Anda di halaman 1dari 13

WACANA HUKUM ISLAM DI ERA MODERN

Kelompok 4 :

1. Yesi Tania Yolanda 1900024173


2. Windy Antika 1900024154
3. Desi Triyanti Azhari 1900024149
4. Eca Indrisa 1900024165
5. Salsabila Dwi Fatimah 1900024194
6. Muhammad Aulia Ramadan 1900024161
7. Arwika Praja Destra. N 1900024169
8. Andhika Wahyu Priandita 1900024181
9. Alfanur Atma Dharmawan 1900024157
10. Islami Giswa Ari Putranto 1900024186
11. Lufi Chandra 1900024190
12. Bunga Dwi Agnez 1900024177
13. Maulidin 1800024088

Dosen Pembimbing : Muhammad Habibi Miftakhul Marwa, S.H.I., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulilah puju syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepads kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini berisikan pembahasan mengenai wacana hukum islam di era modern
yaitu hukum islam pada masa sekarang. Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk
mengetahuilebih mendalam lagi apa itu hukum islam di era modern.

Kami berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami sampaikan terimakasih pada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga allah senantiasa
meridhoi segala usaha kita.

Hormat kami

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wacana perkembangan hukum islam saat ini menjadi tema yang hangat
diperbincangkan. Upaya menggeser pemaknaan hukum dari normatifitas menuju
kolektifitas menjadi inti dasar untuk tetap menjadi dasar hukum islam sebagai
pelopor kepatuhan hukum manusia, dan umst idlam khususnya. Lebih jauh lagi,
keinginan untuk menjadikan hukum islam bergerak dari ruang mahdhah keruang
ghairu mahdhah menjadi visi para pakar hukum islam dalam setiap wacana yang
berkembang
Hukum islam di era modern yaitu hukum yang bersumber dan menjadi bagian
agama islam yang identik dengan perkembangan zaman seperti sekarang ini.
sebagaimana dibahas pembicaraan hukum pada periode-periode sebelumnya bahwa
ijtihad bergerak pada langkah pertumbuhan hingga mencapai puncak ketinggiannya.
Menurut para pakar hukum islam di Indonesia sekarang pembaharuan hukum islam
yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain untuk mengisi
kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih tidak
mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat hukum terhadap masalah yang baru
yang terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan. Adapun pengaruh globalisasi
ekonomi dan iptek sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya terutama
masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya 1 .

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian hukum islam di era modern?
2. Sejarah hukum islam hingga di era modern?
3. Tokoh-tokoh hukum islam di era modern?
4. Salah satu contoh masalah kontemporer sekarang terhadap hukum islam ?

1
Dilansir dari buku filasafat hukum islam Muhammad syukri albani nasution, S.H.I.,M.A
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian hukum islam di era modern
Hukum islam di era modern ialah hukum islam yang berlaku sekarang dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti teknologi serta pertumbuhan ilmiah yang
sangat maju seperti sekarang ini.
Sistem hukum Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarah yang
bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di Negara republik
Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan hukuman
sediri. Sistem hukum itu adalah sistem hukum adat, sistem hukum islam dan sistem
hukum barat 2.
2.2 Sejarah hukum islam hingga di era modern
Sejak permulaan abad ke 4 hijriah atau abad ke 10 hingga 11 masehi, ilmu
hukum islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (penghujung)
pemerintahan atau dinasti abbasiyyah. Pada masa ini, para ahli hukum hanya
membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah
dituangkan dalam buku berbagai mazhab. Hal yang dipermasalahkan tidak lagi soal-
soal dasar atau soal-soal pokok, tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan
istilah futu’u (ranting).
Sejak saat itu, mulailah gejala-gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli
sebelumnya ( ittiba’ Taqlid ). Para ahli hukum pada masa ini, tidak lagi menggali
hukum fiqih islam dari sumber yang asli, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-
pendapat yang telah ada dalam mazhabnya masing-masing.
Hukum islam dimasa sekarang sebagaimana dibahas pembicaraan hukum pada
periode-periode sebelumnya bahwa ijtihad bergerak pada langkah pertumbuhan
hingga mencapai puncak ketinggiannya. Pada periode kedua dan ketiga para sahabat
dan tabiin sibuk mencurahkan kemampuannya dalam menjelaskan cara-cara istinbat
dari kitabullah dan sunah serta melukiskan langkah kerja yang akan diikuti oleh para
ahli fiqih sesudah mereka.
Kemudian dating priode ke.4, pertumbuhan ilmiah sangat maju, banyak
bermunculan para mujtadih, banyak bermunculan hukum-hukum dan penyusunan

2
Dilansir dari buku hukum islam DR. MARDANI
ushul.dan kaidah-kaidahnya. Disamping itu, para ulama dan fuqaha pada masa ini
banyak mengikuti (muqalid) terhadap orang-orang sebelumnya yang mampu
berijtihad dalam menngeluarkan hukum-hukum. Hal ini karena ijtihad keras, tidak
bisa dilakukan oleh ulama khusus yang banyak memiliki pengetahuan yang
sempurna perangkatnya.
Periode ke.5, meskipun kelesuan merasuki jiwa para ulama dan banyak
menyebarkan taqlid hingga mengungkum orang umum dan khusus, namun diantara
mereka ada Yng memiliki kemampuan yang tinggi dalam mentakhrij, dan ijtihad
dalam mazhab dalam berbagai masalah.
Pada masa ini, muncul ulama cerdas Khalil al-maliki, al-subki, al-ramli, ibnu
al-rif’ah, al-kamal ibnu al-hamam, al-suyuthi dan lainya, yang ,memiliki kekuatan
fiqih (pemahaman) dan memiliki kemampuan untuk melakukan istinbat. Hanya
saja, mereka tidak memanfaatkan kemampuan ini, sebagaimana yang dilakukan
para ulama sebelumya dalam berijtihad dan men-takhrij.
Para ulama ini, lebih mengarahkan pada penyususnan, perubahan, dan pada
peringkasan serta pengumpulan berbagai masalah cabang dalam ungkapan-
ungkapan yang sempit. Sehingga memerlukan waktu yang lama untuk
memahaminya dan untuk mengetahui maksudnya. Membutuhkan penyusunan
kitab-kitab lain yang menjelaskan (mensyarah) kesamarannya,membuka ikatannya
dan mengungkap tujuan sang pengarang menyusunnya
Jiwa meringkas juga merasuki para pensyarah. Maka terjamahlah kebutuhan
untuk men-taq’li-nya (memberi catatan kaki). Mereka mengetahui kitab-kitab ini
dengan memahami melalui ungkapan-ungkapan dan susunan bahasanya. Mereka di
sibuk kan dengan permainan kata-kata,sehingga lupa pada inti ilmunya. Inilah yang
membuat otak terkuras,merusak ilmu yang telah dimiliki,mematikan kewibawaan
dan kemampuan,serta mengandung resiko pemahaman yang salah ketika semua di
hafal tanpa pemahaman yang benar
Setelah mengalami kelesuhan dan kemunduran beberapa abad lamanya,
pemikiran islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian ke 2 abad ke 19.
Kebangkitan kembali pemikiran islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taklid
tersebut diatas yang telah membawa kemunduran islam
Muncul gerakan-gerakan baru,diantaranya gerakan pra ahli hukum yang
menyaran kembali kepada al-quran dan sunah. Gerakan ini,dalam kepustakaan
disebut gerakan (salafiah) yang ingin kembali kapada kemurnian ajaran islam
dizaman salaf (permulaan),generasi awal dahulu. Sebagai reaksi terhadap sikap
taklid di atas, sesungguhnya pada priode kemunduran itu sendiri telah muncul
beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi
persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat
Pada abad ke 14, muncul mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan
segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Mereka adalah ibnu Taimiah
(1263-1328) dan ibnu Qayyim al-jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka
dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad bin abdul wahab (1703-1787)
mempunyai pengaruh pada gerakan padre di minangkabau Indonesia.
Usaha ini dilanjutkan kemudian oleh jamluddin al-afgani (1839-1897) terutama
di lapangan politik.ialah memasyhurkan QS. Ar-Ra’d/13:11 yang mengatakan
bahwa Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa kalau bangsa itu sendiri
tidak (terlebih dahulu).

Cita-cita Jamaludidin memengaruhi pemikiran Muhammad abduh (1849-1905)


yang kemudian di lanjutkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1865-
1935).Pemikiran mereka memangaruhi pemikiran umat Islam di seluruh Indonesia,
antara lain diikuti oleh gerakan sosial dan pendidikan Muhammadiyah yang
diidirikan oleh K.H.Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912 3.

2.3 Tokoh-tokoh hukum islam di era modern


 Jamaludin Al-Afghani
 Ibnu Taimiyyah
 Mohammad Abduh
 Muhammad Rasjid Ridha4.

2.3 Contoh masalah kontemporer sekarang terhadap hukum islam


3
Dilansir dari buku sejarah hukum islam Dr. Fauzi,S.Ag.,Lc.M.A
4
Dilansir dari buku hukum islam Prof. H.Mohammad Daud Ali,S.H
Pada masa modern, demokrasi, politik dan kedaulatan hukum modern di
negara-negara Islam banyak menghadapi masalah. Masalah ini bersumber dari
tradisi politik otoritarian, kolonialisme dan imperialisme, dan dominasi negara
atas masyarakat sipil. Dari sisi konseptual, tidak ada pendapat baku mengenai
akseptansi sistem demokrasi dalam Islam. Banyak pihak dalam umat Islam juga
mengganggap bahwa Islam sendiri tidak mengatur bentuk pemerintahan yang
rigid, kecuali harus melaksanakan tujuan kesejahteraan umat manusia, keadilan
sosial dan saling membantu.
Kekurangan dalam pengembangan teori dan konsep adopsi sistem
demokrasi dan modern ditambah dengan despotisme otoritas politik,
pemerintahan dan relijius di negara-negara Muslim akibat penjajahan Barat
membuat legislasi dan implementasi hukum Islam yang seharusnya menjadi
dominan di negara-negara Muslim menjadi termarjinalkan. Selain itu, sebagian
umat Islam masih anti terhadap sistem hukum Barat yang jelas-jelas sudah
diadopsi secara legal oleh hampir seluruh negara Muslim. Pada akhirnya, hukum
berbasis Islam yang dihasilkan cenderung berparadigma tradisional dan
terpengaruh kultur fiqih klasik secara literal baik dalam lingkup ide legal
maupun aplikasi praktisnya. Sebagian umat Islam melawan sistem hukum
modern model Barat dengan formalisasi regulasi berbasis syariat Islam yang
cenderung literalistik dalam adopsi pemikiran klasik yang sebenarnya sangat
beragam.
Contoh konkretnya adalah implementasi regulasi berbasis syariat Islam di
Indonesia yang dipandang mengancam hak sipil dan inkonstitusional terhadap
eksistensi Pancasila dan UUD 1945. Hingga 2012, terdapat sekitar 282 peratiran
daerah yang diberlakukan oleh 69 kabupaten/kota di 21 provinsi. Teks
keagamaan klasik dijadikan sebagai ketetapan mengenai dalam legislasi regulasi
berbasis Islam yang terus menerus menjadi ide dasar dalam berpikir, terutama
kalangan konservatif. Fakta ini menyulitkan usaha apapun untuk mereduksi level
pelanggaran atas hak sipil, diskriminasi dan marjinalisasi kelompok minoritas
dan perempuan yang dihasilkan oleh regulasi berbasis Islam. Sedangkan secara
epistemologis, kooptasi fiqih menjadi aturan yang secara spesifik berhubungan
dengan konteks legislasi legal modern tidak terlepas dari eksistensi dan dominasi
otoritas relijius yang merger dengan otoritas politik sebagai pihak yang
merealisasikan doktrin relijius untuk dilembagakan dan dilegislasikan. Orientasi
yang tinggi pada fiqih klasik dan distorsi kultur Arab merupakan salam satu
sebab mendasar kontestasi dan diskursus tajam institusionalisasi sistem judisial
dan sistem legal Islam pada masa modern. Terdapat kecenderungan yang besar
oleh sebagian kelompok
muslim untuk mengkooptasikan pemahaman atau komprehensi manusia atas
ayat-ayat Tuhan menjadi aturan yang spesifik berhubungan dengan konteks legal
modern. Dalam konteks ini, terdapat pernyataan menarik dari Khaled Abou El
Fadl bahwa fiqih seharusnya dipahami sebagai sebuah alternatif pemahaman
atau komprehensi (an understanding or a comprehension), bukan dipahami
sebagai satu-satunya pemahaman (the understanding) atau komprehensi tunggal
(the comprehension) yang menuntut umat untuk mengadopsinya dalam setiap
aturan hukum. Hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa basis distingsi
antara syariat dan fiqh tidak hanya sekedar poin esoteris yang mengacu pada
spesialisasi dalam hukum Islam. Akan tetapi, poin signifikan fiqh adalah bahwa
disiplin ilmu ini merupakan salah satu usaha memahami syariat sebagai norma
transendental. Sehingga secara partikular, fiqh bisa saja tidak mengindikasikan
konseptualisasi syariat. Atau dengan kata lain, meletakkan dan mengadopsi fiqih
klasik sebagai sumber hukum dalam peraturan modern bisa saja tidak
mempunyai hubungan dengan menjalankan hukum Tuhan. Dalam konteks ini
pula, Abdullah An-Na‟im mempertanyakan bagaimanakah hukum/legal yang
diderivasikan juris dari evaluasi empiris dan riset fakta dan teks dapat
mempunyai otoritas ketuhanan (divine authority). Hal ini karena pemahaman
yang dicapai oleh para mujtahid tidak dilalui dengan kontemplasi/perenungan
belaka, tetapi juga melalui penelitian empiris (istiqra’) seperti yang dilakukan
Imam Syafii ketika menentukan waktu normal haidl bagi wanita. Kebiasaan para
fuqaha mengakhiri tulisan dan fatwa dengan kata „wallah a’lam bi al shawab‟
dan perbedaan antara para mujtahid dalam memutuskan atas satu masalah yang
sama, seperti arti kata quru’ yang diartikan berbeda oleh Imam Syafii dan Imam
Abu Hanifah, menunjukkan bahwa pemahaman atas teks tunggal dari Tuhan
dapat berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya para mujtahid
ataupun teksnya sama sekali tidak mempunyai tendensi untuk mendudukkan diri
sebagai otoritas yang mempunyai kebenaran mutlak. Identifikasi fiqih sebagai
pemahaman yang dikembangkan secara paradigmatik oleh para ulama klasik
menegaskan bahwa letak kedaulatan Tuhan merupakan fakta bahwa hanya
Tuhan yang merupakan sumber otoritas utama, sejati dan satu-satunya yang
mendelegasikan wewenang pada manusia untuk mencapai keadilan di muka
bumi dengan memenuhinya dengan kebaikan yang mengarah pada kira-kira
maksud Tuhan. Sedangkan fikih hanya salah satu cara bagi umat mukmin untuk
memahami kandungan yang terdapat dalam ayat-ayatnya. Poin kritis dari
legislasi hukum Islam modern adalah pada kata ahkam, yang merupakan
proposisi legal yang diderivasikan dari kajian dan pendalaman atas kebaikan
transendental/syariat, yang biasanya dimaksud sebagai fiqih. Walaupun
merupakan teks otoritatif, tetapi pada dasarnya fikih Islam tidak mempunyai
kekuatan legal koersif dan tidak ada kewajiban bagi negara untuk
mentransplasikan dalam setiap produk hukumnya. Penjelasan mengenai hak
otoritas yang wajib ditaati berangkat dari argumen mengenai hubungan legal
koersif dan otoritas. Dalam pengertian ini, sangat mudah dipahami bahwa
hukum memang mempunyai karakter koersif yang membuat objek hukum
cenderung tunduk. Di sisi lain, otoritas didefinisikan sebagai kemauan taat/patuh
pada entitas lain yang dapat tereduksi antara koersi atau persuasi. Dalam
terminologi ini, akan menjadi kontradiktif untuk menentukan wewenang otoritas
legal, karena ide dasar hukum adalah koersif, sedangkan otoritas berkarakter
persuasif, tidak mempunyai hak memaksa. Secara konseptual, otoritas terbentuk
dari pemberian kekuatan, kewenangan dan kekuasaan kepada seseorang oleh
pihak lain dalam satu kelompok secara sadar dan tanpa paksaan (willingness to
obey) dalam suatu hal karena kualitas mapan (the confident quality) yang
dimiliki seseorang/kelompok untuk mengatur dan mengontrol dengan memberi
perintah atau membuat putusan dipatuhi oleh pihak lain. Sifat otoritatif
ditunjukkan dengan kemampuan praktis atau pengetahuan teoritis yang impresif
mengenai suatu subjek, status dan posisi sosial yang membuat pihak lain untuk
mengakui atau patuh. Dari definisi ini, jelas bahwa seseorang dianggap sebagai
otoritas relijius karena keunggulan teoritis atau praktis dalam bidang agama
melalui standar tertentu sekaligus mendapatkan rekognisi pihak lain. Pada
dasarnya, rekognisi otoritas relijius bersifat obligasi kontraktual melalui fatwa
dan sama sekali tidak mengandung elemen koersif. Pada masa modern, rekognisi
ini direpresentasikan dengan legitimasi lembaga fatwa di dunia Islam, baik
secara individual atau secara kolektif, dan institusionalisasi pengadilan agama.
Menurut Hannah Arendt, seorang filsuf terkemuka, makna otoritas kontra
distingsi dengan kedua makna kekuatan koersif dan argumen persuasif. Pada
dasarnya otoritas identik dengan kepatuhan/ketundukkan pihak lain. Akan tetapi
penggunaan kekuatan eksternal berupa kekuasaan, koersi atau kekerasan untuk
menundukkan pihak lain sama saja dengan kesalahan arti atau kegagalan
otoritas. Di sisi lain, otoritas juga tidak kompatibel dengan persuasi, yang
didasari oleh ekualitas atau persamaan derajat dan kerjasama melalui proses
argumentasi. Jika argumentasi digunakan maka otoritas akan menjadi egalitarian
dan kehilangan makna hierarkis. Arendt menjelaskan lebih lanjut bahwa secara
historis otoritas mempunyai legitimasi memaksa atau koersif pada saat bersatu
dengan kekuasaan dalam konteks politik. Kekuasaan politik, dapat didefinisikan
sebagai kemampuan untuk membuat orang lain berbuat sesuatu walaupun orang
tersebut tidak berkehendak berbuat demikian. Kekuasaan dapat dioperasikan
lewat persuasi, dimana semua orang dapat bekerjasama secara sadar dan bebas
pada basis alasan yang dapat mereka terima, termasuk insentif, kemampuan dan
pengetahuan impresif. Operasionalisasi kekuasaan juga dapat melalui koersi
berupa penggunaan ancaman, sanksi dan kekuatan. Negara modern mempunyai
otoritas politik legal yang diartikulasikan lewat tindakan-tindakan koersif non
persuasif karena didasari kekuasaan dan legitimasi untuk membuat hukum.
Paradigma ini dapat menjelaskan kecenderungan positivisasi fikih dalam masa
modern yang banyak dijumpai di dunia muslim dewasa ini5.

BAB III
PENUTUP
5
Dikutip dari jurnal peran ulama dalam legistimasi modern hukum islam oleh Abdul Ghofur dan
Sulistiyono
3.1 Kesimpulan
Wacana hukum islam di era modern ialah suatu upaya mengembangkan
hukum islam di era sekarang serta menjadikan hukum islam sebagai pelopor
kepatuhan hukum manusia, dan khususnya umat islam. Wacana hukum islam di era
modern juga merupakam suatu pembangunan secara sederhana yang mengandung
pengertian dan upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang buruk kearah kondisi
yang lebih baik.
Sejarah hukum islam di era modern ini juga berkaitan dengan realitas,
masyarakat bisa menentang konsepsi hukum, misalnya modernitas yang terjadi di
tengah masyarakat, yang memengaruhi pandangan hukum islam. Dengan perkataan
lain tentang modernitas telah membawa dampak terhadap aspek kehidupan manusia
terhadap konsepsi hukum itu sendiri lebih khususnya di hukum islam. Hukm islam
di masa sekarang di bahas dalam pembicaraan hukum pada periode-periode
sebelumnya bahwa ijtihad bergerak pada langkah pertumbuhan hingga mencapai
puncak ketinggiannya.
Adapun beberapa tokoh perkembangan hukum islam pada era modern
seperti Jamaludin Al-Afghani, Ibnu Taimiyyah, Mohammad Abduh, Muhammad
Rasjid Ridha.
Adapun beberapa masalah yang ada di era sekarang ini adapun seperti
masalah pidana hukum islam yang masih ditakutkan oleh sebagian kalangan non
muslim apabila hukum pidana islam diterapkan di Indonesia karena hukum pidana
islam masih dianggap kejam dan mengerikan terutama jika melihat bagaimana
sanksi hukum potong untuk pencuri dan hukum rajam bagi orang yang berzina.
Hukum pidana islam belum bisa diterapkan di Indonesia karena adanya
anggapan atau pemikiran bahwa Negara Indonesia bukan Negara islam. Jika hukum
islam diterapkan di Indonesia maka itu akan merubah konstitusi Negara Indonesia,
kemudian juga mengubah sistem hukum nasional yang kemudian menjadi hukum
islam.
Salah satu contoh kasus adalah penerapan syariat islam di aceh, banyak hal
yang menjadi perdebatan di dalamnya, baik dari segi system maupun dari aspek
perangkat hukumnya6.

DAFTAR PUSTAKA
6
Dilansir dari M Sirajuddin - Jurnal Sosio-Religia, 2009 -aifis-digilib.com wacana penerapan hukum islam
dalam tinjauan politik hukum nasional
1. Dr. M. Syukri Albani Nasition, S.H.I., M.A. 2014. Filsafat Hukum Islam.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
2. DR. Mardani. 2013. Hukum Islam. Jakarta : Kencana.
3. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M. Hum. 2006. Aneka Maslah
Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
4. Prof. H. Mohammade Daud Ali, S.H. 2011. Hukum Islam Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
5. Dr. Fauzi, S.Ag, M.A. 2018. Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media
6. M Sirajuddin - Jurnal Sosio-Religia, 2009 -aifis-digilib.com wacana
penerapan hukum islam dalam tinjauan politik hukum nasional.
7. Habib Sbulton Asnawi. 2012. Jurnah hak asasi manusia islam dan barat studi
kritik hukum pidana islam dan hukuman mati. Yogyakarta: Supremasi
hukum

Anda mungkin juga menyukai