Anda di halaman 1dari 6

Worldview Baru Islam?

Oleh: Muhamad Ridwan

Dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan ini, Prof. Dr. Amin
Abdullah mengatakan bahwa ia telah mengajar mata kuliah Pemikiran Kalam Modern di
program magister Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta selama sekitar 10
tahunan.

Menurutnya, mata kuliah ini bertujuan untuk membentuk Worldview (pandangan hidup)
Islam yang baru bagi para mahasiswanya. Maka, di setiap akhir perkuliahan biasanya ia
bertanya kepada para mahasiswanya mengenai paradigm shift (pergeseran paradigma)
seperti apa yang telah mereka alami.

Hasil makalah perkuliahan dari para mahasiswanya tersebut direkap kemudian diulas dalam
buku ini dengan judul Fikih dan Kalam Sosial Era Kontemporer: Perjumpaan Ulūm al-Dīn dan
Sains Modern Menuju Fresh Ijtihad.
Namun, kita sepatutnya bertanya, apakah benar dalam Worldview Islam terdapat
pergeseran paradigma? Samakah antara worldview dengan paradigma? Berikut ini adalah
tinjauan kritisnya.

Menunggangi Islam Nusantara

“Status pertama dalam sebuah negara tidak lagi hanya agama (ummat; religious affiliation),
melainkan kewarganegaraan (citizenship). Semua pemeluk agama yang berbeda-beda
mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam sebuah negara. Konstitusi bernegara
(the idea of constitution) lebih mengemuka dan penting didiskusikan daripada ide negara
Islam atau Kristen”.

Demikian pernyataan Prof. Dr. Amin Abdullah dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh
hingga Paham Kebangsaan. Dalam fikih kewargaan hasil rumusannya dengan para
mahasiswanya ini dikatakan bahwa formalisasi syariah sudah tidak relevan lagi untuk
diangkat di zaman modern ini. Dengan begitu, pemahaman kewarganegaraan atau
nasionalisme lebih utama dan terpisah daripada agama.

Untuk lebih menjelaskannya lagi, beliau mengutip pendapat dari Tariq Ramadan bahwa
identitas keislaman harus melebur dalam identitas nasional. Menurutnya, istilah yang tepat
untuk sebutan fenomena demografis yang baru ini bukan lagi Islam di Indonesia (Islam in
Indonesia), tetapi lebih tepat disebut Islam-Indonesia (Indonesian Muslim). Bukan Muslim in
Europe, tetapi European Muslim. Berarti, Islam Nusantara berdasarkan penjelasan tersebut
adalah Islam yang meletakkan nasionalisme atau kebangsaan lebih tinggi dan lebih utama
daripada agama ala sekularisme.

Dalam buku yang juga memuat tulisan dari Gus Dur, Nurcholis Madjid, Said Aqil Siroj,
Azyumardi Azra, Yahya C. Staquf, Abdul Moqsith Ghazali, Husein Muhammad, dan lainnya
ini, Amin Abdullah menyeru umat Muslim agar memeluk Worldview (pandangan hidup)
yang baru, yakni worldview keagamaan Islam era kontemporer.
Karena katanya, dalam menghadapi kehidupan kontemporer, masa lalu (at-Turats) tetap
diperlukan, namun diperlukan juga pergeseran paradigma (al-Hadītsah) alias pemikiran
keagamaan Islam baru yang disesuaikan dengan konteks zaman sekarang ini.

Penggantian istilah-istilah Islam semisal sebutan "kafir" yang ramai belakangan ini boleh jadi
adalah merupakan salah satu langkah untuk menuju worldview yang baru ini. Karena istilah
atau bahasa itu, menurut Wilhelm von Humboldt, adalah merupakan cerminan, wakil, dan
memengaruhi pandangan hidup seseorang atau suatu bangsa. Singkatnya, dibalik bahasa
ada worldview-nya.

Selain fikih kewargaan, ia juga mengemukakan lagi beberapa perubahan dan pembaharuan
pada cara pandang Islam. Diantaranya adalah fikih sosial yang melihat peran individu atau
kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara (negara bangsa; nation states) secara
universal, general, atau umum.

Fikih, menurutnya, tidak lagi terfokus pada apa yang selama ini dipelajari dan ditekankan
dalam uṣūl fiqh, namun ada pergeseran paradigma dan perluasan ruang lingkup maqāṣid
yang katanya, meminjam istilah dari Jasser Auda, menjangkau general maqāṣid (HAM,
kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, keadilan bagi seluruh umat manusia) yang
dinilainya “objektif” terlepas dari selubung-selubung bahasa, ideologi, mitos, hukum dan
aturan perundang-undangan, bertransformasi dari theocentric kepada anthropocentric ala
humanisme-eksistensialisme.

Artinya, makna HAM, kebebasan dan keadilan dalam general maqāṣid tersebut tergantung
kepada manusia, bukan kepada Tuhan. General maqāṣid yang menurutnya objektif itu tidak
lain hanya klaim subjektif yang dilandasi oleh worldview Barat. Sedangkan Islam telah
memiliki worldview atau pandangannya sendiri tentang perkara-perkara tersebut yang
bertolak belakang dengan pemahaman yang mereka promosikan.

Perihal wanita, Amin Abdullah mempermasalahkan sistem patriarki dalam ranah sosial-
politik, profesi, warisan, saksi, perwalian, jilbab, hakim wanita, hingga soal poligami yang
hukumnya sudah mapan dan tetap, tetapi ia usulkan agar ditafsir ulang dan supaya
mengikuti kondisi sosial. Dengan kata lain, masyarakat adalah tolok ukur utamanya, bukan
wahyu dan ulama. Memang, para ulama terkadang mempertimbangkan kondisi sosial dan
kemaslahatan dalam hukum fikih, namun hal tersebut bukan hasil dari pergeseran
worldview atau menganggap fakta yang terjadi dalam masyarakat adalah tolok ukur utama
kebenaran. Bukan pula untuk membatalkan konsensus atau ijmaʻ.

Ia juga mengusulkan dialog antaragama yang tujuannya bukan untuk mencari agama mana
yang benar, melainkan hanya untuk membicarakan tentang kemanusiaan dan mencari
“kebenaran universal”. Soal kemanusiaan ini, ia merujuk kepada M. Arkoun, Fazlur Rahman,
Fethullah Gulen, Tariq Ramadan. Tidak masalah selama menyangkut kerjasama antar umat
beragama dalam mengatasi sebagian masalah sosial dan kemanusiaan, tetapi gagasan
"kebenaran universal" ini sering condong kepada pluralisme agama. Ini yang perlu
diwaspadai.

Hal lain yang ia tekankan adalah soal keterbukaan selebar-lebarnya terhadap ilmu-ilmu
modern seperti sosiologi dan humaniora yang notabene telah dibangun di atas worldview
Barat. Tanpa sikap kritis-selektif mengawinkan dan mencangkokkannya dengan ilmu agama
agar menghasilkan sesuatu yang disebut oleh Abdullah Saeed sebagai “fresh ijtihad“. Ini juga
yang menyebabkan worldview umat Muslim bergeser jadi kebarat-baratan. Di balik ilmu pun
ada worldview.

Baginya, antara wahyu dan tafsir harus didikotomikan; sifat wahyu itu mutlak, sedangkan
tafsir dianggap relatif semuanya. Ia memberikan rujukan kepada Abdul Karim Sorous
dengan “pembedaan antara wahyu dengan pemahaman atau penafsiran“-nya, Fazlur
Rahman dengan teori “double movement“-nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan “pencarian
makna saat ini“-nya, Abdullah Saeed dengan “asbāb an-nuzūl qadīm dan asbāb an-nuzūl
jadīd“-nya.

Padahal, dalam penafsiran wahyu memang ada hal-hal yang relatif atau terdapat
perbedaan, namun ada juga yang disepakati dan nilai kebenarannya mutlak. Jadi antara
wahyu dengan penafsiran tidaklah bersifat dikotomis antara mutlaknya teks dengan
relatifnya tafsir manusia. Ulama mewarisi ilmu, pemahaman dan maknanya dari Rasulullah
SAW. Manusia memang relatif, tetapi, kata Dr. Syamsuddin Arif, dapat saling melengkapi
dan menyatukan pemahamannya satu sama lain. Ulama pun bisa saling bersepakat atas
tafsirannya sehingga menjadi ungkapan kebenaran dari wahyu itu sendiri. Hasil kesepakatan
adalah mutlak dan tidak bisa diubah seenaknya.

Antara Worldview dan Paradigma

Gagasan tentang “worldview baru” di atas sebenarnya telah diantisipasi oleh Syed
Muhammad Naquib Al-Attas pada jauh-jauh hari sebelumnya. Beliau menerangkan bahwa
sebenarnya tidak ada perubahan atau pergeseran paradigma (paradigm shift) pada elemen-
elemen pokok worldview Islam.

Ciri dari worldview Islam itu adalah otentik, final (tidak ada penambahan maupun
pengurangan), merujuk kepada sesuatu yang ultimate (mutakhir), memproyeksikan realitas
dan kebenaran, meliputi kewujudan dan kehidupan kita dalam pandangan yg menyeluruh.

Elemen-elemen dasar dalam worldview ini adalah mapan atau permanen. Ia bukanlah
paradigma yang menurut Thomas S. Kuhn, selalu mengalami krisis dan berubah.
Menurutnya, bila paradigma tidak berubah, maka suatu budaya akan menjadi kusam tak
menarik. Jadi worldview Islam mesti berubah juga. Mirip pernyataan Amin Abdullah dalam
buku Islam Nusantara itu.

Namun, kata Syed al-Attas, worldview itu tidak berubah dan tidak tepat apabila disamakan
dengan paradigma karena worldview Islam tidak berasal dari budaya, filsafat, maupun sains.
Sumber dari worldview Islam adalah wahyu. Justru, worldview-lah yang menghasilkan
paradigma dan Islam-lah yang melahirkan kebudayaan.

Dr. Ugi Suharto, salah seorang murid dari Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas
menjelaskan bahwa dalam Islam, perubahan dan pembaharuan itu memang ada, tetapi
bukan pada worldview pokoknya, melainkan pada aspek-aspek atau tafsiran-tafsirannya
serta tingkatan-tingkatan dalam memahaminya (intensification of meaning) yang
merupakan ambience (suasana) yang mengelilingi worldview Islam.

Misalnya, semua Muslim itu bertauhid atau mengesakan Allah Swt. Tapi bagaimanakah
esanya Allah? Dalam hal ini setiap Muslim level pemahamannya berlainan, tergantung
kepada kapasitas keruhanian juga kapasitas akalnya.

Makna keesaan Allah biasanya diperbincangkan secara mendalam pada ilmu tauhid. Ilmu
tauhid ini salah satu contoh tajdīd atau pembaharuan dan pengembangan dalam Islam,
dalam arti bukan pengubahan seperti yang digagas oleh Amin Abdullah, melainkan
pendalaman dan penguraian makna-maknanya. Worldview sebagai dasar, sumber serta
induknya tidaklah mengalami pembaharuan hingga kiamat. Worldview Islam telah
sempurna sejak diturunkan.

Oleh karena itu, kita perlu mengubah, memperbaiki dan memperbaharui worldview kita,
tetapi kepada worldview yang benar kalau memang sebelumnya berpegang pada yang
salah. Worldview baru era kontemporer itu keliru dan tidak dibutuhkan karena worldview
Islam sejak mulanya telah berlaku juga untuk era kontemporer, bahkan hingga akhir zaman.

Islam Nusantara versi Amin Abdullah dan para mahasiswanya dalam buku tersebut adalah
Islam yang disekularisasi dan diliberalisasi, mengikuti worldview Barat yang selalu berubah,
tidak ada yang tetap, berpedoman kepada humanisme, selalu mengedepankan konteks
sosial masyarakat, menganut dualisme dan relativisme.

Mengenai istilah “Islam Nusantara” ini, Dr. Ugi Suharto mengatakan bahwa kita sudah
mafhum dan menerima akan maksud ulama yang benar— bukan seperti yang dimaknai oleh
Amin Abdullah sebagaimana telah dikemukakan di atas—yang mana istilah tersebut hendak
merujuk kepada aqidah Asy’ariyah dan fikih madzhab Syafi’i. Maka, apabila maknanya
demikian semestinya nama yang lebih tepat adalah “Fiqih Nusantara”, bukan “Islam
Nusantara”. Aqidah pun termasuk kategori fiqih. Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i
menulis kitab aqidah berjudul al-Fiqh al-Akbar (Fiqih besar).

Allāhu aʻlam bi’ṣ-ṣawāb.

Anda mungkin juga menyukai