguh vital dan
kompleks karena menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan
kader, Isa Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader
muda Persis.
Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam
tahanan Orde Lama di Madiun. Kepada Yahya Wardi yang menjabat ketua umum Pimpinan
Pusat Pemuda Persis periode 1956-1962, Isa Anshary mengirimkan naskah Renungan 40
Tahun Persatuan Islam yang ia susun dalam tahanan untuk disebarkan kepada peserta
muktamar dalam rangka meningkatkan kesadaran jamaah Persis.
Melalui tulisannya, Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam
usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi Persis.
Semangat ini terus ia gelorakan hingga wafatnya pada 2 Syawal 1389 H yang bertepatan
dengan 11 Desember 1969.

KHE Abdurrahman
KH Endang Abdurrahman tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan
berwawasan luas. Dengan gaya kepemimpinan yang luwes, ia telah membawa Persis pada
garis perjuangan yang berbeda: tampil low profile dengan pendekatan persuasif edukatif,
tanpa kesan keras, tetapi teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
Abdurrahman dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang, Kabupaten Cianjur,
pada Rabu, 12 Juni 1912. Ia merupakan putra tertua dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama
Ghazali, seorang penjahit pakaian, dan ibunya bernama Hafsah, seorang perajin batik.
KH Aburrahman dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hukum yang tawadhu. Ia lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan
hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.
Sosok ulama Persis yang satu ini, sebagaimana ditulis Fauzi Nur Wahid dalam bukunya KHE
Abdurrahman: Peranannya dalam Organisasi Persatuan Islam, semula memiliki pemahaman
keagamaan yang bersifat tradisional. Namun, pada kemudian hari, ia beralih menjadi ulama

yang berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah serta menentang berbagai ibadah, khurafat,
dan takhayul.
Pada masa kepemimpinannya, banyak persoalan mendasar yang dihadapi Persis. Di
antaranya, bagaimana mempertahankan eksistensi Persis di tengah gejolak sosial politik yang
tidak menentu. Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik yang
beragam.
Selain itu, Persis juga berhadapan dengan aliran-aliran yang dianggap menyesatkan umat
Islam. Untuk menghadapi aliran tersebut, ia memerintahkan para mubaligh Persis dan
organisasi yang ada di bawah Persis untuk terjun ke daerah-daerah secara rutin dalam
membimbing umat.

KH Abdul Latief Muchtar


Dilahirkan di Garut pada 7 Januari 1931 dari pasangan H Muchtar dan Hj Memeh. Sejak
kecil, KH Abdul Latief Muchtar sudah bersentuhan dengan Persis hingga akhirnya menjadi
ketua umum Persis, menggantikan KHE Abdurrahman yang wafat.
Jika Persis kini tampak low profile, itu semua tidak lepas dari kepemimpinan KH Abdul
Latief. Pada masa kepemimpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan
umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.
Pada masa awal jabatannya sebagai ketua umum Persis, KH Abdul Latief dihadapkan pada
keguncangan jamaah Persis karena adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang
menuntut semua organisasi kemasyarakatan ( ormas ) di Indonesia mencantumkan asas
tunggal Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya. Persoalan asas tunggal
ini dihadapi dengan visi dan pemikiran KH Latief yang akomodatif. Ia mencoba
menjembatani persoalan ini dengan baik.
Dalam bidang jamiyyah ( organisasi ), KH Latief bertekad menjadikan organisasi Persis
makin terbuka ( inklusif ). Persis harus mampu diterima semua kalangan, tanpa ada kelompok
yang merasa takut dengan keberadaannya.
KH Latief bercita-cita mengembangkan objek dakwahnya ke lingkungan kampus. Baginya,
kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan diisi dengan materi dakwah
yang tepat. Karena itulah, ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom
mahasiswa Persis di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan
Himpunan Mahasiswi Persis. ed: syahruddin el-fikri
Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 3 Oktober 2010 / 24 Syawal 1431 H
http://abdaz.wordpress.com/ormas-islam/persatuan-islam-persis/

Biografi A. Hasan
Diposkan oleh aLumNUs BalZ
A. Riwayat Hidup dan Keluarga A. Hassan
Sekitar 500-600 tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang berpengaruh, namun
karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya, mereka hijrah meninggalkan Mesir
menuju India dengan kapal layar yang terbuat dari kayu. Setibanya di India, mereka digelar
Maricar yang berarti kapal layar. Mereka bermukim di Kail Patnam dengan berdagang. Melihat
rupa dan bentuknya kemungkinan mereka berasal dari Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain
pedagang, juga terdapat ulama pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang A. Hassan. 1[1]

A. Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad Sinna Vappu
Maricar yang digelari Pandit berasal dari India dan ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat,
Madras. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia berdagang di kota tersebut, kemudian
menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat
kabar Nurul Islam di Singapura. Ia suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta
mengadakan tanya jawab dalam surat kabarnya.2[2]
A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di
Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir, (2) Jamilah,
(3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Said, (7) Manshur.
B. Pendidikan
A. Hassan belajar al-Quran pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di Sekolah
Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab, Inggris, Melayu dan
Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.3[3]
Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto
Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk ukuran daerahnya
keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu dan
sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa tidak memiliki kemajuan, karena hanya
menghafal saja tanpa dimengerti, semangat belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu,
untunglah gurunya naik haji. Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah
al-Musawi sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh Hassan alMalabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika ia
berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang
tafsr, fiqh, farid, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki itulah
yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap agama secara
otodidak.
Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi Utusan Melayu
yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak menulis tentang masalah
agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan yang kebanyakannya
dalam bentuk syair. Ia pernah menulis, mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang
dengan mengumpulkan tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilth). Bahkan pernah dalam salah
satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak
diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk berdagang dan
mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan berangkat, pamannya
berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih
Hasyim karena dianggap sesat dan berfaham Wahhabi.
Berawal dari pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah yang kemudian mengajukan
pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca ushalliy sebelum takbirat al-ihrm. Sesuai dengan
pengetahuannya ketika itu, A. Hassan menjawab bahwa hukumnya sunnah. Ketika ditanyakan lagi
mengenai alasan hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat diperoleh dari
kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa soal semudah itu yang
dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum
Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar A. Hassan memberikan alasan sunnatnya membaca

2
3

ushalliy dari al-Quran dan Hadis, karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan
Allah dan Rasul-Nya. A. Hassan kemudian berjanji akan memeriksa dan menyelidiki masalah itu.
Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang
dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keesokan harinya A. Hassan mulai memeriksa kitab Shahh alBukhriy dan Shahh Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Quran mengenai alasan sunnatnya ushalliy
namun ia tidak menemukannya, pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A. Hassan bergaul
rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di Surabaya itu. Pada tahun 1924 M.,
A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan
tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru
Persatuan Islam.
C. Geneologi Pemikiran
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar belakang yang
mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan, pergaulan serta setting sosial yang
melingkupi sehingga membentuk karakter berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap studi Hadis
sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-Dahlawiy di India dan Muhammad alSyawkniy di Yaman. Maka, pada abad kesembilan belas muncullah gerakan Ahl-i-Hadis di India,
yang dalam masalah-masalah hukum, Ahl-i-Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid
dalam tradisi pemikiran al-Dahlawiy dan al-Syawkniy dengan tekstualitas pemahaman yang
merupakan gagasan pemikiran Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahl-i-Hadis cenderung tekstual
dalam memahami al-Quran dan Hadis, di samping itu mereka sepenuhnya menolak kewenangan
ijm, kecuali ijm sahabat. Dari sisi karakternya, antara gerakan Ahl-i-Hadis di India dan gerakan
Wahhabiy di Arab adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya berjalan masing-masing.
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya, Ahmad, dikenal
sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak membenarkan ushalliy, tahlilan, talqin, dan
lain sebagainya, sebagaimana faham Ahl-i-Hadis dan Wahhabiy pada umumnya. Demikian pula
beberapa orang India di Singapura, seperti Thalib Rajab Ali, Abdul Rahman, Jailani, yang juga
dikenal sebagai orang-orang yang berfaham Wahhabiy.
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang dilaluinya
hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu
yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca
majalah Al-Manr yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imm yang
diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji
kitab Al-Kafaah karya Ahmad al-Syurkati, Bidyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zd al-Mad
karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthr karya Muhammad Ali al-Syawkniy, dan Subul alSalm karya al-Shanniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya.
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim,
Ahmad Syurkatiy, H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur, H. Munawar Chalil, Soekarno,
Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren

Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himyat al-Islm (
) yang
diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok,
Bangil.

Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya,
dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan, Hud Abdullah Musa, Luthfie Abdullah
Ismal, selain itu murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,
Ahmad Husnan, Muhammad Haqqiy, dan masih banyak yang lain.
D. Karya-karya Ilmiyah
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik di
majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya, antara lain:
1. Dalam bidang Al-Quran dan Tafsir: Tafsir Al-Furqn, Tafsir Al-Hidyah, Tafsir Surah
Ysn, dan Kitab Tajwd.
2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushl Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah
Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Ftihah, Risalah Haji, Risalah
Zakt, Risalah Rib, Risalah Ijm, Risalah Qiys, Risalah Madzhab, Risalah Taqld,
Al-Jawhir, Al-Burhn, Risalah Jumat, Hafalan, Tarjamah Bulg al-Marm,
Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushl Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Faraidh.
3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi
Secara Islam.
4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel,
Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.
5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan,
Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is
Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjl, AlTauhid, Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-Aqid, al-Munzharah, Suratsurat Islam dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?
6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtr, Sejarah Isr Mirj,
7.Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair,
First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab
Tashrf, Kamus Al-Bayn, dan lain-lain. 4[4]
Dari karya-karya ilmiyah yang telah diwariskan A. Hassan tersebut, dapat dilihat betapa luas
ilmu yang ia geluti, yang secara umum Endang Saifuddin Ansari dalam makalah seminar tentang
pemikiran A. Hassan di Singapura Tahun 1979 M. mengelompokkan secara garis besarnya sebagai
berikut:
1. Mengenai Muhammad Rasulullah saw.;
2. Mengenai Sumber Norma dan Nilai Islam: al-Quran dan al-Sunnah;
3. Mengenai Aqidah;
4. Mengenai Syariah: ibadah dan muamalah;
5. Mengenai Akhlak;

6. Mengenai Studi Islam (Dirsat Islamiyyah): Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh dan Ushl
Fiqh, Ilmu Akhlak, Ilmu Tasawwuf, dan lain sebagainya.
7. Mengenai pelbagai soal hidup lainnya, seperti: politik, ekonomi, sosial, kesenian, ilmu
pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan agama, dan lain sebagainya.
E. Metode A. Hasan Dalam Takhrij Hadits
Dalam hal metode takhrij al-hadts ini, selama berbulan-bulan penulis mengkaji dan
meneliti kitab-kitab karya A. Hassan, namun penulis tidak menemukan penjelasan tentang metode
takhrj yang digunakannya. Setelah salah seorang guru penulis, Salam Russyad, berkunjung ke rumah
di Gowa pada Januari lalu, penulis mengambil kesempatan untuk bertanya tentang masalah ini, dan
menurutnya, A. Hassan nampaknya memang belum menggunakan metode takhrj al-hadts
sebagaimana lima metode tersebut. Persoalannya, buku-buku semacam itu sangat langka pada
masanya. Namun, lanjutnya, kitab Nayl al-Awthr karya al-Syawkniy dan Subul al-Salm karya alShanniy, serta kitab-kitab lainnya, seperti syuruh al-hadts yang dimiliki A. Hassan sudah cukup
membantunya menelusuri sanad dan matan Hadis kepada kitab aslinya, dan ini termasuk salah satu
cara takhrj pada masa itu.
Ketika penulis mengkaji buku Mengenal Muhammad (Al-Nubuwwah) karya A. Hassan, pada
kata pengantarnya ia mengemukakan:
Isi kitab ini saya ambil dari: Al-Jmi al-Shagr.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa A. Hassan telah memiliki salah satu kitab yang biasa
dipakai dalam kegiatan takhrj al-hadts metode ke-2 sebagaimana penjelasan di atas.
Dari kegiatan takhrj al-hadts maka hal yang sangat bermanfaat antara lain; (1)
terkumpulnya berbagai sanad dengan berbagai lambang periwayatan dari suatu Hadis, dan (2)
terkumpulnya berbagai redaksi dari sebuah matan Hadis yang sedang diperiksa. Dapat penulis
simpulkan bahwa dengan menggunakan metode takhrj al-hadts maka seorang pemeriksa Hadis
dapat mengetahui asal-usul dan seluruh sanad dan matan Hadis yang diperiksa, serta ada atau
tidaknya syhid atau mutbi.
A. Hassan mengemukakan contoh di bawah ini, yaitu Hadis kedatangan Jibrl bertanya
tentang iman, islam, dan ihsan kepada Nabi Muhammad shalla Allh alayhi wa sallam di hadapan
para sahabat yang diriwayatkan oleh Al-Bukhriy melalui jalan sahabat Ab Hurayrah radhiya Allh
anhu. Al-Bukhriy berkata:















)) :

((


Musaddad ceritakan kepada kami, ia berkata: Ismal ibn Ibrhm ceritakan kepada kami, ia
berkata: Ab Hayyn al-Taymiy khabarkan kepada kami, dari Ab Zurah, dari Ab Hurayrah,
ia berkata: Nabi shalla Allh alayhi wa sallam pada suatu hari pernah keluar menemui para
sahabat, lalu datanglah Jibrl bertanya, apa iman itu? Nabi shalla Allh alayhi wa sallam
menjawab: Iman itu ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya, dan bahwa engkau percaya kepada pembangkitan
(sesudah mati)
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhriy, Muslim, dan Ibnu Mjah. Untuk
menelusurinya lebih lanjut, seseorang yang sedang melakukan kegiatan takhrj, dapat menggunakan

kitab Al-Jmi al-Shagr f Ahdts al-Basyr al-Nadzr karya al-Suythiy, sebagaimana kitab yang ada
pada A. Hassan. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Hadis no. 3092:
(( )3 ).

Hadis no. 3093:


.

()( )
Pada akhir matan Hadis no. 3092 terdapat symbol (3 )( )maksudnya, Hadis ini
diriwayatkan oleh Muslim, Ab Dwud, al-Nasiy, dan al-Turmudziy, dari Umar ibn al-Khaththb,
dengan kualitas shahh. Demikian pula pada akhir matan Hadis no. 3093 terdapat symbol ( )
( )maksudnya, Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bayhaqiy dalam kitabnya, Syuab al-mn, dari
Umar ibn al-Khaththb, dengan kualitas shahh pula. Demikian menurut al-Suythiy.
Setelah Hadis-Hadis tersebut diketahui sumber kitabnya, maka seseorang yang sedang
memeriksa Hadis ini harus terus menelusuri dan mengumpulkan seluruh sanad dan matan-nya
masing-masing dari kitab-kitab para Pendaftar Hadis tersebut untuk kemudian dibuatkan gambaran
sanad-nya.
b. Gambaran Sanad
Setelah mengadakan kegiatan takhrj al-hadts maka langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan terhadap sanad yaitu dengan melakukan kegiatan al-itibr terlebih dahulu atau dalam
istilah A. Hassan dinamai gambaran sanad. Hal ini dilakukan agar supaya orang yang memeriksa
Hadis dapat mengetahui ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus syhid
atau mutbi.
Contoh gambaran sanad Hadis kedatangan Jibrl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan
tersebut di atas, melalui jalan sahabat Ab Hurayrah radhiya Allh anhu
Gambaran sanad Hadis riwayat Ahmad, sebagai berikut:
1. Ahmad (haddatsan)
Ibrhm (haddatsan)
Taymiy (an)
Allh anhu, (qla)
sallam

2. Ismal ibn
3. Ab Hayyn al4. Ab Zurah, (an)
5. Ab Hurayrah radhiya
6. Al-Nabiy shalla Allh alayhi wa

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Bukhriy, sebagai berikut:


1. Al-Bukhriy (haddatsan)
Musaddad (haddatsan)
ibn Ibrhm (akhbaran)
Hayyn al-Taymiy (an)
Zurah, (an)
Hurayrah radhiya Allh anhu, (qla)
Allh alayhi wa sallam
Gambaran sanad Hadis riwayat Muslim, sebagai berikut:

2.
3. Ismal
4. Ab
5. Ab
6. Ab
7. Al-Nabiy shalla

1. Muslim (haddatsan)
Bakr ibn Ab Syaybah dan Zuhayr ibn Harb (haddatsan)
ibn Ibrhm (an)
Hayyn al-Taymiy (an)
Zurah, (an)
Hurayrah radhiya Allh anhu, (qla)
Allh alayhi wa sallam

2. Ab
3. Ismal
4. Ab
5. Ab
6. Ab
7. Al-Nabiy shalla

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Nasiy, sebagai berikut:


1. Al-Nasiy (akhbaran)
Muhammad ibn Qudmah ibn Ayun al-Qurasyiy (an)
Abd al-Hamd al-Tsaqafiy (an)
Urwah ibn al-Hrits al-Hamdniy (an)
(an)
Dzarr al-Gifriy radhiya Allh anhuma, (ql)
sallam

2.
3. Jarr ibn
4. Ab Farwah
5. Ab Zurah ibn Amr,
6. Ab Hurayrah dan Ab
7. Al-Nabiy shalla Allh alayhi wa

Gambaran sanad Hadis riwayat Ibnu Mjah, sebagai berikut:


1. Ibnu Mjah (haddatsan)
Ab Bakr ibn Ab Syaybah (haddatsan)
Ismal ibn Ibrhm (an)
Ab Hayyn al-Taymiy (an)
Zurah, (an)
Hurayrah radhiya Allh anhu, (qla)
Allh alayhi wa sallam

2.
3.
4.
5. Ab
6. Ab
7. Al-Nabiy shalla

c. Syhid dan Mutbi


A. Hassan menjelaskan pengertian syhid yang artinya penyaksi, umpamanya, jika ada satu
Hadis Nabi Muhammad shalla Allh alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhriy, dari jalan
Ibnu Abbs radhiya Allh anhu, kemudian Hadis yang sama maknanya itu diriwayatkan pula
melalui jalan sahabat lain, maka jalan sahabat lain inilah dinamakan syhid. Adapun Mutbi artinya
yang mengikuti atau yang mengiringi, umpamanya, bila Hadis tadi, diriwayatkan dari Ibn Abbs juga,
maka yang ini dinamakan mutbi.
Jadi, syhid itu adalah satu Hadis yang matan-nya mencocoki matan Hadis lain, dan
biasanya sahabat yang meriwayatkannya pun berlainan.
Contoh matan Hadis kedatangan Jibrl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan tersebut di
atas, melalui jalan sahabat Ab Hurayrah radhiya Allh anhu. Setelah diperiksa melalui gambaran
sanad, ternyata terdapat sahabat Ab Dzarr al-Gifriy dan Umar ibn al-Khaththb radhiya Allh
anhuma yang menjadi syhid-nya, demikian seterusnya, walaupun lafazh matan-nya ada perbedaan,
namun maknanya mencocoki, inilah yang disebut syhid manan. Bila lafazhnya sama disebut syhid
lafzhan.
Adapun mutbi itu adalah satu Hadis yang sanad-nya menguatkan sanad lain dari Hadis itu
juga.
Contoh sanad Hadis kedatangan Jibrl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan tersebut di atas,
melalui jalan sahabat Ab Hurayrah radhiya Allh anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhriy, ia
berkata: (haddatsan) Musaddad (haddatsan) Ismal ibn Ibrhm, dst. dan pada sanad Hadis yang

diriwayatkan oleh Muslim, ia berkata: (haddatsan) Ab Bakr ibn Ab Syaybah dan Zuhayr ibn Harb
(haddatsan) Ismal ibn Ibrhm, dst. ternyata antara guru al-Bukhriy, yakni Musaddad dan dua
guru Muslim, yakni Ab Bakr ibn Ab Syaybah dan Zuhayr ibn Harb sama-sama menerima Hadis di
atas dari Ismal ibn Ibrhm. Guru-guru Muslim itulah yang disebut mutbi.

A. Hassan mengemukakan definisi Hadis sahih menurut pandangannya, sebagai


berikut:
H
adis yang sah datangnya dari Nabi saw. yaitu Hadis yang didengar dari Nabi oleh seorang
rawi A; dan A menyampaikan pada B; dan B menyampaikan pada C; dan C menyampaikan
pada D; dan seterusnya begitu sampai tertulis di kitab-kitab Hadis para imam-imam yang
masyhur. Tiap-tiap rawi dari A, B dan seterusnya itu, harus bersifat kepercayaan.
Definisi yang dikemukakan oleh A. Hassan ini, memberi kesan bahwa ia telah
menyederhanakan kaedah kesahihan Hadis menjadi dua saja, yaitu; (1) sanad-nya
bersambung, (2) diriwayatkan oleh orang-orang yang kepercayaan (tsiqah). Penyederhanaan
ini, sudah jmiun mniun (menghimpun seluruh kaedah dan tidak mengurangi sedikitpun
ketercakupannya itu) terhadap bagian-bagian dari definisi yang telah dikemukakan oleh
muhadditsn sebelumnya.
A. Hassan melanjutkan penjelasannya tentang sifat-sifat orang yang ia sebut
kepercayaan (tsiqoh) itu sebagai berikut : Orang yang bersifat kepercayaan itu paling sedikit
harus punya empat sifat :
(1) bulg
(cukup umur), yakni hendaklah ia sudah cukup umur waktu menyampaikan Hadis yang ia
dengar itu, walaupun waktu ia mendengarnya itu, ia masih kecil. (2) Islam, yakni cukuplah ia
Islam waktu menyampaikan Hadis itu.
(3) adlah artinya keadilan, yakni
hendaklah ia bersifat dil di waktu menyampaikan Hadis itu. Yang dikatakan dil itu, yaitu
orang yang; tidak terdengar atau terlihat ia mengerjakan dosa besar teristimewa dusta dan
khianat, tidak selalu mengerjakan dosa-dosa kecil, tidak melanggar kesopanan kaumnya yang
tidak dilarang oleh agama. (4) dhbith, artinya tetap, tegak, beres dan lain-lain yang searti
dengan itu. Maksudnya di sini ialah kuat ingatannya, tidak biasa lupa atau keliru pada
meriwayatkan sesuatu Hadis.
F. Cara Memeriksa Setiap Rawi dan Metode Periwayatannya
A. Hassan mengemukakan bahwa untuk mengetahui sahih tidaknya masing-masing
Hadis, lebih dahulu perlu diketahui semua rawi-rawinya, lalu memeriksanya di kitab-kitab
rijl al-hadts, terutama kitab Mzn al-Itidl karya al-Dzahabiy, kalau rawi-rawi tersebut
semua termasuk orang-orang yang kepercayaan (tsiqah) atau tidak terdapat orang-orang yang
tercela, maka Hadis itu boleh dimasukkan dalam bilangan Hadis hasan atau Hadis sahih,
menurut kedudukannya masing-masing.
Orang yang meriwayatkan Hadis dari zaman Nabi Muhammad saw. hingga abad pentadwin-an (pengumpulan) Hadis dalam kitab-kitab, baik itu periwayat dari kalangan sahabat,
tbin, dan seterusnya, orang-orang yang terkenal besarnya atau terkenal sebagai orang yang
berdusta, orang-orang yang saleh atau fasik, penurut sunnah dengan betul atau ahli bidah
sekalipun jahatnya itu tidak diketahui, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau orang
dewasa, semua mereka itu, telah didaftarkan oleh ulama akan nama-nama mereka beserta
tarikh riwayat hidup (biografi) masing-masing sedapat-dapatnya.
Kitab-kitab yang menerangkan tarikh rawi-rawi itu ada banyak dan bermacam-macam
metode penulisannya, ada yang bercampur antara perawi sahih dan dhaf, seperti Tahdzb alTahdzb karya Ibnu Hajar al-Asqalniy dan Mzn al-Itidl karya al-Dzahabiy; ada yang
menerangkan rawi-rawi yang baik dan yang boleh dipercaya saja, seperti kitab Al-Tsiqt
karya Abu al-Hasan Ahmad ibn Abdillh ibn Shlih al-Ijliy dan Al-Tsiqt karya Ibnu

Hibbn al-Busthiy; ada yang pisahkan (khususkan) rawi-rawi yang lemah, pendusta, fasik,
dan sebagainya, seperti kitab Al-Dhuaf al-Kabr karya al-Bukhriy dan Al-Kmil f
Dhuaf al-Rijl karya Abu Ahmad Abdullah ibn Adiy al-Jurjniy; ada yang sendirikan
rawi-rawi dari kalangan sahabat saja, seperti kitab Al-Istib f Marifat al-Ashhb karya Ibnu
Abd al-Barr dan Usud al-Gbat f Marifat Asm al-Shahbah karya Ibnu al-Atsr al-Jazriy;
demikianlah seterusnya.
A. Hassan menyebutkan pula beberapa kitab-kitab yang menerangkan biografi para
perawi Hadis yang ada padanya, antara lain; (1) Tahdzb al-Tahdzb karya Ibnu Hajar
al-Asqalniy, terdiri dari 12 Juz, mengandung 12.460 nama rawi. (2) Lisn al-Mzn karya
Ibnu Hajar al-Asqalniy, terdiri dari 6 Juz, mengandung 15.343 nama rawi. (3) Mzn alItidl karya al-Dzahabiy, terdiri dari 3 Juz ukuran besar, mengandung 10.907 nama rawi. (4)
Al-Ishbah karya Ibnu Hajar al-Asqalniy, terdiri dari 8 Juz besar, kitab ini khusus
menerangkan riwayat hidup sahabat-sahabat Nabi saw. dsb., mengandung 11.279 nama
sahabat. (5) Usud al-Gbat f Marifat Asm al-Shahbah karya Ibnu al-Atsr al-Jazriy, terdiri
dari 4 Jilid, mengandung 7.500 nama sahabat Nabi. (6) Al-Trkh al-Kabr karya al-Bukhriy,
sebanyak 6 Jilid, mengandung 9.048 rawi Hadis. (7) Al-Fihris karya Ibn Nadm, terdiri dari
10 Juz tipis. (8) Al-Badr al-Thli karya al-Syawkniy, ada 2 Juz, mengandung 441 nama
rawi, dan ada Mulhaq-nya 1 Juz. (9) Al-Jarh wa al-Tadl karya Ibn Aby Htim, ada 9 Jilid
sedang, mengandung 18.040 nama rawi-rawi. (10) Al-Durar al-Kminah karya Ibnu Hajar
al-Asqalniy, terdiri dari 4 Juz, yang mengandung 5320 nama-nama. (11) Nuzhat alKhawthir karya Abd al-Hayy al-Hasaniy, ada 3 Jilid, mengandung 807 nama-nama ulama
India yang ada sangkut pautnya dengan sanad-sanad Hadis. (12) Tajl al-Manfaah karya
Ibnu Hajar al-Asqalniy, terdiri dari 1 Juz, yang mengandung 1733 nama rawi yang tidak
terdapat pada kitabnya Tahdzb al-Tahdzb. [13] Thabaqt al-Mudallisn karya Ibnu Hajar
al-Asqalniy, terdiri dari 1 Juz. [14] Ilal al-Hadts karya Ibn Aby Htim, terdiri dari 2 Juz,
mengenai penyakit-penyakit Hadis.[18]
Literatur-literatur biografi para periwayat Hadis tersebut masih tersimpan rapi di
perpustakaan peninggalan A. Hassan di Bangil. Ini, menunjukkan bahwa A. Hassan cukup
menguasai literatur rijl al-hadts.
Data informasi yang harus diperiksa dari perawi Hadis menurutnya, sebagai berikut;
(1) nama lengkap perawi, termasuk laqab dan atau kunyah-nya, (2) kelahirnya, (3) tahun
matinya, (4) negerinya, (5) guru-gurunya, (6) murid-muridnya, (7) dimana ia belajar yakni
sejarah perlawatannya mencari Hadis, (8) siapa-siapa yang ia jumpai dari kalangan ahli
Hadis, (9) penilaian ulama terhadapnya.
Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan dari hasil pemeriksaan A. Hassan
terhadap biografi perawi Hadis, yaitu Hadis tentang keadaan jasad para Nabi di alam kubur
riwayat Ahmad, Ab Dwud, Al-Nasiy, Ibnu Mjah, Ibnu Hibbn, al-Hkim, al-Bayhaqiy,
al-Drimiy, Sad ibn Manshr, al-Thabrniy, dan Ibn Ab Syaybah. Menurut al-Hkim dan
al-Nawwiy, Hadis tersebut sahih. Al-Mundziriy juga menganggap Hadis tersebut baik.
Namun A. Hassan melemahkan Hadis tersebut.
Ketida ksahihan Hadis tersebut menurut A. Hassan, disebabkan karena adanya
seorang perawi dalam sanad Hadis tersebut yang bernama Abdurrahmn ibn Yazd ibn Jbir.
Adapula sebagian ahli Hadis yang menyebutkan bahwa Hadis tersebut tidaklah melalui jalur
Abdurrahmn ibn Yazd ibn Jbir, tetapi melalui Abdurrahmn ibn Yazd ibn Tamm.
Pemeriksaan terhadap perawi Hadis memang sangat diperlukan, sebab dengan
memeriksa keadaan mereka, orang yang mengadakan pemeriksaan akan lebih yakin akan
kesahihan sebuah riwayat. Dalam memeriksa perawi Hadis, A. Hassan hanya memeriksa guru

mukharrij hingga tabiin, karena menurutnya, para sahabat itu sudah masyhur ke-dil-an
mereka, demikian pula para mukharrij. Ia mengemukakan:
Sebenarnya, ulama-ulama Pendaftar Hadis, seperti Malik, Ahmad, Bukhriy,
Muslim, dan lain-lainnya, tidak perlu diperiksa lagi, karena mereka sudah diuji kealiman,
kesalehan, dan keamanatannya dalam urusan agama, terutama dalam urusan Hadis oleh
ulama-ulama yang sangat teliti di masing-masing masa dan terus menerus. Begitu juga, para
sahabat Nabi yang jadi rawi yang masyhur-masyhur, sudah diselidiki dan diuji oleh ulama
dan terdapat kebenaran, kesalehan, keikhlasan, dan keamanatan yang sempurna pada
mereka. Jadi yang perlu diperiksa itu ialah lain dari dua golongan tersebut.
Dari pernyataan ini, dapat penulis simpulkan bahwa kegiatan pemeriksaan terhadap pribadi
periwayat yang dilakukan A. Hassan, lebih tertuju pada, selain para sahabat Nabi yang jadi rawi yang
masyhur-masyhur dan Pendaftar Hadis. Alasannya, karena mereka telah lulus uji pemeriksaan
yang diadakan oleh ulama terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA

A. Hassan, et al., Soal Jawab, Jilid II, (Cet. XII; Bandung: Penerbit CV Diponegoro, 2000
M.), h. 696.
A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushl Fiqh, dalam Tarjamah Bulg al-Marm,
(Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.), h. 5-6.; Selanjutnya disebut
Muqaddimah Ilmu Hadis saja.
A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998 M.), h. 228.
Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994 M), h. 11
Lihat tulisan Tamar Jaya, Riwayat Hidup A. Hassan, dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung:
CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), h. 709; Howard M.

http://staipi-tafsirhadist.blogspot.com/2011/09/biografi-hasan.html

PEMIKIRAN PENDIDIKAN A. HASAN

Oleh: Imanuddin Kamil, Lc


I. PENDAHULUAN
Dalam makalah yang sederhana ini, penulis mencoba menelusuri pemikiran seorang tokoh
yang terkenal gigih dan bersemangat memurnikan ajaran Islam sesuai Al-Qur'an dan Sunnah.
Posisi dan perannya sangat menonjol dalam perkembangan Islam nusantara pada paruh
pertama abad 20 yang merupakan zaman pergolakan pemikiran. Lewat tulisannya yang tajam
dan tegas di berbagai risalah, buku, dan majalah, sang tokoh ini telah memberikan kontribusi
yang cukup besar dalam gerakan pembaruan Islam di Indonesia.
Ulama besar yang dikenal dengan Ahmad Hassan Bandung (ketika masih bermukim di
Bandung) atau Ahmad Hassan Bangil (sejak bermukim di Bangil) ini telah menorehkan
sejarah baru dalam gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia dengan ketegasan,
keberanian, dan kegigihannya menegakkan Al-Quran dan sunnah secara konsekuen.
Terkadang, orang menganggap pemikirannya terlalu radikal.
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan sang tokoh, keulamaan dan kepakarannya
dalam bidang agama tentu tidak serta merta menghantarkannya menjadi tokoh pendidikan.
Perlu kajian dan penelitian lebih mendalam untuk mencoba mengungkapnya. Apa lagi sang
tokoh tidak meninggalkan warisan yang khusus memuat concern sang tokoh dan ide-idenya
tentang pendidikan. Referensi warisan sang tokoh tersebut boleh dibilang minim jika
dibandingkan produktifitas menulisnya membuahkan karya. Menurut catatan Wikipedia
karyanya hampir mencapai 70-an buku, namun hanya satu dua buku yang bisa ditelusuri dan
diketahui alur dan corak pemikirannya tentang pendidikan. Di antara buku-buku tersebut
adalah; Kesopanan Tinggi, Hai Putraku, Hai Putriku dan Hai Cucuku.

Selain itu, tentu kiprahnya membangun Pesantren Bangil (yang saat ini dipimpin oleh
cucunya) bisa menjadi bahan referensi untuk menelusuri lebih jauh terkait ide dan
pemikirannya tentang pendidikan. Dan last but not least, tokoh-tokoh ulama besar hasil
didikannya seperti, Mohammad Natsir, KHM. Isa Anshori, KHE. Abdurrahman, dan KH.
Rusyad Nurdin, sedikit banyak juga bisa menguak mindstream pendidikan sang tokoh ini.
II. PEMBAHASAN
A. Biografi A. Hassan
A Hassan lahir pada tahun 1887 di Singapura dengan nama kecilnya Hassan Bin Ahmad.
Ayahnya bernama Ahmad seorang pedagang, pengarang dan wartawan terkenal di Singapura.
Ia menjadi pemimpin redaksi surat kabar Nurul Islam yang terbit di Singapura. Sedangkan
ibunya, Hajjah Muznah berasal dari Palekat, Madras India dan mempunyai asal-usul dari
Mesir, tetapi lahir di Surabaya. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia berdagang di
kota tersebut, kemudian mereka menetap di Singapura.5[1]
Ahmad Hassan merupakan nama yang dipengaruhi oleh budaya Singapura. Nama aslinya
adalah Hassan bin Ahmad, namun karena mengikuti kelaziman budaya Melayu yang
meletakkan nama keluarga atau orang tua di depan nama asli, akhirnya nama Hassan bin
Ahmad berubah menjadi Ahmad Hassan, dan selanjutnya lebih dikenal dengan A. Hassan. 6
[2]Dalam lingkungan perniagaan dan kewartawanan ayahnya itulah A Hassan dilahirkan dan
dibesarkan. Sebagai anak laki-laki, sang ayah berharap apabila besar nanti A Hassan menjadi
seorang penulis seperti dirinya. Untuk itu, dia berusaha memberi pendidikan yang terbaik
kepada A Hassan.
Suatu keistimewaan yang dianugerahkan Allah SWT. kepada Hassan, dalam usia 7 tahun,
dia sudah mempelajari Al-Quran dan dasar-dasar pengetahuan agama. Berkat ketekunan dan
kecerdasannya, kedua pelajaran ini dapat diselesaikannya dalam tempo dua tahun.7[3]
Selepas itu, Hassan masuk sekolah Melayu selama 4 tahun dan mempelajari bahasa Arab,
bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Inggris. Hassan tidak sempat menamatkan sekolah
dasarnya di Singapura, tetapi dia sudah mulai bekerja pada usia 12 tahun. Dia bekerja di
sebuah kedai kepunyaan iparnya Sulaiman.8[4]
Hassan mempelajari ilmu nahwu dan sharaf pada Muhammad Thaib, seorang guru
terkenal di Minto Road atau juga terkenal di Kampung Rokoh. Demi semangat dan cintanya
5
6
7
8

kepada ilmu, Hassan menerima persyaratan dari gurunya, yakni datang belajar pagi sebelum
subuh dan tidak boleh naik kenderaan ketika datang mengaji.9[5]
Setelah beberapa lama belajar Nahwu-sharaf, lalu Hassan memperdalam bahasa Arab
kepada Said Abdullah Al-Munawi Al-Manusili selama beberapa tahun. Di samping itu,
Hassan juga memperdalam agama dengan Abdul Lathif (guru yang terkenal di Melaka dan
Singapura), Haji Hassan (Syeikh dari Malabar) dan Syeikh Ibrahim India.Semua proses
belajar seperti ini ditekuni oleh Hassan dengan penuh dedikasi hingga tahun 1910 ketika
Hassan berusia 23 tahun.10[6]
Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang tafsir,
fiqh, faraid, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki itulah
yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap
agama secara otodidak.11[7]
Meskipun ketekunannya dalam menuntut ilmu begitu tinggi, di luar waktu belajar, Hassan
juga mempunyai keterampilannya tersendiri mengasah bakat dalam bidang bertenun dan
pertukangan kayu. Dia juga sempat membantu ayahnya di percetakan, menjadi pelayan di
kedai perniagaan permata, minyak wangi, dan sebagainya malah pernah bekerja di Jeddah
Pilgrims Office, sebuah pejabat urusan jemaah haji.12[8]
Setelah menyelesaikan proses belajar hingga tahun 1910, Hassan mula mengabdikan diri
sebagai guru di Madrasah untuk orang-orang India dan di beberapa tempat, di antaranya di
Arab Street, Baghdad Street dan Geylang di Singapura.13[9]
Keinginan ayahnya untuk melihat Hassan menjadi penulis mulai menampakkan hasilnya
ketika Hassan mulai menunjukkan kecenderungannya ke bidang tersebut dalam usia masih
muda. Pada tahun 1912-1913, dia membantu Utusan Melayu yang diterbitkan di Singapura
pimpinan Inche Hamid dan Sadullah Khan. Hassan banyak menulis tentang agama yang
berupa nasihat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan. Ia juga menyoroti berbagai
persoalan yang berkembang dalam bentuk syair. Tulisannya banyak memuat kritikan
masyarakat demi untuk kemajuan Islam. Dan tema tulisan demikian itulah yang banyak
mewarnai hasil karyanya di masa-masa berikutnya.14[10]

9
10
11
12
13
14

Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di


Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir, (2)
Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Said, (7) Manshur. 15
[11]

lanjutkan
Hijrah ke Indonesia dan Perkenalannya dengan Gerakan Tajdid (Persatuan Islam)
Pada tahun 1921, A Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya. Awalnya kepindahannya
adalah untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya. Tetapi mengalami
kerugian dan beliau kembali ke profesi awalnya sebagai tukang vulkanisir ban mobil.16[12]
Atas saran teman dekatnya, A, Hassan kemudian belajar tenun di Kediri. Selesai di Kediri
kemudian melanjutkan ke sekolah pertenunan milik pemerintah di Bandung pada tahun
1925. Di Kota Kembang ini ia tinggal bersama keluarga Muhammad Yunus (salah seorang
pendiri Persatuan Islam). Di kota inilah ia berkenalan dengan para saudagar PERSIS, antara
lain, Asyari, Tamim, Zamzam dan lain-lain.17[13]
Dari perkenalan ini A. Hassan sering diundang untuk ceramah dan memberikan pelajaran
pada pengajian-pengajian jamaah PERSIS. Dengan metode dakwahnya dan kepribadiannya
serta pengetahuannya yang luas, jamaah PERSIS tertarik dengan A. Hassan sehingga ia
dikukuhkan sebagai guru dan tokoh PERSIS. Hal inilah yang membuat ia membatalkan untuk
kembali ke Surabaya.18[14]
Di Bandung selain aktif sebagai guru PERSIS, ia memberi kursus/privat kepada pelajarpelajar didikan Barat, bertabligh setiap minggu, menyusun berbagai karangan pada berbagai
majalah. Salah satu majalah yang dirintis bersama teman-temannya adalah Pembela Islam.
Kehadiran A. Hassan ini menjadikan Persis sebagai organisasi Islam yang berani
menyuarakan aspirasinya pada masa itu. A. Hassan sendiri dikenal sebagai tokoh yang cukup
keras mengkritik praktik ibadah tradisional yang diklaim sebagai bidah dan khurafat.
Kegiatan tabligh dan dakwah menjadi ujung tombak penyebaran paham Al-Quran-sunnah
yang dilaksanakan di berbagai tempat. Dalam aktivitas tabligh ini, Ahmad Hassan lebih
senang melakukannya dengan metode diskusi dan dialog. Karena itu, perdebatan sengit
tentang berbagai masalah keagamaan sering kali digelar. Terutama terkait persoalan agama
yang tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan sunnah. Salah satu debat fenomenalnya adalah
15
16
17
18

perdebatannya dengan kelompok Ahmadiyyah dan surat menyuratnya dengan presiden


Soekarno.
Pada tahun 1940 M, A. Hassan pindah ke Bangil Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren
Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himyat al-Islm (

) yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di


Pekuburan Segok, Bangil.19[15]
Dari Madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya,
dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan, Hud Abdullah Musa, Luthfie
Abdullah Ismal, selain itu murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara
lain; Aliga Ramli, Ahmad Husnan, Muhammad Haqqiy, dan masih banyak yang lain.20[16]
B. Geneologi Pemikiran A. Hassan
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar belakang yang
mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan, pergaulan serta setting sosial
yang melingkupi sehingga membentuk karakter berfikirnya.
Pada abad 18, penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap studi Hadis sedang
berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-Dahlawiy di India dan Muhammad
al-Syawkniy di Yaman. Maka, pada abad 19 muncullah gerakan Ahl-i-Hadis di India, yang
dalam masalah-masalah hukum, Ahl-i-Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid
dalam tradisi pemikiran al-Dahlawiy dan al-Syawkniy dengan tekstualitas pemahaman yang
merupakan gagasan pemikiran Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahl-i-Hadis cenderung
tekstual dalam memahami al-Quran dan Hadis, di samping itu mereka sepenuhnya menolak
kewenangan ijm, kecuali ijm sahabat. Dari sisi karakternya, antara gerakan Ahl-i-Hadis di
India dan gerakan Wahhabiy di Arab adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya
berjalan masing-masing.21[17]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya, Ahmad, dikenal
sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak membenarkan ushalliy, tahlilan,
talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham Ahl-i-Hadis dan Wahhabiy pada umumnya.
Demikian pula beberapa orang India di Singapura, seperti Thalib Rajab Ali, Abdul Rahman,
Jailani, yang juga dikenal sebagai orang-orang yang berfaham Wahhabiy.22[18]

19
20
21
22

A.Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang dilaluinya
hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil,
dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada masa
itu, ia telah membaca majalah Al-Manr yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di
Mesir, majalah Al-Imm yang diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau.
Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafaah karya Ahmad al-Syurkati, Bidyat alMujtahid karya Ibnu Rusyd, Zd al-Mad karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthr
karya Muhammad Ali al-Syawkniy, dan Subul al-Salm karya al-Shanniy. Semua bacaanbacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya.23[19]
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim,
Ahmad Syurkatiy, H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur, H. Munawar Chalil,
Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.
Dalam buku Yang Dai Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya
Dadan Wildan, disebutkan bahwa Ahmad Hassan juga memberikan andil besar terhadap
pemikiran keislaman Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno.24[20]
Kepada Ahmad Hassanlah, dalam pembuangannya di Ende, Flores (NTT), Bung Karno
meminta buku-buku dan majalah-majalah karya Ahmad Hassan, sebagai pengisi roh
batiniahnya yang haus akan keislaman. Dari Ahmad Hassanlah api Islam Bung Karno
menyala.25[21]
C. Karya Tulisnya
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik
di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Menurut catatan Wikipedia, tidak kurang 70an buku yang ditulisnya. Di antara karyanya adalah:
1. Dalam bidang Al-Quran dan Tafsir: Tafsir Al-Furqn, Tafsir Al-Hidyah, Tafsir Surah Ysn,
dan Kitab Tajwd.
2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushl Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama,
Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Ftihah, Risalah Haji, Risalah Zakt,
Risalah Rib, Risalah Ijm, Risalah Qiys, Risalah Madzhab, Risalah Taqld, Al-Jawhir,
Al-Burhn, Risalah Jumat, Hafalan, Tarjamah Bulg al-Marm, Muqaddimah Ilmu Hadis
dan Ushl Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Faraidh.

23
24
25

3.

Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi Secara

Islam.
4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel, Benarkah
Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.
5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan, Pemerintahan
Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is Islam?, ABC Politik,
Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjl, Al-Tauhid, Al-Iman, Hikmat dan
Kilat, An-Nubuwwah, Al-Aqid, al-Munzharah, Surat-surat Islam dari Endeh, Is
Muhammad a True Prophet?
6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtr, Sejarah Isr Mirj.
7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair, First
Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab Tashrf,
Kamus Al-Bayn, dan lain-lain.26[22]
Dari karya-karya ilmiah yang telah diwariskan A. Hassan tersebut, dapat dilihat betapa
luas ilmu yang ia geluti. Secara umum Endang Saifuddin Ansari dalam makalah seminar
tentang pemikiran A. Hassan di Singapura Tahun 1979 M. mengelompokkan karya-karyanya
secara garis besarnya sebagai berikut:27[23] 1) Mengenai Muhammad Rasulullah saw. 2)
Mengenai Sumber Norma dan Nilai Islam: al-Quran dan al-Sunnah. 3)Mengenai Aqidah. 4)
Mengenai Syariah: ibadah dan muamalah. 5) Mengenai Akhlak. 6) Mengenai Studi Islam
(Dirsat Islamiyyah): Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh dan Ushl Fiqh, Ilmu Akhlak,
Ilmu Tasawwuf, dan lain sebagainya. 7) Mengenai pelbagai soal hidup lainnya, seperti:
politik, ekonomi, sosial, kesenian, ilmu pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan agama,
dan lain sebagainya.
D. Pemikiran Pendidikan A. Hassan
Sebagaimana disinggung penulis di bagian mukadimah, tidak mudah untuk menelesuri
pemikiran sang tokoh terkait pendidikan. Hal itu karena warisan sang tokoh yang secara
khusus berbicara tentang pendidikan bisa dikata minim. Namun, kiprah dan aktivitas sang
tokoh sangatlah kental dengan dunia pendidikan. Di lingkungan Persatuan Islam, beliaulah
yang menggagas sekolah formal, sebagaimana saat kepindahannya ke Bangil, beliau juga
mendirikan Pesantren Persis Bangil di sana.

26
27

Tidak heran kalau beberapa peneliti menyebut A. Hassan sebagai termasuk salah satu
tokoh yang punya kontribusi dalam memajukan pendidikan dan pemikiran Islam di
lingkungan pergerakan Islam yang ada terutama dalam hal ini Persatuan Islam.
Michael Feener dalam bukunya, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, menyebut
A Hassan sebagai penggerak atas munculnya organisasi yang bersifat sukarela, terbukanya
kesempatan pendidikan, juga mendorong terbitnya media cetak. Ia pula yang mendorong
lahirnya sekolah pemikir dan berkembangnya komunitas baru.28[24]
Ilmuwan Jepang, Takashi Shiraishi, menyebut masa ini sebagai age in emotion, yaitu
suatu masa ketika bangsa Indonesia rajin membaca dan mendiskusikan ide-ide yang
terinspirasi dari gerakan reformasi Islam dari Timur Tengah untuk pembaruan semangat
keislaman dan melawan pengaruh kolonial Barat.29[25]
Secara ringkas pemikiran pendidikan beliau dapat dipaparkan sebagai berikut;
a. Tujuan Pendidikan.
Dalam tujuan pendidikan A. Hassan memandang bahwa tujuan pendidikan itu adalah
terciptanya akhlak yangh terpuji dalam diri peserta didik. Dalam bahasa beliau peserta didik
memiliki kesopanan tinggi secara Islam. Dalam buku Kesopanan Tinggi, A. Hassan menulis
pentingnya akhlak pada anak-anak. Beliau menulis: Maka dengan alasan Ajat-ajat dan
Hadits-hadits jang lalu itu dapatlah kita tetapkan, bahwa patut dan wadjib anak-anak
berlaku sopan, hormat, tazhim dan adab dengan tjinta, kasih, sajang, dengan perangai dan
tjara jang manis dan halus kepada ibu-bapak. (hal. 15)
A.Hassan juga menyatakan bahwa tujuan terpenting diutusnya Rasulullah Saw. adalah
untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana Rasulullah Saw. menyabdakan demikian. Dan
tujuan ini hendaknya juga menjadi tujuan pendidikan. Tulisnya; Wadjib kita memudji dan
menerima kasih kepada Tuhan jang mengutus kepada kita seorang Rasul jang datangnja
untuk menjampurnakan Kesopanan Tinggi.
Beliau juga mengkritik sistim pendidikan ala Barat yang menurutnya tidak mampu
mewujudkan tujuan ini, bahkan sebaliknya para lulusannya mengalami degradasi akhlak.
Beliau menulis; di zaman kita ini ada beberapa banjak anak-anak tiruan Barat, istimewa
anak-anak sekolah jang sudah tidak mau menghormatkan bapa saudara, emak saudara,
bapa mertua, tidak mau ber-aadab dihadapan mereka, selalu menundjuk-nundjukkan gaja
dan tjara ke-Baratan dan perangainja (hal.19)
Kemudian lanjutnya;
28
29

Sering kali kita lihat dan dengar beberapa anak-anak muda laki-laki perempuan, istimewa
anak-anak sekolah ke-Baratan, terdjerumus didalam hal jang tidak baik. (hal 41).
b. Sumber dan Wasilah Pendidikan
A. Hassan sangat teguh dalam memegang prinsip yang bersumber dari Al Quran dan Al
Sunnah. karena itu beliau tidak mengenal kompromi dengan segala hal yang bidah.
Menurutnya bid'ah dalam agama bukan suatu perbedaan, bid'ah adalah penyimpangan dari
Qur'an dan Sunnah, membiarkan bid'ah artinya memupuk perbuatan yang salah dan
kemunafikan.
Demikian teguhnya beliau dalam berpegang kepada apa yang bersumber dari Al Quran
dan Al Hadits. Dalam hal pendidikan, ini juga yang telah menjadi prinsipnya. Beliau
menjadikan Al Quran dan Al Hadits sebagai sumber pendidikan. Model sekolah yang beliau
dirikan adalah sekolah yang mendidik peserta didiknya menjadi manusia-manusia yang
bertafaqquh fiddien. Dan sampai sekarang, memang terbukti Pesantren yang dibangunnya itu
memiliki kekhasan tersendiri dalam kemampuan bersentuhan dengan kitab-kitab turats
sebagai gerbang menuju tafaqquh fiddin.
Walau demikian, A. Hassan bukanlah tipe orang yang kolot dalam berpikir. Dalam hal
wasilah dan sarana pembelajaran beliau termasuk yang berpikiran maju. Dalam
pandangannya selama tidak ada bertentangan dengan Al Quran dan Al Hadits, maka wasilah
dan sarana seperti apapun mubah-mubah saja.
Hal itu dapat dilihat misalnya saat beliau untuk pertama kali membuat tafsir al-Qur'an
dari kiri kekanan, karena tafsirnya itu menggunakan huruf latin. Pada waktu itu orang
beranggapan kafir bila memakai huruf

latin di sebelah huruf Arab. Barangkali saking

bencinya kepada Belanda, huruf latinpun dikafirkan. Sedangkan A. Hassan sendiri melalui
Persisnya menganggap masalah huruf latin hanyalah urusan duniawi.
Demikian juga ketika Pesantren Persis mempelopori gerakan pembaharuan internal dalam
bidang pendidikan, gurunya berdasi dan muridnya harus bersih dan necis tidak seperti
kalangan Pesantren waktu itu yang masih menggunakan sarung dan tidak terlalu
memperhatikan masalah pakaian. A. Hassan menganggapnya sebagai masalah yang mubahc.

mubah saja.
Metodologi Pendidikan
A. Hassan adalah seorang ahli dalam berdebat. Beberapa debat fenomenal yang
dilakukannya dengan beberapa kelompok cukup banyak menyita perhatian pubik. Dalam
buku-buku karyanya pun, tidak jarang cara penulisan yang dipilihnya adalah model dialog.
Misalkan buku Soal Jawab, Tauhid, Mengenal Nabi Muhammad dan lain-lain. Semua itu
dipaparkan secara tanya jawab.
Hal ini berimbas kepada metode dawah yang digunakannya dan termasuk dalam cara
mengajarnya. Beliau nampaknya lebih memilih metode dialog dan diskusi. Karena

menurutnya metode ini lebih memberikan kepuasan kepada peserta didik dan sekaligus
membuka pemikirannya.
Berdebat dalam hal agama menurut A. Hassan bagaikan membebaskan katak dari
kurungan tempurung sehingga memberi kesempatan bagi manusia untuk memilah dan
memilih kebenaran sejati. Tindakan dan cara seperti ini memang banyak ditentang oleh
sejumlah orang terutama bagi mereka yang sama sekali tidak memiliki kemampuan atau
keberanian dalam berdebat. Tetapi seperti yang diungkapkan oleh Moh. Natsir bahwa
beragama itu harus cerdas dan jelas, sebab antara yang hak dan yang batil tidak bisa
dicampur. Memang bagi orang yang kalah berdebat bisa saja menjadikannya sebuah tamparan
dimuka umum sehingga menjadikannya trauma, tetapi bagaimanapun agama ini tidak boleh
dipahami secara beku, kita harus berani kritis dalam beragama.
d. Kompetensi
Kompetensi yang diharapkan menurut A. Hassan adalah kompetensi yang mampu
memenuhi tujuan pendidikan yang dicanangkannya. Sedangkan tujuan pendidikan menurut
A. Hassan terciptanya manusia yang berkesopanan tinggi atau berakhlak karimah dan yang
berpegang teguh dengan Al Quran dan Al Sunnah sebagai sumber dari akhlak tersebut.
Kompetensi lainnya adalah terciptanya peserta didik yang tafaqquh fiddin. Karena untuk
dapat berpegang teguh dengan Al Quran dan Al Hadits, sejatinya setiap peserta didik harus
dibekali keahlian-keahlian yang dapat dipergunakannya untuk memahami kedua sumber
tersebut secara benar, jauh dari bidah dan taklid.
Kompetensi lainnya yang bisa diamati dari para peserta didik hasil didikan beliau adalah
keteguhannya dalam memegang prinsip. Ini yang dapat dilihat dari sosok murid-murid beliau
seperti M. Natsir, Isa Anshori ayahanda Endang Saifuddin Anshori, E. Abdurrahman, Rusyad
Nurdin dan lainnya.
III. PENUTUP
Demikian paparan singkat mengenai pemikiran pendidikan A. Hassan yang penulis dapat
sajikan dalam makalah ini. Tentu apa yang dipaparkan masih jauh dari kata sempurna.
Banyak kekurangan di sana sini yang perlu diperbaiki dan ditambahkan. Penulis merasa
sosok sang tokoh terutama terkait pemikiran pendidikannya masih perlu digali dan dikaji
lebih mendalam lagi. Semoga apa yang penulis sajikan dapat membantu para pembaca yang
concern dengan sang tokoh dalam mengkajinya.
Sebagaimana penulis juga berharap, makalah ini menjadi awal bagi penulis untuk terus
melakukan kajian yang lebih serius lagi dalam mengungkap lebih jauh warisan para
pendahulu yang dapat menginspirasi pendidikan kita. Satu hal yang menonjol dari sosok A.

Hassan adalah keberhasilan beliau dalam membina kader-kader perjuangannya. Banyak


tokoh-tokoh bangsa yang lahir dari kiprah dawah dan pendidikan beliau. Tentunya hal ini
menjadi salah satu kebutuhan kita yang mendesak saat ini. Ketika para orang tua kita masih
dihimpit perasaan risau dengan semakin langkanya kehadiran para pelanjutnya. Semoga!
http://kaderisasiulamaulilalbab.blogspot.com/2013/03/pemikiran-pendidikan-hasan.html

Ahmad Hassan (Nama lahir: Hassan bin Ahmad) atau Ahmad Bandung atau Ahmad
Bangil atau Hassan Bandung lahir di Singapura, 31 Desember 1887 meninggal di
Surabaya, 10 November 1958 pada umur 70 tahun.

Daftar isi

1 Keluarga

2 Karier

3 Murid-murid

4 Karya-karya

5 Pranala Luar

Keluarga
Ia berasal dari keluarga campuran Indonesia-India.
Sang ayah pernah menjadi redaktur majalah Nur al-Islam (sebuah majalah sastra Tamil),
selain sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa
Arab. Adapun ibu Ahmad Hassan bernama Muznah, yang berasal dari Palekat Madras, tetapi
lahir di Surabaya. Setelah menikah, kedua orang tua Ahmad Hassan ini menetap di
Singapura.

Karier

Guru Madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat, antaranya di Arab Street,
Baghdad Street dan Geylang di Singapura.

Pendiri Pesantren Persis, Bangil, Jawa Timur.

Murid-murid
Yang pernah belajar dengan A. Hassan, antara lain:

Mohammad Natsir

K.H. M. Isa Anshory

K.H. E. Abdurrahman

K.H. Rusyad Nurdin

Karya-karya
1; Tafsir Al-Quran, Al-Furqan, 1956.
2; Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama (4 jilid)
3; Kitab Pengajaran Shalat
4; Terjemah Bulughul Maram
5; A.B.D. Politik
6; Adakah Tuhan?
7; Al-Burhan
8; Al-Fara'id

9; Al-Hidayah
10; Al-Hikam
11; Al-Iman
12; Al-Jawahir
13; Al-Manasik
14; Al-Mazhab
15; Al-Mukhtar
16; An-Nubuwwah
17; Apa Dia Islam?
18; Aqaid
19; At-Tauhid
20; Bacaan Sembahyang
21; Belajar Membaca Huruf Arab
22; Bibel lawan Bibel
23; Bulughul Maram
24; Debat Kebangsaan
25; Debat Luar Biasa
26; Debat Riba
27; Debat Taklid
28; Debat Talqin
29; Dosa-dosa Yesus
30; First Step
31; Hafalan
32; Hai Cucuku
33; Hai Putriku
34; Halalkah Bermazhab?
35; Is Muhammad a Prophet?
36; Isa dan Agamanya,
37; Isa Disalib?
38; Isra' Mi'raj,
39; Kamus Persamaan,
40; Kamus Rampaian,
41; Kesopanan Islam,
42; Kesopanan Tinggi,
43; Ketuhanan Yesus,
44; Kitab Riba,
45; Kitab Tajwid,

46; Matan Ajrumiyah,


47; Merebut Kekuasaan,
48; Muhammad Rasul,
49; Nahwu,
50; Pedoman Tahajji,
51; Pemerintahan Islam,
52; Pengajaran Shalat,
53; Pepatah,
54; Perempuan Islam,
55; Qaidah Ibtidaiyah,
56; Ringkasan Islam,
57; Risalah Ahmadiyah,
58; Risalah Hajji,
59; Risalah Jum'at,
60; Risalah Kudung,
61; Special Diction,
62; Surat Yasin,
63; Syair,
64; Talqien,
65; Tertawa,
66; Topeng Dajjal,
67; Wajibkah Zakat?
68; What is Islam
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Hassan

Pemikirannya yang kritis dan tajam, kerap berlawanan dengan mayoritas pandangan
ulama tradisional.

Ahmad Hassan
AHMAD HASSAN atau A Hassan adalah salah satu tokoh utama organisasi Persatuan Islam
(Persis). Sosok ulama yang satu ini tidak hanya dikenal luas di Indonesia, tetapi juga di
negeri tetangga Malaysia dan Singapura. Sebagai seorang ulama, Ahmad Hassan dikenal

sangat militan, teguh pendirian, dan memiliki kecakapan luar biasa. Pemahamannya dalam
bidang ilmu pengetahuan agama, sangat luas dan mendalam.
Dalam buku Yang Dai Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya
Dadan Wildan disebutkan bahwa nama Ahmad Hassan yang sebenarnya adalah Hassan bin
Ahmad. Akan tetapi, berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan India di Singapura,
yang menuliskan nama orang tua (ayah) di depannya, Hassan bin Ahmad lebih dikenal
dengan panggilan Ahmad Hassan.
Ia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia-India.
Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup
ahli dalam bidang agama Islam dan kesusasteraan Tamil.
Sang ayah pernah menjadi redaktur majalah Nur al-Islam (sebuah majalah sastra Tamil),
selain sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa
Arab. Adapun ibu Ahmad Hassan bernama Muznah, yang berasal dari Palekat Madras, tetapi
lahir di Surabaya. Setelah menikah, kedua orang tua Ahmad Hassan ini menetap di
Singapura.
Masa kecil Ahmad Hassan dilewatinya di Singapura. Ia sempat mengenyam pendidikan
sekolah dasar, tetapi tidak sampai lulus. Kemudian ia masuk sekolah Melayu dan
menyelesaikannya hingga kelas empat. Ia juga sempat belajar di sekolah dasar pemerintah
Inggris sampai tingkat yang sama, sambil belajar bahasa Tamil dari ayahnya.
Saat mengenyam pendidikan di sekolah Melayu inilah ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil,
dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, ia belajar
Alquran dan memperdalam agama Islam.
Hidup mandiri
Pada usia 12 tahun, A Hassan belajar mandiri dengan bekerja di sebuah toko milik iparnya.
Sambil bekerja, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab
sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam. Dia juga mengaji pada Haji
Ahmad di Bukittiung, dan pada Muhammad Thaib, seorang guru yang terkenal, di Minto
Road.
Ahmad Hassan banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf dari Muhammad Thaib. Sebagai
orang yang keras kemauannya dalam menuntut ilmu, ia tidak keberatan jika harus datang dini
hari sebelum Subuh. Namun, karena merasa tidak ada kemajuan setelah kira-kira empat bulan
belajar nahwu dan sharaf, ia memutuskan untuk beralih mempelajari bahasa Arab pada Said
Abdullah al-Musawi selama tiga tahun.
Selain itu, ia juga belajar kepada pamannya, Abdul Lathif (seorang ulama yang terkenal di
Malaka dan Singapura), Syekh Hasan (seorang ulama yang berasal dari Malabar), dan Syekh
Ibrahim (seorang ulama dari India). Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari
beberapa guru tersebut sampai kira-kira tahun 1910, menjelang usia 23 tahun.
Selain memperdalam ilmu agama Islam, dari tahun 1910 hingga tahun 1921, Ahmad Hassan
melakukan berbagai macam pekerjaan di Singapura. Dari tahun 1910 sampai tahun 1913, ia
menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang India yang terletak di Arab Street, Baghdad
Street, dan Geylang Singapura.
Ia juga menjadi guru tetap di Madrasah Assegaf di Jalan Sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, ia
menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press.
Berbagai pekerjaan lainnya, ia geluti tanpa rasa lelah. Ia pernah menjadi buruh toko,
pedagang tekstil, permata, minyak wangi, bahkan menjadi agen distribusi es dan vulkanisir

ban mobil. Ia juga pernah menjadi juru tulis di kantor jamaah haji di Jeddah Pilgrims Office
Singapura. Selain itu, ia juga menjadi guru bahasa Melayu dan bahasa Inggris di Pontian
Kecil, Sanglang, Benut, dan Johor.
Perseteruan kaum muda dan tua
Pada tahun 1921, ia hijrah dari Singapura ke Surabaya untuk meneruskan usaha tekstil milik
pamannya. Pada masa itu, Surabaya menjadi tempat pertikaian antara kaum muda dan
kaum tua dalam masalah agama. Kaum muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang
pendatang yang menaruh perhatian besar dalam masalah keagamaan.
Di Surabaya, Faqih Hasyim memimpin kaum muda dalam upayanya melakukan gerakan
pembaruan pemikiran Islam melalui tukar pikiran, tabligh, dan diskusi-diskusi keagamaan.
Kaum muda di Surabaya ini mendapat pengaruh pembaharuan Islam dari tulisan-tulisan
Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, Zainuddin Labay (ketiganya dari Sumatra), dan
Ahmad Surkati (tokoh Persis lainnya).
Dari Kiai Haji Abdul Wahabseorang ulama di Surabaya yang di kemudian hari menjadi
tokoh Nahdlatul Ulama (NU)ia mengetahui pokok persoalan yang menyulut pertikaian
antara kaum muda dan kaum tua. Kiai Wahab mengungkapkan pelafalan ushalli (pembacaan
niat dengan bersuara yang dilakukan sebelum shalat) yang dipraktikkan oleh kaum tua
sebagai salah satu contoh pertentangan itu.
Kaum muda menolak praktik ushalli ini. Sebab, menurut mereka, tidak ada dasarnya dalam
Al-Quran dan hadis Nabi. Dalam pandangan mereka, agar dapat disebut agama,
keberagamaan hendaklah didasarkan pada Al-Quran dan hadis sahih. Karena ushalli
merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh ulama yang datang kemudian dan tidak terdapat
dalam kedua sumber hukum tersebut, kaum muda menolaknya dan menilainya sebagai
amalan yang tidak perlu dilakukan.
Pembicaraan dengan Kiai Wahab itu, mendorong Ahmad Hassan untuk berpikir lebih jauh
tentang masalah tersebut. Setelah melakukan penelitian terhadap Al-Quran dan hadis sahih, ia
sampai pada kesimpulan bahwa pendapat kaum mudalah yang benar. Sejak saat itu, ia lebih
banyak bergaul dengan Faqih Hasyim dan kaum muda lainnya. Dalam kesempatan lain, ia
sering juga bergaul dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI), seperti HOS Tjokroaminoto, AM
Sangadji, Bakri Suroatmodjo, dan Wondoamiseno.
Bergabung ke Persis
Karena lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdiskusi dengan kaum muda dan para
tokoh SI, usaha dagangnya di Surabaya mengalami kemunduran. Toko yang dikelolanya
diserahkan kembali kepada pamannya. Ia kemudian memulai usaha lain dengan membuka
perusahaan tambal ban, tetapi tidak lama kemudian tutup.
Melihat hal ini, kedua orang sahabatnya, Bibi Wantee dan Muallimin, mengirimnya ke Kediri
untuk mempelajari pertenunan. Memang saat itu di Surabaya banyak pedagang yang
membuka perusahaan tenun.
Selesai belajar pertenunan di Kediri, ia kemudian melanjutkan ke sekolah pertenunan
pemerintah di Bandung. Di kota kembang ini, ia tinggal di keluarga Muhammad Yunus, salah
seorang pendiri Persis (Persatuan Islam). Karena itu pula, ia sering mengikuti pengajianpengajian dalam lingkungan Persis.
Dengan keadaan itu, tanpa sengaja, Ahmad Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat
kegiatan penelaahan dan pengkajian Islam melalui Persis; suatu kegiatan yang tidak ingin
ditinggalkannya.

Dengan persetujuan teman-temannya, ia mengalihkan usaha tenunnya di Bandung. Akan


tetapi, perusahaan tenun yang didirikannya gagal sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah,
minatnya untuk berusaha tidak muncul lagi. Akhirnya, ia mengabdikan dirinya dalam
penelaahan dan pengkajian Islam dengan cara berkiprah dalam jamiyyah Persis. Ia
memasuki organisasi tersebut pada 1926, tiga tahun setelah organisasi ini berdiri.
http://abdaz.wordpress.com/2010/09/26/ahmad-hassan-sang-guru-utama-persis/

Hasjim Asjari & Ahmad Hasan


REP | 03 August 2011 | 07:44

Dibaca: 306

Komentar: 0

Hasjim Asjari dan Ahmad Hasan: Ulama dan Pejuang Nasional


Tidak bisa di pungkiri bahwa dalam catatan sejarah, Islam membawa pengaruh yang sangat
besar di berbagai belahan bumi, termasuk Indoneisa. Lebih khusus lagi pada masa pergerakan
nasioanal Indonesia. Islam hadir dengan berbagai wajah perjuangan dalam upaya pembelaan diri
terhadap penjajah. Saya(penulis) lebih mengkhususkan lagi pada dua tokoh Islam yang dalam
pergerakan ada perbedaan namun tetap dalam satu tujuan yakni Hasjim Asjari dan Ahmad Hasan.
1. Hasjim Asjari
Siapa yang tidak kenal Hasjim Asjari? Apalagi warga NU, ya, beliau ialah pendiri salah satu
ormas Islam ternama dan terbesar di negeri ini. Pria yang dikenal dengan sikapnya yang tawadhu ini
dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1871. Ia merupakan anak laki-laki dari pasangan suami istri yang
dari status berbeda. Ayahnya yang bernama Asjari adalah seorang kiai, sedangkan ibunya seorang
keturunan raja. Jadi, Hasjim selain keturunan kiai ia juga berdarah biru.(Kholid O. Santosa, 2007: 20)
Hidup di kalangan pesantren yang notabene masih mempercayai sesuatu yang ghoib lalu
dihubungkan dengan sestau sebagai tanda keselamtan atau kebesaran dan kemunduran itu pengaruh
kiai di pulau jawa yang identik dengan klenik. Itulah yang terjadi pada kelahiran Hasjim yang
diramalkan akan menjadi orang besar dan pemimpin umat. Hasjim tumbuh menjadi anak yang
cerdas dan mengawali pendidikannya dengan belajar mengaji dibawah bimbingan orang tuanya di
desa Keras, Jombang, tempat ayahnya pindah pada tahun 1867. Ketika berumur 15 tahun
kehidpannyapun mulai berpindah-pindah, dari pesantern satu ke pesantren yang lain dalam upaya
memperdalam keilmuannya hingga akhirnya ia menetap di Pesantrren Siwalan Panji milik Kiai Jakub
di Sidoarjo pada tahun 1891. Kemudian ia menikah dengan anak gurunya itu pada tahun 1892.
Hasjim memulai hidup barunya dengan bertandang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
Haji, namun siapa sangka, ia mendapat ujian yang berat dari Tuhan, kedua orang yang ia cintai, istri
dan anaknya, meninggal disana. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang dan berangkat lagi bersama
Ibunya, sekali lagi ia di uji oleh Tuhan, kali ini Ibundanya yang meninggal dunia. Akhirnya ia
memutuskan untuk menetap selama tujuh tahun demi memperdalam lagi keilmuannya.
Sepulang dari tanah suci, Hasjim mendirikan Pesantren Tebu Ireng dan dalam
perkembangannya ia mendirikan NU pada tahun 1926 di Surabaya(Suhartono, 2001: 50). NU yang
berhaluan Islam tradisionalis mendapat respon positif bagi kalangan kian tradisionalis dan
berkembang dengan pesat, akan tetapi, bukan berarti hadirnya NU menjadi tandingan bagi organisasi
Islam lain(modernis). Pada akhirnyapun dalam uapaya memperkuat pengaruh Islam agar tetap exist.
Maka terbentuklah MIAI(Majelis Islam Ala Indonesia) dan di ketuai oleh Hasjim Asjari. Mengenai
jalan perjuangan beliau, tentu dengan cara-cara dakwah, misal melalui tulisan-tulisan, pidato, dan
bahkan pendirian pesantren pun dalam upaya mangarah kesana. Pihak kolonial melihat kemajuan dari
umat Islam begitu pesat, maka mereka berupaya menghalangi dengan cara apapun termasuk

propsaganda, khususnya pada pesantren Tebu Ireng, Hasjim Asjari. Perjuangan yang dilakukan beliau
melawan penjajah yang paling terkenal ialah melalui fatwa. Dan pernyataan beliau yang paling
berpengaruh dalam membakar semangar revolusi pada waktu tentang kewajiban jihad bagi setiap
muslim terhadap penjajahan dengan kakuatan dan merbut kemerdekaan dari kaum penjajah. Hingga
akhirnya Hasjim wafat dala usia 79 tahun, setelah sebelumnya menjabat sebagai ketua umum
Masyumi. Sebelumnya juga, pada masa penjajahan Jepang, Hasjim mendirikan berbagai barisan
muda-barisan muda yang gagah berani melawan penjajah.
2. Ahmad Hasan
Pria ini dilahirkan di Singapura pada tahun1887. A.Hasan juga tokoh keturunan Jawa-Parsi.
Ibunya, Hajah Muznah, adalah wanita keturunan Madrasa kelahiran Surabaya, sedangkan ayahnya
Ahmad alias Sinna Wappu Maricar adalah seorang keturunan Parsi yang berprofesi sebagai
pengarang, wartawan dan penerbit surat kabar dan buku-buku dalam bahasa Tamil(Kholid O. Santosa,
2007: 86). A. Hasan kecil sangat akrab dengan ilmu agama Islam, sedangkan sekolah dasar yang ia
tempuh tidak selesai. Padahal, ayahnya ingin anaknya kelak akan mengikuti jejak sang ayah. Demi
mempelajari ilmu agama Islam secara komprehensif, A. Hasan berkelana ke berbagai daerah dan
guru, pengembaraannya ini selesai kala ia menginjak usia 23 tahun.
A. Hasan tumbuh menjadi sosok yang kuat secara keilmuan, baik itu ilmu agama Islam yang
pelajari maupun keahlian dalam jurnalistik, sesuai dengan ayahnya. A. Hasan banyak menulis
berbagai artikel yang sarat dengan nilai amar maruf nahi mungkar, yang ditulis dalam bentuk syair.
Hasan juga bergabung dengan Persis pada tahun 1924. Persis(Persatuan Islam) di Bandung pada
tahun1923(Suhartono, 2001: 47). Masuknya Hasan membawa angin segar bagi Persis, sampai-sampai
berdirinya Persis tersebut dikaikan dengan A.Hasan(pendiri) organisasi tersebut. Di tangannya, Persis
solid dan kokoh, walapun ada kader yang mengundurkan diri dan membentuk organisasi baru, namun
tidak lama(mati).
A. Hasan juga seorang yang ahli debat, banyak tokoh-tokoh agama yang pernah merasakan
apiknya cara Hasan berdebat. Itulah keahlian ganda yang dimiliki oleh Hasan, selain ahli dalam vokal
ia juga ahli mengolah pena. Pemikirannya yang demokratis dan modernis menambah ciri khas bagi
dirinya bila dibandingkan dengan pemikir Islam lain kala itu.A. Hasan juga seorang tokoh Islam yang
menentang faham nasionalisme berlebihan yang ia anggap sebagai ashabyyah yakni faham kesukuan.
Maka dari itu, A. Hasan, selain bertentangan dengan pihak penjajah, ia juga berjuang dalam melawan
arus faham yang bertentangan dengan faham Islam walapun dari rakyat pribumi.
Menjelang pendudukan Jepang, pada tahun 1941, A.Hasan terpanggil pindah ke Bangil, Jawa
Timur, untuk mendirikan dan memimpin Persis disana. Di tempat baru itu, A. Hasan menjadi pendidik
dan peneliti agama Islam. Dan menyampaikan pandangnnya itu di dalam berbagatoi penerbitan. A.
Hasan juga membangun pesantren di Bangil. Menyampaikan pikiran-pikiran baru Islam dengan tetap
mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap Islam dan umat Islam. Hingga pada senin 10
Nopember 1958, A. Hasan berpulang kerahmatulalh dalam usia 71 tahun. Namun, karya-karya beliau
tetap menjadi acuan dalam pembaharuan agama Islam.
http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/03/hasjim-asjari-ahmad-hasan-384947.html

SEJARAH BERDIRINYA JAMIYAH DINIYYAH PERSIS


Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama
Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran

akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan
semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karateristik
yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok
tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam (Persis). 30[1]
Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita
organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan
persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Alloh Swt 31[2]Dan berpegang teguhlah kamu sekalian
kepada tali (undang-undang (aturan) Alloh seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai. Serta
sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Kekuatan Alloh itu bersama al-jamaah.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009,
hal. 470-483) menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam (1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung
pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12 September 1923 M. Didirikan organisasi masyarakat
Persatuan Islam (Persis) untuk menyatukan pemahaman keislaman di masyarakat Indonesia dengan
berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, ini tampil berdakwah sekaligus
menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam.
Selain berupaya memurnikan aqidah umat Islam, juga menurut Ahmad Mansur menentang
imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol di
Indonesia. Para ulama aktivis organisasi ini, semuanya berupaya membangkitkan kesadaran
beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara serta menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada
umumnya, para aktivis menggunakan dana pribadi dalam aktivitas gerakannya, tulis Ahmad Mansur.
Dalam bukunya, Ahmad Mansur Suryanegara juga menguraikan tentang biografi A.Hassan sejak
kelahiran sampai mendirikan Persis di Bandung dan Bangil. Bahkan, disebutkan bahwa A.Hasan
merupakan tokoh yang menolak asas gerakan kebangsaan atau nasionalisme yang sedang
diperjuangkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan
Muslimin Indonesia (Permi), dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) 32[3].

30
31
32

Dakwah yang dilakukan A.Hassan melalui Persis dengan gerakan pemurnian mendapat
tantangan dari masyarakat, bahkan berdebat dengan Mama Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin
dan KH.Hidayat dengan latar belakang budaya Sunda.
Sejarah perkembangan pembaharuan keislaman di Indonesia dipelopori oleh lahirnya beberapa
jamiyyah diniyyah (organisasi keagaamaan) termasuk jamiyyah Persatuan Islam (Persis). Persatuan
Islam mempunyai posisi yang potensial dalam kehidupan sosial keagamaan di Indonesia.
Keberadaannya sebagai organisasi sosial keagamaan mempengaruhi perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat, baik yang menyangkut system budaya maupun sistem sosial. 33[4]
Adalah KH. Zamzam dan H. Muhammad Yunus yang menjadi pelopor lahirnya Jamiyyah
Persatuan Islam, pada tanggal 12 September 1923 M / 1 Shafar 1342 H yang diawali dengan
seringnya mengadakan diskusi-diskusi atau kajian-kajian kecil yang membahas masalah-masalah
keagamaan dan juga mengkritisi masalah-masalah yang terjadi. Sehingga dengan seringnya mereka
berkumpul, menjadikan mereka membentuk kelompok penelaah (study club) yang mengkaji,
menelaah, dan menguji ajaran yang diterima. Pada saat kaum muslimin Indonesia tenggelam dalam
taklid, jumud, tahayul, bidah dan syirik.34[5]
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah ini, tampil berdakwah sekaligus menentang
segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam. Selain berupaya memurnikan
akidah umat islam, persis juga berperan dalam menentang imperialis barat, kerajaan protestan
Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia. Para Ulama aktivitis
organisasi ini, semuanya berupaya membangkitkan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa, dan
bernegara serta menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivitis
menggunakan dana pribadi dalam aktivitas gerakannya.35[6]
Pemberian nama Persatuan Islam, mempunyai pengertian sebagai Persatuan Pemikiran Islam,
Persatuan Rasa Islam, Persatuan Usaha Islam, dan Persatuan Suara Islam. Penamaan ini diilhami
oleh firman Alloh.
Dalam perkembangan sejarahnya, persatuan islam ini berupaya untuk tetap konsisten dan
istiqamah dalam pandanganya tentang ajaran agama Islam yang harus dikembalikan kepada
sumbernya yang asli yaitu Al-Quran dan As-sunnah dengan berupaya untuk memberantas tradisitradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar sampai ke akar-akarnya,
sehingga menyebabkan Persatuan islam banyak dibenci bahkan di takuti oleh masyarakat, yang
menyebabkan perkembangan Persis baik dari sisi organisasi maupun dari jumlah anggota tidak
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Tidak seperti organisasi keagamaan yang lain yang

33
34
35

masih mempunyai toleransi terhadap tradisi-tradisi yang ada, sehingga mereka mudah diterima oleh
masyarakat dan menjadi ormas yang besar di Indonesia.
Tetapi walaupun begitu, Persatuan Islam mempunyai peran dan pengaruh yang sangat strategis
dalam proses perkembangan pembaharuan keislaman di Indonesia. Dengan munculnya tokoh-tokoh
yang dikenal sebagai jagonya berdebat dan berdiskusi, membuat Persatuan Islam disegani oleh
beberapa Organisasi Keagamaan yang lainnya. Bahkan Persatuan Islam menjadi besar karena peran
beberapa tokoh-tokohnya yang konsisten dengan pandangannya yang senantiasa menegakan
kebenaran walaupun harus berhadapan dengan tantangan dan rintangan yang tidak ringan.

B.

Mengenal Tokoh-Tokoh Persis


Keberadaan sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga sekarang tidak terlepas dari peran
serta para tokohnya. Demikian pula halnya dengan Persis. Organisasi yang pertama kali dibentuk oleh
Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus ini telah melahirkan sejumlah tokoh besar. Mereka menjadi
tumpuan umat dalam memahami masalah agama.
Selain Ahmad Hassan ( A Hassan ), salah seorang tokoh dan menjadi guru utama Persis,
organisasi Islam ini juga melahirkan tokoh lainnya, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Isa
Anshary, KHE Abdurrahman, dan KH Abdul Latief Muchtar. Bagaimana sosok dan kiprah mereka?

1.

Ahmad Hasan
Ahmad Hasan atau yang sering dikenal dengan Tuan Hasan adalah salah satu tokoh yang
dimiliki oleh Persatuan Islam, ia merupakan pendebat ulung yang terkenal dengan sikap dan
pendiriannya yang sangat keras dan konsisten, ia tidak segan-segan menolak berbagai hal yang
diyakininya bertentangan dengan Islam, mulai dari masalah ibadah sampai masalah politik. Ia pernah
berdebat dengan tokoh-tokoh teras Ahmadiyah seperti Rahmat Ali, Abu Bakar Ayyub, dan Abdul
Razak, hasilnya tokoh yang ketiga (Abdul Razak) bertaubat dan mengundurkan diri dari Ahmadiyah
Qadiyan. Demikian juga A. Hasan melakukan perdebatan dengan pihak Kristen, sevant day Adventist
mengenai kebenaran agama Kristen dan Bibel. Selain itu, tokoh-tokoh pemikir Belanda pun ia ladeni
seperti dengan Dierhuis, Eisink dan Prof. Schoemaker.36[7] Tak ketinggalan pula dengan orang-orang
atheis juga ia hadapi. Bahkan Presiden Soekarno pun tak luput dari di dakwahi. Ketika soekarno di
buang ke Endeh Flores, A Hasan mengirim dan membalas surat kepada soekarno yang menanyakan

36

berbagai persoalan keagamaan. Kurang lebih ada 11 surat menyurat antara Soekarno dan A. Hasan. 37
[8]
Segi-segi kehidupan A. Hasan
Menurut Muhamad Natsir, dalam sambutannya terhadap buku Tamar Djaya (1980). A. Hasan
adalah ulama besar, gudang ilmu pengetahuan, dan sumber kakuatan batin dalam menegakkan
keimanan dan pendirian.
Beliau seorang penulis karangan yang enak dibaca, baik dari majalah yang beliau terbitkan
sendiri, maupun buku-buku yang sengaja ditulisnya. Pada tahun 1956 A, Hasan berkesempatan
menunaikan ibadah haji bersama dengan K.H. M. Isa Anshary, E. Abdurahman, Tamar Djaya, Tamim,
Emzita, dan lain-lain. Salah satu hal yang paling menarik adalah kejujurannya mengakui bahwa
hajinya tidak sah, dan ia mengeluarkan surat pernyataan bagi jemaah Persis yang menyatakan
kegagalan hajinya. Padahal E. Abdurahman menyatakan bahwa A. Hasan tetap sah, sebab telah
melakukan wukuf di Arafah. Akan tetapi A. Hasan menganggap tidak sah karena tidak sampai
melempar jumrah di Mina karena ia dirawat dirumah sakit, dan ia menganggap hajinya tidak sah. Dan
ia tidak pernah menyebut dirinya Haji A, Hasan.38[9].
Sebagai seorang keturunan India, A. Hasan selalu berpakaian seperti yang biasa dilakukan oleh
orang-orang islam keturunan India, walapun beliau telah lama mengangggap dirinya orang Indonesia.
Ia selalu memakai sarung dan kain palekat (madras) dan jas putih tutup leher dengan sepasang sepatu
di bawahnya dan peci hitam.
Demikian pula kebiasaan setiap hari dalam memanggil dengan perkataan Tuan; ia senang
dengan perkataan itu pada lawan bicaranya apakah umurnya sudah tua ataupun muda. A. Hasan selalu
akan memanggilnya dengan kat Tuan dan ia pun senang pula jikaau dirinya di panggil Tuan dari
pada disebut Bapak. Sehingga ia terkenal dengan panggilan Tuan Hasan 39[10]
Sebagai penulis dia berhasil mengarang buku sejumlah 80 buku yang dikutip dari Tamr Djaja
(1980:166-168).

2.

Mohammad Natsir

37
38
39

Dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908.
Ia adalah putra pasangan Sutan Saripado-seorang pegawai pemerintah-dan Khadijah. Ia pergi ke
Bandung pada 1927 untuk melanjutkan studinya di AMS A-2 (setingkat SMA sekarang).
Di Kota Kembang ini, minat Natsir terhadap agama semakin berkembang. Karena itu, selama di
Bandung, Nastir berusaha memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti pengajian-pengajian
Persis yang disampaikan Ahmad Hassan.
Selain itu, Natsir juga mengikuti pelajaran agama di kelas khusus yang diadakan oleh Ahmad
Hassan untuk anggota muda Persis yang sedang belajar di sekolah milik Pemerintah Belanda. Bahkan,
dengan inisiatif Natsir, Persis kemudian mendirikan berbagai lembaga pendidikan, antara lain
Pendidikan Islam (Pendis) dan Natsir sebagai direkturnya (1932-1942) serta Pesantren Persatuan
Islam pada 4 Maret 1936.
Keberadaan sekolah-sekolah ini ditujukan untuk membentuk kader-kader yang mempunyai
keinginan memperdalam dan mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan membela ajaran Islam. Natsir
adalah orang yang terlibat langsung dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan Ahmad Hassan.
Dengan demikian, Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan Persis. Di bawah
kepemimpinannya, Persis menjelma menjadi organisasi yang bukan hanya berupa kelompok diskusi
atau pengajian tadarusan kelas pinggiran, melainkan sebuah organisasi Islam modern yang potensial.
Dalam waktu singkat, ia berhasil menempatkan Persis dalam barisan organisasi Islam modern.
Muhammad Natsir yang merupakan murid terbaik A. Hasan menjadikan Persis semakin
mengemuka dalam pergaulan nasional, ia mampu melambungkan pemikiran-pemikiran persis ke
pentas nasional, mampu merekayasa dan berdampak pada tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Bahkan kesuksesan intelektualitas Natsir mencapai puncaknya saat diangkat menjadi perdana menteri
pertama dalam sejarah Indonesia.40[11] Ada satu hal yang mesti mejadi teladan bagi kita, khususnya
para pejabat di Indonesia juga umumnya kita selaku generasi-genarasi muda penerus perjuangan
Islam. Bahwa ternyata walaupun M. Natsir menjabat sebagai perdana menteri juga 3 kali menjadi
menteri penerangan tidak membuat dirinya silau terhadap kekayaan juga pasilitas yang mewah.
Penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia ini sempat terheran-heran dengan
kesederhanaan seorang Natsir, hingga baju yang dikenakannya saat menjabat sebagai menteri adalah
jas yang penuh tambalan. Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam
pemerintahan,41[12] saat ia baru menjabat sebagai perdana menteri sekitar September 1950, ia tinggal
di sebuah gang hingga seseorang menghadiahkan sebuah rumah di Jalan Jawa (kini Jalan H.O.S.
Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Lelaki kelahiran Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908, ini juga

40
41

menolak hadiah mobil Chevy Impala dari seorang cukong. Dan boleh dibilang, Natsir adalah satusatunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah
menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno. 42[13]

3.

Mohammad Isa Anshary


Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan periode kedua Persis
sesudah kepemimpinan KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir
yang mendengungkan slogan Kembali kepada Alquran dan As-Sunnah. Pada periode kedua ini,
salah seorang tokoh Persis yang pernah memimpin adalah KH Mohammad Isa Anshary.
KH Mohammad Isa Anshary lahir di Maninjau Sumatra Tengah pada 1 Juli 1916. Pada usia 16
tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam di tempat kelahirannya, ia merantau
ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum. Di Bandung pula, ia
memperluas cakrawala keislamannya dalam Jamiyyah Persis hingga menjadi ketua umum Persis.
Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai pada 1940 ketika ia menjadi
anggota hoofbestuur (Pusat Pimpinan) Persis. Tahun 1948, ia melakukan reorganisasi Persis yang
mengalami kevakuman sejak masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tahun 1953 hingga
1960, ia terpilih menjadi ketua umum Pusat Pimpinan Persis.
Selain sebagai mubaligh, Isa Anshary juga dikenal sebagai penulis yang tajam. Ia termasuk
salah seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar V Persis
(1953) dan disempurnakan pada Muktamar VIII Persis (1967).
Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary menganggap perjuangan Persis sungguh vital dan kompleks
karena menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan kader, Isa Anshary
menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader muda Persis.
Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam
tahanan Orde Lama di Madiun. 43[14] Kepada Yahya Wardi yang menjabat ketua umum Pimpinan
Pusat Pemuda Persis periode 1956-1962, Isa Anshary mengirimkan naskah Renungan 40 Tahun
Persatuan Islam yang ia susun dalam tahanan untuk disebarkan kepada peserta muktamar dalam
rangka meningkatkan kesadaran jamaah Persis.
Melalui tulisannya, Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam usaha
mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi Persis. Semangat ini

42
43

terus ia gelorakan hingga wafatnya pada 2 Syawal 1389 H yang bertepatan dengan 11 Desember
1969.

4.

KHE Abdurrahman
KH Endang Abdurrahman tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan
berwawasan luas. Dengan gaya kepemimpinan yang luwes, ia telah membawa Persis pada garis
perjuangan yang berbeda: tampil low profile dengan pendekatan persuasif edukatif, tanpa kesan keras,
tetapi teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
Abdurrahman dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang, Kabupaten Cianjur, pada
Rabu, 12 Juni 1912. Ia merupakan putra tertua dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Ghazali, seorang
penjahit pakaian, dan ibunya bernama Hafsah, seorang perajin batik.
KH Aburrahman dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hukum yang tawadhu. Ia lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan hampir
setiap malam mengisi berbagai pengajian.
Sosok ulama Persis yang satu ini, sebagaimana ditulis Fauzi Nur Wahid dalam bukunya KHE
Abdurrahman: Peranannya dalam Organisasi Persatuan Islam, semula memiliki pemahaman
keagamaan yang bersifat tradisional. Namun, pada kemudian hari, ia beralih menjadi ulama yang
berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah serta menentang berbagai ibadah, khurafat, dan takhayul.
Pada masa kepemimpinannya, banyak persoalan mendasar yang dihadapi Persis. Di antaranya,
bagaimana mempertahankan eksistensi Persis di tengah gejolak sosial politik yang tidak menentu.
Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik yang beragam.
Selain itu, Persis juga berhadapan dengan aliran-aliran yang dianggap menyesatkan umat Islam.
Untuk menghadapi aliran tersebut, ia memerintahkan para mubaligh Persis dan organisasi yang ada di
bawah Persis untuk terjun ke daerah-daerah secara rutin dalam membimbing umat.

5.

KH Abdul Latief Muchtar


Dilahirkan di Garut pada 7 Januari 1931 dari pasangan H Muchtar dan Hj Memeh. Sejak kecil,
KH Abdul Latief Muchtar sudah bersentuhan dengan Persis hingga akhirnya menjadi ketua umum
Persis, menggantikan KHE Abdurrahman yang wafat.
Jika Persis kini tampak low profile, itu semua tidak lepas dari kepemimpinan KH Abdul Latief.
Pada masa kepemimpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada
masanya yang lebih realistis dan kritis.
Pada masa awal jabatannya sebagai ketua umum Persis, KH Abdul Latief dihadapkan pada
keguncangan jamaah Persis karena adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menuntut
semua organisasi kemasyarakatan ( ormas ) di Indonesia mencantumkan asas tunggal Pancasila
sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya. Persoalan asas tunggal ini dihadapi dengan visi dan
pemikiran KH Latief yang akomodatif. Ia mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik.
Dalam bidang jamiyyah ( organisasi ), KH Latief bertekad menjadikan organisasi Persis makin
terbuka ( inklusif ). Persis harus mampu diterima semua kalangan, tanpa ada kelompok yang merasa
takut dengan keberadaannya.
KH Latief bercita-cita mengembangkan objek dakwahnya ke lingkungan kampus. Baginya,
kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan diisi dengan materi dakwah yang tepat.
Karena itulah, ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di
berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswi Persis.

C. Tujuan dan Aktifitas Persis


Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini
dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum,
tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan
majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah
terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.

Untuk mencapai tujuan jamiyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain
pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari
pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal
(Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi.
Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela
Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah
berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa
Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan
diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun
permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta
masyarakat luas.

D. Kepemimpinan Persatuan Islam


Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H.
Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada
masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide
dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para
pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan
ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan.
Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah
dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis
dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua
umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh,
dll.
Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah
Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh
Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology
Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan
Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan

internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan
yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jamaah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah,
Syiah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997)
dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis
kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis).
Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis
muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis
cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham alQuran dan Sunnah.
Pada masa ini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang
lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah
dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat
Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Di bawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amienullah, anggota simpatisa Persis beserta otonomnya
tercatat kurang lebih dari tiga juta orang yang tersebar di 14 provinsi dengan 7 pimpinan wilayah, 33
Pimpinan Daerah dan 258 Pimpinan Cabang.
Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persis,
Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, Himpunan Mahasiswi Persis, aktifitas Persis
telah meluas ke dalam aspek-aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh.
Tetapi aktifitas Persis meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam
melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi), dakwah,
bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni
pembangunan-pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negeri,
menyelenggarakan berbagai seminar, pelatihan dan diskusi pengkajian Islam.
Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan
hokum Islam di kalangan Persis serta Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktiftasnya dan semakin
intensif dalam penelaahan berbagai masalah hokum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian sosial
semakin banyak dan beragam.

E.

Persis dan Gerakan Tajdid

Aktivitas utama Persis adalah dalam bidang dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan.
Melalui peran ini, Persis ingin berperan aktif dalam memberikan kontribusi untuk meluruskan
pemahaman umat Islam yang keliru terhadap agamanya. Ada dua agenda besar yang ingin dicapai
Persis, yakni memurnikan akidah umat (Ishlah al-Aqidah), dan meluruskan ibadah umat (Ishlah
al-Ibadah).
Sejak berdirinya pada 1923, Persis tetap konsisten berjuang menegakkan misi utama organisasi
ini. Bahkan, Ahmad Hassan, sang guru utama Persis, harus berhadapan dengan sejumlah tokoh yang
mendebatnya, karena dianggap pandangannya yang radikal. Namun, semua itu dibuktikan A Hassan
dengan dasar-dasar yang konkret dalam Alquran. A Hassan menginginkan umat ini kembali mengkaji
Al-Quran dan Sunnah, sebagai rujukan utama. Bila tidak ditemukan dasarnya dalam kedua sumber
hukum Islam tersebut, maka perbuatan itu harus ditinggalkan.
Dari sini, lahirlah sejumlah tokoh Islam. seperti Mohammad Natsir (mantan perdana menteri
RI), KH Mohammad Isa Anshary (singa mimbar), KH Endang Abdurrahman (ulama yang rendah
hati), KH Abdul Lutfi Muchtar (ulama yang memberi warna baru di tubuh Persis), Shiddiq Amien
(ulama dan dai yang rendah hati), serta masih banyak lagi. Semuanya memiliki visi yang sama, yakni
memurnikan ajaran Islam yang berkembang di masyarakat, seperti bidah, khurafat, dan takhayul.
Untuk memperkuat visi dan misinya, maka dibentuklah sejumlah badan otonom. Seperti
Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persatuan Islam, Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam,
Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam, dan Ikatan Santri dan Pelajar Persatuan Islam, yang kini
tengah digodok. Upaya ini dilakukan untuk membekali dan membentengi akidah umat Islam sejak
dini.
Persatuan Islam sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah, saat
ini telah memiliki sekitar 215 pondok pesantren, 400 masjid, serta sejumlah lembaga pendidikan
mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Itu semua tersebar di seluruh Indonesia.
Tak hanya itu, Persis juga berkontribusi dalam pengelolaan dan pendistribusian aset umat
dalam bentuk zakat, wakaf, dan pengelolaan ekonomi umat, seperti Pusat Zakat Umat (PZU) dan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Kini, program utama yang dikembangkan Persis pada lima tahun ke depan adalah menegaskan
kembali peran Persis sebagai gerbong pembaruan pemikiran keislaman, gerakan dakwah dan
pendidikan untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.

F.

Persis dan Pemurnian Islam

Keberadaan penjajah Belanda di Indonesia telah melahirkan semangat persatuan dan


keberagamaan umat Islam. Sebab, kedatangan penjajah ke bumi nusantara telah membawa sejumlah
peradaban baru yang sebagian di antaranya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sementara itu, tingkat
keberagamaan umat Islam juga mulai bercampur dengan kebiasaan dan tradisi yang menurut beberapa
tokoh tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.
Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi nusantara.
Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Persatuan
Islam (Persis). Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh
Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdi) Islam.
Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Sebagaimana diketahui, gerakan pembaruan Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun
1802 atau bersamaan dengan kembalinya sejumlah ulama Indonesia dari Tanah Suci Makkah. Para
ulama ini melihat secara langsung gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arab.
Mereka kemudian mengembangkan gerakan tajdid. Melalui gerakan tersebut, para ulama ini
berupaya meluruskan semua praktik ibadah di kalangan masyarakat Muslim yang masih bercampur
dengan bidah dan khurafat. Praktik ibadah seperti itu dipandang tidak sesuai dengan Al-Quran dan
Sunnah.
Semangat dan isi gerakan pembaruan Islam ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat
Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat berhadapan
dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Mereka yang mendukung gerakan ini menamakan
diri sebagai kelompok modernis Islam.
Pada awal abad ke-20, gerakan pembaruan Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya
berbagai organisasi kelompok modernis Islam di sejumlah kota besar, di antaranya Al-Jamiyyah AlKhoiriyah atau dikenal dengan nama Jamiat Khair pada 17 Juli 1905 di Jakarta, Al-Irsyad (berdiri di
Jakarta, 11 Agustus 1915), dan Muhammadiyah di Yogyakarta (12 November 1912).
Kota Bandung, sebagaimana dijelaskan Dadan Wildan dalam buku Yang Dai Yang Politikus:
Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, tampaknya agak lambat menerima arus gerakan pembaruan
Islam ini dibandingkan daerah-daerah lain meskipun Syarekat Islam (SI) telah beroperasi di daerah ini
sejak 1913. Kesadaran akan keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk berdirinya sebuah
organisasi baru, yakni Persatun Islam (Persis).
Kelompok tadarusan

Berdirinya Persis, terang Dadan, diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan
(penelaahan agama Islam) di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad
Yunus. Kelompok tadarusan yang berjumlah sekitar 20 orang itu menelaah, mengkaji, dan menguji
ajaran-ajaran Islam yang berkembang di tengah masyarakat.
Para anggota tadarusan tersebut sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, tertutupnya
pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian praktik bidah. Mereka kemudian mencoba melakukan
gerakan tajdid (pembaruan) dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang dianggap
menyesatkan. Seiring dengan banyaknya peminatnya, kelompok ini menyadari perlunya membentuk
sebuah organisasi baru yang memiliki karakter khusus.
Pada 1 Shafar 1342 H, bertepatan dengan 12 September 1923, kelompok tadarus ini sepakat
mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam. Nama Persatuan Islam ini diberikan dengan
maksud untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad: berusaha sekuat tenaga mencapai harapan dan
cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam,
persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Ide persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini diilhami firman Alloh dalam Al-Quran
surah Ali-Imran ayat 103 dan hadis Nabi SAW yang memerintahkan pentingnya persatuan.
Dan, berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Alloh
seluruhnya; dan janganlah kamu bercerai-berai. (QS Ali Imran [3]: 103). Kekuatan Alloh itu
beserta jamaah. (HR Tirmidzi). Kedua dasar inilah yang menjadi moto Persis dan ditulis dalam
lambang Persis yang berbentuk lingkaran bintang bersudut 12.
Dalam perkembangannya, konsep persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini
dituangkan Persis melalui gerakan pendidikan Islam dan dakwah. Persis juga berusaha menegakkan
ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bidah. Saat ini, organisasi Persis telah
tersebar di sejumlah provinsi, di antaranya Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung,
Bengkulu, Riau, Jambi, dan Gorontalo.

G. Kiprah Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran paham Alquran dan sunah.
Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan
umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah (pesantren), penerbitan
majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.

Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi
orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan Holland Inlandesch School
(HIS) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di bawah pimpinan Mohammad
Natsir. Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi didirikan Pesantren Persis yang pertama dan
diberi nomor satu di Bandung.
Dalam bidang penerbitan ( publikasi ), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalahmajalah, di antaranya majalah Pembela Islam (1929), Al-Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa
(1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Aliran Islam (1948), Risalah (1962), Pemuda Persis
Tamaddun (1970), majalah berbahasa Sunda Iber (1967), dan berbagai majalah ataupun siaran
publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di berbagai tempat. Beberapa di antara majalah
tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi.
Melalui penerbitan inilah, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide mengenai dakwah
dan tajdid. Bahkan, tak jarang di antara para dai ataupun organisasi-organisasi keislaman lainnya
menjadikan buku-buku dan majalah-majalah terbitan Persis ini sebagai bahan referensi mereka.
Gerakan dakwah dan tajdid Persis juga dilakukan melalui serangkaian kegiatan khutbah dan
tabligh yang kerap digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis, permintaan dari
cabang-cabang, undangan dari organisasi Islam lainnya, maupun atas permintaan masyarakat luas.
Pada masa Ahmad Hassan-guru utama Persis-kegiatan tabligh yang digelar Persis tidak hanya
bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang berbagai masalah keagamaan.
Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul Islam di Sukabumi pada 1932, kelompok Ahmadiyah
(1933), Nahdlatul Ulama (1936), kelompok Kristen, kalangan nasionalis, bahkan polemik yang
berkepanjangan antara Ahmad Hassan dan Ir. Soekarno tentang paham kebangsaan.
Sepeninggal Ahmad Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini mulai jarang dilakukan.
Persis tampaknya lebih menonjolkan sikap low profile sambil tetap melakukan edukasi untuk
menanamkan semangat keislaman yang benar. Namun, bukan berarti tidak siap untuk berdiskusi
dengan kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam satu bidang tertentu. Jika dibutuhkan,
Persis siap melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy.
Di pengujung abad ke-20, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain. Orientasi Persis
dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan umat. Mulai dari bidang pendidikan
(tingkat dasar hingga pendidikan tinggi), dakwah, bimbingan haji, zakat, sosial, ekonomi, perwakafan,
dan lainnya.

Dalam perkembangannya, sejak tahun 1963, Persis mengoordinasi pesantren-pesantren dan


lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Hingga Muktamar II di Jakarta
tahun 1995, Persis tercatat telah memiliki 436 unit pesantren dari berbagai tingkatan.
Selain itu, Persis pun menyelenggarakan bimbingan jamaah haji dan umrah dalam kelompok
Qornul Manazil, mendirikan beberapa bank Islam skala kecil (Bank Perkreditan Rakyat/BPR),
mengembangkan perguruan tinggi, mendirikan rumah yatim dan rumah sakit Islam, membangun
masjid, seminar, serta lainnya.
Dalam bidang organisasi, Persis membentuk Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam
struktur organisasi. Dewan Hisbah ini difungsikan dalam pengambilan keputusan hukum Islam di
kalangan Persis.

H. Penerapan Hukum Islam


Sebagai organisasi Islam, Persis mempunyai tujuan utama untuk memberlakukan hukum Islam
di tengah masyarakat, sebagaimana tuntunan Al-Quran dan Hadis di masyarakat.
Menurut Tafsir Qanun Asasi Persis, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa
penjajahan kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan
masyarakat pada masa itu. Para pendirinya mendirikan organisasi ini karena terpanggil oleh
kewajiban dan tugas risalah dari Alloh SWT, sebagaimana Rasulullah SAW berdiri di atas bukit Shafa
untuk menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkan atas kepentingannya.
Menurut Dadan Wildan, para pendiri Persis menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika
itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka melihat
bahwa sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam buaian taklid, jumud, khurafat, bidah,
takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, tulis Wildan, Persis berdiri atas dasar
kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk mengubah kemandekan berpikir dan membuka ketertutupan
pintu ijtihad.
Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, menurut Howard
M Federspiel dalam tulisannya yang bertajuk Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia,
Persis mempunyai ciri tersendiri. Kegiatan organisasi ini dititikberatkan pada pembentukan paham
keagamaan.

Sejalan dengan ini, Isa Anshary dalam buku Manifest Perjuangan Persatuan Islam menyatakan
bahwa Persis tampil sebagai sebuah organisasi kaum Muslim yang sepaham dan sekeyakinan, yakni
kaum pendukung dan penegak Alquran dan sunah.
Menurut Isa Anshary, Persis mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam dan
bukan dalam bidang organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari kaum
Muslim. Ia mencari kualitas, bukan kuantitas. Ia mencari isi, bukan jumlah. Karena itu, organisasi
ini tampil sebagai salah satu sumber kebangkitan dan kesadaran baru bagi umat Islam serta menjadi
kekuatan dinamika dalam menggerakkan kebangkitan umat Islam.
Sejak awal berdirinya, Persis tidak memberikan penekanan pada kegiatan organisasi. Para
pengurus Persis tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak
mungkin jumlah anggota. Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah semangat keberagamaan yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana dikehendaki oleh Alloh dan rasul-Nya yang termaktub
dalam Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, organisasi ini tidak cepat berkembang menjadi sebuah organisasi yang besar. Sebab,
itu bukan tujuan utamanya. Namun, pengaruh organisasi ini tampak jauh lebih besar dibandingkan
jumlah cabang ataupun anggotanya.

Daftar Pustaka

Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009
Badri Khaeruman, Drs. M.Ag, 2005. Pandangan Keagamaan Persatuan Islam. Granada. Bandung
Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id
Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah. Salamadani: Jakarta
Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id.
Kahin, 1978. Natsir, 70 tahun kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Bercermin pada kesehajaan Muhammad Natsir. Admin. www.himapersis.org
Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id.
Jusup A, faisal, Penataan Kembali Kurikulum Pendidikan Islam, (Risalah no 2 tahun XXII, April
1984) hlm. 43
Wildan Anas, A. Hasan Ulama Pejuang Penegak Quran dan Sunnah, (Risalah no. 5 tahun XXXIII,
Juli 1995). Hlm. 15
http://abygunlar.blogspot.com/2011/12/sejarah-berdiri-jamiyah-persis.html

Mengenal Tokoh-Tokoh Persis


Posted on September 28, 2012

A. Hasan
REPUBLIKA.CO.ID, Keberadaan sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga sekarang
tidak terlepas dari peran serta para tokohnya.

Demikian pula halnya dengan Persis. Organisasi yang pertama kali dibentuk oleh Haji
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus ini telah melahirkan sejumlah tokoh besar. Mereka
menjadi tumpuan umat dalam memahami masalah agama.

M. Natsir
Selain Ahmad Hassan (A Hassan), salah seorang tokoh dan menjadi guru utama Persis,
organisasi Islam ini juga melahirkan tokoh lainnya, seperti Mohammad Natsir, Mohammad
Isa Anshary, KH E Abdurrahman, dan KH Abdul Latief Muchtar. Bagaimana sosok dan
kiprah mereka?
Mohammad
Natsir
Dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada 17 Juli
1908. Ia adalah putra pasangan Sutan Saripadoseorang pegawai pemerintahdan
Khadijah. Ia pergi ke Bandung pada 1927 untuk melanjutkan studinya di AMS A-2 (setingkat
SMA sekarang).
Di Kota Kembang ini, minat Natsir terhadap agama semakin berkembang. Karena itu, selama
di Bandung, Natsir berusaha memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti pengajianpengajian Persis yang disampaikan Ahmad Hassan.
Selain itu, Natsir juga mengikuti pelajaran agama di kelas khusus yang diadakan oleh Ahmad
Hassan untuk anggota muda Persis yang sedang belajar di sekolah milik Pemerintah Belanda.
Bahkan, dengan inisiatif Natsir, Persis kemudian mendirikan berbagai lembaga pendidikan,
antara lain Pendidikan Islam (Pendis) dan Natsir sebagai direkturnya (1932-1942) serta
Pesantren Persatuan Islam pada 4 Maret 1936.
REPUBLIKA.CO.ID, Keberadaan sekolah-sekolah ini ditujukan untuk membentuk kaderkader yang mempunyai keinginan memperdalam dan mampu mendakwahkan, mengajarkan,
dan membela ajaran Islam.
Natsir adalah orang yang terlibat langsung dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan
Ahmad Hassan.
Dengan demikian, Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan Persis. Di bawah
kepemimpinannya, Persis menjelma menjadi organisasi yang bukan hanya berupa kelompok
diskusi atau pengajian tadarusan kelas pinggiran, melainkan sebuah organisasi Islam modern
yang potensial.
Dalam waktu singkat, ia berhasil menempatkan Persis dalam barisan organisasi Islam
modern.

Mohammad Isa Anshary

KH. Isa Anshari


Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan periode kedua Persis
sesudah kepemimpinan KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan
Mohammad Natsir yang mendengungkan slogan Kembali kepada Alquran dan As-Sunnah.
Pada periode kedua ini, salah seorang tokoh Persis yang pernah memimpin adalah KH
Mohammad Isa Anshary.
KH Mohammad Isa Anshary lahir di Maninjau Sumatera Tengah pada 1 Juli 1916. Pada usia
16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam di tempat kelahirannya, ia
merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum.
Di Bandung pula, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam Jamiyyah Persis hingga
menjadi ketua umum Persis. Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai
pada 1940 ketika ia menjadi anggota hoofbestuur (Pusat Pimpinan) Persis.
Tahun 1948, ia melakukan reorganisasi Persis yang mengalami kevakuman sejak masa
pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tahun 1953 hingga 1960, ia terpilih menjadi
Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis.
REPUBLIKA.CO.ID, Selain sebagai mubaligh, Isa Anshary juga dikenal sebagai penulis
yang tajam. Ia termasuk salah seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima
secara bulat oleh Muktamar V Persis (1953) dan disempurnakan pada Muktamar VIII Persis
(1967).
Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary menganggap perjuangan Persis sungguh vital dan
kompleks karena menyangkut berbagai bidang kehidupan umat.
Dalam bidang pembinaan kader, Isa Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah,
tempat membina kader-kader muda Persis.
Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam
tahanan Orde Lama di Madiun.
Kepada Yahya Wardi yang menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis periode
1956-1962, Isa Anshary mengirimkan naskah Renungan 40 Tahun Persatuan Islam yang ia
susun dalam tahanan untuk disebarkan kepada peserta muktamar dalam rangka meningkatkan
kesadaran jamaah Persis.
Melalui tulisannya, Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam
usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi Persis.
Semangat ini terus ia gelorakan hingga wafatnya pada 2 Syawal 1389 H yang bertepatan
dengan
11
Desember
1969.
KH E Abdurrahman

KH E Abdurrahman
KH Endang Abdurrahman tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan
berwawasan luas. Dengan gaya kepemimpinan yang luwes, ia telah membawa Persis pada
garis perjuangan yang berbeda: tampil low profile dengan pendekatan persuasif edukatif,
tanpa kesan keras, tetapi teguh dalam prinsip berdasarkan Alquran dan sunah.
REPUBLIKA.CO.ID, Abdurrahman dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang,
Kabupaten Cianjur, pada Rabu, 12 Juni 1912.
Ia merupakan putra tertua dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Ghazali, seorang penjahit
pakaian, dan ibunya bernama Hafsah, seorang perajin batik.
KH Aburrahman dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hukum yang tawadhu. Ia lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan
hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.
Sosok ulama Persis yang satu ini, sebagaimana ditulis Fauzi Nur Wahid dalam bukunya KH
E Abdurrahman: Peranannya dalam Organisasi Persatuan Islam, semula memiliki
pemahaman keagamaan yang bersifat tradisional.
Namun, pada kemudian hari, ia beralih menjadi ulama yang berpegang teguh pada Alquran
dan sunah serta menentang berbagai ibadah, khurafat, dan takhayul.
Pada masa kepemimpinannya, banyak persoalan mendasar yang dihadapi Persis. Di antaranya
bagaimana mempertahankan eksistensi Persis di tengah gejolak sosial politik yang tidak
menentu. Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik yang beragam.
Selain itu, Persis juga berhadapan dengan aliran-aliran yang dianggap menyesatkan umat
Islam. Untuk menghadapi aliran tersebut, ia memerintahkan para mubaligh Persis dan
organisasi yang ada di bawah Persis untuk terjun ke daerah-daerah secara rutin dalam
membimbing umat.
KH Abdul Latief Muchtar

KH Abdul Latief Muchtar


Dilahirkan di Garut pada 7 Januari 1931 dari pasangan H Muchtar dan Hj Memeh.
Sejak kecil, KH Abdul Latief Muchtar sudah bersentuhan dengan Persis hingga akhirnya
menjadi Ketua Umum Persis, menggantikan KH E Abdurrahman yang wafat.
Jika Persis kini tampak low profile, itu semua tidak lepas dari kepemimpinan KH Abdul
Latief. Pada masa kepemimpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan
umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.
Pada masa awal jabatannya sebagai Ketua Umum Persis, KH Abdul Latief dihadapkan pada
keguncangan jamaah Persis karena adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang
menuntut semua organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia mencantumkan asas tunggal
Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya.
Persoalan asas tunggal ini dihadapi dengan visi dan pemikiran KH Latief yang akomodatif. Ia
mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik.
Dalam bidang jamiyyah (organisasi), KH Latief bertekad menjadikan organisasi Persis
makin terbuka (inklusif). Persis harus mampu diterima semua kalangan, tanpa ada kelompok
yang merasa takut dengan keberadaannya.
KH Latief bercita-cita mengembangkan objek dakwahnya ke lingkungan kampus. Baginya,
kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan diisi dengan materi dakwah
yang tepat.
Karena itulah, ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis
di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan
Mahasiswi Persis.
Ust. Shiddiq Amin

Ust. Shiddiq Amien


Tempat dan Tanggal Lahir : Tasikmalaya, 13 Juni 1955
Nama Istri : Ai Kurniasih & Elis Yulifah

Jumlah anak 11 orang


Riwayat Pendidikan

a. SDN Benda Jl. Cisalak No. .. Tsm (thn. 1968)


b. Diniyyah Ula Pesantren Persis Benda Tsm (thn. 1968)
c. SMPN-3 Jl. Merdeka No. 17 Tsm (thn. 1972)
d. SMAN-1 jl. RSU No. 28 Tsm (thn. 1974)
e. Muallimien ( MA) jl. Pajagalan no. 14 Bdg (thn 1976)
f. ABA Pasundan Tasikmalaya (thn. 1979)
g. STBA Yapari jl. Cihampelas No. 194 Bdg (thn. 1988)
h. DLI Jakarta jl. Gatot Subroto Kav.56 Jakarta (thn. 1999)
Riwayat Dalam Kehidupan Organisasi :
a. Ketua Bidang Kepustakaan OSIS SMPN-3 Tasikmalaya (thn. 1971)
b. Ketua bidang Kerohanian OSIS SMAN-1 Tasikmalaya (thn. 1974)
c. Ketua Umum RG Pesantren Persis Pajagalan Bandung (thn. 1976)
d. Anggota Bidang Rohani Senat Mhsw STBA Yapari Bandung (thn. 1987)
e. Anggota Pemuda Persis Cab. Tasikmalaya (thn. 1977)
d. Sekretaris PC Persis Cipedes Tsm (1977-1984)
e. Ketua Pimpinan Daerah Persis Tasikmalaya (1984 1990)
f. Ketua Bid. Jamiyyah PP Persis (1990-1997)
g. Ketua Umum PP Persis (1997 2009)
h. Angota Dewan Penasihat MUI Pusat (1998 2009)
i. Anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan (1999 2004)
Riwayat Pekerjaan :
a. Guru / Pimpinan Pesantren Persis Benda (1997)
b. Dosen STAIPI Persis jl. Ciganitri Bandung ( 1995 1997)
c. Dosen Prog. Bidan Depkes Tsm (1994 1997)
d. Dosen AKPER Depkes Tsm (1995 1996)
e. Komisaris Utama BPRS Amanah R Bandung (1997 2000)
f. Komisaris Utama PT Karya Imtak Bandung (1997)
g. Anggota Dewan Syariah BPRS Al-Wadiah Tsm (1998 2000)
h. Anggota Dewan Pengawas Syariah Bank BTPn (2008)
http://pemudapersiscimahiselatan.wordpress.com/category/tokoh-tokoh-persis/

Anda mungkin juga menyukai