Anda di halaman 1dari 3

Nama : Afif Maulana Setiawan

NIM : 205211335
Kelas : 1i / Manajemen Bisnis Syariah
Makul : Pancasila

LATAR BELAKANG SOEKARNO, MUSO, DAN KARTOSOEWIRYO


Soekarno
Soekarno  'mondok' di rumah Tjokroaminoto pada usia 15 tahun. Ayah Soekarno,
Soekemi Sosrodihardjo, menitipkan Soekarno yang melanjutkan pendidikan di Hoogere
Burger School (HBS). Saat itu, tahun 1916, Tjokroaminoto sudah menjadi Ketua Sarekat
Islam, organisasi politik terbesar dan yang pertama menggagas nasionalisme.
Dalam salah satu biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengenang
Tjokroaminoto sebagai idolanya. Dia belajar tentang menggunakan politik sebagai alat
mencapai kesejahteraan rakyat. Dia belajar tentang bentuk-bentuk modern pergerakan
seperti pengorganisasian massa dan perlunya menulis di media. Sesekali Soekarno menulis
menggantikan Tjokro di Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Soekarno juga kerap
menirukan gaya Tjokroaminoto berpidato.

Musso
Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso
adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri. Penelusuran merdeka.com
mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan
Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono
Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.
Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi
awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso
itu adalah keluarga mereka.
Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi
pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa
melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
kaya di masa itu.
Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat
Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV
(Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia
Belanda).
Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS
Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga
ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.
Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama
yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam
sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.
Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap
percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini
membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."

SM Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo muda mulai tertarik pada dunia pergerakan saat
bersekolah di Nederlandsch Indische Artsen School atau biasa disebut Sekolah Dokter Jawa
yang berlokasi di Surabaya pada 1923. Dia gemar membaca buku-buku milik pamannya,
Mas Marco Kartodikromo yang sebagian besar buku beraliran kiri dan sosialisme.
Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarikat Islam beraliran merah.
Terpengaruh berbagai bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung dengan
Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Guru utamanya di dunia pergerakan sekaligus guru agamanya adalah Hadji Oemar
Said Tjokroaminoto. Kartosoewirjo begitu mengagumi dan terpesona dengan
Tjokroaminoto yang sering berpidato dalam berbagai pertemuan. Kartosoewirjo melamar
menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.

Untuk membayar uang pondokan, Kartosoewirjo bekerja di surat kabar Fadjar Asia
milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membuatnya menjadi sekretaris pribadi
Tjokroaminoto.
Tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan
Solo) yang bekerjasama dengan Belanda menjadi ciri khas Kartosoewirjo. Dalam artikelnya
tampak pandangan politiknya yang radikal. Dia juga sering mengkritik pihak nasionalis.
Kartosoewirjo bersama Tjokroaminoto hingga tahun 1929.
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap
kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah. Kekecewaannya
terhadap pemerintah membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia
yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh
bergabung.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah
melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni
1962. Soekarno yang menjadi presiden, teman kosnya semasa di Surabaya, adalah orang
yang menandatangani eksekusi mati Kartosoewirjo pada September 1962.

Anda mungkin juga menyukai