Anda di halaman 1dari 16

GELIAT DAN GELISAH KEISLAMAN SUKARNO Oleh : Tumpal Panggabean Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Hasan Bakti, M.Ag.

I.

Pendahuluan Dalam konteks sejarah Islam Indonesia, Sukarno selalu diposisikan sebagai penentang

gerakan Islam paling wahid yang harus berhadapan dengan pemikir-pemikir Islam taat seperti M. Natsir. Bahkan, H. Agus Salim pernah menuduhnya telah keluar dari Islam. Tidak hanya itu, tidak jarang namanya diidentikkan dengan Kemal at-Taturk yang menghapus lembaga khilafat dan melakukan sekularisasi menyeluruh di Turki. Sangat gampang mencari pembenaran atas sekularisme Sukarno. Dia-lah penentang gigih visi Islam sebagai asas negara. Dia pula yang telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi.

Parahnya, dia sempat diposisikan sebagai musuh Islam karena hubungan dekatnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitulah aktivis Islam Politik pada waktu itu merayakan kebenciannya pada Sukarno dengan mendukung Suharto naik tahta. Tentu, sangat tidak adil kalau hanya menuduh tanpa menelaah pemikiran dan dasar-dasar keyakinannya. Bantahan terhadap gambaran stereotip ini selanjutnya muncul, Karel Susetyo mencoba melakukan bantahan ini dengan tulisannya yang berjudul Soekarno Bukan Pemikir Islam Biasa1. Menurutnya, Soekarno adalah bagian dari pemikir Islam tangguh yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Namun fakta ini seakan tenggelam dalam arus sejarah Indonesia yang menasbihkan Soekarno sebagai simbol dan pemikir Nasionalisme Indonesia semata. Masih menurut Karel, Soekarno, atau yang diakrabi dengan Sukarno, adalah sosok fenomenal dalam lintasan sejarah bangsa ini. Ia tidak saja bapak Proklamator bangsa Indonesia, namun juga teknokrat, intelektual, pecinta seni, dan kader Muhammadiyah yang tangguh. Dipuji, dikagumi, dibenci, dan dihujat seakan berjalan beriringan mewarnai alur hidupnya. Publik, baik rakyat Indonesia maupun dunia internasional lebih mengenalnya sebagai tokoh penggerak Nasionalisme Indonesia dan juga sebagai penggelora gerakan anti
1

http://lembagabhinneka.org/2010/01/soekarno-bukan-pemikir-islam-biasa-2, Diunduh tanggal 20 Mei 2013, jam 17.48

kolonialisme Imperialisme. Terlepas dari itu semua, Soekarno adalah bagian dari pemikir Islam tangguh yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, seperti: Moh. Natsir, HM Rasjidi, Hamka, atau Agus Salim. Pemikirannya tentang Islam yang tersebar dalam berbagai tulisan dan pidato mengajak umat muslim untuk menyongsong kebangkitan Islam dalam percaturan dunia. Islam adalah kemajuan terangkum dalam buah pikirannya. Namun fakta ini seakan tenggelam dalam arus sejarah Indonesia yang menasbihkan Soekarno sebagai simbol dan pemikir Nasionalisme Indonesia semata. Pemikiran Islam Sukarno yang liberal memang sempat menjadi pertentangan tersendiri, bahkan oleh A. Hassan yang notabene adalah salah satu pengajar Islam beliau. Sukarno dianggap memiliki pengetahuan Islam yang masih dangkal dan terkadang masih ceroboh dalam mengeluarkan pemikiran. Tulisan ini disajikan untuk mendiskusikan apakah Sukarno dapat dipertimbangkan menjadi model cendekiawan Muslim kontemporer garda depan yang pernah dimiliki Indonesia.

II.

Biografi Keislaman Sukarno terlahir dari rahim seorang gadis Bali keturunan Kasta Brahmana yang

bernama Idayu Nyoman Rai Sarimben dan bapaknya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang Jawa Timur dari keluarga yang amat disegani. Berasal dari dua adat yang berbeda, namun kala itu Raden Soekemi berhasil mendobrak adat yang selama ini masih dipegang teguh oleh rakyat Bali, dan berhasil menikahi Idayu Nyoman Rai bahkan dengan menggunakan cara Islam di Bali. Anak pertama mereka, yaitu kakaknya Sukarno adalah seorang perempuan bernama Soekarmini.2 Sukarno lahir tidak lama setelah bapaknya dipindah tugaskan dari guru di Bali menjadi guru di Surabaya. Pada hari Kamis Pon tanggal 18 Sapar tahun 1831 windu sanjaya, wuku wayang atau bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901, di Lawang Seketeng, Sukarno dilahirkan dengan nama Koesno Sosro Sukarno.3

2
3

Solichin Salam, Bung Karno Putera Fajar, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1987), h,16-17 Ibid, h, 18

Dilihat dari latar belakang keluarga Sukarno, sudah jelas jika beliau bukanlah terlahir dari keluarga santri, melainkan islam abangan bahkan ibunya saja adalah seorang Hindu. Jadi sudah jelas jika ajaran islam yang ada pada diri beliau bukanlah berasal dari kedua orang tuanya. Ajaran Islam mulai beliau ketahui saat melanjutkan sekolahnya di HBS Surabaya, ia mondok di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, seorang politikus tokoh nasional dan pemimpin terkemuka dimasa itu.4 Tjokroaminoto sendiri walaupun keturunan dari Yogyakarta Hadiningrat, Kyai Hasan Bestari, tidak pula mendapatkan pendidikan agama dari pesantren ataupun madrasah, melainkan hanya dari sekolah umum. Sehingga masa remaja Sukarno langsung dikenalkan pada high islam, tidak melalui low islam terlebih dahulu.5 Keberadaan Sukarno di pondok H.O.S. Tjokroaminoto ternyata membawa keuntungan juga. Disana Sukarno dapat kontak dan berkenalan dengan tokoh-tokoh besar, yang salah satunya adalah K.H. Ahmad Dahlan, seorang pendiri organisasi pembaharuan Islam di Jawa, Muhammadiyah. K.H.Ahmad Dahlan saat itu sering datang ke Surabaya untuk bertabligh mengenai agama Islam. Berkat perkenalan ini, Sukarno dapat belajar banyak tentang islam. Pendidikan Sukarno yang setara dengan SMA itu pun telah berhasil diselesaikan pada tahun 1921, dan Islam telah menjadi bagian dari kehidupannya. Seperti yang diucapkan Soekarno : ....dengan demikian semakin kuatlah keyakinan saya bahwa ada hubungan yang erat antara pembangunan bangsa tanah air dan masyarakat dengan pembangunan agama (Soekarno. 1962:17)6 Dengan didapatkannya pengalaman belajar Islam selama di Surabaya, ditambah dengan kemampuan intelektual, pada masa selanjutnya Sukarno merasa ingin terus mempelajari agama Islam. Seperti yang beliau lakukan saat berada dalam penjara di Bandung. Meskipun berada dalam tempat yang tidak layak, hal ini tidak menyurutkan
4

Ibid, h, 25 M. Dawam Raharjo. Soekarno Pelopor Pemikiran Islam http://denagis.wordpress.com/2009/06/01/. Diunduh tanggal 21 Mei 2013, jam 18.04 6 Drs. Tashadi, dkk, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), h. 50
5

Liberal.

semangat Sukarno, bahkan beliau mengatakan jika penjara merupakan tempat dimana ia menemukan Tuhan. Dalam penjara di Sukamiskin, Bandung tersebut Sukarno banyak mempelajari AlQuran. dan mencari keterangannya dalam hadist nabi. Beliau juga mempelajari buku-buku karangan Lothrop Stoddard, yang menceritakan bagaimana nasionalisme Islam bangkit di Turki pada tahun 1908 atas anjuran Al-Afghani, terutama mengenai bangkitnya Islam melawan bangsa asing. Juga buku karangan Syed Ameer Ali, mengenai semangat Islam.7 Pada tahun 1933, Sukarno ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Endeh, Flores. Dalam pembuangannya tersebut, beliau melakukan surat menyurat dengan A.H. Mansyur, ketua perkumpulan Muhammadiyah. Isi surat-surat tersebut diantaranya berisi permintaan Sukarno untuk dikirimi buku penuntun shalat, disamping buku-buku lainnya tentang Islam. Sehingga pada tahun 1934, yaitu saat usia Sukarno 29 tahun, beliau sudah mulai melaksanakan shalat. Ada juga isi surat yang sangat menarik, adalah surat nomor 9 tertanggal 22 April 1936, yang isinya : Saya tahu, tuan punya pesantren bukan Universiteit, tetapi alangkah baiknya kalau toch Western Science ditambah banyaknya. Demi Allah: Islam Science adalah pengetahuan Quran dan Hadist ditambah dengan pengetahuan umum. Orang tidak dapat mengetahui dan memahami isi Al-Quran dan Hadist jika tidak berpengetahuan umum. (Surat-Surat Islam dari Endeh : 335-336)8 Surat tersebut ditulis oleh Sukarno dalam rangka penyambutan atas dibukanya sebuah pusat pendidikan yang beliau ketahui dari surat kabar. Selain itu, ada juga surat yang tertanggal 22 Februari 1936, yang isinya: Perjuangan menghantam kekolotan kebelakang dan mengejar kemajuan ke muka, kemajuan ini yang oleh Kemal Ataturk maksudnya tatkala ia berkata bahwa Islam tidak menyukai atau menyuruh orang untuk duduk seharian dalam masjid memutar tasbih. Tetapi Islam adalah perjuangan, Islam is progress: Islam itu kemajuan. (Surat-Surat Islam dari Endeh : 333-334) 9

7 8 9

Ibid, h. 51 Ibid, h.54 Ibid, h.55

Pembuangan beliau di Endeh ternyata dimanfaatkan untuk mempelajari Islam secara lebih mendalam. Surat-surat Islam yang ditulis oleh Sukarno seluruhnya ada 12 pucuk surat, yang kini telah dimuat kembali dalam buku yang berjudul Dibawah Bendera Revolusi I. Dari surat-surat Islam tersebut, nampak bahwa beliau sudah sangat memahami doktrin tauhid yang murni yang membuat beliau tertarik dengan Islam. Tauhid yang murni tersebut beliau lihat sebagai sebuah kepercayaan yang menjadikan rasionalitas dalam berfikir. Sebagaimana beliau memandang Islam dengan berkaca pada kondisi Turki, sebelum revolusi Turki. Islam di masa modern ini, beliau lihat sebagai kelanjutan dari Islam pada abad Pertengahan. Sukarno juga mempelajari tulisan keagamaan dari orientalis dan para pemikir Barat, termasuk Marx, selain itu juga mengikuti epistemologi Historisme Materialisme, seperti yang nampak dalam bukunya Sarinah. Dari sudut pandang sosiologis Comteian, Sukarno tidak hanya memandang Islam sebagai wahyu, tetapi sebagai sebuah gejala sosiologis. Inilah yang menjadikan pemikiran Liberal Sukarno, karena beliau banyak membaca islam dari literatur Barat. Buku-buku yang ia baca kebanyakan adalah kiriman dari A.Hassan, yang ia sendiri adalah seorang yang terkenal radikal dan modern. 10 III. Pembentukan Keislaman Sukarno Tidak dapat terelakkan bahwa masih minimnya kajian pemikiran keislaman Sukarno berakibat kepada kemungkinan banyaknya masyarakat yang mengenal Sukarno terbatas sebagai seorang tokoh nasionalis sekuler, bahkan ada juga sebagian yang menggolongkan beliau sebagai tokoh komunis Indonesia karena menawarkan konsep Nasakom ( Nasionalis, Agama dan Komunis), sebuah konsep yang pernah ia jadikan Tagline Politik di era demokrasi terpimpin.

10

Muhammad Iqbal dkk, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 233

Harus diakui bahwa karena dilahirkan dan dibesarkan dalam struktur masyarakat abangankelas menengah di, Soekarno muda sebenarnya tidak memiliki intensitas dalam bersentuhan dengan Islam. Karena selain jalur pendidikan yang ditempuhnya adalah pendidikan sekuler modern, kedua orangtuanya pun bukan termasuk dari keluarga muslim yang taat. Jika kita kembali melihat latar belakang kehidupan keluarga Soekarno yang mana ibunya adalah Idayu Nyoman Rai Sarimben, seorang penganut Hindu-Bali keturunan kasta Brahmana yang terkenal sangat taat, sementara ayahandanya adalah Raden Sukemi Sosrodiharjo terkenal sebagai penganut kepercayaan teosofi Jawa atau Kejawen. Sehingga jika menurut kategori umat Islam yang sempat digagas oleh Antropolog Amerika, Clifford Geertz, dapat dikatakan bahwasannya Soekarno berasal dari kalangan Islam abangan. Penganut Islam abangan ini dalam pengertian secara identitas-formal menganut Islam, namun dalam praktiknya masih melakukan hal-hal maupun ritual yang bukan berasal dari agama Islam atau dari tradisi pra-Islam.11

Akan tetapi hal tersebut berubah sejak dirinya masuk pada Sekolah Tingkat Menengah HBS di Surabaya dan mondok di kediaman HOS Cokroaminoto, seorang tokoh gerakan Islam terkemuka dan pemimpin Serikat Islam (SI). Interaksi antara dirinya dengan beragam tokoh pergerakan lintas ideologi ketika itu telah membentuk dirinya sebagai seorang yang haus ilmu pengetahuan. Berbagai perdebatan ia ikuti dan semakin mendorong ketertarikannya untuk mempelajari Islam lebih mendalam. Buku The New World of Islam karya L. Stoddard telah menjadi salah satu rujukan utama dalam kajian Soekarno tentang Islam ketika itu. Dimasa pembuangannya di Endeh oleh kolonial Belanda merupakan masa - masa pembelajaran bagi Seokarno mengenai Islam, ia mulai berkenalan dengan revolusi Arab Saudi yang dilakukan oleh Ibn Saud, Pan Islamisme jamaludin Al Afghani dan Muhammad Abduh, juga dengan sekularisme Turki dibawah Mustafa Kamal, karya - karya monumental nya Muhammad Ali Jinnah, Ahmad Khan Muslim India bermazhab Ahmadiyah pun menjadi salah satu referensi favoritnya ditambah dengan surat - suratnya dengan A Hasan semakin mengokohkan khazanah intelektualitasnya mengenai pemikiran ke-islamannya. IV.
11

Islam Rasional dan Progressif

Hiski Darmayana. Islam Dalam Pemikiran Soekarno . http://www.berdikarionline.com/bungkarnoisme/2012 0315 /islam-dalam-pemikiran-soekarno.htm l . diunduh pada 30 April 2013 jam 21:21

Kekayaan khasanah pemikiran Islam yang berangsur tumbuh pada diri Soekarno mendorong dirinya untuk menulis artikel; Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme pada harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926, di mana tulisan tersebut memiliki arti penting dalam perkembangan pemikiran dan ideologi di Indonesia sampai saat ini. Ketertarikannya atas konsepsi Pan-Islamisme dari Jamaludin Al-Afghani, yang mempertanyakan kolonialisme bangsa Eropa pada sejumlah negara Islam menjadi inspirasi awal untuk Soekarno dalam melihat Islam sebagai sebuah basis gerakan perlawanan sosial di Indonesia yang terjajah. Artikel tersebut bukan hanya sekedar menggambarkan adanya persamaan tujuan dari kandungan ideologi Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme untuk membebaskan rakyat dari belenggu kolonialisme, akan tetapi lebih jauh seakan menanggalkan belenggu tekstual dan menghidupkan teks dalam praksis demi mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Sebagai tokoh pergerakan Nasional, Soekarno mengalami berbagai penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan sebagai konsekuensi logis dari Pemerintah Kolonial Belanda atas segala tindakan dan aksi politiknya yang menuntut kemerdekaan atas bangsa Indonesia. Penjara Sukamiskin, Bandung, seakan menjadi saksi bisu atas lahirnya karya besar Soekarno lainnya, Indonesia Menggugat. Penangkapan oleh Belanda pada 1 Agustus 1932 atas Soekarno seakan membawa berkah terselubung bagi dirinya untuk lebih menyerap dan menyingkap berbagai pemikiran Islam dari tokoh-tokoh terkemuka, seperti: Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani sampai penganjur kebangkitan Islam seperti: Arabi Pasha, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff, dan Muhammad Ali. Dalam pembuangannya di Endeh, Flores, Soekarno mendalami pemikiran dari Maulvi Muhammad Ali (Tokoh Ahmadiyah Lagore) dan Khwaja Kamaluddin, selain juga secara aktif bertukar pikiran melalui korespondensi dengan A Hassan selaku pimpinan Persatuan Islam (Persis) di Bandung mengenai berbagai hal yang terkait dengan Islam. Secara lugas Soekarno melakukan pembahasan atas paham Islam yang membebaskan umatnya dari belenggu tradisionalisme dalam surat-suratnya tersebut. Menggunakan analisa historis (taarikhiyyah) yang tajam, Soekarno membongkar tradisi menyimpang dari para Kiai dan Ulama, selaku pemuka agama. Ia menggambarkannya sebagai sebuah sikap kolot bin kolot, mesum mbahnya mesum, ataupun lingkungan yang penuh dengan kejumudan, hadramautisme, dupa, korma, jubah, atau celak mata. Soekarno bukanlah orang yang membenci tradisi, akan tetapi ia lebih menekankan sisi rasionalitas dan progresifitas pada Islam. Sebagaimana ia menganjurkan untuk menggali apinya Islam sebagai semangat dan
7

jiwa dari Islam yang menginginkan terwujudnya rasionalime dan kemajuan masyarakat. Sebagimana terdapat dalam nukilan pidatonya dihadapan Civitas Akademika IAIN Jakarta medio 1965 seperti dibawah ini : Jika kalian ingin mengerti mengapa dahulunya Islam pernah mengalami pasang naik, dan juga pasang surut, bebaskan pikiranmu dari berpikir biasa, berpikir konvensionil. Kamu mahasiswa IAIN, kamu jangan mempelajari Islam dan mencoba memajukan Islam dengan apa itu jiwa pesantren. Bukalah! Bukalah pintu, bukalah jendela! Ya, bahkan lebih dari itu: sekali kamu keluar dari ruang pengap itu, bangkitlah, bangkitlah, naik ke langit (Tjilaka Negara yang tidak ber-Tuhan, Jakarta: 1965).Khatib-khatib membuat khotbah tentang rahasia-rahasianya surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya mengambil wudhu atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup buat mengerjakan agama. Begitu jualah keadaannya kitab-kitab agama kita. Tetapi yang demikian itu bukanlah gambar kita punya agama yang sebenarnya

Tak berlebihan kiranya kalau kita meminjam istilah yang berkembang turun-temurun di Pesantren, bahwa Soekarno sebagai seorang yang berpijak pada Al-Muhaafazatu ala alqadim al-shaalih wal-akhdzu bil jadiid al-ashlah (mempertahankan tradisi yang baik dan menggantinya dengan yang baru apabila nilai tersebut lebih baik). Taqlid buta tanpa bersandar pada rasionalitas terhadap sebuah tradisi dan pemikiran nampaknya sangat diharamkan oleh seorang Soekarno. Penekanan atas rasionalitas dalam Islam juga diangkat oleh Soekarno melalui perlunya pemahaman yang mendalam atas sejarah. Ia menempatkan pemahaman sejarah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam itu sendiri. Sejarahnya peradaban Islam atau Al-Hadharah Al-Islamiyah. Sebagaimana diucapkan dalam semboyannya yang sangat terkenal Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Dengan demikian kita mampu melihat naik-turunnya dan perkembangan peradaban Islam untuk lebih jauh memetik pelajaran untuk memajukan Islam itu sendiri. Sejarah oleh Soekarno dipandang sebagai sesuatu yang aktif untuk menggelorakan peraihan kemajuan di masa yang akan datang. Sejarah bukanlah dilihat dan diposisikan sebagai masa lalu secara pasif yang telah dilampaui dalam hitungan waktu semata. Ia melihat dalam sejarah bahwa dominasi ilmu fikih atas Islam telah mengakibatkan kemunduran atas keseluruhan peradaban Islam. Menambahkan istilah dari Essad Bey, Islam menjadi membeku, Soekarno melihat tanpa rasionalitas Islam menjadi satu sistim formal belaka.

V.

Islam Esensial Kritik terhadap hilangnya esensi dari Islam itu sendiri dari jiwa umat Islam

diungkapkan Sukarno dengan pengistilahan Islam Sontoloyo. Dalam konteks ungkapan ini, yang dimaksudkan sontoloyo bukanlah Islam itu sendiri, akan tetapi kelompok muslim yang memandekkan perkembangan pemikiran Islam melalui penafsiran tunggal untuk kepentingan diri atau kelompok semata. Secara harfiah, Sontoloyo bisa bermakna sebagai kekonyolan, ketidak-becusan ataupun kebodohan. Islam Sontoloyo bagi Soekarno adalah kelompok muslim yang memandekkan perkembangan pemikiran Islam melalui penafsiran tunggal untuk kepentingan diri atau kelompok semata. Melalui penjungkir-balikan hukum fikih, layaknya manusia yang bermain kucing-kucingan dengan Allah. Awalnya tulisan Soekarno ini hadir sebagai reaksi atas kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang guru agama atas muridnya, sebagaimana dikabarkan dalam harian Pemandangan tanggal 8 April 1940. Keberangan yang sudah dapat dibaca mulai sejak sub judul (Baca: Islam Soontooloojoo) ini seakan memprovokasi lebih jauh Soekarno untuk mengkritisi praktek keagamaan dan paham pemikiran yang fatalistik. Bahkan bukan hanya itu, Soekarno juga mendekonstruksi pemahaman fikih dalam masyarakat muslim ketika itu, sebagaimana berikut ini: ya, kalau dipikirkan dengan dalam-dalam , maka kitab fikih-kitab fikih itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo roh dan semangat Islam. Bisakah, sebagai misal, suatu masyarakat menjadi hidup, menjadi bernyawa, menjadi levend, kalau masyarakat itu hanya dialaskan saja kepada Wetboek van Strafrecht dan Burgelijk Wetboek, kepada artikel ini dengan arikel itu? Masyarakat yang demikian itu akan segeralah menjadi masyarakat mati, masyarakat bangkai, bukan masyarakat. Sebab tandanya masyarakat ialah justru ia punya hidup, ia punya nyawa. Begitu pula, maka dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada roh, tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di alam Kitab fikihnya saja, tidak terbang seperti burung Garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya Agama Yang Hidup.

Keadaan ini kita temukan di dalam konteks kekinian kita dimana kita hanya ngobrol tentang sembahyang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita sudah melakukan agama. Merunut teks diatas maka kita akan secara mudah menilai bahwa Soekarno adalah seorang pembenci fikih! Seorang yang menafikan fikih dalam konteksnya dengan peradaban

Islam. Karena fikih memiliki dimensi spiritual dan dimensi duniawi, pemahaman dan penerapan fikih haruslah didasarkan atas dimensi tersebut. Ini haruslah dilakukan secara proporsional sesuai dengan watak asli dari fikih itu sendiri. Keseimbangan ini dicapai karena fikih bukanlah sebuah produk yang terlepas dari bimbingan wahyu dan juga tidak menjadi produk yang kehilangan watak elastisitasnya. Keseimbangan inilah yang menjadi titik perhatian Soekarno dalam menilai fikih. Faktor teologis dan faktor etika menjadi pertimbangan utama dan menjadi kesatuan dalam mengembangkan dan menjalankan fikih, tanpa mengesampingkan faktor perubahan dan perkembangan dari suatu masyarakat itu sendiri. Memperkuat argumentasinya tersebut Soekarno dalam artikel Islam Sontoloyo mengutip Kwadja Kamaludin: Kita hanya ngobrol tentang sembahyang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita sudah melakukan agama. Khatib-khatib membuat khotbah tentang rahasia-rahasianya surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya mengambil wudhu atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup buat mengerjakan agama. Begitu jualah keadaannya kitab-kitab agama kita. Tetapi yang demikian itu bukanlah gambar kita punya agama yang sebenarnya. Berdasarkan teks di atas kita dapat memberikan penilaian bahwa bagi Soekarno, aspek Ubudiyah yang mengatur hubungan transedental antara manusia dengan Allah sebagaimana diatur dalam fikih adalah final. Faktor teologis tentunya akan kehilangan makna akibat distorsi dalam beberapa penafsiran dari aspek yang terkait dengan faktor etika, seperti aspek Muamalah (hubungan perdata), Munakahat (pernikahan), dan Jinayah (pidana). Sebuah kritik terhadap faktor etika dalam penafsiran dan pelaksanaan fikih juga dilontarkan Soekarno melalui sebuah penggambaran atas kasus kawin kontrak: Dulu pernah saya melihat satu kebiasaan aneh di salah satu kota kecil di tanah Priangan. Di situ banyak sundal, banyak bidadari-bidadari itu bidadari Islam. Bidadari yang tidak melanggar sesuatu syarat agama. Kalau tuan ingin melepaskan tuan punya birahi kepada salah seorang dari mereka, maka adalah seorang penghulu yang akan menikahkan tuan lebih dulu dengan dia buat satu malam. Satu malam ia tuan punya istri yang sah, satu malam tuan boleh berkumpul dengan dia zonder melanggar larangan zina. Keesokan harinya bolehlah tuan jatuhkan talak tiga kepada tuan punya kekasih itu tadi! Dia mendapat nafkah dan mas kawin dari tuan, dan mas penghulu pun mendapat persen dari tuan. Mas penghulu ini barangkali malahan berulang-ulang juga mengucapkan syukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan telah memperkenankan dia berbuat kebajikan, yakni menghindarkan dua anak Adam daripada dosanya perzinaan!.

10

Demikian pula yang kita temukan saat ini dimana kita sering melihat sebahagian muslin yang mereka mengira sudah menjadi mukmin yang taat, dengan naik haji, shalat, zikir, sedekah, atau bahkan menangis tersedu-sedu dalam sebuah perhelatan zikir di televisi. Penggambaran yang sempurna dan khas atas sebuah Interpretasi jahat (hilah) dari hukum fikih di atas, seakan dihadirkan oleh Soekarno untuk menyingkap dan menyadarkan umat bahwa telah bergesernya fikih sebagai bagian teknis operasional dari lima tujuan syariat yang memelihara agama (hifdud din), akal (hifdul aql), jiwa (hifdun nafs), keturunan (hifdhun nasl), dan harta benda (hifdhul mal) menjadi sebuah jalan penyelamatan belaka. Layaknya mengelabui Tuhan dan bermain-main dengan-Nya. Karenanya sebuah interpretasi atas teks fikih haruslah mendasarkan dirinya dari rasionalitas yang terdiri dari rasio analitis dan rasio dialektis. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan doa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik di dalam tuan punya pikiran atau perbuatan, maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir ! Rasio analitis digunakan agar fikih dapat sejalan dengan syariat, melalui analisa dan studi perbandingan yang terkait dengan Al-Quran, Hadis, dan Syariat itu sendiri. Sedangkan rasio dialektis menjadi acuan dalam kaitannya antara fikih dan masyarakat, dalam konteks perkembangannya. Tentunya agar tetap menjaga fikih dalam lokalitas dan universalitasnya, dan tidak terlahir serta hidup dalam sebuah ruang hampa. Fikih haruslah lahir dari sebuah refleksi sosial yang menaunginya. Dengan rasio analitisnya atas Interpretasi jahat (hilah), Soekarno menuliskan sebagai berikut: Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan doa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik di dalam tuan punya pikiran atau perbuatan, maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan
11

daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir !. Kita mengetahui tiap-tiap perintah agama dan tiap-tiap larangan agama sampai yang sekecil-kecilnya pun juga, tetapi kita tidak mengetahui betapa caranya Nabi, Sahabat-sahabat, Tabiin-tabiin, Khalifah-khalifah mentanfidzkan perintah-perintah dan larangan-larangan itu dalam urusan sehari-hari dan didalam urusannya negara. Kita sama sekali gelap dan buta buat di dalam pentanfidzkan itu, oleh karena kita tidak mengenal tarikh. Hal sebagaimana di atas tentu dimungkinkan hadir sebagai sebuah permasalahan diakibatkan watak dari fikih yang bersifat formalistik. Dan terkadang karena wataknya yang formalistik tersebut sebuah syariat menjadi tidak searah dengan kehidupan masyarakat dan tidak dapat tertangkap semangatnya oleh umat. Sebagaimana yang juga terjadi dalam kasus Abu Yusuf yang memberikan seluruh harta kekayaannya kepada istrinya sendiri pada akhir haul dengan maksud untuk menggugurkan kewajiban berzakat. Sesungguhnya zakat dalam Islam adalah semangat dan bentuk pembebasan manusia atas sebuah keadaan yang penuh kekurangan dan kemiskinan struktural dengan didasarkan pada solidaritas dan kolektivitas umat. Bukan hanya sebagai sebuah ritual formal belaka atas kewajiban Muzakki untuk mengeluarkan zakat pada nisab tertentu. Sebagai jalan keluar, Soekarno menawarkan untuk memahami fikih dengan berbasiskan pada sejarah, seperti berikut: Kita cakap mengajikan Al-Quran seperti seorang maha guru di Mesir, kita kenal isinya kitab-kitab fikih seperti seorang advokat kenal isinya ia punya kitab hukum pidana dan hukum perdata. Kita mengetahui tiap-tiap perintah agama dan tiap-tiap larangan agama sampai yang sekecilkecilnya pun juga, tetapi kita tidak mengetahui betapa caranya Nabi, Sahabat-sahabat, Tabiintabiin, Khalifah-khalifah mentanfidzkan perintah-perintah dan larangan-larangan itu dalam urusan sehari-hari dan di dalam urusannya negara. Kita sama sekali gelap dan buta buat di dalam pentanfidzkan itu, oleh karena kita tidak mengenal tarikh. Sesungguhnya zakat dalam Islam adalah semangat dan bentuk pembebasan manusia atas sebuah keadaan yang penuh kekurangan dan kemiskinan struktural dengan didasarkan pada solidaritas dan kolektivitas umat. Bukan hanya sebagai sebuah ritual formal belaka atas kewajiban.

12

VI.

Nasionalisme, Islam dan Marxisme Pengaruh Islam terhadap pemikiran Soekarno mulai terlihat ditulisannya yang

pertama kali dalam majalah Oetoesan Hindia pada tahun 1926. Dan juga ditulis kembali dalam buku dengan judul Di bawah Bendera Revolusi I tahun 1964. Pokok penulisan ini adalah Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Islam dan Marxisme dipergunakan sebagai sesuatu yang mampu memperjelas pemikirannya dan kedua paham itu mempunyai pengaruh yang kuat dalam pergerakan nasional Indonesia. Menurut Soekarno ketiga paham itu merupakan rohnya Nasionalisme Asia dan Indonesia khususnya. Soekarno mengatakan bahwa paham Nasionalisme Barat berbeda dengan Nasionalisme Timur. Nasionalisme Barat lahir dan berkembang dengan semangat untuk saling menyerang. Sedangkan Nasiomalisme Timur lahir dan berkembang karena mempunyai satu tujuan yaitu melawan Imperealisme Barat. Nasionalisme Timur bukanlah hasil peniruan dari Nasionalisme Barat. Akan tetapi Nasionalisme Timur lahir dan berkembang dari rasa cinta manusia dan kemanusiaan sebagai suatu wahyu yang dilaksanakan sebagai suatu bukti. Hal inilah yang menjadi pembeda antara Nasionalisme Barat dengan Nasionalisme Timur menurut Soekarno dan disini terlihat jelas pemikiran Soekarno terpengaruh oleh semangat Islam. VII. Negara dan Agama

Dalam Majelis Konstituante pada mulanya ada 3 rancangan dasar negara yang diusulkan: Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi. Sukarno mengusulkan Pancasila dan menolak Islam sebagai dasar negara. Di pihak yang berseberangan Natsir mengusulkan Islam sebagai dasar negara karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Bagi Natsir dasar negara hanya mempunyai dua pilihan, sekuler atau agamis. Corak pancasila menurutnya adalah sekuler, karena tidak mengakui wahyu sebagai sumber. Hamka juga menginginkan Islam sebagai dasar negara. Menurutnya negara berdasar Islam adalah cita-cita sejak lama seluruh gerakan Islam di Indonesia. Ia menyebutkan beberapa nama pahlawan kemerdekaan seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik di Tiro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dll. Osman Raliby berkomentar tentang Pancasila, bahwa tuhan dalam Pancasila ialah tuhan yang mati, yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap 4 sila lainnya. Ia tidak memberikan hukum sama sekali, malah jika Pancasila diperas, tuhan itu sendiri yang kena hukum, hilang lenyap ditelan oleh gotong royong.

13

Kendatipun Natsir beranggapan Pancasila adalah sekuler, bagi Abdulgani, Islam adalah sumber Pacasila. Menurutnya, sila Ketuhanan yang Maha Esa tidak dapat disamakan dengan konsep sekuler. Natsir dan pendukungnya menurut Abdulgani telah terjebak dalam kekacauan semantik. Sementara Sutan Takdir Alisyahbana menilai pancasila hanyalah kumpulan faham-faham yang berbeda-beda untuk menenteramkan semua golongan. Silasilanya bersifat heterogen, bahkan tak lepas dari kontradiksi dalam dirinya. Pancasila baru dapat diterima oleh umat Islam Indonesia setelah ditafsirkan oleh Hatta, seorang negarawan Muslim yang moralis. Bagaimanakah sebenarnya Sukarno melihat agama dan negara?. Apakah ia sepaham dengan Hatta dalam menafsirkan Pancasila?. Tidak dapat dielakkan bahwa Sukarno memisahkan antara agama dan negara, sehingga dengan begitu berarti ia adalah seorang yang sekularis. Pandangan sekulernya tampaknya dipengaruhi oleh tokoh idolanya, Mustafa Kemal Attaturk, seorang nasionalis yang sekuler. Beliau mengutip kata-kata Kemal, Saya merdekakan Islam dari ikatannya negara, agar supaya agama Islam bukan tinggal agama memutar tasbih di dalam mesjid saja, tetapi menjadilah satu gerakan yang membawa kepada perjuangan. Kemerdekaan agama dari ikatan negara maksudnya adalah memerdekakan agama dari ikatan-ikatan yang menghalanginya untuk tumbuh subur, yaitu ikatan negara, ikatan pemerintah, ikatan pemegang kekuasaan yang zalim dan sempit fikiran. Begitu juga sebaliknya negara dimerdekakan dari ikatan anggapan-anggapan agama yang jumud, hukumhukum dan tradisi Islam yang kolot yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa Islam sejati. saya merdekakan Islam dari negara, agar Islam bisa kuat, dan saya merdekakan negara dari agama agar negara bisa kuat.

Apa pun alasannya, memisahkan agama dan negara adalah paham sekularisme. Tapi bukan berarti seorang yang sekularis kemudian tidak mempunyai semangat membela agamanya. Meskipun agama dipisahkan dari negara, "tapi kita akan membakar seluruh rakyat dengan apinya Islam, sampai setiap utusan dalam parlemen itu seorang Islam, dan setiap putusan parlemen diresapi oleh semangat dan jiwanya Islam", ucapnya. Ia mengharapkan parlemen terisi oleh orang-orang Islam, 60%, 70%, 80%, 90%, sehingga mampu mewarnai keputusan parlemen dengan warna Islam. Entah itu sungguh-sungguh keluar dari hatinya yang paling dalam, atau hanya ungkapan politis, sebagai penghibur umat Islam yang sudah

14

kecewa. Tapi yang pasti, harapan Sukarno parlemen berwarna Islam apabilanya isinya 90% Islam tak pernah terwujud sampai sekarang.

VIII. Penutup Terlepas dari catatan sejarah dan kajian yang telah dilakukan terhadap Sukarno yang mempertanyakan sejauh apakah Keislaman Sukarno? Dan walaupun beberapa ahli agama Islam mengatakan bahwa Sukarno adalah seorang yang berfaham sinkretis Jawa, dan bahwa sinkretisme adalah musuh besar agama. Namun pada kenyataannya, Sukarno dihargai dengan tiga kali penganugerahan Doktor Honoris Causa di bidang keislaman, yakni dalam Filsafat Islam dari Universitas Al Azhar Kairo (1960), dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1964) dan di bidang Falsafah Ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (1965). Dalam kaitan ini, para pemikir keislaman selanjutnyalah yang menentukan sikap dan pandangan mereka dalam menilai keislaman dan pemikiran Islam seorang Sukarno.

15

Bahan Bacaan Abdulgani, Roeslan, Perkembangan Tjita-tjita Sosialisme di Indonesia, Malang, Penerbitan Jajasan Perguruan Tinggi Malang, 1960. Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta:Gunung Agung, 1984) Boland, BJ, Pergumulan Islam di Indonesia, terj. Saafroedin Bahar, Jakarta:PT Grafiti Pers, 1985. Erka, Bung Karno kepada Bangsaku, Semarang: Aneka, 1978 Salam Solichin, Bung Karno Putera Fajar, Jakarta: PT Gunung Agung, 1987 Iqbal, Muhammad Iqbal , Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010 Kasenda, Peter, Sukarno Muda:Biografi Pemikiran 1926-1933, Jakarta:Komunitas Bambu, 2012 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta:LP3ES, 1985 Natsir, Mohammad, Islam sebagai Dasar Negara, Bandung: Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957, Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid I, Jakarta:Panitya Penerbit, 1963 Tashadi, dkk, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999. Widjarnako, Bambang, Sewindu Dekat Bung Karno, Jakarta,:Gramedia Pustaka Utama, 1996.

http://lembagabhinneka.org/2010/01/, http://denagis.wordpress.com/2009/06/01/. http://www.berdikarionline.com/ www.peterkasenda.wordpress.com

16

Anda mungkin juga menyukai