Anda di halaman 1dari 7

PAPER

KONSEP RASIONALISME DALAM ISLAM BERDASARKAN


PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

Dosen Pengampu : Drs.Tri Yuniyanto, M. Hum

Disusun oleh :

Nama : Victor Antonio Jevon

NIM : K4419077

PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSTAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


PENDAHULUAN

Salah satu ciri pemikiran teologi modern adalah adanya konsep rasionalitas. Islam
juga termasuk salahsatu dari sekian banyak agama yang terkena pengaruh modernisasi
tersebut. Banyak tokoh Islam yang mencoba melakukan pemikiran itu di antaranya adalah
Muhammad Abduh. Beliau adalah seorang tokoh salaf yang menghargai kekuatan akal dan
tetap memegang teks-teks agama, meskipun ia tidak menghambakan diri pada teks-teks
agama tersebut.

Muhammad Abduh seorang Pemikir Pembaru Islam yang sangat berpengaruh di


dalam sejarah pemikiran Islam. Pemikirannya membawa dampak yang signifikan dalam
berbagai tatanan kehidupan pemikiran masyarakat yang didalamnya meliputi aspek
penafsiran Al-Qur'an, pendidikan, social masyarakat, politik, peradaban dan sebagainya.
Pengaruh pemikiran beliau sangat kuat tertanam dan memiliki pengaruh yang besar bagi
kehidupan umat Islam, baik di negeri kelahirannya Mesir, maupun dunia Arab lainnya,
bahkan sampai ke dunia Islam luar Arab seperti Indonesia. Kelahiran gerakan pembaharuan,
seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Persaturan Islam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
pemikiran Muhammad Abduh. Bahkan pemikirannya tentang modernisme begitu dikenal dan
banyak menjadi rujukan bagi para pemikir Barat.

Dalam melakukan reformasi pemikiran, Muhammad Abduh berusaha


menyeimbangkan antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka
yang berlebihan dalam mengikuti Barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka
miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode
pembaharuannya: sesungguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan
belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu. Yang
dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu
Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.
Paradigma berpikir Muhammad Abduh yang demikian didasari oleh asumsi bahwa dalam
agama Islam mengandung konsep agama rasional. Asumsi tersebut didasari oleh sumber-
sumber ajaran agama Islam sendiri yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mana isinya tidak
hanya sebatas kodrat illahiah saja akan tetapi dapat diuji dan dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat ini. Hal tersebut selaras dengan konsep
yang dipegang oleh kaum ahlusunnah wal jamaah bahwa manusia hidup sebagai makhluk
yang telah ditentukan takdirnya akan tetapi juga harus melakukan ikhtiar atau usaha nyata.
PEMBAHASAN

Dalam bidang akidah, Menurut pendapat Muhammad Abduh bahwa Jalan yang
dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu semata-mata melainkan akal.15Akal
dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan
dan wahyu, turun untuk memperkuat pengetahuan akal itu dan untuk menyampaikan kepada
manusia apa yang tak dapat diketahui akalnya. Aql dalam bahasa arab (akal) bisa diartikan
sebagai tali pengikat. Ia adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang
menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal semacam itulah yang menjadi
tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya, karena yang demikian itulah yang
menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapa pun akan terjerumus walau memiliki
pengetahuan teoritis yang sangat dalam. Manusia memiliki keistimewaan dan martabat yang
tinggi karena akalnya. Karena itu, akal dan rasulnya adalah merupakan rahasia Allah
kepadamu, dengannya kamu mengenal Allah dan mengenal dirimu, mengenal permulaanmu
dan kesudahanmu, kamu mengetahui tempatmu dari wujud yang kamu berada di dalamnya.
Dalam hal ini, akal dapat memberi tuntunan dan aba-aba kepada manusia, untuk mencari
jalan hidupnya.

Bagi Muhammad Abduh, Islam adalah agama yang rasional , agama yang sejalan
dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran rasional ini menurut Abduh
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah sempurna, bila tidak didasarkan
atas akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akal-lah yang
menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan pada rasul.
Rasionalisme yang mendasar dalam pikiran Abduh menyebabkan ia menolak taqlid dan
menerima penafsiran (ta’wil) berdasarkan asal ketimbang menerima terjemahan literal
mengenai sumber-sumber agama. Pernyataan tersebut, pada dasarnya Muhammad Abduh
mengajak kita untuk berpikir kreatif dan melarang kita berdiam diri dengan keadaan yang
ada. Ia mengajak untuk melakukan ta’wil terhadap nash-nash Al-Qur'an yang tidak bisa kita
pahami. Ia juga menegaskan lewat buku-bukunya agar memisahkan pemahaman tentang
eksistensi dan karakter ajaran agama yang seutuhnya dengan hasil pemikiran orang-orang
yang hanya mengaku dirinya sebagai agamawan. Bagi Muhammad Abduh, akal mempunyai
daya yang kuat. Dengan akal, manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di
akhirat.
Sementara itu dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu
Al-Qur'an sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dala
memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Menurutnya syariat itu ada dua macam yaitu qat’i (pasti) dan
zhanni (tidak pasti). Hukum syariat pertama wajib bagi setiap muslim mengetahui dan
mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Sedangkan hukum syariat jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti.

Jenis hukum yang tidak pasti inilah yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad
para mujtahid. Dengan demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan
tabiat manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin
diwujudkan. Bencana akan timbul ketika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dijadikan
tempat berhukum dengan “taklid buta” tanpa berani mengkritik da mengajukan pendapat lain.
Sikap terbaik yang harus diambil umat Islam dala menghadapi perbedaan pendapat adalah
kembali kepada sumber aslinya, Al-Qur'an dan al-Sunnah. Setiap orang yang memiliki ilmu
yang mumpuni maka dia wajib berijtihad, sedang bagi orang yang awam, bertanya kepada
orang yang ahli dalam agama adalah sebuah kewajiban.

Ada dua hal yang mendorong Muhammad Abduh untuk menyerukan ijtihad, yaitu
tabiat hidup dan tuntunan (kebutuhan) manusia. Kehidupan manusia ini berjalan terus dan
selalu berkembang, dan didalamnya terdapat kejadian dan peristiwa tidak dikenal oleh
manusia sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang ideal dan praktis bisa dijalankan untuk
menghubungkan peristiwa-peristiwa hidup yang selalu timbul itu dengan ajaran-ajaran Islam
Kalau ajaran Islam tersebut harus berhenti pada penyelidikan ulama terdahulu, maka
kehidupan manusia dalam masyarakat Islam akan menjadi jauh dari tuntunan Islam, sesuatu
hal yang akan menyulitkan mereka, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam
kehidupan bermasyarakat. Akibatnya ialah nilai Islam akan menjad berkurang dalam jiwa
mereka, karena kehidupan mereka dengan segala persoalannya lebih berat tekanannya
(timbangannya), atau mereka tidak akan sanggup mengikuti arus hidup dan selanjutnya
mereka akan terasing dari kehidupan itu sendiri, serta berlawanan dengan hidup dan hukum
hidup juga. Ijtihad menurut Abduh bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan.
Tetapi yang dimaksudkan bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad, melainkan hanya
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad. Bagi yang tidak memenuhi
syaratnya, harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui fahamnya. Ijtihad ini dijalankan
langsung pada Al-Qur'an dan Hadis, sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam.
Adapun pengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh itu cukup luas, tidak saja
terbatas di tanah airnya Mesir, telah menimbulkan ulama-ulama modern seperti Mustafa al-
maraghi, Mustafah Abd Raziq, Tantawi Jauhari, Ali Abd al-Raziq dan Rasyid Ridha,
pengarang-pengarang dalam bidang agama seperti Farid Wajdi, Ahmad Amin, Qasim Amin,
dan muhammad Husain Haikal, pemimpin politik seperti Sa’ad Saghlal, Bapak kemerdekaan
Mesir, dan Lutfi al-Sayyid dan sastrawan-sastrawan Arab seperti Taha Husain, al-Manfaluti,
dan Ahmad Taimur.

Di Indonesia sendiri dikatakan bahwa gerakan pembaruan yang dicetuskan al-Irsyad


dan Muhammadiyah dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh melalui majallah al-
Urwah al-Wusqa, majalah al-Manar, Tafsiral-Manar dan Risalah al-Tauhid. Ungkapan itu ada
benarnya, kalau yang dimaksud dengan pengaruh adalah butir-butir tertentu dari
pemikirannya seperti pendapatnya kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis, tidak wajib
berpegang pada mazhab tertentu, memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam
kurikulum, pendidikan agama, tidak haram memakai pakaian Eropa dan sebagainya.

Dasar pemikiran atau teologinya menurut Harun Nasution, tidak kelihatan


pengaruhnya dalam masyarakat Islam Indonesia. Pengaruhnya yang ada di Indonesia tidak
menimbulkan pemikir-pemikir ulung dalam bidang agama Islam, seperti yang ditimbulkan
pengaruh yang ditinggalkan di Mesir setelah beliau wafat. Namu karangan-karangannya
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, Urdu dan Indonesia.

Dalam pandangan Ahmad Dahlan mengatakan bahwa dengan membaca buku-buku


karangam Ibnu Taimiyah, Ibn Qayyim, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamaluddin al-
Afghani, Muhammad Abduh dan pernah bertemu Rasyid Ridha. Bermula dari sinilah, Dahlan
menemukan bentuk dan keyakinan agama yang mantap yang tidak jauh dari paradigma
pemikiran Wahabi dan kaum modernis di Mesir.60 Dengan demikian dapat dipahami bahwa,
meskipun Muhammad Abduh dan kawan-kawannya melakukan pembaruan (modernis) dalam
bidang pendidikan dan politik. Tapi tidak nenutup kemungkinan adanya memperbarui dalam
bidang akidah atau keyakinannya. Jelasnya bahwa, seluruh aktivitas Muhammad Abduh bisa
dikatakan telah mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan dan
keterbelakangan. Ia adalah seorang mujtahid sekaligus mujaddid pada masanya.
PENUTUP

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu: pertama,
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir rasionalis dan pembaru Islam yang sangat
berpengaruh di dalam sejarah pemikiran Islam. Menurut Muhammad Abduh, akal
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama, karena akal dapat mengetahui Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, begitu juga kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan manusia untuk
memperoleh kebahagiaan kelak. Meskipun akal memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam pandangan Muhammad Abduh, akan tetapi tidak menjadikan manusia untuk
menghamba kepada akal nya. Maksudnya adalah, akal dan pikiran manusia sehebat apapun
tetap memiliki batas yang tidak bisa dilampauinya. Wahyu adalah sebagai pengendali atas
akal yang menjadi tabiat alami manusia. Kedua, Muhammad Abduh berusaha untuk menjadi
titik tengah yang menyeimbangkan antara golongan yang sangat berpegang teguh pada taqlid
buta dan golongan yang sangat berlebihan dalam mengikuti akalnya sehingga
mengesampingkan wahyu illahi. Dengan akal, maka manusia akan bisa mengikuti
perkembangan zaman yang dinamis sehingga tidak mengalami ketertinggalan peradaban.
Dengan wahyu, manusia memiliki kontrol atas dirinya sehingga tidak akan melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan agama dan tidak terjerumus kedalam hal-hal yang
mengakibatkan sengsara dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ketiga, pemikiran Muhammad
Abduh memiliki pengaruh yang luas dikalangan bangsa Arab dabn bangsa non Arab
termasuk Indonesia. Berbagai gerakan organisasi Islam seperti Pan Islamisme di Mesir, serta
Al-Irsyad dan Muhammadiyah di Indonesia merupakan hasil dari buah pikiran Muhammad
Abduh yang telah diserap dan diamalkan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1412H/1992 M. Risalah al-Tauhid. Beirut-Lubnan: Dar Ihya al-‘Ulum.

Syihab, M. Quraisy. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar.Jakarta : Pustaka Hidayah.

Abbas, Nurlaelah. 2014. Muhammad Abduh : Konsep Rasionalisme Dalam Islam. Jurnal
Dakwah Tabligh. Vol. 15, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai