Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Pemikiran Islam

Nama Kelompok 8

Nurul Huda Rahmadani 30800119041


Andi Nurul Auliya’ Mappajanci 30800119048
Kurniawan Dwi Rezeki 30800119063
Kelas HI-2 / 2019
Pemikiran Islam di Indonesia:

Abdurrahman Wahid (Gusdur)

A. Profil Gusdur

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gusdur memiliki nama lengkap Abdurrahman Ad-
Dakhil. Ad-Dakhil secara terminologi berarti sang penakluk. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
lahir di Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940. Gus Dur merupakan putra pertama dari enam
bersaudara. Ayahnya bernama KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari KH. Hasyim
Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia dan sekaligus pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Sedangkan Ibunya bernama Hj.
Sholehah, yang merupakan putri Kh. Bisri Syansuri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, Jawa
Timur. Sejak kecil Gus Dur sudah terlihat memiliki kesadaran penuh untuk mengemban
tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama (NU). Sekitar bulan April tahun 1953, Gus Dur
Bersama ayahnya berangkat ke Sumedang, Jawa Barat untuk menghadiri pertemuan Nahdlatul
Ulama (NU) dengan mengendarai mobil, akan tetapi di tengah perjalanan mengalami kecelakaan
yang mengakibatkan ayahnya meninggal. Sebagai tokoh panutan para masyarakat Indonesia, Gus
Dur sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat,
demokrasi, dan Islam toleran.

B. Karya Gusdur

Di setiap karya yang dihasilkan oleh Gusdur, selalu memberikan pandangan baru. Beberapa di
antaranya pun bahkan melekat di hati masyarakat Indonesia. Berikut ini beberapa contoh
karyanya:
 Buku Bunga Rampai Pesantren: Pada buku ini Gus Dur menunjukkan rasa optimisnya
bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya memiliki kemampuan yang luas untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat terutama pada kaum tertindas dan termarjinalkan.
Bahkan dengan kemampuan fleksibelnya, pesantren dapat mengambil peran yang
signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan tetapi juga dalam setting sosial budaya
bahkan politik dan ideologi.
 Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Melalui buku ini, Gus Dur mengajak kita untuk, antara
lain, untuk menghindari satu sudut pandang saja dalam melihat banyak hal, termasuk
dalam melihat agama Islam. Katanya, tidak ada satu Islam, Islam adalah multiwajah,
wajah manusiawi. Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada
etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Gus Dur, termasuk untuk mengelola dunia
yang terus bergerak ke arah globalisasi untuk perdamaian abadi dan saling menghormati
antar bangsa dan antar manusia.
 Tuhan Tidak Perlu Dibela.
 Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan.
 Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
C. Gagasan Pemikiran Gusdur Terkait Islam

Pribumisasi Ajaran Islam

Gus Dur menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan pribumisasi ajaran isalam ialah
memahami nash, baik itu yang bersumber di hadis atau Al-Quran lalu dihubungkan atau
dikaitkan dengan negara ini. Atau bisa juga dikatakan bahwa pribumisasi islam ialah bagaimana
cara memahami makna dari pesan-pesan yang terdapat dalam agama islam dalam konteks
kebudayaan yang terdapat di nusantara. Gus Dur meyakini bahwa agama islam yang awalnya
berasal dari Arab yang kemudian datang ke nusantara tetap tidak boleh menggeser kebudayaan
lokal yang telah lama ada di nusantara oleh karena itu pribumisasi islam merpakan suatu gagasan
Gus Dur yang mana bertujuan untuk tetap menghargai budaya dengan upaya memasukkan
sebanyak-banyaknya budaya lokal ke dalam islam.

Alasan dari Gus Dur yang kemudian mengeluarkan gagasan iniialah tidak lepas dari fenomena
keagamaan yang telah berkembang di Indonesia yang mana jika dilihat banyak dari masyarakay
yang menggunakan symbol serta istilah-istila Arab dan bahkan ada upaya yang dilakukanoleh
banyak uztads atau pegiat agama islam yang berupaya menyeragamkan budaya islam di
nusantara. Oleh karena itu beliau tidak ingin budaya lokal atau budaya nusantara terkikis.
Penolakan beliau terhadap Arabisasi budaya tidak lebih karena kecintaan beliau dengan negara
Indonesia

Islam Sebagai Etika Sosial

Pemikiran atau gagasan Gus Dur mengenai hal ini berawal dari ketidaksetujuan beliau mengenai
formalisasi ajaran islam dalam kehidupan berbangsa dan jug abernegara didasaekan pada
keyakinannya bahwa negara Indonesia yang mejemuk, islam tdk perlu dipaksa menjadi sebuah
undang-undang atau hukum negara, walaupun hampir sebagaian masyarakat Indonesia memeluk
agama islam sebagai keyakinannya. Lalu gus dur menyampaikan hal yang sebaliknya, menurut
belaiu islam dapat dijadikan sebagai suatu etika sosial dalam kehidupan berbagsa, dimana dalam
hal ini gusdur sangat menolak yang namanya formalisasi islam dalam politik nasional, tak hanya
itu beliau juga menolak kehadiran kehadiran negara islam yang memang tidak diketemukan
konsepnya dimana menurutnya bahwa pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu ketetapan
mutlak dan tidak boleh lagi dirubah.

Menurut Gus Dur walaupun islam hanya akan dijadikan sebagai etika sosial dalmkehidupan
berbagsa dan bernegara, itu tidak akan membuat agama islam lantas kehilangan kebesarannya,
bahkan menurutnya kebesaran agama islam justru makin meningkat karena mampu
mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi negara, dan juga melalui konsep ini
Gus Dur dapat dengan mudah menghargai berbagai pemahaman, perilaku, bahkan perbedaan
keyakinan dikalangan umat islam sendiri ataupun dikalangan umat beragama yang lain .

Pendidikan Pesantren

Gagasan lain dari Gus Dur ialah pendidikan pesantren, dimana beliau dalam hal ini beranggapan
bahwa jika ilmu agama dan juga non-agama terintegrasi maka dapat menghasilkan manusia yang
memiliki kepribadian utuh dan bulat dalam dirinya tergabung unsur-unsur keimanan dan juga
pengetahuan secara berimbang. Gagasan Gus Dur dalam melihat pendidikan pesantren
setidaknya ada dua hal, yang pertama ialah pesantren memiliki tujuan khusus yang mana
menyiapkan para santri untuk kelak dapat memiliki ilmu agama dan juga ilmu non-agama, lalu
yang kedua ialah tujuan umum agar dapat membimbing para santri menjadi manusia yang
memiliki kepribadian islan yang dapat mengimplementasikan ilmunya ke kehidupan nyata. Ini
biasa disebut sebagai watak hidup mandiri, yang bersumber pada diri sendiri.

Humanisme dan Pluralisme

Dalam konsep Humanisme dan pluralism, Gus Dur meninggalkan formalisme agama yang kerap
kali menjerat untuk hidup selalu hidup menyapa, beliau juga meningga;kan kesombongan
beragama demi mempertahankan martabatnya sebagai seorang manusia. Ia menghindari
beragama yang sempit hanya karena keyakinan yang membelenggu.

Dalam pemikiran gusdur mengenai humanism dan pluralisme agama dan juga kemanusiaan
merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, dan diantara keduanya tidak ada posisi yang
lebih tinggi ataupun posisi yang lebih rendah, semuanya sama rata menurut Gus Dur. Karena
pemahaman ini Gus Dur kerap kali mengecam orang-orang yang beragama yang sering acuh
terhadap dimensi kemanusiaan itu sendiri, atau dengan kata lain Gus Dur sangat tidak menyukai
orang yang beragama lalu merusak aspek lain karena pemahaman Gus Dur mengenai
Humanisme dan pluralism ialah relasi antara agama dan kemanusiaan itu saling menguatkan dan
mengisi bukan saling menjatuhkan . Dari pemahaman ini, beliau kerap kali mendapat hinaan dan
kecaman seperti kerap kali dicap murtad dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemahaman Gus
Dur mengenai hal ini menjadi sangat sulit dan kerap klaimendapat tantangan dalam
mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat di tengah kehidupan yang cenderung
kea rah fundamentalisme sekarang.

Islam Moderat dan Damai

Sebagaimana ulama terdahulu, Gus Dur meyakini bahwa tujuan utama diturunkannya ajaran
Islam dalam kehidupan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Bagi Gus Dur, Islam
Indonesia adalah Islam yang damai. Yakni Islam yang disebarkan oleh Wali Songo dan
kemudian diteruskan oleh para ulama. Islam yang mengantarkan umatnya ke dunia yang penuh
dengan keadaban, harmoni, dan toleransi, bukan Islam sektarian yang fundamental, resisten, dan
penuh dengan kekerasan dan intimidasi yang berkepanjangan. Islam yang damai akan
mengantarkan umat pada satu gugus kehidupan yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Sebuah potret kehidupan yang didalamnya berjumpa relasi kemanusiaan yang memuat esensi
keteladan yang sesungguhnya merupakan esensi Islam sekaligus representasi dari nilai-nilai
sejarah Islam yang salah satu aktualisasinya digagas oleh oleh Gus Dur dengan wajah Islam yang
memberikan rahmat bagi seluruh alam.

Kandungan Q.S. asy-Syuro[42]: 38 yang artinya “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka” memberikan landasan dalam pemikiran ini. Kepentingan bersama sebagai suatu
bangsa, harus diletakkan satu tangga di Atas kepentingan parsial yang berpotensi merendahkan
agama Islam itu sendiri. Penempatan kepentingan bersama di atas kepentingan parsial apapun
secara pasti Merupakan perjuangan yang dilandasi semangat keberagamaan yang tinggi. Inilah
semangat Islam yang oleh Gus Dur mencoba ditakar dalam bentuknya yang utuh. Islam yang
menempatkan pemeluknya pada ruang-ruang diskursif yang dialektis. Sehingga antara pemeluk
agama yang satu dan lainnya tidak saling memunggungi Dalam diskursus perdebatan tentang
pencarian kebenaran masing-masing, tetapi Perbedaan tersebut dikukuhkan dalam satuan
kepentingan hidup yang damai. Landasannya adalah Q.S. ali Imran[3]: 159, Q.S. an-Nahl[16]:
125 dan Q.S. al-Baqarah[2]: 256.Islam moderat yang inklusif, toleran, dan damai yang diusung
Gus Dur ini Sama sekali tidak mengesampingkan agama sebagai sebuah instrumen, melainkan
Justru meletakkannya pada keluhuran yang sesungguhnya. Muara dari itu semua Adalah
bagaimana Islam mampu mewujudkan negara yang adil makmur, Demokratis, yang bermuara
pada pondasi Islam sebagai sebuah landaan etis bagi Kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan Islam yang damai, dan rahmatan Lil alamin Gus Dur dapat menjadi pemantik berbagai
kemungkinan hubungan yang Harmonis

Politik; Relasi Agama dan Negara

Gus Dur dalam perspektif Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan negara, untuk
itu pemikiran politik Gus Dur bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi
penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin tentang
negara, tetapi sebagai agama. Islam merupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi
motivasi spiritual dalam menjalankan negara.Pemikiran Gus Dur ini memiliki kecenderungan
kepada sekularisasi politik yang lebih Mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan
memisahkan agama dengan Politik sebagai prinsip sekularisme murni. Bagi Gus Dur, yang
profan diprofankan, yang sakral disakralkan, tidak Dicampur-adukkan secara rasional dan
historis. Itulah sebabnya Gus Dur lebih Mencita-citakan hadirnya politik yang membumi dan
disesuaikan dengan konteks Kultural masyarakat Indonesia. Gus Dur tidak menginginkan
idealisasi negara dari Perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan
substansial dari Negara itu sendiri dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme politik
Menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan penerapan Syari‟ah Islam
pada level hukum nasional, maka harus dikembalikan kepada UUD 1945 yang didalamnya
menyerahkan segala pengaturan ketatanegaraan kepada Kedaulatan rakyat melalui
perwakilannya. Q.S. an-Nisa[4]: 59 telah mengatur pilar Pemerintahan Islam.

Idealnya sosok Gus Dur dapat dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural
ala sosiolog Talcolt Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat
fungsional. Untuk Mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah tercipta
sebuah Kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat, dan struktur
Negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami disfungsi, dan inilah Yang
mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian menyimpulkan bahwa, hubungan
agama dan Negara bisa harmonis ketika masuk dalam relasi yang substantif.

Ekonomi Kerakyatan

Dalam lintasan pemikiran Gus Dur, tak banyak yang mengetahui bagaimana Corak pemikiran
Gus Dur dalam konteks ekonomi. Berbagai ide-ide besarnya tentang toleransi, pendidikan, Islam,
dan politik, telah menjadi bagian pemikiran Yang cukup menonjol pada waktu itu. Sehingga
proyeksi pemikiran di bidang Ekonomi tidak begitu tampak ke permukaan. Padahal sebagai
sebuah guru bangsa, Gus Dur juga memiliki pandangan tentang dunia ekonomi.

Jika dianalisis lebih jauh, titik tekan pemikiran Gus Dur dalam konteks ekonomi memang tidak
terlihat dalam pelbagai literatur tetapi pemikirannya dapat dilacak saat dirinya menjabat sebagai
Presiden Republik Indonesia. Harus diakui bahwa gagasan perekonomian ketika Gus Dur
memerintah menjadi seorang Presiden menarik untuk dikaji karena begitu kental dengan sifat
ekonomi kerakyatan. Visi ekonomi Gus Dur ketika itu adalah membangun ekonomi yang
berbasis pada kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tertinggal,tidak mampu,
dan miskin. Tiga golongan tersebut harus mendapat perlindungan dari pemerintah dan
diberdayakan melalui manajemen dan modal dari pemerintah.Spirit yang terkandung dalam Q.S.
al-Baqarah[2]: 267 dan Q.S. at-Taubah[9]: 103, menjadikan visi ekonomi sebagaimana tertera
diatas benar-benar Pro-rakyat.

Kebijakan ekonomi Gus Dur pada tataran praktisnya, ternyata tidak disukai Negara China, sebab
Gus Dur membatasi penjualan produk China di Indonesia, Sebab China dikenal sebagai negara
yang menjual produknya dengan harga murah. Akibat produk yang murah dampak logis yang
terjadi produk China pada titik Klimaksnya memukul industri garmen Indonesia sehingga di
tahun 2003, Benny Sutrisno sebagai ketua umum API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) berteriak
Tentang safeguard textil China. Bahkan Gus Dur juga pernah melontarkan dualitas sistem
perdagangan. Gus Dur mengatakan: “Jika saya terpilih lagi menjadi Presiden, saya akan meng-
Gunakan dualitas sistem perdagangan. Satu sisi, ada persaingan bebas antara pe-Rusahaan-
perusahaan dunia, tapi kita tarik pajak. Misi kedua adalah pembangunan ekonomi yang
berorentasi kepada rakyat kecil. Jadi bukan pertumbuhan saja, tetapi juga pemerataan.” Gagasan-
gagasan Gus Dur selalu menarik untuk dikaji oleh para pengambil keputusan di tanah air
sehingga dapat dijadikan pola dasar untuk membuat kebijakan ekonomi maupun perpajakan.
kebijakan ekonomi Gus Dur adalah ekonomi pro-rakyat dan keberanian Gus Dur mengemukan
pendapatnya walau terkadang mengundang kontroversi para pakar ekonomi dan industri.

Anda mungkin juga menyukai