Anda di halaman 1dari 6

BIOGRAFI TOKOH KARTO SUWIRYO

A. BIOGRAFI
Ternyata keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) tidaklah sesadis fakta sejarah yang
dituduhkan pada buku-buku pelajaran sejarah di sekolah. Sehingga kali ini ane posting profil
tentang seorang tokoh, tidak sekadar mengungkap sisi lain sejarah yang (sengaja) dilupakan,
namun juga memberikan pengayaan pandangan dan opini yang salah.
Dalam sejarah politik nasional, nama S.M. Kartosuwiryo diguratkan dengan tinta agak
gelap. Bahkan ia diidentikkan dengan gambar kelam yang ada kalanya bernuansa mistis. Bukubuku sejarah nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai orang yang bermimpi mendirikan
negara baru. Hal ini berlangsung hingga sekarang.
Padahal Kartosuwiryo bukanlah tokoh yang garang atau misterius. Ia lahir dari keluarga
yang jelas. Begitu juga pendidikan formal, profesi, dan keterkait-annya dengan tokoh-tokoh
nasional seperti Abikusno, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Agus Salim, H.O.S.
Cokroaminoto, dan bahkan Soekarno.
Gambaran kelam soal Kartosuwiryo ini, muncul dari situasi yang disemaikan
pemerintahan Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang berpaham komunis merasa
terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan dengan memperalat umat Islam untuk
menghadapi saudaranya sesama muslim dalam Negara Islam Indonesia (NII).Konspirasi
Soekarno dengan ulama NU sehingga ia menerima julukan waliyyul amri ad-dharuri bisysyaukah, juga merupakan rekayasa Soekarno untuk meredam kecenderungan masyarakat
kepada konsep negara Kartosuwiryo.
Untuk memenuhi syarat sebagai waliyyul amri, Bung Karno mendirikan masjid
Baiturrahim di Istana Negara. Prakteknya, masjid itu didirikan sebagai simbol semata agar rakyat
menilainya sebagai pemimpin yang taat menjalankan ajaran-ajaran Islam Sikap permusuhan
terhadap Islamisme seperti itu terus berkembang dan meluas, tidak saja di kalangan sipil tapi
juga di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo demikian nama lengkap dari Kartosoewiryo,
dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi
daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana
budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.
Ayahnya, yang bernama Kartosuwiryo bekerja sebagai mantri pada kantor yang
mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang.
Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi
inilah, ayah Kartosoewiryo, mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi
saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya.
Kartosuwiryo, pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya gerakan pencerahan
Indonesia ketika itu, Kartosuwiryo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem
rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis in
juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan
keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah
pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di
Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki
yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk
berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu
Kartosuwiryo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede
1

Klasse) atau Sekolah kelas dua untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia
melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika
orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS
(Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra pribumi, HIS dan ELS merupakan sekolah
elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia
bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan
kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosuwiryo mendapatkan pendidikan agama
dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi guru agamanya. Dia adalah tokoh
Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri
kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosuwiryo
Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosuwiryobersikap dalam
merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the
formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya
melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran
Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas
organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosuwiryo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia
mulai mengaji secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu terasuki oleh
shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya
untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering
meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan
oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari
berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki
organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiranpemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo.
Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan
didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu
Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya.
Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena terasuki ilmu-ilmu Islam,
melainkan dituduh komunis karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi
yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang
zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang
memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah
seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya
sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Semasa kuliah di Surabaya inilah Kartosoewirjo banyak terlibat dalam organisasi
pergerakan nasional seperti Jong Java dan Jong Islamieten Bond (JIB), dua organisasi pemuda
yang berperan penting dalam Sumpah Pemuda 1928. Selain itu ia juga masuk Sjarikat Islam (SI)
dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik HOS Tjokroaminoto yang sangat menganganangankan berdirinya sebuah baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negeri yang makmur dan
diridhoi Allah SWT). Ketika Syarikat Islam berubah menjadi Partai Sjarikat Islam Hindia Timur
(PSIHT), Kartosoewirjo dipercaya memegang jabatan sekretaris jenderal. Saat itu usianya masih
sangat muda, baru 22 tahun.
Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian
bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan
jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia
kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam
Indonesia (KPKPSII).
2

Kartosoewirjo amat kritis. Ia banyak menulis kritikan baik bagi penguasa pribumi
maupun pemerintah kolonial di Harian Fadjar Asia, surat kabar tempatnya bekerja sebagai
wartawan dan beberapa saat kemudian diangkat sebagai redaktur. Ketika Jepang menguasai
Hindia Timur, seluruh organisasi pergerakan dibubarkan. Jepang hanya memperbolehkan
beberapa organisasi yang dianggap tidak membahayakan kedudukan Jepang. Oleh karena itu
PSIHT dibubarkan dan berganti menjadi Madjlis Islam Alaa Indonesia (MIAI) pimpinan
Wondoamiseno. Kala itu Kartosoewirjo menjabat sebagai sektretaris Majelis Baitul-Mal,
organisasi di bawah MIAI.
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan
oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal
kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa
mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu
berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Quran. Ia tetap istiqomah pada
pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu
sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.
Pada masa perang kemerdekaan, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya
membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak
pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah
long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit
wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang
ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.
Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sebuah sumber
menyatakan bahwa sebenarnya Kartosoewirjo sudah terlebih dahulu memproklamirkan
kemerdekaan sebuah negara Islam. Namun atas pertimbangan kebangsaan dan kesatuan ia
mencabut kembali proklamasi tersebut dan bersedia turut menegakkan Republik Indonesia
dengan syarat umat Islam Indonesia diberi kesempatan untuk menjalankan syariat Islam.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam sila pertama Piagam Jakarta yang kemudian
dihapus sehingga hanya menyisakan kalimat Ketuhanan yang Maha Esa saja.
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut merupakan awal retaknya
hubungan Kartosoewirjo dan Soekarno, teman seperguruannya semasa masih dididik oleh HOS
Tjokroaminoto. Keduanya memang menunjukkan sikap dan prinsip politik berbeda.
Kartosoewirjo adalah seorang muslim taat yang mencita-citakan berdirinya negara
berdasarkan syariat Islam, sedangkan Soekarno nasionalis sekuler yang lebih mementingkan
persatuan dan kesatuan Indonesia dengan Pancasila-nya. Hal ini membuat Kartosoewirjo selalu
berseberangan dengan pemerintah RI. Ia bahkan menolak jabatan menteri yang ditawarkan
Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
Ketika wilayah Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta dan beberapa karesidenan
di Jawa Tengah sebagai hasil kesepakatan dalam Perjanjian Renville, Kartosoewirjo melihat
peluang untuk mendirikan negara Islam yang dicita-citakannya. Maka iapun memprokamasikan
Negara Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949.
Jawa Barat waktu itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda, sehingga klaim sejarah
yang menyatakan bahwa Kartosoewirjo merupakan pemberontak Republik Indonesia seharusnya
dipelajari kembali.
Pada tanggal 27 Desember 1949 pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk
sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam negara federasi
yang diakui kedaulatannya oleh Kerajaan Belanda itu, Republik Indonesia di Yogyakarta
merupakan salah satu dari 16 negara federal anggota RIS. Soekarno terpilih sebagai presiden
RIS, sedangkan jabatan presiden RI diserahkan pada Mr. Asaat. Terbentuknya RIS secara
otomatis membenturkan NII dengan RIS karena Negara Pasundan bentukan Belanda yang
menguasai wilayah Jawa Barat merupakan anggota federasi RIS. Konfrontasi memperebutkan
3

Jawa Baratpun meletus. RIS merasa berhak atas Jawa Barat berdasarkan hasil KMB, sedangkan
NII bersikeras mereka lebih berhak karena telah lebih dulu memproklamasikan diri sebelum
dibentuknya Negara Pasundan dan RIS.
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk
membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7
Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa
Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan
operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui
perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Perang NII-RIS berlangsung selama 13 tahun. Dalam masa 13 tahun itu RIS berubah
bentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Negara Pasundan menjadi
provinsi Jawa Barat. Hal ini membuat NII semakin terpojok karena dengan bentuk baru RIS
tersebut NII seperti negara dalam negara
Pada akhirnya tentara NKRI berhasil menghabisi perlawanan NII, ditandai dengan
tertangkapnya SM Kartosoewirjo selaku Imam Besar (presiden) NII di wilayah Gunung Geber
pada 4 Juni 1962. Mahkamah militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan
hukuman mati. Mantan aktivis, jurnalis, sekaligus ulama kharismatik itupun menghembuskan
napas terakhirnya di depan regu tembak NKRI pada September 1962.
Pada masa Orde Baru (orde militerisme), Islamisme agaknya dipandang lebih berbahaya
daripada sekularisme, komunisme atau misionaris Kristen dan Yahudi. Bahkan Seminar TNI
Angkatan Darat (Agustus 1966) di Bandung malah bersikap antipati, menganggap gerakan Darul
Islam (DI) atau NII sebagai musuh bangsa nomor satu, baru menyusul PKI.
Sikap istiqamah yang ditunjukkan Kartosuwiryo terhadap cita-cita perjuangan yang telah
digariskannya patut diteladani oleh siapa saja (para aktivis) yang menyebut dirinya sebagai orang
pergerakan, apa pun ideologinya, dengan terlebih dahulu mengenyampingkan naluri sektarian
yang ada pada dirinya.
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup
menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus
dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma,
berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah
(bahwa mereka itu mati), bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya. (QS. 2:154)
Tuduhan bahwa Kartosoewirjo sebagai pemberontak harus dikoreksi. Bukan saja demi
meluruskan sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan, namun juga agar kezaliman sejarah
tidak terus berlanjut terhadap tokoh yang kita hormati itu.
B. KISAH KARTOSUWIRYO DENGAN SOEKARNO
Bung Karno dan Kartosuwiryo merupakan sahabat karib sama-sama berguru kepada
Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di kawasan Peneleh, Surabaya.
Roso Daras
menuliskan di buku Bung Karno Vs Kartosuwiryo, Serpihan Sejarah Yang Tercecer tentang
pertemanan Soekarno dan Kartosuwiryo.
Kisah itu bermula dari pesan Tjokroaminoto yang menyatakan, "Jika kalian ingin menjadi
pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator". Pesan itu sangat
diingat Soekarno, hingga setiap malam dia selalu belajar pidato. Setiap Soekarno belajar
berpidato, suaranya yang lantang terdengar sangat mengganggu kawan-kawannya yang juga

tinggal di rumah Tjokroaminoto, seperti Muso, Alimin, Kartosuwiryo, dan Darsono. Tidak
jarang, mereka yang mendengar tertawa.
Bahkan, sering kali saat Soekarno sedang belajar berpidato, kawan-kawannya yang lebih
senior memintanya untuk berhenti, karena merasa terganggu. Namun, Soekarno tetap
melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya yang gelap. Salah seorang kawan
Soekarno di rumah Tjokroaminoto yang tidak pernah bosan memberikan kritik atas pidatopidatonya adalah Kartosuwiryo.
Namun, tidak jarang kritik yang dilontarkan Kartosuwiryo lebih kepada ejekan. Hei
Karno, buat apa berpidato di depan kaca? Seperti orang gila saja, kata Kartosuwiryo, suatu kali,
kepada Soekarno yang tengah belajar berpidato. Mendengar celetukan itu, Soekarno diam saja
terus melanjutkan pidatonya.
Setelah pidatonya selesai, dia baru membalas ejekan Kartosuwiryo. Kalimat pertamanya
adalah penjelasan kenapa dia belajar berpidato sebagai persiapan untuk menjadi orang besar.
Pada kalimat kedua, Soekarno baru membalas ejekan kawannya itu. "Tidak seperti kamu, sudah
kurus, kecil, pendek, keriting, mana bisa jadi orang besar!. ucap Soekarno dibarengi oleh tawa
keduanya. Peristiwa itu terjadi di rumah Tjokroaminoto, hingga keduanya tumbuh dewasa.
Impian Soekarno untuk menjadi orang besar terwujud. Meletusnya pemberontakan
komunis 1926-1927, membukakan jalan baginya untuk mendirikan partai politik yang bercorak
nasionalis. Sementara Kartosuwiryo terus berjuang bersama Tjokroaminoto. Dia bahkan
menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto, dan memilih Islam sebagai ideologi perjuangannya.
Buku-buku marxisme yang dibacanya sama sekali tidak memengaruhinya untuk menjadi merah,
dan ke kiri-kirian, seperti kebanyakan temannya.
Sebaliknya, ideologi Islam yang diperjuangkannya justru semakin kuat. Dengan
marxisme sebagai pisau analisa, pemikiran Kartosoewirjo tentang penghisapan kapitalisme
semakin tajam, dan kritis. Karir politiknya pun terus melonjak. Perpecahan mulai timbul setelah
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Terjadi tarik
menarik kekuatan arah republik, antara yang menghendaki negara Uni Belanda, negara komunis,
dan negara Islam.
Soekarno yang menyerap memiliki banyak ideologi, mulai dari marxis, Alquran dan
Islam, serta kitab lainnya tidak ingin Indonesia menjadi negara Uni Belanda, komunis, dan
berazaskan Islam. Sebaliknya, dia menawarkan asaz Pancasila. Menurutnya, Pancasila adalah
ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi, sesuai dengan pergulatan batin, intelektual, dan budaya
luhur bangsa. Usulan Pancasila ini kemudian disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.
Perlawanan hebat pertama-tama datang dari pihak komunis. Tahun 1948, kelompok Muso
memproklamirkan Negara Madiun sebagai poros Soviet. Peristiwa yang dikenal dengan
Pemberontakan Madiun ini dengan mudah ditumpas Pemerintah Republik. Pemberontakan
hebat selanjutnya datang dari Kartosuwiryo, saat diproklamasikannya Negara Islam Indonesia
(NII), di Tasikmalaya, pada 7 Agustus 1949. Pemberontakan ini bahkan sanggup menyebar ke
Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Pemberontakan Kartosuwiryo berhasil ditumpas. Ia
ditangkap oleh pasukan TNI di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. Dia lalu dijatuhi
hukuman mati. Yang menyedihkan, surat hukuman mati itu ditandatangani oleh Soekarno.
Sempat terjadi pergolakan hebat dalam batin Soekarno, saat harus membunuh sahabat karibnya
sendiri, saudara seperguruan, dan teman seperjuangannya Kartosuwiryo.
Tanpa tanda tangan Soekarno, tentu Kartosuwiryo tidak akan ditembak mati. Proses
eksekusi terhadap Kartosuwiryo sempat tertunda hingga tiga bulan. Sebabnya, Soekarno selalu
menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosuwiryo, manakala berkas itu berada di
atas meja kerjanya. Peristiwa ini sempat membuat Soekarno frustasi, hingga akhirnya dia
lempar berkas vonis tersebut ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya. Saat itu, putrinya
Megawati Soekarnoputri lah yang menyadarkan sang ayah. Megawati menggambarkan luhurnya
hakikat pertemanan sejati, namun dia mengingatkan Soekarno agar menepati dharmanya sebagai
5

kepala negara, kepala pemerintahan, serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan
dengan tugasnya.
Akhirnya, pada September 1962, setelah lama termenung di meja kerjanya, dia
menggoreskan tanda tangannya di atas berkas vonis Kartosuwiryo. Seketika, dia ingat hari-hari
bersama Kartosuwiryo di medan perang. Seakan masih terdengar canda dan tawa, serta diskusidiskusi politik, agama, kebangsaan, dan apa saja yang begitu hangat dengan sahabatnya itu. Dia
lalu mengambil selembar foto Kartosuwiryo, dan menatapnya lama-lama, sambil berlinangan air
mata. Saat melihat foto sahabatnya itu, Soekarno tersenyum dan berkata, Sorot matanya masih
tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang
pejuang. Soekarno menangis di depan Mayjen S Parman (Asisten I/Menpangad) Kejadiannya di
satu pagi pada tahun 1964, S Parman membawa surat keputusan eksekusi mati pada
Kartosuwiryo. Soekarno tidak kuat menandatangani surat hukuman mati pada teman kecilnya
itu. Lalu ia meminta S Parman kembali setelah Maghrib, sepanjang hari itu Soekarno gelisah. Ia
shalat terus menerus dan berdoa, barulah seusai maghrib ia menandatangani surat eksekusi.
Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosuwiryo, pada 5 September 1962, di
Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai