Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Filsafat Abdullah Ahmad bin Na’im (Naskh wal mansukh)


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam Kontemporer
Dosen: Dr. Mohamad Hudaeri, M.Ag.

Oleh:
Kelompok 4
Akhmad Fajron (171320043)
Ichlasul Niat (171320058)
Lathifatul Muniroh (171320074)

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN
BANTEN
2019 M/ 1441 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


kami rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini bertujuan untuk melatih
ketajaman berfikir dan kekompakan dalam kelompok untuk menyatukan beberapa
pemikiran yang berbeda menjadi makalah yang baik.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Muhammad Hudaeri


selaku Dosen mata kuliah Filsafat Islam Kontemporer yang telah memberikan
kami pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan benar.

Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca sangatlah diharapkan, atas kritik dan sarannya kami
mengucapkan terima kasih.

i
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap muslim meyakini bahwa segala tingkah laku didunia ini
pasti ada aturan dasar yang bersumber dari Allah SWT, seandainya tidak
ditemukan secara jelas dan langsung pada perintah Allah tentu akan
ditemukan pada apa yang tersirat didalamnya. Seandainya tidak ditemukan
pada apa yang sudah tersirat itu pasti akan ditemukan pada maksud Allah
dalam menetapkan perintahnya dengan menggunakan akal yang secara
popular yang disebut ijtihad.1
Ijtihad merupakan sumber hukum yang ke tiga setelah al-qur’an
dan as-sunnah. Ijtihad adalah buah pikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya
untuk memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat
dalam al-qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat
dalam hadist dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat
diterapkan pada suatu kejadian tertentu.2
Dalam perspektif dilema fundamental ini muncuk persoalan yang
membuat proses nasikh lebih awal dan konklusif. Umat Islam modern
tidak diberi kesempatan untuk menilai kembali alasan-alasan dan
penerapan nasikh sehingga mereka dapat menerapkan ayat-ayat al-qur’an
yang sampai sekarang ini dianggap terhapus, dengan demikian membuka
kemungkinan-kemungkinan baru bagi pengebangan prinsip-prinsip hukum
publik islam alternatif. Sejumlah penulis muslim modern telah
membicarakan masalah ini, sebagian mereka telah mengharmonisasi dan
mempertemukan ayat-ayat yang secara mencolok bertolak belakang, yang
lain sama sekali menolak teori nasikh.

1
Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran Abdullah
Ahmad An-Na’im”, Skripsi, (Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syariah UIN Malang,
2010), hal. 1.
2
Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran Abdullah
Ahmad An-Na’im”, hal. 2.

1
An-naim yang dikenal dengan konsep nasakhnya dalam berijtihad
ini berpendapat, sumber-sumber dan perkembangan syari’ah itu akan
menunjukan bahwa syari’ah yang dipahami seperti umat islam selama ini
tidaklah bersifat illahiyah (wahyu langsung dari Allah) melainkan tidak
lebih dari produk proses penafsiran dan penjabaran logis dari teks al-
qur’an dan sunnah serta berbagai tradisi lainnya.3
Dari beberapa uraian di atas, ijtihad dalam pemikiran An-naim
memiliki tujuan baik yaitu menunjukan bahwa hukum islam itu sebagai
ajara yang dinamis dan tidak statis, islam tidak menolak sains dan
teknologi umat manusia, bahkan islam sangat mendorong kemajuan, pro
dan kontra seputar ijtihad akan segera tuntas dengan dihadirkannya
pemikiran rekonstruktif mengenai metode syarat-syarat ijtihad, bidang
kajian dan tujuan akhir dari ijtuhad sebagai tuntutan dari aktualisasi fiqih
islam.

B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Abdullah Ahmad An-Na’im?
2. Bagaimana kondisi politik pada masa Abdullah Ahmad An-Na’im?
3. Apa saja karya-karya Abdullah Ahmad An-Na’im?
4. Bagaimana pemikiran Abdullah Ahmad An-Na’im?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui siapa Abdullah Ahmad An-Na’im
2. Mengetahui kondisi politik Abdullah Ahmad An-Na’im
3. Mengetahui karya-karya Abdullah Ahmad An-Na’im
4. Mengetahui pemikiran Abdullah Ahmad An-Na’im

3
Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran Abdullah
Ahmad An-Na’im”, hal. 4.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Abdullah Ahmad Bin Na’im

Abdullah Ahmed An-Na’im (untuk selanjutnya dipanggil An-Na’im) adalah seorang


aktivis HAM dunia Internasional. Lahir di Sudan pada tanggal 19 november 1946. ia
meyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum Sudan dan mendapat gelar LL.B dengan
predikat cumlaude. Tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1973 an-Naim mendapat tiga
gelar sekaligus LL.B, LL.M., dan M.A. (Diploma dalam bidang kriminologi) dari University
of Cambridge, English. Pada tahun 1976, dia mendapat gelar Ph.D, dalam bidang hukum dari
University of Edinburgh, Scotland, dengan disertasi tentang perbandingan prosedur
prapercobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, dan Sudan).

Setelah menyelesaikan studinya di bidang hukum, an-Na’im kembali ke sudan, mengabdi


kepada bangsanya sebagai jaksa, pengacara dan dosen pada universitas khartoum. Selain
mengajar, an-Na’im menjadi corong pemikiran-pemikiran gurunya, yaitu Mahmud Muhammad
Thoha, salah satunya teori nasakh yang sebelumnya dikembangkan oleh gurunya. Menjelang
tahun 1979, an-Na`im menjadi kepala departemen publik di fakultas hukum khartoum. Ia
sebagai sosok intelektual muda yang aktif dan brilian dalam berbagai diskusi dan seminar hukum
di Sudan. Selain itu juga ia aktif menulis berbagai artikel dalam berbagai jurnal, baik yang
bersekala nasional,maupun internasional. Ia menetap di Amerika Serikat.

B. Kondisi Sosial Politik

An-Na’im tidak hanya bergelut dalam di bidang pendidikan, tetapi ia juga aktif di bidang
politik. Yang diawali dengan kekagumannya pada Muhammad thoha. Tokoh fundamental
reformis modern Sudan. Setelah beberapa tahun mengenal Muhammad Thoha dan aktif di
berbagai diskusi bersamanya, akhirnya ia dengan resmi aktif dan bergabung dalam partai politik
yang di pimpin oleh Muhammad Thoha sendiri. The republican brotherhood pada tahun 1986
partai ini sebagai balance of power terhadap partai-partai nasionalis yang ada di Sudan yang
banyak berlandaskan pada ajaran Islam ortodok tradisional, tujuan Thoha dalam berdirinya The
republican brotherhood adalah untuk memunculkan citra islam yang modern melalui jalur
politik.

3
Untuk mendapatkan tujuan yang ia impikan, Thoha mendapat berbagai tantangan dan
kecaman dari lawan-lawan politiknya, kaum ortodok tradiosional penguasa saat itu. Di bawah
komando Numeiri, aktifitas The republican brotherhood disabotase, dan Thoha sendiri di
penjara baik secara fisik maupun intelektual. Puncak kediktaktoran Numeiri adalah pada tahun
1985 ia memvonis terhadap Thoha dan sejumlah elit pengikutnya dengan tuduhan Thoha dan
pengikutnya adalah murtad dan menyimpang dari tradisi keagamaan yang berlaku umum di
Sudan. Setelah dua bulan (76 hari ) dilaksanakan eksekusi atas Muhammad Thoha, pemeritahan
jendral Numeiri digulingkan lewat suatu pembrontakan dan kudeta pada tanggal 6 april 1985
peristiwa ini menurut An-Naim, banyak di pengaruhi oleh pemikiran cemerlang Mohammad
Thoha. Setelah wafatnya Muhammad Thoha The republican brotherhood hengkang dari
aktifitas politik Sudan, kelompok ini banyak aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. An-
Naim sendiri selaku tokoh sentral dalam gerakan ini berusaha keras mentrasformasikan
pemikiran Thoha tentang metode nasakh yang tertuang dalam al-risalah ast-tsaniyah minal-
islam. Kemudian An-Naim menjadi penerus Muhammad Thaha, sehingga menghasilkan karya
Toward an Islamic Reformation civil liberaties human right and internasional law.

C. Karya – karya Abdullah Ahmad An-Naim


Pemikir asal Sudan ini banyak sekali menghasilkan karya-karya diantaranya :

1. Toward an Islamic Reformation : Civil Liberaties, Human Right, and


International Law, pada tahun 1990
2. Islam dan Negara Sekular (menegosiasi masa depan syariah) pada tahun
2007
3. Toward an Islamic Reformation : Islamic law in History and Society
Today, pada tahun 1994 4
4. Nahwa Tathwir al-Tasyri’ al-Islam
5. Dekonstruksi Syariah : Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan
Hubungan International dalam Islam tahun 1994 5

4
Dedi Sumardi, Hudud dan Ham (Artikulasi Golongan Hudud Abdullah Ahmad An-
Naim), Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Jurnal MIQOT, Volume XXXV, No.2, Juli-Desember
2011
5
Ulumna, Jurnal Study Keislaman Volume XII, Nomor 1,Juni 2008 , hal 128

4
6. Syariat dan Hukum Positif di Negara Modern, dalam jurnal Taswir Afkar
tahun 2002.

D. Pengertian Nasikh dan mansukh

Nasikh secara etimologi memeiliki beberapa makna, di antaranya al-izalah wa


al-i’dam (menghapus atau menghilangkan), at-taghyir wa al-ibthal wa iqamah
asy-syai maqamahu (mengganti atau menukar), at-tahwil ma’a baqo i’hi fi
nafsihi/at-tabdil (memalingkan/memindahkan), dan an-naql min Kitab ila Kitab
(menyalin/mengutip).6

Menurut Az-Zarqani, naskh secara umum mengandung 2 makna. Pertama,


menghilangkan sesuatu dan memindahkannya (izalah asy-syai’ wa i’damuh).
Dalam Q.S Al-Hajj: 52. Kedua, Memindahkan sesuatu atau mengubahnya, tetapi
substansinya tetap, seperti mengolah madu menjadi bentuk lain. Demikian pula,
tanasukh al-mawarith, artinya berpindahnya warisan dari satu kaum kepada kaum
yang lain.7

Quraish Shihab, dalam penelitiannya menemukan kata nasakh di dalam Al-


Qur’an dalam berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu pada: Q.S Al-Baqarah:
106, Al-A’raf: 154, Al-Hajj: 52, dan Al-Ghasiyah: 298

Shubhi As-Shalih berpendapat bahwa telah cukup panjang perdebatan Ulama


dalam mengartikan Nasikh secara Istila. Sebagian mengartikan dengan al-izalah
berdasarkan dari Q.S Al-Hajj: 52. Sebagian mengartikan dengan at-tabdil yang
berdasarkan pada Q.S An-Nahl: 110, dan ada yang mengartikan dengan at-tahwil
berdasarkan pada ungkapan tanasukh al-mawaris, ada juga yang mengartikannya
dengan an-naql pada kalimat naskh al-kitab.

Adanya perbedaan pendapat dalam mengartikan naskh ini disebabkan arti


secara lughat (bahasa) dan istilah terdapat ikatan yang sulit untuk diberikan

6
Rachmat Syafei. Ilmu Tafsir, (Bandung, Agustus 2016) Cet-1. hal. 345
7
Rachmat Syafei. Ilmu Tafsir, (Bandung, Agustus 2016) Cet-1. hal. 346
8
Hasan Asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam Al-qur’an, jurnal. (1 Februari 2016)
UIN Walisongo Semarang, hal. 64

5
batasannya. Pendapat yang masyhur tentang nasikh ini adalah raf al-hukm al-
syari’at bid dalil asy-syar’i. Definisi ini membawa pada pengertian bahwa nasikh
mangandung arti izalah dan raf. Selanjutnya, apabila hukum syar’i hanya bisa
dihapus oleh hukum syar’i, timbul persoalan, apakah nasikh hanya berlaku antara
Al-Qur’an dan Al-Qur’an, tidak dengan sunnah.

Ahmad Adil Kamal membuat takrif lain tentang nasikh, yakni terangkatnya
hukum syar’i terdahulu dengan nash yang datang kemudian serta adanya tenggang
waktu (at-tarakhi) di antara keduanya. Maksudnya, antara nasikh dan mansukh
ada suatu masa bahwa mansukh itu positif dan tetap (al-ijab wa ats-tsubat), dan
seandainya tidak ada nasikh, perbuatan tetap seperti yang lalu.9

E. Gagasan Naskh wal Mansukh Pemikiran Abdullah Ahmad an-Naim

Interpretasi yang bermacam-macam terhadap konsep naskh menjadikan


perdebatan para ulama, baik secara etimologis maupun terminologis. Perbedaan
yang cukup mendasar menurut An-Na’im juga berangkat dari ayat yang selama ini
dianggap ayat legalitas bagi berlakunya teori naskh, yaitu surat al-Baqarah (2):
106. Dalam mengartikan naskh, An-Na’im mengikuti gurunya Taha dimana ma
nansakh diartikan dengan telah dihapuskan beberapa teks pra-Islam. Sedang
nunsiha diartikan sebagai menunda pelaksanaannya atau penerapannya.10
Dalam hal ini An-Na’im memberikan penjelasan perbedaan antara Makkiyyah dan
Madaniyyah, An-Na’im menerapkan kata-kata dari gurunya yakni Thaha yang
mengatakan:
“Ayat-ayat Makkiyyah, sebaliknya, dibedakan oleh beberapa
pigura, sebagai contoh, setiap surat yang memuat tentang
penyembahan kepada Allah, atau yang di mulai dengan urutan
abjad, merupakan ayat-ayat Makkiyyah dengan pengecualian
surah al-Baqarah dan Ali Imran (surah ke 2 dan ke 3) yang
termasuk ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat Makkiyyah ini biasanya
dimulai dengan kata: “hai manusia”, “hai anak Adam”, kecuali
surah al-Baqarah dan an-Nisa.”
9
Rachmat Syafei. Ilmu Tafsir, (Bandung, Agustus 2016) Cet-1. hlm. 347
10
Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran Abdullah
Ahmad An-Na’im”, hal. 47.

6
Setelah kita lihat dengan apa yang telah disampaikan, ada beberapa
perbedaan tema dari ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah yang merupakan ciri
khas masing-masing. Kekhususan ayat-ayat Makkiyyah disebabkan masyarakat
yang dituju ayat-ayat Makkiyyah adalah masyarakat kafir yang menyembah
berhala dan tidak mau beriman, bahkan memusuhi orang-orang mukmin dan
menyiksanya. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah turun pada masyarakat yang
beriman yang tinggal di Madinah pada saat itu.
An-Na’im berpendapat bahwa perlu adanya pembatasan persoalan naskh
yang selama ini menjadi perbincangan di kalangan ulama dalam berbagai buku
tafsir maupun ushul fiqih. Naskh yang menjadi konsentrasi pembahasan an-Na’im
adalah masuk dalam katagori naskh al-hukm duna al-tilawah. 11 Sebagaimana
yang ditulis oleh kebanyakan ulama naskh terbagi menjadi tiga katagori. Pertama,
dihapus teksnya akan tetapi hukumnya tetap. Kedua, dihapus kedua-duanya dan
ketiga, dihapus hukumnya akan tetapi teksnya tetap.
Nasakh yang dimaksud an- Na’im adalah suatu teks masih menjadi bagian
Alquran tetapi dianggap tidak berlaku secara hukum. Hal ini didasarkan atas
pembedaan antara surat Alquran yang diwahyukan selama periode Makkah dan Madinah.
Surat Makkah lebih memperhatikan masalah spiritual dan cakrawala keagamaan, sedangkan
surat Madinah memperhatikan problem politik, sosial dan hukum menjadi lebih ditekankan.12
An- Na’im menegaskan bahwa kaum Muslim bebas menemukan ayat-ayat mana yang sesuai
dengan kebutuhan spesifik mereka. Dengan kata lain bahwa syari’ah historis yang
dimaksud an-Na’im hanya berlaku bagi masyarakat muslim masa lampau, sedangkan bagi
masyarakat sekarang adalah menerapkan ayat-ayat yang menekankan konstitusionalisme, hak
asasi manusia dan internasionalisme.
An-Na’im dengan teori naskh yang diadopsi dari gurunya ingin
mengatakan bahwa ayat yang digunakan sebagai basis hukum Islam pada saat ini dicabut dan
digantikan dengan ayat yang terhapus untuk dijadikan basis hukum Islam modern. Teori naskh
yang dikedepankan oleh an-Na’im seirama dengan teori fenomenologi yang dibangun
Edmund Husserl. Dimana teori tersebut membiarkan fakta (Alquran) berbicara apa adanya

11
Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran Abdullah
Ahmad An-Na’im”, hal. 49.
12
M. Arkoun, Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, (Yogyakarta:
LKiS, 1996), hal. 18

7
tanpa ada penilaian subyektif. Namun salah satu kelemahan pendekatan an-Na’im
adalah perhatiannya yang terlalu besar terhadap teori naskh, karena hanya sebagian
kecil saja ayat-ayat madaniyah yang berfungi sebagai nasikh bagi ayat-ayat Makkiyah,
selebihnya ayat-ayat tersebut berfungsi sebagai tafshilal-mujmal, takhshish al-aam, taqyid
al-muthlaq dan sebagai penyempurna.

Contoh-contoh Nasikh versi An-Na`im :


a. Dalam masalah poligami
Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3 mensyaratkan keadilan diantara istri
sebagai persyaratan poligami
َ َ‫سا ِء َم ۡثن ََٰى َوث ُ َٰل‬
ْ‫ث َو ُر َٰ َب َۖ َع فَإ ِ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم أ َ اَّل تَعۡ ِدلُوا‬ َ ِ‫اب لَ ُكم ِمنَ ٱلن‬
َ ‫ط‬َ ‫طواْ فِي ۡٱل َي َٰتَ َم َٰى فَٱن ِك ُحواْ َما‬ ُ ‫َو ِإ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم أ َ اَّل ت ُ ۡق ِس‬
٣ ْ‫فَ َٰ َو ِحدَةً أ َ ۡو َما َملَك َۡت أ َ ۡي َٰ َمنُ ُك ۡۚۡم َٰذَلِكَ أ َ ۡدن ََٰى أَ اَّل تَعُولُوا‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Makakawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat.Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yangdemikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”13

Dan karena ayat 129 menyatakan bahwa keadilan yang dipersyaratkan itu tidak
mungkin dicapai dalam praktik, Allah Berfirman :

ْ‫سا ِء َولَ ۡو َح َرصۡ ت ُ ۡ َۖم فَ ََل ت َِميلُواْ ُك ال ۡٱل َم ۡي ِل فَتَذَ ُروهَا ك َۡٱل ُمعَلاقَ ۚۡ ِة َوإِن تُصۡ ِل ُحواْ َوتَتاقُوا‬ ِ َ‫َولَن ت َۡست َِطيعُواْ أَن ت َعۡ ِدلُواْ َب ۡين‬
َ ‫ٱلن‬
ٗ ُ‫ٱَّللَ َكانَ َغف‬
١٢٩ ‫ورا ار ِح ٗيما‬ ‫فَإ ِ ان ا‬

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamumengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), MakaSesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”14

13
QS.An-Nisa: 3.
14
QS.An-Nisa: 129.

8
Maka selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya maksud Alquran adalah menghapuskan
poligami. Jadi seluruh teks itu disebut oleh para intelektual muslim modern dalam rangka
mendukung pembatasan poligami, tetapi justru membolehkan poligami untuk suatu
pengecualian. Pertama, membatasi bilangan istri hanya sampai empat orang,
itupun hanya boleh jika suami mampu berbuat adil. Syarat ini dirasakan amat
sangat berat jika tidak ingin dikatakan mustahil dapat dipenuhi. Kedua, membatasi
alasan poligami: poligami hanya dibolehkan semata-mata demi menegakkan
keadilan, bukan dalam rangka memuaskan nafsu biologis. Itupun ternyata lebih
sulit dipenuhi.
b. Otoritas laki-laki atas kaum perempuan
Dalam QS. An-Nisa:34
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena kelebihan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”
Ayat ini mempresentasikan diskriminasi terhadap perempuan. Kedudukan
perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Perempuan lebih rendah. Hal ini
menurut an-Na’im tidak dapat dibenarkan karena pada hakikatnya pembatasan terhadap kaum
perempuan itu sering diabaikan dalam hal praktik.15 Dalam hal ini an-Na’im sepakat dengan
yang dikatakan Imam Hanafi bahwa seorang wanita dapat berperan sebagai hakim dengan
landasan ayat di atas.
F. Pelaksanaan dan relevansi naskh An-Na’im
An-Na’im berpendapat bahwa mungkin saja bahkan wajib untuk memikirkan
kembali alasan dan penerapan nasikh demi kebutuhan pembaruan hukum islam, kebolehan
menggunakan teori nasikh bukan hanya otoritas ulama perintis. Umat Islam komtemporer juga
memiliki hak yang sama untuk melakukan itu sesuai dengan kebutuhan zamannya. Untuk
mendapatkan support bagi langkahnya ini, an-Na’im sengaja mencari penguatan lewat
pendekatan evolusi yang penah ditawarkan gurunya yaitu Mahmud Muhamad Thaha.
Menurutnya yaitu :
Evolusi adalah perpindahan dari satu teks (Alquran) ke teks yang lain, dari teks yang
pantas untuk mengatur abad tujuh yang telah diterapkan, kepada teks yang waktu itu terlalu

Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran


15

Abdullah Ahmad An-Na’im”, hal. 63.

9
maju dan oleh karena itu ditunda hingga waktunya tepat. Metode nasikh yang ditawarkan an-
Na’im jelas berbeda dengan teori yang ada selama ini, sampai sekarang nasikh lebih
memperhatikan waktu turunnya ayat. Ketika ayat-ayat Madaniyyah dinilai berlawanan
dengan ayat-ayat Makkiyyah ayat Madaniyyah yang datang belakangan yang
dipilih dan diberlakukan, sedang ayat Makkiyyah menjadi mansukh karenanya.
Pemikiran evolusioner Mahmoud Muhammad Thaha adalah ide bahwa proses penangguhan
(nasikh) dalam faktanya merupakan suatu penundaan tetapi bukan dalam arti yang final dan
konklusif. Ketika premis dasar ini diakui, keseluruhannya era baru jurisprudensi dapat di mulai,
suatu era yang diikuti dengan perkembangan kebebasan dan kesetaraan penuh bagi umat manusia,
tanpa adanya diskriminasi atas jenis kelamin dan agama atau kepercayaan.
Sebagaimana yang nampak dewasa ini, hukum Syari’ah Islam historis telah
melakukan diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan agama.
Dengan adanya teori naskh yang baru sebagaimana yang dikembangkan oleh an-Na’im, ia
mempunyai potensi untuk menentukan ayat-ayat mana yang harus di implementasikan pada
zaman modern dan ayat-ayat mana yang harus disisihkan dari sudut pandang yurisprudensial
(bukan bersifat ibadah atau ritual). Melihat apa yang dilakukan an-Na’im bahwa peninjauan
kembali terhadap apa yang sudah diwahyukan diawal dan apa yang sudah diwahyukan diakhir
akan menjadi sangat penting sekali demi berlakunya suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan
zaman modern.16

Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran Abdullah


16

Ahmad An-Na’im”, hal. 63-66.

10
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang perlu diklasifikasiakan sebagai kesimpulan terkait
dengan konsep Naskh yang ditawarkan oleh An-Na’im sebagai berikut:

a. Bagi An-Na`im kondisi ideal adalah teks-teks Makkah, karena ayat-ayat


Makkiyyah itu bersifat fundamental dan abadi.

b. Dalam Naskh tidak ada penghapusan pada teks Al-Qur’an, yang ada hanya
penundaan yang bisa deterapkan sesuai dengan kondisi zaman modern.

c. Dalam masalah ijtihad tentang nasakh mansukh yang dilakukan oleh AnNaim
adalah merupakan pewarisan ideologi gurunya Muhammad Taha

d. An-Naim tetap berpijak pada metode-metode yang ditawarkan, meskipun


nuansa perubahan memang cukup terasa namun keberanjakan paradigma hukum
dari metodologi hukum klasik ke sebuah metodologi baru secara aplikatif
memang masih jarang ditemui.

e. Konsep naskh yang disusun oleh para ulama terlihat lebih baik secara
metodologi, lebih komprehensif karena memang sistematis sesuai dengan historis,
Sebaliknya konsep naskhnya An-Na’im terlihat masih ngambang. Karena
menganggap ayat-ayat makkiyyah sebagai ayat primer dan utama sesuai dengan
tuntutan zaman, sementara ayat-ayat madaniyyah sebagai ayat tambahan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, M. 1996. Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain,


LkiS: Yogyakarta.
Asyari, Hasan. 2016. “konsep nasikh dan mansukh dalam Al-qur’an”, jurnal. 1
Februari: UIN Walisongo Semarang.
Asyrofi, Muhammad. 2010. “Konsep Naskh Dalam Ijtihad Menurut Pemikiran
Abdullah Ahmad An-Na’im”, Skripsi, Jurusan Al-Ahwal Al-
Syakhshiyyah, Fakultas Syariah: UIN Malang.
Sumardi, Dedi. Hudud dan Ham (Artikulasi Golongan Hudud Abdullah Ahmad
An-Naim), Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Jurnal MIQOT, Volume
XXXV, No.2, Juli-Desember 2011
Syafei, Rachmat. 2016. Ilmu Tafsir, Agustus: Bandung.
Ulumna, Jurnal Study Keislaman Volume XII, Nomor 1,Juni 2008.

12

Anda mungkin juga menyukai