Anda di halaman 1dari 4

Pluralisme sendiri juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas),

artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan,
agama, adat, hingga pandangan hidup. 

Berkenaan dengan munculnya berbagai paham mengenai pluralisme sendiri menjadi sorotan
banyak orang yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan cendikiawan, pemikir dan tokoh
agama. Secara khusus dalam hal agama, berbagai masyarakat yang menganut
agama/kepercayaan berbeda-beda, dengan gambaran seperti itu, dapat dikatakan bahwa
pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan,
saling merendahkan, atau mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang lain, tetapi
justru mempertahankannya pada posisi saling menghormati dan bekerjasama. 

Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan tetapi
di situ terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang
kemudian lahirlah pluralisme. 

Sekularisme muncul sebagai dampak dari perselingkuhan antara agama dan Negara yang
melumpuhkan kondisi keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan publik yang
kemudian berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan oleh satu
doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti halnya contoh
mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas. 

Dari kemandegan tesebut maka kemudian lahirlah ide liberalisme yang kemudian
merekomendasikan adanya ruang kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak langsung
kemudian dari liberalisme tersebut memunculkan kelompok-kelompok agama dan pada akhirnya
mengharuskan adanya pluralisme sebagai satu penghargaan terhadap pluralitas yang ada. 

Di sisi lain pluralisme bisa dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan
manusia akibat adanya kelesuan moral. Sehingga dengan pluralisme tersebut akan tercapai
kesejahteraan manusia dan lingkungannya. 

Banyak yang pro dan kontra dengan konsep pluralisme agama di Indonesia ini.

a. Pro Pluralisme
Bagi yang pro pluralisme agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal yang positif. Ini
disebabkan karena keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan Indonesia sebagai contoh yang
baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama, dan keberagaman agama di Indonesia
memang berasal dari masa lalu yang tidak bisa diubah. Selain itu bagi kelompok pro pluralisme
ini mereka juga mengutamakan kesatuan dari NKRI. 

b. Kontra Pluralisme
Bagi kelompok kontra pluralisme, pluralisme itu sendiri dianggap bisa mengancam kemurnian
ajaran suatu agama. Ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran masing-
masing. Dan ketakutan para kelompok kontra pluralisme ini adalah bahwa nantinya ajaran setiap
agama akan saling bercampur baur dengan ajaran agama lain. Selain tu jika dilihat dari praktek
di lapangan, sangat jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan dengan
baik. Kerukunan antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai
contoh adalah ketakutan kristenisasi di daerah Islam dan islamisasi di daerah Kristen membuat
setiap penganut agama akan sedikit menutup diri dari penganut agama.

Saya juga melakukan wawancara mengenai pandangan pluralisme kepada salah satu public
figure di Indonesia yang bernama Muhammad Irsyadillah (21.) “Menurut pandangan saya
mengenai pluralisme yang ada di Indonesia, masyarakat Indonesia di zaman sekarang pikirannya
makin tertutup. Seharusnya semakin modern masyarakat bisa berpikiran terbuka dan
meninggikan rasa toleransi. Karena bisa dilihat sesuai perkembangan zaman dan kemajuan
teknologi semakin banyak budaya yang masuk, apalagi ditambah dengan adanya globalisasi. Jadi
menurut saya sikap toleransi itu sangat penting,” katanya. 

Saya juga menanyakan satu pertanyaan mengenai kasus yang sedang marak diperbincangkan,
yaitu kasus pluralisme yang terjadi kepada Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disebut
Ahok. Muhammad Irsyadillah atau Irsyad berpendapat bahwa dia sama sekali tidak setuju
dengan pemikiran masyarakat yang melarang Ahok menjabat sebagai Gubernur Jakarta hanya
karena Ahok keturunan Tionghoa. Karena menurut Irsyad, latar belakang agama, ras maupun
budaya itu sangat tidaklah penting. Karena yang dilakukan oleh Ahok semata-mata untuk
mengubah Indonesia khususnya Jakarta menjadi semakin lebih baik lagi. 

Indonesia memiliki satu tokoh reformasi yang dikenal sebagai “Bapak Pluralisme Indonesia”,
Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau sosok yang akrab disapa Gus Dur. Ia adalah tokoh Muslim
yang menjunjung tinggi kebhinekaan di tanah air. Adil dan toleran, dua kata yang paling tepat
menggambarkan sikapnya terhadap keanekaragaman suku, agama, dan budaya yang ada di
Indonesia. 

Di era kepemimpinannya, Gus Dur menunjukan bahwa ia tak hanya bicara. Salah satunya adalah
mengembalikan hak-hak umat beragama Konghucu yang terpasung selama Orde Baru, atau
mencabut peraturan yang melarang kegiatan adat warga Tionghoa secara terbuka. Nilai toleransi
sudah tertanam di dalam jiwa Gus Dur sejak saat ia masih muda. Saat masih duduk di bangku
sekolah, Gus Dur sudah dijejali bermacam buku yang tak selalu mengajarkan tentang Islam saja.
Gus Dur dalam pidatonya mengatakan pluralisme yang menjadi isi buku dan roh dirinya diambil
dari keputusan Muktamar Nahdatul Ulama (NU) pada 1935. 

Bukan hanya studi di luar negeri saja, Gus Dur telah banyak menamatkan beberapa karya sastra.
Karya sastra yang dibacanya antara lain karya Ernest Hemigway, Jhon Steinback, dan William
Faulkner, Johan Huizinga, Andre Mairaux, Ortega Y.Gaset dan beberapa karya tulis Rusia,
seperti: Puskin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. 
Karier Gus Dur di dunia sudah tidak diragukan lagi, bahkan segudang prestasi sudah diraihnya
yang menandakan bahwa ia adalah seorang manusia yang agamis dan layak disebut tokoh politik
paling berpengaruh di Indonesia. Namun, meskipun memiliki karier yang sukses, Gus Dur
merasa sulit hidup dari satu mata pencaharian saja, hingga akhirnya dia mencari pekerjaan
tambahan dengan menjual kacang dan es lilin yang dirintis dengan istrinya. 

K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kita kenal sebagai Gus Dur merupakan presiden republik
Indonesia yang keempat dan dalam masa pemerintahannya dipenuhi dengan kontroversi dan
menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat. Setelah jatuhnya Rezim Soeharto Indonesia
mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara, konflik meletus di berbagai daerah. 

Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang
berkecamuk. Seperti penyelesaian konflik Aceh secara damai dan menetralisir Irian Jaya dengan
mendorong penggunaan nama Papua. Gus Dur menjadi pemimpin yang meletakkan pondasi
perdamaian Aceh, karena pada pemerintahan Gus Durlah ada pembicaraan damai antara Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) sehingga Indonesia terbuka, yang tadinya permasalahan ini merupakan
permasalahan yang tabu, yang seakan-akan tertutup rapat. 

Ditambah lagi saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya dengan Aceh, Gus Dur
tetap memilih pendekatan penyelesaian yang simpatik dengan mengajak tokoh GAM duduk satu
meja untuk membicarakan Aceh secara damai.

Langkah yang diambil Gus Dur memang banyak larangan dari para tokoh politik karena
dianggap akan membahayakan kestabilan negara. Namun Gus Dur menganggapnya dari sudut
yang berbeda, dia menganggap apabila tidak ada sebuah tindakan yang nyata maka Aceh akan
lebih berbahaya dan bisa saja dia keluar dari NKRI. Dalam ambisinya, Gus Dur sering
melontarkan pendapat yang kontroversial, ia tak getar mengungkapkan sesuatu yang diyakini nya
benar padahal banyak orang yang sulit memahami dan menerimanya. 

Setelah berhenti menjadi presiden Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karir dan
perjuangannya sampai di sini saja. Tahun 2002, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat Solidaritas
Korban Pelanggaran HAM. Kemudian pada tahun 2003, Gus Dur menjadi penasihat dalam
Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional. Pada tahun 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin
koalisi politik bersama koalisi Nusantara Bangkit Bersama bersama Tri Sutrisno, Wiranto Akbar
Tanjung dan Megawati, di mana koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Dan pada tahun 2009, merupakan hari terakhir bagi Bapak Pluralisme Indonesia ini.
Gus Dur meninggal pada hari Rabu, 30 Desember 2009 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
pada pukul 18:45 WIB. 

Gus Dur dan Pluralisme memang dua kata yang tidak bisa dipisahkan dari telinga masyarakat
Indonesia. Karena jasa-jasa Gus Dur dalam mengedepankan kebersamaan walaupun berbeda ras
dan keyakinan. Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada
kelompok kaum minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan
kalangan umat non-muslim seperti umat Kristen, Katolik dan etnis Tionghoa. 

Dan sikap yang ditunjukkan oleh Gus Dur ini menghadirkan pro dan kontra tersendiri dari
pemikirannya yang sering kontroversial. Dalam memperjuangkan pluralisme di Indonesia dan
dalam membela kaum minoritas, Gus Dur tidaklah takut untuk melawan arus demi menegakkan
apa yang ia anggap benar, walaupun risiko yang didapat dari perbuatannya itu bisa berakibat
fatal untuk ke depannya. 

Namun di sini Gus Dur ingin mengajarkan kepada rakyat Indonesia bahwa negara Indonesia itu
negara bangsa yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga negara ini bisa maju
dan bisa saling menghormati setiap perbedaan yang ada dan menjadikan Bhineka Tunggal Ika
dan Undang-Undang 1945 menjadi dua dasar yang menjadi payung hukum disamping Pancasila.

Mungkin kita telah kehilangan Gus Dur. Namun, pemikiran dan jiwanya serta nilai-nilai yang
diajarkan Gus Dur harus tetap kita jaga untuk dapat meneruskan perjuangan beliau dalam
menjunjung tinggi nilai keberagaman dan tetap saling menghormati demi kesatuan bangsa dan
negara Indonesia. (ded/ded)

Anda mungkin juga menyukai