Anda di halaman 1dari 10

PEMIKIRAN TEOLOGI ABDURRAHMAN WAHID DAN SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN

Indah Dwi Safitri (E01217010)


Mei Ariani Sudarman (E01217015)

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

Madinatulfitria17@gmail.com
Meisudarman9922@gmail.com

Abstrak: Perkembangan Tasawuf Nusantara merupakan kontribusi langsung dari para wali yang
berdakwah melalui berbagai strategi demi menyebarkan Islam ke berbagai daerah. Berbagai
strategi dilakukan untuk mempermudah dakwah yang diemban agar nilai-nilai Islam yang
bernuansa tasawuf bisa diterima dengan sukarela dengan masyarakat lokal. Dengan mendalami
pemikiran tasawuf yang dikembangkan Syaikhona Kholil Bangkalan, setiap generasi Islam
mampu mendalami nila-nilai tasawuf yang menopang peningkatan spiritualitas dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan beliau sendiri dikenal sebagai penganut aliran salah satu tarekat yang berhasil
mempengaruhi perkembangan tasawuf di bumi nusantara dan Abdurrahman Wahid penggagas
peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan
sistem pendidikan nasional. Beliau berdua merupakan seorang ulama besar dan tokoh
berpengaruh dalam pembaharuan Islam.

Kata Kunci: Pemikiran, Tasawuf, Pembaharu

Pendahuluan

Kebangkitan ulama pada abad ke-19 M, mampu membangkitkan semangat keagamaan


(keislaman) dan semangat nasionalisme di Nusantara. Bersamaan dengan kuatnya arus gerakan
pembaharuan Islam. Ulama pada saat itu masih belum memiliki wadah guna menggigihkan laju
perkembangan paham yang mengatasnamakan pembaharuan Islam. Sebagai seorang ulama
sekaligus pembaharu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Syaikhona Kholil Bangkalan menjadi
penggerak perkembangan pemikiran yang konservatif dan cinta tanah air dalam berbangsa dan
beragama.

Biografi Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8
kalender Islam (Agustus) 1940. Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari pasangan K. H.
Wahid Hasyim dan Nyai Solichan. Menganut tradisi Muslim abangan di Jawa yang sering
menggunakan nama ayahnya setelah namanya sendiri. Dimasa kecilnya yang dikenal dengan
panggilan Gus Dur ini menurut sanak saudaranya Gus Dur yang lebih tua.

Sebenarnya masa kecil Gus Dur bukan hanya di Jombang tetapi ketika berusia 4 tahun
pada tahun 1944 beliau diajak pindah ke Jakarta karena sang ayah mendapat tugas baru
mengurusi proposal agama dimasa penjajahan Jepang, dan mengurusi persatuan organisasi Islam,
MIAI dan kemudian MASYUMI.

Di Jakarta Gus Dur belajar banyak hal, tidak hanya dari ayahnya tetapi dari pergaulan
ayahnya yang tidak hanya dari pergaulan pesantren tetapi juga dari kalangan nasionalis,
pergerakan, bahkan termasuk dari kalangan komunis, seperti kasus bagaimana ia sering
membukakan pintu tengah malam pada seorang yang mengaku petani yang bernama Husein, yang
kemudian hari kita kenal sebagai Tan Malaka. Inilah yang menjadikan Gus Dur dikemudian hari
sangat banyak pengetahuan dan mampu menjabatani secara logis dan berkesinambungan antara
tradisi pesntren dan dunia modern.

Masa pendidikan Gus Dur dilakukan di Jakarta. Ia mulai sekolah dasar KRIS di Jakarta
pusat, kemudian Gus Dur sekolah SMP di Jogjakarta ketika itu ia tinngal di rumah KH. Junaidi
atau Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah. Ketika masih di bangku SMP Gus Dur diusahakan
pergi ke pesantren dan belajar bahasa Arab dengan KH. Ali Ma’shum. Setelah tamat dari SMP di
Jogjakarta pada 1957, Gus Dur pindah kepesantren, disitu ia belajar secara penuh dengan dunia
pesantren. Proses belajar di pesantren ini dilakukan selama 2 tahun yaitu sampai 1959. Setelah 2
tahun belajar di pesantren, Gus Dur melanjutkan belajar pesantrennya ke Jombang pada 1959.
Pondok pesantren yang dituju adalah Pesantren Tambakberas ketika itu pengasuhnya Kiai
Wahab Hasbullah. Pada pertengahan 1970-an Gus Dur menyelesaikan studi 4 tahunnya di
Universitas Baghdad. Pada September 1971 Gus Dur dan Nuriyah melangsungkan pesta
pernikahannya.

Gus Dur menderita banyak penyakit, seperti gangguan pada penglihatannya ia juga
mengalami serangan stroke, diabetes dan gangguan ginjal. Ia wafat pada Rabu, 30 Desember 2009,
akibat komplikasi penyakit yang dideritanya. Seseorang dalam hidup dapat dilihat ketika
wafatnya, apakah banyak orang yang menangisi atau melayatinya sebagai yang dikatakan K.H.
Wahab Hasbuallah kepada KH. Saifuddin Zuhri, “ ketika kita lahir di dunia dengan keadaan
nangis tapi orang disekitar tersenyum dan bahagia, tetapi ketika meninggal dunia orang lain harus
menangis (sementara) kita yang tersenyum” itulah terlihat dari sosok Gus Dur yang begitu
banyaknya orang melayat dan menangis. Dilihat dari banyaknya orang yang menginginkan dan
mengajukan kapasitas berjuang dan pemikirannya sebagai pahlawan Nasional. Bahkan ada juga
yang mengajukan beliau sebagai peraih Nobel Perdamain dunia, seperti yang diperoleh Presiden
Amerika Serikat, Barrack Obama.

Gus Dur banyak meninggalkan karya tulis. Karya tulisnya berbentuk artikel dan opini,
selain itu juga meninggalkan karya diatas tanah, yaitu pengembangan plurarisme, demokrasi dan
berbagai organisasi, baik sosial keagamaan, politik maupun berbagi komunitas lintas agama, ras,
suku, maupun idiologi.

Karena perjuangan dan pemikiran atas kemanusiaan baik di Indonesia dan di dunia Gus
Dur banyak mendapat gelar kehormatan dan penghargaan dari lembaga nasioanal mapun
internasional. Seperti;

• 1990, tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia.


• 1991, penghargaan dahwah Islam dari pemerintah Mesir.
• 1993, penerimaan Ramon Magsaysay Award sebuah penghargaan yang cukup prestetius
untuk katagori Community Leandership.
• 1998, Man of The Year, majalah REM , Indonesia.
• 2000, Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International. Dan lai-lain.

Kemudian Gus Dur juga diakui kapasitasnya dikalangan akademik sering mendapat gelar dari
bebagai Universitas, berikut ini daftar Doktor Honoris Causa yang diberikan kepanya.
• Doktor kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thanmmasat University, Bangkok,
Thailan(2000).
• Doctor kemormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000).
• Doctor kehormatan dari Twente University, Belanda (2000).
• Doctor kehormatan dari Soka Gakai University, Tokyo, Jepang (2002).
• Doctor kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003).1

Pemikiran Abdurrahman Wahid

1. Sosialisasi Berfikir

Gus Dur memiliki karakter berfikir yang bebeda dari pemikir pada jamannya. Pola pikir
yang dibangun bermula ketika ia mengenyam pendidikan di Universitas Hasyim Asy’ari,
Jombang, pada tahun 1974 berbagai kesibukan ia bertambah setelah menjadi sekretaris pesantren
Tebuireng. Ketika itu ia memulai menuangkan pikiranya lewat tulisan atau artikel-artikel. Dari
sini ia mulai dikenal sebagai penulis yang produktif dan memiliki analisa yang tajam, khususnya
mengenai fenomena sosial, politik dan budaya yang dihadapi bangsa.

Pada tahun 1980-an , sosialisasi sebagai anggota LP3ES, sebagai lembaga yang terlibat
dalam program pengembangan masyarakat dan pesantren-pesanten se-Indonesia. Pada era
Soeharto, Gus Dur menolak islamisasi di tubuh ICMI, organisasi yang dibentuk untuk menjaga
kekuatan pemerintah dengan memakai isu-isu keagamaan. Dalam kontek disini NU sudah mulai
Nampak menjadikannya sebagai basis dibidang keagamaan ICMI (1990).

Sosialisai pemikiran Gus Dur sangat mudah untuk dilaksanakan di era puncak kekuasaan
negri ini, yaitu semenjak ia menjadi presiden Oktober 1999-Juli 2001, karena dalam konteks ini ia
memiliki otoritas dalam membentuk kebijakan dan konsepsi yang belum ada sebelumnya, yaitu
mengenai hubungan agama dan Negara.

1
Muhammad Rifai, GUS DUR: BIOGRAFI SINGKAT 1940-2009 ( Jogjakarta: Garasa House of Book, 2003) 26.
Berbagai kebijakan yang ditemukan dalam era pemerintahan yang mengandung pro-konra
di kalangan masyarakat luas, missal; keinginan bekerja sama dengan pedagang Israel, penyataan
Gus Dur “ pemerintah tidak punya monopoli terhadap agama apapun sebaliknya agama juga tidak
dapat memonopolikan terhadap pemerintah” sebagai koreksi tergadap lima agama yang telah
disepakati.

Dari berbagai kebijakan, khususnya terkait dengan hubungan Islam dan Negara, Gus Dur
mencoba menghilangkan keterlibatan agama dalam Negara. Upaya ideologisasi bangsa dengan
agama tertentu harus dihilangkan dalam kehidupan kita, dalam setiap responya pada kondisi
sosial budaya maupun pendidikan. Sebagai ciri khas pemikir Gus Dur yang membedakan dengan
memikir-mikirnya.2

2. Humanisme Dan Plurarisme

Dalam KBBI disebutkan kata demokrasi adalah sistem pemerintahan yang seluruh
rakyatnya turut serta memerintah dengan peranan wakilnya. Sebuah gagasan atua pandangan
hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi warga
dan Negara. Demokrasi juga suatu keharusan yang harus dipenuhi bukan karena demokrasi
sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal, tidak
eksploitatif, tetapi demokrasi sangan mendukung tegaknya plurarisme bangsa3.

Pandangan Gus Dur terhadap plurarisme dan demokrasi sudah terlihat ketia ia menjabat
ketua PBNU sekitar 1980-an ketika itu ia menguatkan pola pemerintah dalam kebijakan
sektrarian. Banyak pemikiran dan perjuangannya dalam mengawal plurarisme dan demokrasi
ditanah air. Demokrasi ini bisa kita lihat dalam salah satu hasil wawancara yang berjudul “ Negeri
ini Kaya dengan Calon Presiden”.

Gus Dur terkenal dengan bapak plurarisme dan demokras. Humanisme dalam konteks
adanya penghargaan yang cukup tinggi terhadap nila-nila kemanusiaan. Penghargaan tersebut
tercermin dalam tingkah laku manusia yang menghargai kehidupan orang lain yang memiliki
kebebasan pendapat, berfikir, berkumpul, dan keyakinan. Bagi Gus Dur nilai terpenting dari

2 Wasid, Gus Dur Sang Guru Penan (Jogjakarta; INTERPENA, 2010), 93.
3 Umaruddin Masdar, Gus Dur dan Amin Rais (Yogjakarta, pustaka belajar, 1999), 144.
sebuah agama adalah pemakaman terhadap bagaimana manusia menetapkan dirinya untuk dunia
untuk bisa mengelola dan mengatur bagi tujuan kebaikan hidup tersebu.4

3. Akar Pemikiran politik

Akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasakan pada


komitmen kemanusiaan humanism-insaniyah dalam ajaran Islam. Komitmen manusia adalah
menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial.
Modus politik yang secra konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap
sebuat tatanan politik nasionalisme yang sekaligus mengangkat universitas kemanusiaan.

Akar pemikiran politik Gus Dur tersebut didasari oleh neo-tradisional Islam yang
dipahaminya sejalan dengan modernisme tetapi tetap mempunyai dasar pijakan transendental
kepada tuhan. Dengan pandangan ini, kehidupan sosial kenegaraan harus dicermati dengan jalan
melakuan penyesuaian dan pembaruan agama Islam didunia nyata apabila Islam tetap cair dan
relevan di alam modern.

Ideologi pancasila tidak berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari Islam atau agama
lain, karena setiap pemeluk agama untuk menjalankan agama masing-masing. Bagi Gus Dur
agama berberan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan Negara, ini adalah ini hubungan
agama dan pancasila. Hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan
memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh pancasila dan
dituangkan dalam pandangan bangsa.5

4. Biografi KH. Syaikhona Kholil Bangkalan


Kiai Kholil Bangkalan lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H, yang bertepatan
dengan tahun 1835 H. Kedua orangtuanya sangat gembira akan kehadiran anaknya tersebut,
terutama sang ayah K.H Abdul Latif.6

4 Muhammad Rifai, GUS DUR: BIOGRAFI SINGKAT 1940-2009( Jogjakarta: Garasa House of Book, 2003), 87.
5 Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politi Gus Dur (Jakarta; Erlangga, 2010), 87.
6 Muhammad Rifai, KH. M. KHOLIL BANGKALAN; Biografi Singkat 1820-1923, (Yogyakarta: GARASI, 2014), 22- 23.
Awal mula pendidikan Kiai Kholil adalah belajar kepada sang ayah, K.H Abdul Latif. Kiai
Kholil terlebih dahulu belajar Al-Qur’an, kemudian mengulas kitab kuning yang terdiri dari
bermacam materi misalnya; fiqih, ilmu kalam, tafsir, hingga tasawuf. 7

Sebelum melanjutkan untuk merantau ke luar pulau Madura, Kiai Kholil terlebih dahulu
berguru kepada Guru Dawu, tepatnya di desa Malajeh, Bangkalan. Sistem pengajaran yang
dilakukan oleh sang Guru bisa dibilang unik, karena dilakukan secara nomaden, kondisional dan
tidak menetap pada suatu tempat.8 Selanjutnya, Kiai Kholil merantau lagi untuk mengenyam ilmu
agama di beberapa pesantren di Jawa. Diantaranya Pesantren Langitan Tuban (KH. Muhammad
Noer), Pesantren Cangaan Bangil (KH. Asyik), Pesantren Darussalam, Kebon Candi Pasuruan
(KH. Arif), Pesantren Sidogiri Pasuruan (Kiai Noer Hasan), dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Bondowoso (Kiai Abdul Bashar). Secara silsilah, petualangan Kiai Kholil dalam menimba ilmu di
berbagai pesantren tersebut semakin memperkuat jaringan atau relasi dengan beberapa pesantren
di daerah Madura dan Jawa.

Kemantapan untuk menuntut ilmu agama, membuat Kiai Kholil memutuskan untuk
berangkat ke tanah suci Makkah pada tahun 1859. Selama perjalanan ke Makkah, Kiai Kholil
selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Saat siang hari beliau
gunakan untuk membaca Al-Qur’an dan bersholawat. Sedangkan pada malam harinya digunakan
untuk melakukan wirid. Ketika belajar di Makkah, Kiai Kholil tidak hanya mempelajari ilmu
dhohir (eksoteris) seperti tafsir, hadist, fiqih, dan ilmu nahwu. Beliau juga mempelajari ilmu
bathin (esoteris) ke berbagai guru spiritual. Guru spiritual Kiai Kholil adalah Syaikh Ahmad
Khatib Sambas, yang bertempat tinggal di Jabal Qubais.

Setelah kepulangan Kiai Kholil dari Makkah, beliau menikah dengan seorang putri dari
Raden Ludrapati yang bernama Nyai Asyik. Pernikahan berlangsung pada 30 Rajab 1278 h (sekitar
1861 M). Beliau mendapatkan hadiah dari sang mertua berupa sebidang tanah di Desa Jangkibuan
dimana tanah ini beliau gunakan untuk membangun pesantren dan rumah. Semakin hari semakin
ramai santri yang dating dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah luar
Bangkalan dan Jawa.

7 Mohammad Takdir, “Kontribusi Kiai Kholil Bangkalan dalam Mengembangkan Tasawuf Nusantara”, Vol. 9, No. 2
(Desember, 2016), 9.
8 Ibid.,
Setelah dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Siti Khatimah, dan
menikahkannya dengan Kiai Muntaha selaku keponakan Kiai Kholil sendiri, pesantren ersebut
diserahkan kepada menantunya. Kiai Kholil kemudian mendirikan pesantren lagi di daerah
Kademangan, hampir di pusat kota, sekitar 200 meter sebelah barat alun-alun kota Kabupaten
Bangkalan. Letak pesantren baru ini jaraknya sekitar 1 kilometer dari pesantren lama. Santri
pertamanya yang dating dari pulau Jawa tercatat bernama hasyim Asy’ari dari Jombang. Santri
pertama inilah yang kemudian menjadi salah satu pendiri organisasi NU serta ayah dari
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau meninggal pada usia 90 tahun, pada 29 Ramadhan 1343
H, sekitar tahun 1925 dan dikebumikan di Bangkalan, di desa Mertajasa.

Pemikiran Teologi Kiai Kholil

1. Menggabungkan Tasawuf dan Fiqih


Telah disebutkan oleh KH. Aziz Masyhuri, bahwa Kiai Kholil adalah sosok kiai
yang hendak menggabungkan tasawuf dan fiqih. Dalam usaha penggabungan tersebut,
menurut KH. Aziz, Kiai Kholil menundukkan tarekat dibawah fiqih sehingga ajaran
tarekat memiliki batasan tersendiri, yaitu fiqih.
Bukti nyata kepedulian Kiai Kholil dalam bidang fiqih misalnya pada kitab yang
beliau tulis berjudul Silah Fubaynnikah, suatu kitab yang menguraikan tat acara, adab, dan
hukum pernikahan. 9

2. Menempatkan Sesuai Proporsinya


Kiai Kholil mengajarkan agar menjauhi sikap benci dan menjauhi pemujaan yang
berlebihan. Dari salah satu pandangan seorang muridnya, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, beliau
menyerukan perilaku yang biasa (moderat) terhadap guru mereka dan menjauhi pemujaan
berlebihan yang kadangkala dilakukan oleh murid kepada sang guru. Misalnya beliau
tidak bersedia dipanggil guru sufi, dan menyerukan perilaku sederhana.

9
Muhammad Rifai, KH. M. KHOLIL BANGKALAN, 130.
3. Perjuangan Kebudayaan
Ketika dalam berdakwah, walaupun beliau sudah lama tinggal di Makkah, ia
bukanlah tokoh yang suka dan mengagung-agungkan bahasa dan tradisi Arab untuk
dipaksakan dan ditanamkan di tanah Bangkalan dengan meminggirkan adat istiadat
setempat. Di sinilah Kiai Kholil melakukan “pribumisasi” ajaran islam. Hal itu terbukti
dalam banyak cerita karomahnya bagaimana ia menolong seseorang yang sedang terkena
penyakit, tidaklah menggunakan Bahasa Arab secara benar. Jampi-jampi khas yang beliau
ucapkan bisa dikatakan unik, tidak menggunakan bahasa Arab pula.

Melalui perjuangan kebudayaan ini, Kiai Kholil sebenarnya hendak meniru ajaran
dakwah para Walisongo dalam proses islamisasi di Jawa. Sebaliknya, Walisongo dan Kiai
Kholil menghormati adat istiadat dan tradisi masyarakat lokal. Oleh karenanya, Kiai
Kholil menggunakan bahasa lokal ketika berbaur dengan santri dan masyarakt lainnya.
Tidak jarang pula Kiai Kholil mendoakan pasiennya menggunakan bahasa Arab dan
Madura.

4. Pemikiran Kerakyatan
Kiai Kholil yang merupakan seorang pemimpin di daerah Bangkalan dan terkenal
sebagai pemimpin yang memikirkan rakyatnya. Oleh karena itu, beliau tidak menjadi
seorang pemimpin dan intelektual yang hanya berada dalam pesantrennya saja. Sosok Kiai
Kholil sebagai pemimpin yang mengetahui kondisi rakyat yang cenderung pada pemikiran
praktis dan solutif, maka Kiai Kholil pun dalam memikirkan rakyatnya juga berpikiran
pragmatis untuk memberikan solusi atas persoalan hidup mereka.10
Dalam sebuah cerita, dikisahkan bahwa saat penjajahan melanda Nusantara,
termasuk di tanah Madura, Kiai Kholil merasakan betul penderitaan rakyatnya. Oleh
karena itu, Kiai Kholil ingin menunjukkan perjuangan dengan caranya sendiri, yaitu
melalui pendidikan dan kebudayaan. Dalam perjuangan melalui pendidikan dan budaya
inilah, masyarakat diajarkan nilai-nilai hidup kesederhanaan, sikap kemandirian dalam
hidup, dan niai keimanan kepasrahan pada Allah swt.

10
Ibid., 138.
Penutup

Dari berbagai karomah yang dimiliki kiai Kholil bisa menjadi bukti bahwa baliu sudah
mencapai maqam makrifat. Maka dimensi kesufian yang dijalani kiai Khilil merupakan bagin dari
kcerdasan makrifat yang mengantarkannya pada puncak pencerahan spiritual. KH. Abdurrahman
wahid dengan keilmuan yang cukup luas. Dalam hal pesantren harus mempertahankan identitas
dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik, dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan
modernisasi.

Daftar Pustaka

Masdar, Umaruddin. 1999. Gus Dur dan Amin Rais (Yogjakarta, Pustaka Belajar).

Musa, Masykur Ali. 2010. Pemikiran dan Sikap Politi Gus Dur (Jakarta; Erlangga).

Rifai, Muhammad. 2003. GUS DUR: BIOGRAFI SINGKAT 1940-2009, ( Jogjakarta: Garasi House of Book) .

Rifai, Muhammad. 2014. KH. M. KHOLIL BANGKALAN; Biografi Singkat 1820-1923, (Yogyakarta: GARASI).

Takdir, Mohammad. Kontribusi Kiai Kholil Bangkalan dalam Mengembangkan Tasawuf Nusantara, Vol. 9, No. 2
Desember, 2016.

Wasid. 2010. Gus Dur Sang Guru Penan (Jogjakarta; INTERPENA).

Anda mungkin juga menyukai