Anda di halaman 1dari 14

PROBLEMATIKA KEBEBASAN BERAGAMA 

(MENGURAI KUSUT TOLERANSI ANTARUMAT


BERAGAMA DI INDONESIA)

Hermanto Harun
Fakultas Syariah IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi
Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura Jambi,
E-mail: man_hr@yahoo.com

Abstract: Problematics of Latitudinarian (to Elaborate Tousled of Tolerance among Religious People in Indonesia).
Disharmony and new creation in understanding of a religion are the that must be negotiated. It is a necessary
to hid and seek a comprehensive understanding in interpreting universal religious values without recognizing
that every religion is equal. The religion has a concept of belief and humanity written in its holy book. Seeing the
concept of latitudinarian in Islam, there are freedoms in worshiping the God as well as liberty of conscience in
choosing the religion as the way of life. In Islam, the difference of syari`ah is a dimension of religious proselytizing
of the Prophet Muhammad saw. Initially, the differences of syari`ah implemented by almost muslims peaople in
the world turn back to unity of the God.
Keywords: problematics, latitudinarian, tolerance

Abstrak: Problematika Kebebasan Beragama (Megurai benang Kusut toleransi antarumat Beragama di
Indonesia). Terjadinya penyimpangan dan kreasi baru terhadap pemahaman keagamaan merupakan fakta
yang perlu untuk dinegosiasikan. Paling tidak, mencari kesepahaman dalam menerjemahkan nilai-nilai universal
agama, tanpa harus menganggap atau meyakini bahwa semua agama adalah sama. Karena mencari titik temu
kesamaan ajaran pokoknya, tidaklah mungkin, mengingat setiap agama memiliki sebuah konsep yang terekam
dalam setiap kitab suci, dan dalam kitab suci itulah tersimpan kepribadian agama. Persolan kebebasan beragama
dalam Islam bahkan tidak sebatas membiarkan seorang manusia memilih terhadap suatu agama, namun lebih
dari itu, memberi kebebasan kepada pemeluk setiap agama untuk melaksanakan ritual ajaran agamanya. Dalam
konsep Islam, perbedaan ‘syariah’ setiap umat merupakan suatu dimensi yang menyimpan karakteristik dakwah
setiap nabi yang boleh jadi lebih akulturatif dengan kondisi zamannya. Namun, semua perbedaan syariah itu
berhulu dari satu kesepakatan yang mengesakan Tuhan.
Kata kunci: problematika, kebebasan beragama, toleransi

Pendahuluan Mein Kampt-nya Hitler, seraya menggambarkan


World Peace Gong (Gong Perdamaian Dunia) sosok Nabi Muhammad saw sebagai Barbar.1 
yang peluncurannya di Bogor beberapa tahun  Praktek penistaan terhadap suatu agama
yang lalu, sebenarnya mengirim pesan kepada seperti di atas, seringkali manjadi pemicu
dunia bahwa perdamaian dunia, khususnya ketegangan hubungan antar umat beragama.
dalam keselarasan hubungan antar umat Dari sini, gagasan kebebasan, toleransi dan
beragama dunia sekarang ini. pesan tersebut jelas dialog lintas umat beragama menemukan
memiliki makna yang tidak remeh temeh, karena, ruang singgungnya. Karena, jika tidak, maka
keharmonisan hubungan antar umat beragama akan melahirkan sikap intoleran, kecurigaan,
selalu “terganggu” oleh beberapa prelaku naif bahkan anarkisme dan kekerasan. Peluncuran
dan provokatif. Hal ini seperti film “Fitna” karya World Peace Gong hanyalah sekelumit asa dalam
‘gila’nya Geert Wilders. Politikus ultra kanan mengais perdamaian, mengingat acara sejenis
Belanda itu sungguh telah menyuburkan atmosfir yang bertajuk perdamaian dan toleransi antara
kebencian terhadap umat Islam sedunia ini. Ini
terkait dengan karyanya yang telah memfitnah
Haedar Nashir, “Lorong Gelap Dunia Wilders”, Republika,
1

kitab suci Alquran sebagai kitab fasis sebanding 13 April 2008.

53 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

umat beragama sudah sangat sering dilaksanakan. seperti “Pungguk merindukan bulan”. Pemaksaan
Bahkan di Indonesia, tema kebebasan dan terhadap suatu agama bahkan menggunakan
toleransi beragama sering menjadi issue krusial cara kolonialisasi. Ekspansi militer Belanda di
yang membias stabilitas politik dalam negeri, yang Indonesia, misalnya, tidak terlepas dari misi
kemudian mengusik pemangku kekuasaan negeri agamanya. Semboyan God, Gold, Glory menjadi
ini. Sebab, issue yang berkaitan dengan agama adagium kolonialisme Barat terhadap pelbagai
sangat riskan untuk menyulut perselisihan antar dunia Islam, khususnya Indonesia, merupakan
penganut suatu agama dengan agama lainnya. bukti bahwa persoalan agama menjadi bagian
Dengan demikian, issue toleransi dan perdamaian terpenting dari ekspansi negara-negara Barat
antara pemeluk agama menjadi icond yang sangat terhadap negara yang berpenduduk muslim.
laris di jual ke opini publik, dan bahkan juga Menurut Th. Sumartana, tiga semboyan tadi
menjadi mi’yar dari stabilitas sosial suatu bangsa. merupakan bentuk trinitas, tiga yang esa (holy
Dari persepsi ini, peluncuran World Peace Gong trinity) yang tak terpisahkan antara yang satu
yang dilaksanakan di Bogor tersebut memiliki nilai dengan lainnya. Ketiganya merupakan misi dagang,
jual, bahkan mempunyai kekuatan magnetis dalam misi penaklukan wilayah dan misi agama.2 Bias dari
secuil usaha mencari celah strategis mewujudkan misi ini misalnya, terlihat dari persoalan hukum
perdamaian antara semua pemeluk agama. Walau pidana yang sekarang berlaku di Indonesia adalah
kadang, acara sejenis itu sering terpenjara dalam hukum pidana peninggalan penjajah Belanda yang
jeruji formalisme dan seremonial yang tidak diberlakukan secara paksa. Bahkan, mulai Januari
senyawa dengan realitas masing-masing pemeluk 1873 Belanda memberlakukan hukum pidana baru
agama. Meskipun demikian, signifikansi acara yang dikodifikasi secara lebih sistematis untuk
tersebut juga tidak bisa dianggap abai, karena orang-orang Bumiputera. Kodifikasi ini hampir
hal itu merupakan bagian penting dalam rangka seluruhnya merupakan ciplakan dari hukum pidana
mendialogkan setiap pemeluk agama untuk duduk Eropa3.
bersama, menepis kecurigaan, hingga asa dan cita Deliar Noer dalam bukunya ‘Islam dan
perdamaian benar-benar membumi dan kasad Masyarakat’ menjelaskan, bahwa agama Kristen
mata. tiba di Indonesia bersamaan dengan penjajahan
Terma perdamaian dan toleransi antar Barat. Di antara kekuatan-kekauatan Barat yang
penganut agama, kadang tak jarang dipersepsikan datang ke kepulauan ini adalah orang-orang
dengan kebebasan beragama, bahkan dalam Portugis dan Spanyol yang sangat fanatik
praktiknya diartikan mengikuti sekaligus mengakui memerangi orang-orang Islam atas nama agama,
kebenaran suatu agama, meskipun bukan dan untuk mengkristenkan penduduk dengan
penganut agama itu. Persepsi dan interpretasi segala macam cara.4   
inilah yang justru harus didudukkan, sehingga  Tapak liku sejarah di atas akhirnya selalu
diharapkan dapat menemui jawaban yang menjadi kerikil dalam dinamika perjalanan
sebenarnya. Indonesia sebagai negara bangsa. Heterogenitas
Menyoal wacana kebebasan beragama di suku dan agama penghuni bumi Indonesia yang
Indonesia, rasanya bukanlah “barang baru” yang seyogyanya menjadi aset kekayaan, malah
seolah heroik di pentas opini kekinian. Bincang menjadi ancaman terhadap entitas Indonesia
tentang kebebasan beragama, bahkan seiring itu sendiri. Dan sampai saat ini, seakan seperti
dan “sätu rahim” dengan entitas Indonesia itu api dalam sekam, kebuntuan dialog antar
sendiri. Obrolan kebebasan beragama di bumi
pertiwi ini terlahir dari adanya pihak agama 2
Th. Sumartana dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
tertentu memaksakan penganut agama lain untuk Agama di Indonesia, (T.tp: t.p, 2001), h. 82. 
3
Al-Yasa Abu Bakar, Hukum Pidana Islam dan Upaya
memeluknya. Adanya pelaku pemaksaan “tauhid”
Penerapannya di Indonesia. Dalam buku “Penerapan Syariat
suatu agama terhadap pemeluk agama yang lain Islam di Indoensia Antara Pelaung dan Tantangan”, (Jakarta:
inilah, gagasan kebebasan dan toleransi antar Globalmedia Cipta Publising, 2004), h. 121.
4
Deliar Noer, Islam dan Masyarakat, (Jakarta: Yayasan
pemeluk agama diwacanakan, meskipun terkesan
Risalah, 2003), h. 279.

| 54
Hermanto Harun: Problematika Kebebasan Beragama

pemeluk agama selalu mengintip dan akan sederhananya, dalam bahasa Indonesia,
siap “membakar” nusantara. Walau demikian, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki
semangat berdialog dalam rangka menerjemahkan beberapa pengertian, yaitu (1) lepas sama sekali,
kebebasan beragama di Indonesia tentu tidak (2) lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan
boleh surut. Kesinambungan penerjemahan takut, (3) tidak dikenakan hukuman, (4) tidak
kebebasan beragama dengan berdialog bahkan terikat atau terbatas oleh aturan-aturan, dan (5)
sudah dilaksanakan semenjak umur Indonesai merdeka.6 Pengertian kata bebas secara lughah
masih belia. Pada tanggal 16 Juni 1967 dalam ini tentu tidak memadai dan memungkinkan
simposium Hak Asasi Manusia yang dilaksanakan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam
di Gedung Bappenas Jakarta, R. Rasjidi yang realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka
mewakili kalangan Islam, memberikan prasaran akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak
tulisan dengan judul “Kebebasan Beragama” yang lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas
dipresentasikan bersama Kasimo dan Jenderal sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh
TB. Simatupang dari kalangan Kristen.5 hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian
Hampir setengah abad sudah, dialog tentang kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-
kebebasan beragama seperti di atas dilaksanakan. aturan, baik agama, maupun budaya. Keterikatan
Sekarang diskusi tentang kebebasan beragama makna bebas dengan konsepsi keagamaan dan
di Indonesia untuk yang kesekian puluh, bahkan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi
ribuan kali di selenggarakan. Nampaknya, issue bias dan subyektif. Karena setiap agama dan
tentang kebebasan beragama masih tetap budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin
menarik. Jika harus dianalogikan, persoalan berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran
kebebasan beragama di Indonesia seperti benang kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya
kusut yang terlalu sulit untuk di uraikan. Jangan- itu. Agama Islam misalnya, memiliki terminologi
jangan, semakin diurai kusutnya, malah semakin tersendiri terhadap kata kebebasan (hurriyah).
memintal benangnya. Karena di atas pentas Dalam kitab al-Mausû`ah al-Islâmiyah al-‘Ammah,
kehidupan beragama di Indonesia dalam bingkai kebebasan didefenisikan sebagai kondisi ke­
kekinian, kesan pengekangan terhadap kebebasan islaman dan keimanan yang membuat manusia
beragama, baik oleh negara maupun kelompok mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu
agama, mewacana memenuhi ranah publik. Lantas sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor
bagaiamanakah hakikat kebebasan beragama itu sistem Islam, baik aqidah maupun moral.7 Dari
sebenarnya? Betulkah kebebasan beragama di pengertian ini, terdapat dua bentuk kebebasan.
Indonesia masih terbelenggu?   Pertama, kebebasan internal (hurriyat dâkhiliyah)
yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang
Memaknai Kebebasan berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis
ini tergambar dalam kebebasan berkehendak
Kebebasan menjadi slogan yang selalu
(hurriyat al-irâdah), kebebasan nurani (hurriyat
bergemuruh di pelbagai tempat. Gemuruh
al-dhamir), kebebasan jiwa (hurriyat al-nafs) dan
kebebasan berjalan seiring bersama gegap
kebebasan moral (hurriyat al-adabiyah). Kedua,
gempita reformasi di negeri ini. Dengan
kebebasan eksternal (hurriyat khârijiyah). Bentuk
bertameng demokrasi, dan berkedok Hak Asasi
kebebasan ini terbagi menjadi tiga, yaitu (a) al-
Manusia (HAM), kebebasan menjadi adagium yang
thabî’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam
selalu nyaring disuarakan oleh pelbagai kelompok
fitrah manusia yang menjadikannya mampu
dan komunitas. Genderang kebebasan seolah
melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat, (b)
menjadi intisari dari demokrasi yang cenderung
al-siyâsiyah, yaitu kebebasan yang telah di berikan
“diperkosa” pengertiannya menjadi bebas tampa
nilai dan batas. Jika merujuk kepada pengertian 6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), h. 90.
7
Hai’ah al-Tahrîr, al-Mausû`ah al-Islâmiyah al-`Ammah,
5
HM. Rasjidi, Kebebasan Beragama, (Jakarta: Dewan (Kairo: Wazârat al-Awqâf & al-Majlis al-A`la li al-Syu’ûn al-
Dakwah Islamiyah Jakarta, t.th.), h. 6 Islâmiyah, 2001), h. 536.  

55 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

oleh peraturan perundang-undangan, dan (c) rujukan final bagi semua negara, mengingat ada
al-dîniyah, kemampuan atas keyakinan terhadap beberapa pemecahan masalah yang masih berlaku
berbagai mazhab keagamaan.8 sekarang, sesungguhnya sedang diarahkan kepada
Penerjemahan kebebasan dalam konsepsi masalah yang terjadi di Barat dalam sejarah.11
keislaman seperti di atas jelas tidak di sepakati Di samping itu, beberapa istilah hukum antar
oleh “the other”. Hal ini karena rujukan dan norma bangsa ternyata hasil kebudayaan Yahudi
yang dijadikan acuan sangat berbeda. Perbedaan Kristen.12 Meskipun, menurut Rifa’ah al-Tahtawi
tentang makna kebebasan inilah yang melahirkan (1801-1872), kerinduan dan penamaan Barat
perbedaan batasan, nilai dan cakupan dari terhadap kebebasan (hurriyah) merupakan inti
ungkapan kebebasan tersebut. Hingga akhirnya, dari keadilan dalam Islam. Karena, pengertian
terjadi perang wacana terminologi antar berbagai hukum, kebebasan adalah menegakkan equallity
agama dan peradaban dalam mengakuisasi label (musawat) dalam hukum dan perundang-
dan defenisi kebebasan. Bahkan, tanpa disadari undangan yang menghapuskan tindakan
telah terjadi penindasan terhadap kebebasan kediktatoran penguasa terhadap manusia. 13
itu sendiri. Muhammad Imarah, dalam sebuah Walau secara ekspilisit kemungkinan adanya
karyanya “al-Ushûliyah Baina al-Gharb wa al- persamaan, namun tetap saja meninggalkan
Islâm” menulis, bahwa pelbagai istilah yang persoalan yang sangat serius di ranah realitas. Hal
berkembang baik di kalangan masyarakat Timur ini terlihat, betapa kebebasan yang semestinya
maupun Barat, meskipun memiliki kesamaan berorientasi untuk memerdekakan dan melindungi
dalam pengungkapannya, tapi berbeda dalam manusia secara individu maupun komunal,
kandungan, latar belakang dan pengertian. Dan justru terkungkung dalam jeruji relativisme
ini yang membuat kerancuan dalam pemakaiannya yang membuat sesuatu tidak beridentitas.
dalam budaya, politik dan dunia informasi modern Kebebasan yang dipropagandakan oleh dunia
sekarang ini.9 Barat menjadikan relativitas sebagai kelamin
dan standar sebuah kebenaran, yang akhirnya
Di antara istilah yang sama namun berbeda
berujung pada consensus. Jadi, kebenaran sesuatu
pengertian, seperti yang diungkapkan Imarah
diukur dari pendapat yang di “gandrungi” oleh
tersebut adalah, terminologi kebebasan. Dalam
publik, bukan dari keharusan yang harus dilakukan
klausul Declaration of Human Right (HAM),
oleh mayoritas. Di sinilah kritik Yusuf al-Qaradhawi
kebebasan (freedom) mencakup berbagai dimensi,
terhadap kebebasan yang di hembuskan Barat.
termasuk kebebasan beragama. Pasal 18 misalnya,
Menurut dia, kebebasan yang disusung oleh Barat
menjelaskan bahwa; setiap orang berhak atas
bermakna liberal. (al-hurriyah al-syakhshiyyah fî
kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama;
al-gharb ma`nâhâ al-tasayyub).14 Setidaknya ada
dalam hal ini termasuk kebebasan berganti
tiga persoalan, menurut Qaradhawi, yang harus
agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
dikritisi. Pertama, bahwa Barat sangat peduli
menyatakan agama atau kepercayaan dengan
dengan kebebasan, demokrasi dan Hak Asasi
cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat
Manusia (HAM) di negara mereka, bahkan
dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-
menjaganya dengan kesucian. Jika demikian, maka
sama dengan orang lain, baik di tempat umum
menjadi hak negara lain juga untuk melakukan
maupun secara sendiri.10
kebebasan, demokrasi sesuai aturan undang-
Kebebasan perspektif Human Right di
atas, meskipun banyak menjadi ‘kiblat’ dunia 11
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif
modern sekarang ini, tetap tidak bisa menjadi Islam, h. 3.
12
Roger Garaudy, Promeses De I’Islam, Janji-Janji Islam,
alih bahasa Prof. Dr. HM Rashidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
8
Hai’ah al-Tahrîr, al-Mausû`ah al-Islâmiyah al-`Ammah, h. 1984), Cet. ke-2, h. 21
536. 13
Izzat Qarny, al-`Adâlah wa al-Hurriyah fi Fajr al-Nahdhah
9
Muhammad Imârah, al-Ushûliyah Baina al-Gharb wa al- al-`Arabiyah al-Hadîtsah, (Kuwait: Silsilah Álam al-Ma`rifah,
Islâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1998), h. 5. 1980), h. 7.
10
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif 14
Yûsuf al-Qaradhawi, Ummatuna Baina al-Qarnain,
Islam, (Jakarta: Amissco, 2003),  h. 213. (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000), h. 22.

| 56
Hermanto Harun: Problematika Kebebasan Beragama

undang negaranya. Kedua, jika masyarakat aneh jika Wilfred Cantwel Smith, seorang pakar
muslim melaksanakan kebebasan sesuai dengan ilmu perbandingan agama, harus mengakui
anjuran Barat, terutama dalam ruang kebebasan betapa sulitnya mendefenisikan agama. Smith
individu, yang ruang tersebut sangat terbuka, mengungkapkan, terminologi agama luar biasa
maka kebebasan ini berarti bebas melakukan sulitnya didefenisikan (The term is notoriously
sesuatu sesuai dengan apa yang disukai, bukan indefinable). Paling tidak dalam dasawarsa
apa yang mesti dilakukan. Ini berarti tak ubahnya terakhir ini terdapat beragam defenisi yang
seperti hewan yang berbuat sesuai nafsunya, membingungkan yang tidak satupun diterima
dan tidak berdasarkan akal dan hati nurani. secara luas. Karenanya, istilah ini harus dibuang
Ketiga, kebebasan Barat terkesan menghargai dan ditinggalkan untuk selamanya.17
perempuan. Akan tetapi penghargaan Barat Pandangan Smith di seperti di atas me­
ini hanyalah kulitnya dan menistakan isinya rupakan bentuk keputus-asaan sekaligus pe­
(tahtarimu zhâhiran, wa tamtahinu bâthinan).15 ngakuan keterbatasan akan kemampuannya
Ini juga yang menurut M Abd al-Wahid Hijâzî, dalam mencari “sesuatu” yang hanya berakhir
bahwa kebebasan dalam Alquran tidak akan pada kesimpulan akal. Pernyataan semacam ini,
pernah sama, alias sangat berbeda, baik ragam, ternyata tidak diusungkan oleh Smith sendiri.
bentuk, tingkat maupun orientasinya dengan Para serjana Barat ternyata “kelimpungan”
kebebasan yang usungkan oleh pelbagai aliran dalam menyatukan persepsi terhadap defenisi
sosial dan filsafat.16           agama. Hal ini terlihat dari banyaknya ragam
Dari beberapa argumentasi di atas, penulis defenisi yang mereka usungkan. Feuerbach
berkesimpulan bahwa kebebasan yang sebenarnya misalnya, mengemukakan bahwa agama adalah
adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak ekspresi fantasi dari ideal-ideal manusia dalam
satupun perilaku yang terbebas dari aturan mencapai eksistensi manusia, melalui cinta,
dan norma, baik yang bersifat ilâhiyah maupun kebebasan dan akal. Agama sebagai suatu
insâniyah. Adanya aturan terhadap sesuatu, image yang diproyeksikan oleh watak esensisal
merupakan “pengikat” yang menjadikannya tidak menusia, sehingga agama mengakibatkan aleniasi
bebas. Artinya, kebebasan tidak muthlaq (lepas) individu dari dirinya yang sesungguhnya dari
tapi muqayyad (terbatas). Lantas bagaimana keberadaannya sebagai suatu spesies (species
dengan kebebasan beragama? being). Selain itu, menurutnya, agama adalah
impian pikiran manusia. Tetapi meskipun dalam
Kebebasan Beragama impian, kita tidak menemukan diri kita dalam
Adakah manusia yang tidak beragama? kehampaan atau di surga, tetapi di bumi, dalam
Pertanyaan ini agaknya layak untuk diusungkan, realitas yang nyata. Dan realitas adalah species
mengingat, defenisi agama sendiri belum pernah di being sebagai esensi yang direalisasikan. 18
sepakati. Dalam wacana pemikiran Barat, polemik Muhammad Abdullah Darraz, dari kalangan
dan perdebatan tentang defenisi agama hampir pemikir muslim, berpendapat, bahwa agama
tidak menemui finishnya, baik dalam bidang ilmu dapat didefenisikan dari dua aspek. Pertama,
filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi sebagai aspek psikologis, yakni religiusitas; dengan
maupun dalam bidang ilmu perbandingan agama demikian agama adalah kepercayaan atau iman
(muqâranat al-adyân). Sehingga “sengketa” kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut
untuk mendapat defenisi yang maqbûl dan ditaati dan disembah. Kedua, sebagai hakikat
disepakati oleh semua pihak, agaknya sangat eksternal, bahwa agama adalah seperangkat
sulit, bahkan mustahil. Karena semua ahli bidang panduan teoritik yang mengajarkan konsepsi
keilmuan bersikukuh dengan argumentasi dan ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang
persepsi mereka masing-masing. Maka tidak
17
Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of
15
Yûsuf al-Qaradhawi, Ummatuna Baina al-Qarnain, h. 23-28. Religion, (London: SPK, 1978), h. 17.
16
Muhammad Abd al-Wahid Hijâzî, al-Hurriyah fî al-Qur’ân, 18
Brian Morris, Antropologi Agama, Kritik Teori-Teori
(Kairo: Dâr al-Hurriyah, 1998), h. 35. Agama Kontemporer, (Yogyakarta: AK Group, 2003), h. 32.

57 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

mengatur aspek ritualnya.19 Dalam pengertian Apapun defenisi agama, yang jelas, terminologi
literalnya, agama sering diterjemahkan dengan dîn agama masih menghiasi ungkapan sehari-sehari,
atau religion. Menurut al-Jurjani, dîn disepadankan baik oleh kalangan intelektual maun awam. Hal
dengan millah yang berarti sebuah aturan (syarî`ah) ini berangkat dari kenyataan--meminnjam istilah
yang ditaati, yang dinisbatkan kepada Allah Swt.20 Plato--bahwa seluruh manusia, baik dari Yunani
Defenisi ini tentu dapat diasumsikan sepihak, maupun bukan, meyakini eksistensi Tuhan23.
mengingat unsur subjektifitas “keislaman”nya Ini artinya, seluruh manusia memiliki agama,
sangat kental. Akan tetapi, penerjemahan agama sebagai “jalan” berkomunikasi dengan Tuhannya.
menjadi dîn atau religion, juga menimbulkan Dengan demikian, pilihan terhadap suatu agama
berbagai macam kebingungan, karena istilah merupakan hak “prerogatif” seorang manusia.
dîn bermakna lebih dari sekedar ‘agama’ atau Dalam ajaran Islam, pengakuan terhadap
religion. Menurut para mufassir, ada elemen dasar kebebasan seseorang untuk memilih suatu agama
yang sesuai dengan konsep din, yaitu makna sudah sejak awal dijelaskan. Bahkan, kebebasan
agama, makna perhitungan, makna pembalasan merupakan “slogan” yang menjadi hak setiap
dan makna kebiasaan tradisi, pandangan hidup individu, karena salah satu pilar dasar dalam
atau aturan hukum.21           yang mewujudkan keselamatan individu dan
Ragam pendapat tentang defenisi agama, masyarakat. Kebebasan beragama, berpolitik dan
agaknya bias dari ilmu pengetahuan dan berfikir merupakan bentuk penghargaan Alquran
keagamaan yang bersemayam dalam peng­ yang telah dianugerahkan Allah Swt kepada
gagas defenisi tersebut. Akan tetapi, dari manusia24. Dengan demikian, persoalan kebebasan
keragaman defenisi tadi, bukan tidak ditemukan beragama dalam Islam bukan barang “impor”,
“kesepakatan” dan titik temu. Menurut Anas akan tetapi sudah berafiliasi dengan pemikiran
Malik Thoha, untuk mendefenisikan agama, Islam seiring dinamika zaman. Pengistilahan
setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, kebebasan dalam pemikiran Islam, walau tidak
yakni dari segi fungsi, institusi, dan substansi. melulu menggunakan term al-hurriyah, namun
Para ahli sejarah sosial (social history) cenderung istilah al-ihkitiyar juga merupakan terma yang
mendefenisikan agama sebagai suatu institusi sangat identik dengan kebebasan. Karena terma
historis—suatu pandangan hidup yang al-ikhtiyar sering diposisikan kontras dengan terma
institutionalized yang mudah dibedakan antara al-jabr, yang berarti penafian terhadap kebebasan
agama Budha dan Islam dengan hanya melihat dalam diri manusia dan masyarakat. Al-ikhtiyar
sisi kesejarahan yang melatar belakangi keduanya juga didefenisikan sebagai “sikap seseorang, jika
dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, berkeinginan maka ia kerjakan, jika tidak, maka
keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ia tidak lakukan.”25 Tidak hanya itu, persoalan
ajaran keduanya. Sementara para sosiolog dan kebebasan beragama bahkan telah dijelaskan
antropolog cenderung mendefenisikan agama dalam kitab suci Alquran, sebagai rujukan final
dari sudut fungsi sosialnya—yaitu suatu sistem umat Islam. Dalam Alquran tertulis banyak sekali
kehidupan yang mengikat manusia dalam satun- ayat yang secara jelas mengungkapkan tentang
satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebebasan bergama. Di samping itu, tugas dan
kebanyakan pakar teologi, fenomenologi fungsi seorang Rasul bukan memaksakan seluruh
dan sejarah agama melihat agama dari aspek manusia untuk memeluk Islam, akan tetapi hanya
substansinya yang asasi—yaitu yang sakral.22 sebatas penyampai risalah Tuhan.26 

19
Muhammad Abdullâh Darrâz, al-Dîn; Buhûts Mumahhidah Kritis, (Depok: Perspektif Gema Insani, 2005),h. 13-14.
li al-Dirâsat al-Adyân, (Kairo: t.p, 1952), h. 49-50. 23
Brian Morris, Antropologi Agama, h. v.
20
Ali ibn Muhammad ibn Ali al-Jurjani, Kitâb al-Ta`rîfât, 24
Muhammad Sayyid Yusuf, Manhaj al-Qur’ân al-Karîm fî
(T.tp: Dâr al-Diyah li al-Turâts, t.th.), h. 141. Islâh al-Mujtama`, (Kairo : Dâr al-Salâm, 2002), 182.
21
Fatimah Abdullah “Konsep Islam Sebagai Din, Kajian 25
Muhammad Imârah, Nazhrah Jadîdah Ilâ al-Turats, (T.tp:
Terhadap Pemikiran al-Attas”, Islamika, September-November Dar al-Qutaybah, 1988), h. 111.
2004, h. 51.  26
Kamil Salamah al-Daqs, Ayât al-Jihâd fî al-Qur’ân al-
22
Anas Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Karîm, (Kuwait, Dâr al-Bayân, 1972), h. 94.

| 58
Hermanto Harun: Problematika Kebebasan Beragama

Penegasan Alquran terhadap kebebasan


ber­­agama merupakan bukti bahwa pemaksaan
terhadap seseorang untuk memeluk Islam tidak “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi se­
dibenarkan. Hal ini telah dijelaskan dalam firman
luruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
Allah Swt:
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya ?” (Q.S. Yûnus (10): 99).
 Persolan kebebasan beragama dalam Islam
bahkan tidak sebatas membiarkan seorang
manusia memilih terhadap suatu agama, namun
lebih dari itu, memberi kebebasan kepada
pemeluk setiap agama untuk melaksanakan
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
ritual ajaran agamanya. Hal ini karena ‘tema’
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa keyakinan merupakan urusan ukhrawi yang
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada nanti akan diperhitungkan oleh Allah Swt di hari
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kiamat kelak. Dari itu, tidak seorangpun yang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak berhak menghukumi tentang pilihan keyakinan,
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha kecuali jika seseorang tersebut dengan sengaja
Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah (2): 256) mengproklamirkan kekufurannya.30 Jika kebebasan
 Ketika mengomentari ayat ini, Mohemed memilih agama diberikan kepada setiap orang,
Talbi mengungkapkan, bahwa sepengetahuan maka ada bebarapa konsekuensi logis dari
dia, diantara teks-teks wahyu, hanya Alquran pemberian kebebasan tersebut. Di antaranya
yang menekankan dengan tegas kebebasan (1) kebebasan melaksanakan ibadah, baik secara
beragama. Alasannya adalah bahwa iman, agar terang-terangan atau tersembunyi, individual
berarti dan dipercayai harus merupakan tindakan maupun berkelompok, (2) kebebasan memilih
ikhlas27. Keimanan yang ikhlas adalah yang berasal mode yang selaras dengan kecenderungan
dari kepuasan (iqtinâ`) dan keyakinan, bukan agamanya, atau kebebasan melakukan praktek
hanya sebatas meniru atau keterpaksaan. 28 keagamaan, (3) kebebasan memakai istilah,
Faktor keikhlasan dalam menganut agama, tanda dan syi`ar yang berbeda, (4) kebebasan
justru menjadi sebab kronologis turunnya ayat membangun kebutuhan rumah ibadah, (5)
di atas. Kisahnya berawal dari  seorang pria Kebebasan melaksanakan acara ritual keagamaan,
muslim kaum Anshar dari Bani Salim bin Auf (6) menghargai tempat yang mereka anggap suci,
yang memiliki dua orang anak yang beragama (7) kebebasan bagi seseorang untuk merubah
Nasrani. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah dan berpindah keyakinan, dan (8) kebebasan
saw untuk memaksa anaknya memeluk Islam, berdakwah untuk memeluk agamanya.31 Dalam
akan tetapi kedua anaknya enggan menerima Alquran secara gamblang diungkapkan tentang
Islam dan tetap beragama Nasrani.29 kebebasan tersebut. Firman Allah Swt:

Selain ayat di atas, ayat lain yang secara


tegas menegasikan tindakan pemaksaan untuk
memeluk Islam adalah firman Allah Swt:

27
Mohemed Talbi, Kebebasan Beragama, dalam “Wacana
Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu
Global”, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 254.
28
Mahmûd Hamdi Zaqzuq, al-Islâm wa Qadhâyâ al-Hiwar, 30
Fahmi Huwaidi, al-Maqâlât al-Mahzhûrah, (Kairo: Dâr al-
(Kairo: al-Majlis A`la li Syu’ûn al-Islâmiyah, 2002), h. 133 Syurûq, 1999), h. 145.
29
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, 31
Jamâluddîn `Athiah Muhammad, Nahwa Fiqh Jadîd li al-
Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 36. Aqalliyat, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2003), h. 103.

59 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

“Katakanlah “hai orang-orang yang kafir, aku tidak yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad
akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan saw dan juga untuk mengetahui siapa yang
kamu bukan penyambah Tuhan yang aku sembah. mengingkarinya.33
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
Dalam konsepsi Islam, perbedaan ‘syarî`ah’
yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula)
setiap umat merupakan suatu dimensi yang
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” menyimpan karakteristik dakwah setiap nabi,
(Q.S. Al-Kâfirûn (109): 1-6)          yang boleh jadi lebih akulturatif dengan kondisi
zamannya. Namun, semua perbedaan syariah
 Ayat ini dengan sangat tegas mengungkapkan itu berhulu dari satu kesepakatan yang meng-
akan adanya perbedaan antara Islam dengan esa (tauhid)-kan Tuhan. Imam al-Syaukâni meng­
agama yang lainya, bahkan secara global meng­ ungkapkan bahwa semua syariat yang dibawa oleh
ungkapkan perbedaan yang tidak akan pernah para rasul dan kitab-kitab suci yang diturunkan
bertemu, keragaman yang tidak akan pernah kepada para nabi, sepakat menetapkan tauhid34.
serupa, pisah yang tidak akan bersambung dan
Namun yang terjadi dalam realitas sejarah,
corak yang tidak akan pernah bercampur.32
terjadinya penyimpangan, atau kreasi baru
Meskipun demikian, realitas keragaman agama
terhadap pemahaman keagamaan, merupakan
merupakan fakta yang ada dan tidak mungkin
fakta yang perlu untuk dinegosiasikan. Paling tidak,
untuk dinafikan. Karena, justru keragaman agama
mencari kesepahaman dalam menerjemahkan nilai-
merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan
nilai universalitas agama, tanpa harus menganggap
Allah Swt sebagai ujian untuk manusia. Keragaman
atau meyakini bahwa semua agama adalah sama.
manusia dalam memilih jalur ‘komunikasi’ menuju
Karena mencari titik temu kesamaan ajaran
tuhannya, juga telah dijelaskan dalam Alquran.
pokoknya, tidaklah mungkin, mengingat setiap
Firman Allah Swt:
agama memiliki sebuah konsep yang terekam
dalam setiap kitab suci, dan dalam kitab suci itulah
tersimpan kepribadian agama, karena agama
adalah suatu sistem keyakinan yang dilandaskan
pada sejumlah ajaran-ajaran yang mutlak yang
tidak bisa diubah, atau pada kekuatan konvensi
atau otorita-otorita tradisionoal35. Dari sini titik
supremasis ajaran agama memasuki wilayah
“...Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami truth claim, sehingga tak jarang menjadi ruang
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya persinggungan konprontatif antara satu agama
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya dengan yang lainnya, dan dari sinilah muncul
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji semboyan perang atas nama Tuhan.36 Ini yang
kamu terhadap pemberian-Nya. Kepadamu, maka kemudian menyebabkan banyak di antara ilmuan
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya Barat bahkan cendekiawan muslim sendiri yang
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu berkesimpulan bahwa Islam merupakan bagian
diberitahukan-Nya kepadamuapa yang telah kamu dari dogma yang selalu menyerukan perang.
perselisihkan itu. (Q.S. Al-Mâ’idah (5): 48)      Hingga, Islam dalam wacana Barat lebih identik
Dalam ayat ini, al-Thabari menginterpretasikan,
jika Allah Swt menghendaki, maka Dia akan 33
Abî Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Tafsîr al-
menjadikan aturan (syarî`ah) itu satu aja, akan Thabarî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), Jilid IV, h. 176.
tetapi Allah Swt mengetahui perbedaan aturan 34
Muhammad ibn Ali al-Syaukânî, Irsyâd al-Tsiqât Ilâ Ittifâq
itu untuk menguji (ikhtibâr) manusia dan untuk al-Syara` `Ala al-Tauhîd wa al-Ma`âd wa al-Nubuwwat, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1984), h. 5.
mengetahui siapa ta’at dan merealisasikan ajaran 35
Riza Sihbudi, “Islam, Radikalisme dan Demokrasi”,
Republika, 23 September, 2004, h. 5.
36
Hermanto Harun, Perdamaian dan Perang Dalam Konsep
32
Sayyid Qutb, Fî Zhilâl al-Qurân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, Islam, Studi Analisis Buku ‘Nizhâm al-Silm wa al-Harb fî al-Islâm’.
1972), h. 392. Tesis, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005, h. 2.

| 60
Hermanto Harun: Problematika Kebebasan Beragama

sebagai agama pedang yang haus darah, fasis, Dinamika kebebasan yang memberi buah
akrab dengan kekarasan dan barbaristik. toleransi beragama dalam sejarah Islam, tidak
Dengan dukungan media, opini penyesat­ hanya dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Namun
an tentang identitas Islam yang berwajah juga diteruskan oleh para sahabatnya. Dalam
“kekerasan”, seakan menjadi maenstream. Wajah sejarah bahkan pernah dicatat, ketika orang-orang
bringas, teroris seolah menjadi identitas yang Kristen Syam dijajah oleh kekuasaan Romawi,
tidak lepas dari Islam. Padahal, dalam relaitas mereka meminta pertolongan tentara muslim.
sejarah, kebebasan dan toleransi menjadi bagian Fakta lain dari toleransi Islam dalam sejarah
yang tak terpisahkan dari perilaku keislaman nabi adalah surat yang di tulis oleh Betrikc Isho Yabh
Muhammad saw dan pengikutnya. Toleransi Islam kepada uskup Paris ”orang Arab yang diberikan
bahkan tampak dalam ruang yang sangat mikro, Tuhan kekuasaan seperti yang kalian ketahui,
seperti dalam rumah tangga. Ungkapan Alquran mereka tidak menyerang akidah Kristen. Bahkan
“wa shâhib humâ fî al dunyâ ma`rûfan” (Q.S. sebaliknya, berlaku lembut kepada pendeta kita,
Luqman: 15) sangat jelas, bagi seorang anak menghargai agama kita dan menghargai Gereja
yang berbeda keyakinan dengan orang tuanya, dan rumah-rumah kita.39                  
tetap harus selalu berperilaku baik kepada orang Argumentasi normatif dan fakta sejarah yang
tuanya. Dalam ayat lain, firman Allah Swt: telah uraikan di atas, merupakan bukti bahwa
Islam yang dibawa oleh Muhammad saw yang
dinobatkan sebagai nabi terkahir (khâtam al-
nabiyyîn) merupakan agama yang selalu ber­
orintasi kemanusiaan. Doktrin Islam secara
“Dan mereka memberikan makanan yang disukai­ universal, merupakan agama yang senantiasa
nya kepada orang miskin, anak yatim dan orang mengedapankan maslahat bagi manusia, yang
yang ditawan.” (Q.S. Al-Insân (76): 8)
berpijak kepada keadilan, persamaan dan ke­
Ungkapan “asîran” (yang ditawan) dalam bebasan. Hubungan Islam dengan pemeluk agama
ayat di atas adalah orang-orang musyrik, meng­ lain sejak awal telah dibangun dengan sebuah
ingat ketika ayat ini turun, tidak ada tawanan kaidah yang tidak perlu diperdebatkan, dan itu
kecuali orang-orang musyrik.37 Ayat ini jelas meng­ telah direalisasiakan sepanjang zaman. Kaidah
ungkapkan ajaran humanistik Islam, yang tidak tersebut adalah “lahum mâ lanâ wa `alaihim
membatasi ‘amal’ dalam area identitas agama yang mâ `alainâ” (untuk mereka apa yang ada pada
sejenis, tapi melintasi identitas agama, suku dan kita, dan kewajiban terhadap mereka juga suatu
tabir yang lainnya. Tidak hanya itu, toleransi Islam, kewajiban bagi kita).40
bahkan memasuki ranah yang sedikit krusial, yaitu  
membolehkan penganut agama lain melakukan Problematika di Indonesia       
ibadah di tempat ibadah umat Islam. Dalam buku Adanya Indonesia, membuat umat Islam
biografi Rasul, Ibn Ishaq menulis, ketika utusan menjadi mayoritas, dan karena adanya umat Islam,
Najran—mereka beragama Nasrani—datang ke ter­wujudnya Indonesia yang merdeka. Ungkapan
Madinah menemui Rasulullah saw, setelah waktu ini setidaknya menggambarkan bahwa antara
Ashar, mereka masuk masjid dan mengerjakan Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara
ibadah sesuai aturan agama mereka. Ketika ada tidak terpisahkan, baik dalam bingkai historis
sekelompok orang ingin melarang pekerjaan maupun ideologis. Secara historis, keberadaan
mereka itu, kemudian Rasulullah mencegahnya Islam sebagai sebuah agama yang diyakini oleh
dengan bersabda: “biarkan mereka mengerjakan mayoritas rakyat Indonesia, telah bersemayam
sampai selesai”.38 dalam keyakinan, bahkan sebelum lahirnya

37
Yusuf al-Qaradhawi, Fatâwâ Mu`âshirah, (Mansûra: Dâr 39
Musthafâ al-Syuk’ah, Islâm bi lâ Mazhâhib, (Kairo:
al-Wafâ, 1994), h. 674. Arabiyah li al-Thaba`ah wa al-Nasyr, 1997), h. 105.
38
Muhammad al-Ghazâli, Fiqh al-Sîrah, (Alexandria: Dâr al- 40
Muhammad al-Ghazâli, al-Ta`assub wa al-Tasâmuh Baina
Da`wah, 2000), h. 365. al-Masîhiyah wa al-Islâm, (Kuwait: Dâr al-Bayân, t.th.), h. 45

61 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

Indonesia. Dan secara ideologis, norma ajaran Tuhan yang bergelar khalifah yang mengemban
Islam telah mempengaruhi dan bahkan menjadi kekuasaan sebagai amanah-Nya. Dengan demikian,
acuan dalam format identitas bangsa Indonesia. manusia harus melakukan amar makruf nahi
Meskipun, kenyataannya sekarang, Indonesia munkar sebagai aplikasi dari perintah Tuhan dalam
tidak memiliki “kelamin” yang yang jelas dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dunia akhirat.43
memposisikan dirinya terhadap agama. Sebagai Untuk ber-amar makruf nahi munkar ini dibutuhkan
bangsa, Indonesia memiliki rakyat yang mayoritas sebuah institusi berupa negara.
beragama Islam dan syariat Islam menjadi living Sebagai dogma transenden, Islam adalah
law di tengah masyarakat. Namun sebagai negara, agama universal yang tidak mengenal istilah
Indonesia bukan atau masih ‘malu-malu’ untuk parsialisasi dalam ajarannya. Istilah “shaleh li kulli
disebut negara agama. Ketidak jelasan status zaman wa makan” merupakan terma yang mewakili
inilah yang menjadi perdebatan panjang dan keinginan tersebut. Kedatangan Islam tidak hanya
sampai hari ini belum usai. Apakah Indonesia berkutat dalam persoalan aqidah semata, tapi
negara sekuler, yang memisahkan diri dari agama, juga membawa konsep moral, keuangan, dan
atau negara agama, dalam arti menjadikan agama aturan-aturan hukum yang mengatur pribadi,
sebagai pijakan hukum negara. hubungan keluarga dan sosial masyarakat. Bahkan
Perdebatan agama negara dan negara juga mengatur hubungan suatu negara dengan
agama atau hubungan agama dengan negara negara lain.44 Keyakinan inilah yang secara praktis
dalam konteks keindonesiaan sudah berlansung mengamini Islam politik. Politik merupakan bagian
semenjak kelahiran Indonesia sebagai negara dari instrumen keberagamaan dalam merealisasikan
bangsa. Perdebatan status negara di mata ajaran agama45. Pernyataan seperti ini, sebenarnya
agama di Indonesia bukan semata persoalan ke­ tidak hanya diamini kebenarannya oleh intelektual
pentingan politik umat mayoritas yang kebetulan muslim, tapi juga diakui oleh intelektual Barat.
ber­agama Islam. Akan tetapi, secara substantif, Schacht misalnya, seperti yang dikutip al-
dogma Islam tidak dapat dipisahkan dengan Qaradhawi, menyatakan bahwa Islam lebih dari
negara. Mengingat risalah Islam yang dibawa sekedar agama, karena Islam juga mengandung
oleh Muhammad saw merupakan agama yang pandangan-pandangan hukum (qanun) dan politik.
penuh dengan ajaran dan undang-undang Secara umum, bahwa Islam adalah sistem budaya
(qawanin) yang bertujuan membangun manusia yang lengkap yang mencakup agama dan negara
guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia secara bersamaan. Ungkapan ini juga diamini
maupun di akhirat41. Dalam hukum Islam, orientasi oleh ‘gerbong’ Schacht seperti V. Fitzgerald, C.A.
hukum tidak lepas dari dua hal: Pertama. Hukum Nallino, R. Strothmann dan D.B Macdonald.46       
yang berpijak pada landasan lahiriah (mustamid Disinilah kemudian letak problematika ke­
‘ala al-zahir), yaitu hukum mengatur hubungan bebasan beragama di Indonesia. Satu sisi,
manusia dengan sesama makhluk. Kedua. Hukum Indonesia sebagai negara yang berpenduduk
yang berlandaskan bathin, yaitu hukum merujuk muslim mayoritas, tidak secara tegas menjadikan
kepada hubungan manusia dengan Tuhan42. Dari syariah sebagai dasar hukum negara. Walau,
itu, dalam Islam tidak dikenal dikhotomi antara dalam ideologi Pancasila sangat jelas tertulis
agama dan negara, keduanya bagai sisi mata uang bahwa negara “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pemahaman
Islam, adanya negara bukan saja atas dasar
kesepakatan masyarakat (kontrak sosial) namun 43
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta:
Renada Media, 2003), h. 17.
juga atas dasar fungsi manusia sebagai hamba 44
Muhammad Bahy al-Dîn Salîm, al-Islâm al-Dîn wa al-
Dawlah, (Kairo: Dâr al-Tahrîr li al-Thab`i wa al-Nasyr, 1995), h. 35.
45
Hermanto Harun, “Mengagamakan Politik”, Republika,
41
Fahrurroji M Bukhori, Membebaskan Agama Dari 27 Agustus 2007.
Negara, Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ali Abd Raziq, 46
Yûsuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Dawlah fî al-Islâm,
(Bantul: Pondok Edukasi, 2003), h. 25. Makânatuhâ, Ma`âlimuhâ, Thabî`atuhâ, Mawâqifihâ Min al-
42
Ahmad Muwâfi, Nahj al-Syarî`ah wa al-Qânûn fî Taqrîr al- Dîmuqrâthiyah wa al-Ta`addudiyah wa al-Mar’ah wa Ghair al-
Ahkâm, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi, t.th.), h. 5. Muslimîn, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1999), h. 27.

| 62
Hermanto Harun: Problematika Kebebasan Beragama

Ketidak jelasan ini akhirnya memposisikan (2) Setiap orang berhak atas kebebasan me­
Indonesia sebagai negara “banci” yang masih nyakini kepercayaan, menyatakan pikiran,
‘aib’ mengenal identitas kelaminnya. Sementara dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
aturan-aturan hukum, bagi yang beragama Islam, (3) Setiap orang berhak atas kebebasan ber­serikat,
secara kasat mata selalu merujuk kepada hukum berkumpul dan mengeluarkan pendapat.48 
materil yang masih tersimpan dalam kitab-kita fiqh
Pasal-pasal di atas, oleh kelompok yang
turats, walau secara secara formil sudah menjadi
menantang campur tangan negara terhadap agama,
bagian dari aturan hukum yang diadopsi negara.
dijadikan dalil, bahwa negara cukup hanya menjadi
Sikap negara Indonesia yang menjarak ter­ wasit bagi semua agama. Menurut mereka, negara
hadap keyakinan mayoritas rakyatnya, akhirnya harus dijaga agar tetap menjadi milik bersama.
menjadi persoalan, termasuk tentang kebebasan Negara cukup menciptakan aturan-aturan yang
beragama, karena pada satu sisi negara ingin menjamin interaksi antar umat beragama agar bisa
netral terhadap pelbagai agama rakyatnya, berjalan dengan baik.49 Asumsi ini boleh jadi benar,
sementara sisi lain, rakyatnya ingin menerapkan jika diposisikan pada wacana kebebasan memilih
hukum sesuai aturan agamanya. Sikap dualitas agama sejak semula. Akan tetapi, hemat penulis,
negara dan agama seperti ini akhirnya melahirkan jika persoalan kebabasan beragama dikerucutkan
identitas baru, bahwa Indonesia bukan negara pada kasus Ahmad Mussadeq, Lia Eden misalnya,
agama akan tetapi negara yang beragama. juga persoalan Ahmadiyah yang sekarang sedang
Identitas ini tercermin dalam UU 45 BAB XI pasal hot diperbincangkan, maka kasusnya berbeda.
29 tentang agama yang berbunyi: Hemat penulis, persoalan ini termasuk pada
1)   Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang subversif agama.50
Maha Esa. Menjadikan pasal-pasal tadi sebagai landasan
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap kebebasan beragama di Indonesia tidaklah
penduduk untuk memeluk  agamanya tepat, karena dalam kebebasan tersebut juga
dan untuk beribadat menurut agama dan terdapat pembatasan-pembatasan, seperti yang
kepercayaannya itu47. terdapat dalam KUHP pasal 156a.  Pasal tersebut
Undang-undang ini secara formal dijadikan menyatakan bahwa:
rujukan tentang kebebasan beragama di Dipidana dengan pidana penjara selama-
Indonesia. Walau dalam ranah realitasnya, UU ini lamanya lima tahun. Barang siapa dengan sengaja
tidak monotafsir, tapi multitafsir. Bahkan, setiap di muka umum mengeluarkan perasaan atau
kelompok agama memiliki paradigma tersendiri melakukan perbuatan:
terhadap interpretasi ayat-ayat dalam UU di atas, a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
sesuai dengan sudut pandang agama masing- penyalahgunaan atau penodaan terhadap
masing. Landasan lain yang dijadikan ‘patokan’ suatu agama yang dianut di Indonesia.
tentang kebebasan beragama di Indonesia adalah
b) Dengan bermaksud agar supaya orang
UUD 45 BAB XA pasal 28E tentang Hak Asasi
tidak menganut agama apapun juga yang
Manusia, yang telah mengalami perubahan kedua
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.51
disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Dalam
pasal ini menjelaskan bahwa:
48
Jangan Bikin Blunder Masalah Ahmadiyah, Jambi
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan Ekspres, 25 April 2008.
beribadat menurut agamanya, memilih 49
Subversif agama adalah mereka yang menggunakan
pendidikan dan pengajaran, memilih pe­ salah satu nama agama, tapi tidak untuk menjalankan pokok-
pokok ajaran agama yang dia pakai. Lihat Munarman SH,
kerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih “Mereka Yang Melakukan Subversif Agama” Suara Hidayatullah,
tempat tinggal di wilayah negara dan Februari 2008.
meninggalkannya, serta berhak kembali. 50
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP,  (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), h. 63.
51
PAF Lamintang, Delik-Delik Khusus, Kejahatan-kejahatan
47
Redaksi Kawan Pustaka, UUD 45 & Perubahan­
nya, Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Bandung: Sinar baru,
(Jakarta: PT Kawan Pustaka, 2007), h. 31. 1987), h. 464.

63 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

Unsur objektif dalam dari tindak pidana ajaran humanistik Islam yang memproklamirkan
pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP itu rahmatan li al-`âlamîn. Kekerasan yang menjadikan
adalah ‘mengeluarkan perasaan’ atau ‘melakukan dalil-dalil agama sebagai justitifikasi, jelas menistai
perbuatan’. Itu berarti bahwa perilaku yang kesucian Islam. Menggunakan kekerasan hanya
terlarang dalam pasal 156a KUHP itu dapat akan melahirkan kekerasan serupa.
dilakukan oleh pelaku, baik dengan lisan maupun Jika menilik fakta sejarah, ketika dakwah
dengan tindakan.52 dalam fase Makkah, Rasulullah saw tidak
Intinya, bahwa kebebasan beragama me­ menggunakan jalur kekerasan dalam mengemban
rupakan hak dasar manusia. Jika kebebasan amanah dakwah. Bahkan perkembangan Islam
individual diwakili aspek kebebasan materilistik, tidak ditentukan dengan kekerasan. Ketika Rasul
maka kebebasan pemikiran yang merupakan aspek dan para sahabatnya di Makkah mengalami
maknawi yang mesti dimiliki oleh setiap manusia. siksaan dan pelbagai cobaan yang sungguh sangat
Dan kebebasan aqidah dan ibadah terangkum dahsyat, sampai di antara sahabat Nabi dibunuh,
dalam kebebasan berpikir (hurriyah fikriyah)53. sikap Rasul selalu konsisten dalam dakwah yang
Kebebasan beragama dalam bentuk konkritnya tidak membalas dengan kekerasan55. Bahkan,
adalah memilih aqidah dan ibadah, maka tentunya penyelesaian damai terhadap konflik politik
tidak akan mungkin mendefenisikan kebebasan dalam masyarakat Islam menjadi keputusan
beragama dengan defenisi yang tunggal. Hal dasar (mabda’), bukan pilihan (khiyar).56 Adapun
inilah yang menyebabkan Deklarasi Universal peperangan Nabi saw ketika di Madinah hanya
Hak Asasi Manusia tidak memberi definisi yang sebatas membela diri dan mengamankan dakwah
konkrit tentang agama, karena menghindari Islam. Ayat-ayat Alquran dan hadis Rasul yang
kontroversi filosofis dan ideologis dan amat diklaim sebagai justifikasi untuk berperang,
problematik menentukan satu defenisi dalam menurut Ali Gum’ah tidak lain kecuali untuk
rumusan legal.54 Ini artinya, bahwa kebebasan membalas permusuhan dan menjaga diri,
beragama perspektif Islam tidak mungkin sama pengamanan dakwah dan memberi kesempatan
dengan definisi kebebasan dalam agama lain. kepada orang-orang lemah yang menginginkan
Lantas apakah kebebasan beragama mengikuti memeluk Islam, menuntut hal-hal dasar, dan
konsepsi agama, terlebih agama Islam atau mewujudkan kebenaran dan keadilan.57
persepsi HAM ?. Jadi, kekerasan dengan mengatas-namakan
Problematika selanjutnya adalah seringkali agama di Indonesia sangat tidak tepat. Karena
agama dijadikan legitimasi tindakan anarkis kewenangan untuk melakukan tindakan hukuman
dan kekerasan. Meskipun, tindakan-tindakan itu adalah pihak penguasa. Dalam inilah keterpautan
bisa terjadi dari seluruh ideologi dan agama. antara konsepsi negara dan agama dalam politik
Karena setiap idoelogi dan agama memiliki Islam. Bagaimanapun, aktualisasi ajaran-ajaran
potensi untuk radikal, liberal atau moderat. agama Islam tidak sepenuhnya persoalan
Namun, dalam kasus di Indonesia, kekerasan individual. Di sini letak perbedaan antara ajaran
yang mengatas-namakan agama Islam--jika dikaji- Islam dengan konsepsi Kristen terhadap negara.
-merupakan akibat dari persoalan yang pertama, Jika dogma Kristen mengklaim pemisahan
yaitu ketidak tegasan negara dalam persoalan- agama dan negara seperti ungkapan Yesus yang
persoalan yang menyangkut ajaran agama Islam. tercatat dalam Injil Matius XXII:21: “Urusan Kaisar
Walau demikian, tindakan anarkisme atas nama serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan
agama jelas sekali bertentangan dengan subtansi serahkan kepada Tuhan.”58 Maka jelas, antara

52
Abd al-Hamîd Ismail al-Ansharî, Nizhâm al-Hukm fî al- 55
Abd al-Hamîd Ahmad Abû Sulaimân, al-‘Anaf wa Idârat...,
Islâm, (Qatar: Dâr Qutry ibn al-Faja’ah, 1985), h. 84. h. 42.
53
Siti Musdah Mulia, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Ali Gum’ah, Haqâ’iq al-Islâm fî Muwâjahah Syubuhât al-
56

Beragama”, www.icrp-online.org Musyakkikîn, (Kairo:. Wazârat al-Awqâf, 2002), h. 408.


54
Abd al-Hamid Ahmad Abu Sulaimân, al-‘Anaf wa Idârat 57
Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
al-Shira’ al-Siyâsi fi al-Fikr al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2002), (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 87.
h. 17. 58
Yusuf al-Qaradhawi, al-Siyâsah al-Syar`yyah fî Dhau’i

| 64
Hermanto Harun: Problematika Kebebasan Beragama

Islam dan Kristen memiliki pendapat yang tidak dan jujur menggambarkan fakta sejarah dengan
perlu disamakan. Tapi anehnya, kadang terjadi kacamata bening ketulusan ilmunya.               
penindasan yang seakan Islam harus mengikuti Dalam konteks keindonesiaan, bincang ke­
doktrin Yesus tersebut. bebasan beragama sebenarnya juga bisa dianggap
Setidaknya, dua persoalan itulah, seperti yang selesai. Karena secara kasat mata, agama Islam
penulis sebut di atas, sebagai hal yang problematik yang diyakini oleh mayoritas rakyat Indonesia,
dalam kasus kebebasan beragama di Indonesia. tidak berbeda “asumsi”nya dengan Islam di
Dua persoalan tadi, hemat penulis, solusinya adalah manapun di dunia. Jadi, soal kebebasan beragama
bagaimana negara harus menjamin kebebasan bukanlah hal baru. Justru, karena fakta sejarah
beragama bagi umat Islam di Indonesia. Umat Indonesia juga mencatat bahwa Islam sebagai
Islam harus diberi keleluasan untuk menjalankan sebuah dogma transenden yang menjadi penutup
ajaran-ajaran agama mereka tanpa dihalangi oleh dari semua dogma Tuhan, menjadi “pelindung”
kekuasaan negara. Subjektifikasi umat Islam untuk dari kebebasan beragama di tanah air ini. Sejarah
menerjemahkan hukum Islam ke dalam ruang juga telah menjadi saksi, bahwa di bawah Islam lah
kehidupan nyata, merupakan perilaku objektif semua agama bisa hidup damai. Tapi, bisakah kita
dalam koridor pemahaman Islam yang kâmil, sedikit membuka mata, dan sedikit menggelitik
syâmil, dan kâffah. keimanan yang tersisa dalam nurani, juga untuk
Selanjutnya, moderasi pemahaman keislaman menilai secara objektif dan jujur, keadaan muslim
juga menjadi sebuah keharusan. Artinya dalam yang menjadi minoritas di berbagai negara di
pemahaman keislaman juga harus memperhatikan dunia, atau di daerah dalam negeri Indonesia
persoalan kontekstual, agar agama menjadi ajaran sendiri ? Akankah mereka  (muslim) sama dengan
untuk kemaslahatan manusia. Tapi, kontekstualitas umat “lain” yang dalam keadaan minoritas dalam
ajaran agama harus tetap perpedoman kepada negara yang berpenduduk Islam ? Setidaknya,
kemauan teks, apalagi yang sudah jelas (sharîh) diskusi sekarang dapat juga menutur secara
dan permanen (qath`i). Sebab, tidak ada teks qath`i terbuka fakta tersebut. Itulah harapan yang
yang bertentangan dengan maslahat. Jika ada, penulis impikan dalam diskusi atau debat pada
maka maslahat yang berbenturan dengan nash  paparan tulisan ini. Tapi, sebenarnya diskusi ini
yang qath`i tidak dapat diterima (lâ yu`tabar), ingin sepakat untuk berbeda, atau berbeda untuk
kecuali dalam persoalan qath`iyah dharûriyah. sepakat. Fas’al dhamîraka!

Penutup Pustaka Acuan


Persoalan kebebasan beragama dalam Abdullah, Fatimah, “Konsep Islam Sebagai Din,
perspetif Islam, sebenarnya sudah selesai Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas”, Islamika,
diperbincangkan. Bahkan, bukan hanya dalam September-November 2004. 
kajian wacana teoritis yang tersimpan dalam Anshârî, Abd Hamid Ismail al-, Nizhâm al-Hukm fî
kungkungan norma idealistik kitab suci Alquran, al-Islâm, Qatar: Dâr Qutry ibn al-Faja’ah, 1985.
akan tetapi sudah dibuktikan di atas pentas Arif, Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme
sejarah. Lembaran kanvas sejarah Islam yang Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
bertuliskan tentang kebebasan beragama tidak Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum, Jakarta:
hanya ditulis oleh manusia-manusia yang memang Renada Media, 2003.
mengimani Islam, tapi juga ditoreh oleh orang- Bukhori, Fahrurroji M., Membebaskan Agama Dari
orang yang berada di ‘luar pagar’ yang mungkin Negara, Pemikiran Abdurrahman Wahid dan
pernah merasakan dilindungi, diayomi, atau dibela Ali Abd Raziq, Bantul: Pondok Edukasi, 2003.
oleh komunitas Islam. Juga mungkin, pernah Daqs, Kamil Salamah al-, Ayât al-Jihâd fî al-Qur’ân
dilukiskan oleh para ilmuan yang berusaha objektif al-Karîm, Kuwait: Dâr al-Bayân, 1972.
Darrâz, Muhammad Abdullâh, al-Dîn; Buhûts
Mumahhidah li al-Dirâsat al-Adyân, Kairo:
Nushûs al-Syarî`ah wa Maqâshidihâ, (Kairo: Maktabah Wahbah, t.p, 1952.  
1998), h. 158.

65 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

Garaudy, Roger, Promeses De I’Islam, Janji-Janji Kairo: Maktabah Wahbah, 1998. 


Islam, alih bahasa Prof. Dr. HM Rashidi Qaradhawi, Yûsuf al-, Fatâwâ Mu`âshirah, Mansûra:
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.    Dâr al-Wafâ, 1994.
Ghazâlî, Muhammad al-, al-Ta`assub wa al-Tasâmuh Qaradhawi, Yûsuf al-, Min Fiqh al-Dawlah fi al-
Baina al-Masîhiyah wa al-Islâm, Kuwait: Dâr Islâm, Makânatuhâ, Ma`âlimuhâ, Thabî`atuhâ,
al-Bayân, t.th.  Mawqifihâ Min al-Dîmuqrathiyah wa al-
Ghazâlî, Muhammad al-, Fiqh al-Sîrah, Alexandria: Ta`addudiyah wa al-Mar’ah wa Ghair al-
Dâr al-Dakwah, 2000.   Muslimîn, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1999.
Gum’ah, Ali, Haqâ’iq al-Islâm fî Muwâjahah Qaradhawi, Yûsuf al-, Ummatunâ Baina al-Qarnain,
Syubuhât al-Musyakkikîn, Kairo: Wazârat al- Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000.
Awqâf, 2002. Qarni, Izzat, al-‘Adâlah wa al-Hurriyah fî Fajr al-
Hai’ah al-Tahrîr, al-Mausû’ah al-Islâmiyah al- Nahdhah al-`Arabiyah al-Haditsah, Kuwait:
`Ammah, Kairo: Wazârat al-Awqâf & al-Majlis Silsilah Álam al-Ma`rifah, 1980. 
A`la li al-Syu’ûn al-Islâmiyah, 2001.   Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-
Hamid, Shalahuddin, Hak Asasi Manusia Dalam Syurûq, 1972.
Perspektif Islam, Jakarta: Amissco, 2003. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsîr al-Qur’ân al-
Harun, Hermanto, “Mengagamakan Politik”, Karîm, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Republika, 27 Agustus 2007. Salîm, Muhammad Bahy al-Dîn, al-Islâm al-Dîn wa
Harun, Hermanto, “Perdamaian dan Perang Dalam al-Dawlah, Kairo: Dâr al-Tahrîr li al-Thab`i wa
Konsep Islam, Studi Analisis Buku ‘Nizhâm al- al-Nasyr, 1995.
Silm wa al-Harb fî al-Islâm”, Tesis, Pascasarjana Sihbudi, Riza, “Islam, Radikalisme dan Demokrasi”,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005. Republika, 23 September, 2004.
Hijâzî, Muhammad Abd al-Wahid, al-Hurriyah fî Smith, Wilfred Cantwell, The Meaning and End of
al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Hurriyah, 1998. Religion, London: SPK, 1978.
Huwaidi, Fahmi, al-Maqâlat al-Mahzûrah, Kairo: Sulaimân, Abd al-Hamîd Ahmad Abû, al-‘Anâf
Dâr al-Syurûq, 1999. wa Idârat al-Shira’ al-Siyâsi fî al-Fikr al-Islâmi,
Imârah, Muhammad, al-Ushûliyah Baina al-Gharb Kairo: Dâr al-Salâm, 2002.
wa al-Islâm, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1998. Sumartana, Th, dkk. Pluralisme, Konflik dan
Imârah, Muhammad, Nazhrah Jadîdah Ilâ al-Turats, Pendidikan Agama di Indonesia. T.tp: t.p, 2001. 
T.tp: Dâr al-Qutaibah, 1988.   Syaukânî, Muhammad bin Ali al-, Irsyâd al-Tsiqât
Jurjânî, Ali ibn Muhammad ibn Ali al-, Kitâb al- Ilâ Ittifâq al-Syara` `Ala al-Tauhîd wa al-Ma`âd
Ta`rîfât, T.tp: Dâr al-Diyah li al-Turâts, t.th. wa al-Nubuwwat, Beirut: Dâr al-Kutub al-
Morris, Brian, Antropologi Agama, Kritik Teori- `Ilmiyah, 1984.
Teori Agama Kontemporer, Yogyakarta: AK Syuk’ah, Musthafâ al-, Islâm bi lâ Mazhâhib, Kairo:
Group, 2003. Arabiyah li al-Thaba`a wa al-Nasyr, 1997.
Muhammad, Jamâluddîn Athiah, Nahwa Fiqh Jadîd Thabarî, Abî Ja`far Muhammad ibn Jarîr al-, Tafsîr
li al-Aqalliyat, Kairo: Dâr al-Salâm, 2003. al-Thabarî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987, Jilid IV.
Mulia, Siti Musdah, “Hak Asasi Manusia dan Talbi, Mohamed, Kebebasan Beragama, dalam
Kebebasan Beragama”, www.icrp-online.org “Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam
Munarman, “Mereka Yang Melakukan Subversif Kontemporer Tentang Isu-Isu Global”, Jakarta:
Agama” Suara Hidayatullah, Februari 2008. Paramadina, 2003.
Muwâfi, Ahmad, Nahj al-Syarî`ah wa al-Qânûn fî Thoha, Anas Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan
Taqrîr al-Ahkâm, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, t.th. Kritis, Depok: Perspektif Gema Insani, 2005.
Nashir, Haedar, “Lorong Gelap Dunia Wilders”, Yusuf, Muhammad Sayyid, Manhaj al-Qur’ân al-
Republika, 13 April 2008. Karîm fî Ishlâh al-Mujtama`, Kairo: Dâr al-
Noer, Deliar, Islam dan Masyarakat, Jakarta: Salâm, 2002.
Yayasan Risalah, 2003.  Zaqzuq, Mahmud Hamdi, al-Islâm wa Qadhâyâ
Qaradhawi, Yûsuf al-, al-Siyâsah al-Syar`iyyah fî al-Hiwar, Kairo: al-Majlis A`la li Syu’ûn al-
Dhau’i Nushûs al-Syarî`ah wa Maqâshidihâ, Islâmiyah, 2002.

| 66

Anda mungkin juga menyukai