Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHARUAN ISLAM INDONEISA PEMIKIRAN HARUN NASUTION DAN ABDURRAHMAN

WAHID

Oleh :Risza umami

Pengantar Studi Islam,212511063


(UNIVERSITAS NAHDATUL ULAMA AL GHOZALI )

e-mail :riszaumami086@gmail.com

Abstrak

Problematika pendidikan Islam di era modern memberi imbas kepada tatanan umat
Islam,mau tidak mau umat Islam sendiri harus membuka mata terhadap gejala yang
terjadi,baik bersifat positif, sosial,buday dan lain lain, realita kehidupan muslim pada era
modernisasi sangat memprihatikan karena atribut atribut Umat Islam telah berkontaminasi
oleh dinamika kehidupan, Nilai-nilai luhur ajaran Islam semakin luntur dan kabur karena
lemahnya pemahaman dan lemahnya interprestasi terhadap ajaran nilai-nilai ajaran Islam,
Oleh karena itu, Harun Nasution tampil sebagai sosok pembaharu Islam.pemikiran Harun
Nasution yang berorientasi pada urgensi akal berupa membawa umat Islam.Kepada ajaran
yang sesuai al Qur'an dan hadits Penelitian ini juga menunjukkan beberapa konsep atau
pandangan Gus Dur yang berpandang bahwa kebhinekaan yang berkonotasi positif dapat
diwujudkan dengan beberapa aspek Salah satunya adalah pendidikan.

Kata kunci : pembaharuan Islam Indonesia

Abstract

The problems of Islamic education in the modern era have an impact on the order of
Muslims, like it or not, Muslims themselves must open their eyes to the symptoms that
occur, both positive, social, cultural and others, the reality of Muslim life in the era of
modernization is very concerned because of the attributes of the Ummah. Islam has been
contaminated by the dynamics of life. The noble values of Islamic teachings are getting
faded and blurred due to weak understanding and weak interpretation of the teachings of
Islamic values. Therefore, Harun Nasution appears as a figure of Islamic reformer. Harun
Nasution's thoughts are oriented towards urgency. Intellect in the form of bringing Muslims
to the teachings of the Qur'an and Hadith. This research also shows several concepts or
views of Gus Dur who holds that diversity with a positive connotation can be realized in
several aspects. One of them is education.

Keywords: Indonesian Islamic renewal

1
PENDAHULUAN

Sejarah pendahuluan islam terbagi menjadi tiga priode,yaitu yang pertama periode
klasik,kedua periode pertengahan ,ketiga periode modern. Yang pertama periode klasik
merupakan zaman kemajuan dan dibagi dalam dua tahap,tahap pertama merupakan puncak
kemajuan islam. Pada zaman khilafur rasyidik islam brerhasil menguasai beberapa daerah
yaitu mulai dari afrika utara sampai ke sepanyol dan mulai persia sampai india
timur.kemudian beberapa ilmu juga berhasial dikembangkan dan mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Harun Nasution (selanjutnya ditulis Harun) dikenal sebagai seorang intelektual
muslim yang sangat concern pada pembaharuan dalam Islam. Usaha yang ia lakukan tidak
terbatas di bidang pemikiran saja, seperti: teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan juga
hukum (fiqh), tapi meliputi seluruh segi kehidupan kaum muslimin.Dalam bukunya tentang
pembaharuan dalam Islam tampak sekali bahwa pembaharuan itu menurut Harun
mencakup institusi-institusi dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konsep
pembaharuan seperti ini diambil dari pengertian modernisme yang dianut dalam
masyarakat Barat, yakni sebuah konsep yang mengandung pembaharuan pemikiran, aliran-
aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham, adat istiadat, institusi lama dan
sebagainya guna disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.Di antara aspek-aspek pembaharuan itu, memang
bidang keagamaan lah yang mendapat perhatian lebih besar dari Harun. Ini dapat
dimaklumi, karena ia merupakan seorang ahli pemikiran keagamaan (Islam), terutama
dalam bidang teologi, filsafat dan mistisisme. Pandangan keagamaan ini sangat ditekankan
oleh Harun, sebab menurut dia, pandangan keagamaan suatu masyarakat amat
menentukan perkembangan peradabannya, misalnya apakah masyarakat menganut teologi
tradisional atau rasional, teologi Jabariah atau Qadariah. Dengan begitu, Harun
membedakan antara pemikiran agama tradisional dengan rasional.Memang pemikiran
Harun tentang hukum Islam relatif sedikit dibandingkan ketiga bidang yang disebutkan di
atas. Namun demikian pemikiran Harun tentang hukum Islam tersebut perlu diangkat ke
permukaan. Hal ini dikarenakan Harun adalah seorang tokoh yang pemikirannya telah
banyak memberikan perubahan dan pembaharuan dalam berbagai aspek termasuk hukum
Islam. Wahid adalah sebuah fenomena yang tidak saja menarik, tetapi juga unik dan
membingungkan, baik dalam wacana pemikiran keagamaan (baca: Islam), budaya, maupun
politik di Republik Indonesia ini. Kita sepakat bahwa Abdurrahwan Wahid adalah seorang
sosok yang nyeleneh. Dalam Bahasa Indonesia, nyeleneh berarti sesuatu yang berhubungan
dengan pikiran dan tindakan yang tidak umum, secara tradisi, budaya, dan sosial-
kemasyarakatan, bahkan juga sosial-keagamaan. Untuk memahami kenyelenehan Wahid,
bukanlah usaha yang mudah, karena dia selalu melakukan lompatan aksi dan pemikiran
yang tak bisa ditebak oleh para pengamat, bahkan tulisan beliau pun sangat kompleks (tidak
terfokus pada disiplin ilmu tertentu) dan materinya boleh dikata komprehensif, menarik,
tajam, dan selalu mengandung gagasan-gagasan cerdas, tetapi tetap saja masih menyisakan

2
ruang untuk bertanya akibat penulisannya yang singkat dan kadang terkait dengan peristiwa
atau wacana yang ngetren saat itu. Untuk memahami sosok Gus Dur, panggilan akrab
Abdurrahman Wahid, secara utuh, sebagaimana dijelaskan oleh Hairus Salim dan Nuruddin
Amin, harus dilakukan oleh banyak pengamat dari berbagai disiplin ilmu. Bukan suatu yang
salah bila dikatakan, “Gus Dur besar karena NU dan NU besar karena Gus Dur". Boleh jadi,
Gus Dur yang kita kenal sekarang takkan pernah exist sebagai tokoh nasional maupun
international tanpa kehadiran NU di sisinya. NU tidak saja telah membidani dan
membesarkan Gus Dur tetapi juga mengharumkan namanya seantero jagad Nusantara.
Boleh jadi, NU akan tenggelam dalam dunianya sendiri tanpa kehadiran Gus Dur. Untuk
memahami Wahid sebagai figur religius sangat penting juga untuk mengapresiasikannya
sebagai seorang intelektual, karena hampir tidak mungkin untuk memahami secara
sepenuhnya, jika tidak menghargai keyakinan agamanya, tanpa penghargaan terhadap sisi
intelektual. Tanpa penghargaan terhadap sisi intelektualnya tersebut tidak akan pernah
sampai pada pemahaman yang memadai tentang jalan pikirannya.

METODE PENELITIAN

Sebagai suatu analisa-filosofis terhadap pemikiran, secara metodologis penelitian ini


menggunakan pendekatan hermeneutik (hermeneutics approach). Salah satu pendekatan
hermeneutik adalah: adanya kesadaran mendalam bahwa untuk menangkap sebuah teks
tidak bisa hanya mengandalkan pemahaman gramatika kebahasaan, melainkan memerlukan
data dan imajinasi konteks sosial serta psikologis baik itu si pembicara (pengarang) maupun
pendengar (pembaca). Pendekatan hermeneutik yang akan dipergunakan dalam penelitian
ini adalah hermeneutik gramatikal,hermeneutik historical, dan hermeneutik filosofi. Yang
pertama, berfungsi untuk menulusuri segala yang berkaitan dengan kebahasaan sehingga
bisa mengartikan teks. Yang kedua, berfungsi untuk mencari sejarah, karya, dan pengarang.
Sedangkan yang ketiga, berfungsi sebagai kendali penalaran dari kedua bentuk interpretasi
lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Islam: Antara Keyakinan-Moral Versus Kelembagaan Hakikat Islam adalah ketundukan dan
kepatuhan hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai dengan penyerahan diri secara
totalitas tanpa reserve. Sikap ini, sebagai manifestasi dari hati nurani yang paling dalam
tanpa adanya paksaan, agitasi maupun intimidasi, bahwa sebagai makhluk Tuhan akan
senantiasa mengikuti segala hukum dan ketetapan-Nya. Memeluk agama Islam bagi
Abdurrahman Wahid berarti ber-Islam, dan bukan memutlakkan Islam sebagai satu-satunya
nama agama. Karena semua agama, tegasnya, ditentukan oleh keikhlasan dan kesungguhan
pemeluknya. Dalam pengamatan Said Aqiel Syiradj, tidak mustahil orang yang dalam
pengakuannya secara formal sebagai pemeluk agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha,
Konhuchu ataupun lainnya, namun hakikatnya dia itu ber-Islam. Allah tidak menuntut
manusia untuk memeluk Islam secara formalitas, mengikrarkan syahadat tetapi hatinya
justru bertolak belakang. Karenanya simbol-simbol seperti

3
sorban, jubah, peci, kubah, bukanlah standar Islam, esensinya hanya sekedar syi’ar dan
selebihnya rapuh bagaikan buih. Islam adalah agama kasih sayang, agama toleran, agama
keadilan dan sekaligus agama kejujuran. Artinya, Islam adalah keyakinan yang egaliter, yang
secara fundamental tidak mendukung perlakuan zalim (lawan adil), karena alasan agama,
suku, ras, gender, status sosial atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam
masyarakat. Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua
manusia adalah setara, bahkan status muslim dan non muslim pun setara. Pandangan
seseoran tentang Islam tersebut oleh Greg Barton disejajarkan dengan prinsip dasar Eropa
Kristen dan Yahudi di abad Pencerahan. Islam sebagai agama yang menuntut sikap toleran
dan besar hati terhadap agama lain. Dari pernyataan di atas seakan-akam ingin menyatakan
bahwa seluruh agama, sungguhpun secara formalitas peribadatan (baca: eksoteris) memiliki
perbedaan, pada hakikatnya hanya ingin membentuk sosok al-insan al-kamil (manusia
paripurna) yang memiliki akhlaq alkarimah (moralitas).

Biografi

Prof. Dr. Harun Nasution adalah seorang akademisi, intelektual, pemikir, filsuf dan tokoh
muslim Indonesia. Pernah menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah. Kelahiran: 23
September 1919 Meninggal: 1998 Pendidikan: Universitas McGil.l

Dr. K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, adalah tokoh Muslim
Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun
1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999.

Pembaharuan Harun Nasution Dan KH Abdulrrahman Wahid

Harun Nasution tentang pembaruan dalam Islam diawali dengan penjelasan modernisme di
masyarakat Barat, karena adanya keterkaitan historis. Bagi Harun Nasution, modernisme
dalam masyarakat Barat mengandung pengertian sebagai “fikiran, aliran, gerakan dan usaha
untuk merubah fikiranfikiran, faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, dan
sebagainya, untukdisesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern”.6 Seperti halnya di Barat, di dunia Islam, tegas Harun
Nasution, juga timbul fikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan
Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern itu. Melalui uraian ini tampaknya Harun Nasutiaon bermaksud
menegaskan bahwa pembaruan Islam adalah segala usaha umat Islam, baik berupa fikiran
maupun gerakan, untuk merubah dan menyesuaikan faham-faham atau pemikiran
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern Barat. Berkaitan dengan ini, menurut Din Sjamsudin,
pembaruan Islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilai-nilai
Islam dalam kehidupan Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pembaruan dalam Islam sama

4
sekali tidakberpretensi melakukan perubahan terhadap hal-hal yang prinsip dan
fundamental dari ajaran Islam. Ditinjau dari konteks kategorisasi ayat al-Qur’an atas qath’i
addilalah dan dhanni ad-dilalah, pembaruan Islam hanyalah masuk ke dalam wilayah ayat-
ayat al-Qur’an yang berkategori dhanni ad-dilalah. Meskipun demikian, yang diperbarui,
sekali lagi, bukanlah ayat-ayat al-Qur’an atau hadisnya, melainkan interpretasi ulama
terhadap ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis tersebut, khususnya yang
berkategori dhanni ad-dilalah.9 Dan itulah sebabnya jikalau digunakan teori kategorisasi M.
Amin Abdullah yang membuat klasifikasi Islam atas normatif dan historis, maka sasaran
pembaruan dalam Islam hanyalah bisa masuk pada ranah Islam historis, hasil kreasi
intelektual para ulama, dan sama sekali tidak diperbolehkan memasuki ranah Islam normatif
(al-Qur’an dan as-Sunnah). Dengan perkataan lain, sesungguhnya sasaran pembaruan dalam
Islam bukanlah merubah dan memperbarui Islam normatif yakni al-Qur’an dan al-hadis,
melainkan pembaruan terhadap hasil ijtihad pemikir Islam dalam melakukan interpretasi
dan elaborasi terhadap alQur’an dan al-hadis tersebut. Berbeda dengan Harun Nasution,
terdapat sebagian pemikir Islam lainnya yang tak melakukan pemilahan atau pembedaan
antara pembaruan (tajdid, modernism) dengan pemurnian (ishlah), sehingga ketika
dikatakan pembaruan (tajdid) dalam Islam, menurut kelompok kedua ini, maka pemurnian
Islam sudah tercakup dan inheren di dalamnya. Pemaknaan konsepsional seperti yang
disebutkan belakangan ini antara lain disampaikan oleh A. Mukti Ali dan KH. Ali Yafie.
Dengan memberikan penekanan pada purifikasi (pemurnian) dan kebebasan berfikir, A.
Mukti Ali, sebagaimana dirujuk oleh Yusril Ihja Mahendra,mendefinisikan modernisme
(pembaruan) sebagai “faham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara
mengajak umat Islam untuk kembali kepada alQur’an dan as-Sunnah dan mendorong
kebebasan berfikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-Qur’an dan al-Hadits yang
shahih.

Abdulrrahman Wahid pertama dalam pembaharuan pemikiran di dunia Islam adalah


problemdefinisi kedirian gerakan pembaharuan pemikiran itu sendiri, atau lebih tepatnya
batasanwilayah kerja pembaharuan sejauh hubungannya dengan al-Qur’an atau dalam
batastertentu juga sunnah Nabi Muhammad SAW. Maksudnya, terlihat adanya
kekaburanantara penafsiran dan mempertanyakan eksistensi dari kedua atau sebagian dari
kontensumber sakral dan utama dalam Islam itu. Ada perbedaan yang sangat jelas antara
pembaharuanterhadap Islam itu sendiri dengan pembaharuan pemikiran tentang Islam,
dalam hal inipenafsiran terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.Di dunia
Barat-Kristen, ketika terjadi kritik keras dari gerakan sekularisme, penafsiranmaupun
eksistensi sumber dan konten keduanya menjadi sasaran dan wilayah kerjanya,tidak
terbatas pada wilayah penafsiran saja. Kemenangan gagasan sekularisme dalambanyak
wilayah kehidupan publik tidak lagi hanya menambah sistem nilai gereja yang ada, tetapi
menggantinya. Substansi sistem nilai dari Injil dan gereja digantikan dengan sistem nilai
sekuler. Gereja, kitab suci dan para gerejawan secara perlahan dimarjinalkandari kehidupan
publik, atau setidaknya distigmatisasi di ruang publik yang menyebabkannya sering lumpuh
tidak berkutik lagi.Sementara, di dalam atau terhadap kedua sumber sakral itu (al-Qur’an

5
dan Hadis)dan apa yang dapat atau harus diperbaharui adalah problem kedua terpenting
yang perludidudukkan dalam rangka memperkecil resistensi dari gerakan anti pembaharuan
yangbermuara pada stagnansi tersebut. Dengan teori hudud-nya (keterbatasan),
Muhammad Shahrur menghimbau dengan nyaring para intelektual Islam pendukung
gerakan pembaharuan untuk membuka ruang penafsiran setiap ayat al-Qur’an dengan
mengabaikanistilah ayat-ayat qath‘iyyah yang selama ini diyakini oleh sebagian besar
mufassir. Semuaayat al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Namun pada saat yang sama,
Shahrur jugamengingatkan bahwa kerja pembaharuan ini dilakukan dalam batas wilayah
penafsiran,bukan menggugat eksistensi teks al-Qur’an.

Pemikiran Harun Nasution Dan Abdulrrahman Wahid

Harun Nasution adalah kemungkinan pemikiran Islam itu termasuk di bidang hukum untuk
berubah sesuai dengan tantangan zaman. Ini tercermin pada penegasannya yang berulang
kali dalam banyak tulisannya bahwa dari 6236 ayat al-Qur’an hanya 500 ayat yang
berkenaan dengan soal iman, ibadat dan muamalah serta ditambah 150 ayat tentang hal-hal
yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan fenomena alam.Dari 500 ayat di atas,
140 ayat di antaranya mengenai ibadat, 228 ayat mengenai muamalah, dan sisanya
berkenaan dengan soal iman. Kemudian dari 228 ayat ini dibagi lagi pada bidang hukum
kekeluargaan 70 ayat, perekonomian 70 ayat, hukum pidana 30 ayat, hubungan orang Islam
dengan non muslim 25 ayat, soal peradilan 13 ayat, hubungan kaya-miskin 10 ayat, dan soal
kenegaraan 10 ayat.24Ayat-ayat tentang hukum ibadat dan muamalah yang sedikit itu
hanya mengatur dasar-dasar saja. Itupun sebagian kecil ayat itu yang dalilnya bersifat
qath’iy (absolut) yang mengandung arti yang jelas tanpa dilakukan interpretasi lagi, dan
sebagian besar ayat-ayat itu bersifat zhanniy (relatif), sehingga terbuka kepada berbagai
penafsiran. Dalam sejarah pemikiran Islam di bidang hukum ayat-ayat zhanniy telah
menimbulkan berbagai macam interpretasi yang terbesar dalam banyak mazhab, antara lain
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.Jalan pikiran seperti itu dikemukakan Harun
untuk mendukung argumennya bahwa pemikiran Islam termasuk bidang hukum dapat
berubah sesuai dengan tantangan baru yang dihadapi

Menurut Pemikiran Abdulrrahman Wahid negara dalam perspektif Islam menempatkan


rakyat pada sentrum bagaimana rakyat secara otonom dapat mengembangkan
kedaulatannya. Rakyat adalah pemegang kedaulatan sedangkan konsep negara dalam
pandangan Islam terletak pada tataran realistik. Dengan tidak adanya bentuk baku negara
dan proses pergantian kekuasaan (suksesi) dalam bentuk yang tetap, yang diwariskan oleh
Rasulullah baik melalui ayatayat Al-Qur’an maupun Hadist, membawa Gus Dur pada
kesimpulan bahwa bentuk negara tidak dilandaskan pada dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadist),
melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu.72Dalam konteks pendidikan
Islam bahwa, tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk menjadikan peserta didik yang
memiliki karakter universalitas Islam, yang memiliki pandangan luas, karena Islam
mempunyai banyak aspek yang jika dipahami secara dangkal akan menimbulkan masalah

6
yang besar, saling menyalahkan antara kelompok Islam satu dengan yang lain. Jika dilihat
sejarah turunnya Islam di makkah, Nabi diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak
manusia yang jahiliyyah. Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari pesantren yang
kemudian membentuk karakter keberagamaannya yang penuh etik, formal dan struktural.
Sementara itu, pengembaraannya di Timur Tengah mempertemukan Gus Dur dengan
berbagai corak pemikiran agama, mulaidari yang konservatif, simbolik-fundamentalis
sampai pada liberal dan radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pemikiran Gus Dur dipengaruhi
oleh pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek yang
humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya memiliki andil besar
dalam kepribadiannya (Al-Zahtrouw, 1999: 32). Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga
model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultural dunia pesantren
yangsangat hirarkis, tertutup dan penuh etika serba formal. Kedua, dunia Timur Tengah
terbuka dan keras. Ketiga, dunia Barat yang liberal, rasional dan sekuler. Ketiga model
lapisan budaya tersebut masuk ke dalam diri Gus Dur dalam membentuk pribadi sinergi,
sehingga ia selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami (Al-Zahtrouw, 1999: 32).Menurut
Munawar (2010: 79), pemikiran keagamaan Gus Dur juga dipengaruhi oleh pemikiran
ayahnya, Wahid Hasyim.Secara umum, pemikiran Islam dan pluralitas Abdurrahman Wahid
bermula pada pemahaman kepada Islam, yang intinya adalah bahwa seluruh risalah samawi
yang diturunkan disebut Islam, yang dalam arti umumnya berarti penyerahan diri secara
sempurna atau ketundukan penuh kepada perintah Allah. Sementara Islam yang digunakan
dalam makna spesifik mengacu kepada versi Islam terakhir yang dibawa oleh Nabi
Muhammad s.a.w.. Namun, perlu ditegaskan di sini bahwa dalam keyakinan Wahid, Islam
yang diwahyukan kepada Muhammad s.a.w. lah adalah yang terbaik. Islam yang dimaksud
oleh Wahid adalah pemahaman atau wawasan keislaman yang terbuka, luwes, dan toleran.
Terbuka memiliki makna bahwa Islam memberikan peluang kepada manusia untuk
mengkritisinya, jika kebenaran atau hikmah yang disampaikan tersebut, maka seorang
muslim harus berlapang dada untuk menerimanya, dari siapa atau apa pun datangnya.
Luwes bermakna mau berhubungan dengan pihak lain, tanpa rasa canggung, dan juga tanpa
melihat perbedaan yang ada, baik agama, kepercayaan, maupun asal usul. Toleran
bermakna menghormati perbedaan yang ada, baik dengan yang seagama atau sekeyakinan
maupun dengan yang berbeda agama atau keyakinan. Pemahaman yang demikian bertolak
dari nilai-nilai dasar Islam, dengan ide yang utama “Islam sebagai ajaran kasih sayang untuk
dunia” (rahmatan lil ‘alamin). Implikasi dari pemikiran Islam dan pluralitas adalah
keberanian untuk membongkar selubung kusam berupa dunia penghayatan Islam yang
bercorak doktrinal dan dogmatis. Pemahaman dan pelaksanaannya lebih menekankan
kepada nilai dasar Islam, bukan kepada simbol belaka. Penekanan yang berlebihan atau
keterjebakan terhadap simbol keagamaan justru mengandung bahaya kontraksi, distorsi,
dan reduksi ajaran agama itu

sendiri, semangat penekanan terhadap simbol agama tersebut sering sekali tidak sesuai
dengan substansi ajaran agama itu sendiri.

7
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, pembaharauan dalam islam ,11.

Lihat,Harun Nasution, “tajdid:sebuah respond terhadap perubahan” ,dalam jurnal pesantren


, No.1/Vol.V/1988,34.

Al Hurriyah,Vol.11,No.2,juli-Desember 2010 Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam


Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

_____. 1987. “Metode berfikir yang Diperlukan Umat Islam di

Zaman Kemajuan Pengetahuan Tekhnologi Modern”. dalam Dialog,

_____. 1988. Ijtihâd: Sumber Ketiga Ajaran Islam, dalam Ijtihâd dalam Sorotan. Bandung:
Mizan.

____. 2000. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun. Bandung; Mizan

____. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UIPress

Barton, G. (2003). Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. cet
ke-2. Lie Hua (penerj.). Yogyakarta: LkiS.

Effendy, B. (2001). Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Perbincangan Mengenai


Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan. Cetakan kesatu. Yogyakarta: Galang
Press.

Hanafi, H. (2003). Cakrawala Baru Peradaban Global, Revolusi Islam untuk Globalisme,
Pluralisme, dan Egaliterisme antar Peradaban, Muhammad Saeful Anam dan Abduh
(penerj.).

Yogyakarta: IRCiSoD, cetakan pertama.

Hidayat, K. (2003). Cak Nur dan Gus Dur dalam Sukandi A.K. (ed.). Prof. Dr. Nurcholish
Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Cetakan kedua. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai