Anda di halaman 1dari 4

Mendedah Sisi Sakral Dan Plural Dalam Islam

Oleh : Muhammad Ali Magfur

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

www.alimagfur1112@gmail.com

Islam yang merupakan agama wahyu kerapkali dikonotasikan sebagai sebuah ajaran yang
ekslusif dan tidak menerima perubahan. Dalih bahwasanya ajaran Islam sudah sempurna dan
akan tetap sholih li kulli zaman wal makan kerapkali dijadikan sebagai argumen untuk menolak
segala macam bentuk pembaharuan dalam Islam. Kelompok ini meyakini bahwa segala sesuatu
yang ada dalam hidup mulai dari waktu seseorang baru lahir sampai hal-hal yang berkenaan
dengan setelah kematian seluruhnya sudah diatur dalam Islam, sehingga seorang muslim hanya
perlu menjalankannya dengan penuh keikhlasan dan keridhoan.

Pandangan konservatif di atas memiliki antitesa dari kelompok Islam progresif yang
senantiasa berusaha melakukan pembaharuan dalam ajaran Islam. Kelompok ini berargumen
bahwa kesempurnaan ajaran Islam tidaklah terletak dalam bentuk ajarannya yang sudah final,
akan tetapi dikarenakan sisi kemampuannya untuk dapat beradaptasi sesuai dengan kebutuhan
dan konteks zaman. Oleh karena itu, dalam pandangan kelompok ini kemaslahatan dari ajaran
Islam harus senantiasa disesuiakan dengan konteks dan semangat zaman yang ada.

Perbedaan intrepetasi dari berbagai ulama di atas kerapkali menimbulkan perpecahan dan
bahkan kekerasan di kalangan umat muslim sendiri. Hal ini biasanya terjadi karena adanya klaim
kebenaran yang dilakukan oleh satu pihak untuk menjatuhkan pihak lainnya. Tuduhan-tuduhan
seperti radikal, teroris, liberal, sekuler, kafir, kadrun dan lain sebagainya seringkali menghiasi
ruang publik kita pada saat ini. Padahal jika kita mau untuk meninjau ulang dari khazanah
keilmuan yang kita miliki, dua pandangan tersebut selayaknya tidak menjadi sebuah
permasalahan justru harusnya bisa saling melengkapi.

Dalam kitab Ạl-Rĩsālaẗ, Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang


tentang hukum diraih dengan dua cara, yakni dengan cara ittĩbāʿ(mengikuti pengalaman sejarah
hukum) dan is̊ tin̊ bāṭ (menggali khazanah hukum yang baru). Hal ini penting untuk disadari agar
epistemologi pengetahuan seorang muslim agar selain memiliki pijakan historis yang kuat, juga
mampu untuk tetap relevan dan sesuai dengan konteks zaman yang mengitarinya. Imam Syafi’i
percaya bahwa tidak satupun peristiwa yang dialami oleh seorang manusia itu dapat terlepas dari
hukum (kulũ mā nuzilã fafī̊ hi ḥuk̊ m lāzim).1

Pandangan dari Imam Asy- Syafi’i ini kiranya perlu penulis ajukan di awal sebagai sebuah
pijakan paradigmatik untuk menjawab permasalahan di atas. Dari pendapat Imam Asy-Syafi’i
tersebut layaknya memberikan kesadaran kepada kita, bahwa dalam praktik beragama seorang
muslim terdapat wilayah-wilayah yang mutlak, tetap, statis, dan sakral yang membedakan
seorang muslim dengan pemeluk agama lain. Wilayah ini masuk di dalam ranah kajian teologis
yang berdimensi Tracendental-dogmatic dan merupakan ajaran yang tidak menerima ijtihad di
dalamnya (Ảl̊ -Majāl̊ Taʿabũdī Ạ̉ladẖĩy Lā i̹ j̊ tihāda Fīhi). Pada wilayah ini yang digunakan adalah
model kerja ittiba’,bukan istinbath sehingga pemahaman seorang muslim pada ranah ini akan
tetap sama sejak Nabi Muhammad SAW diutus sebagai seorang Rosul sampai kelak di hari
akhir.

Sementara itu model kerja kedua yakni metode i̹ s̊ tin̊ bāṭ hukum merupakan sebuah metode
yang hanya bisa digunakan di dalam wilayah kerja yang berdimensi legal-casuistic. Hal ini
dikarenakan praktik dari narasi-narasi dalam wilayah hukum ini tidak mungkin bisa menafikan
sisi-sisi eksternal yang mengitarinya. Tentu fenomena atau peristiwa yang dihadapi oleh seorang
muslim yang ada di Indonesia sekarang dengan mereka yang tinggal di Arab Saudi akan sangat
berbeda, apalagi dengan orang-orang yang hidup di Saudi pada empat belas abad silam.
Perubahan fenomena dan peristiwa yang dialami oleh seorang dalam kehidupan sehari-harinya
tentu saja meniscayakan perubahan dalam fatwa hukumnya. Hal ini dilegitimasi oleh Ibnu
Qoyyim dengan salah satu kaidah fikih yang berbunyi “Lā yun̊ kiru Tagẖayũru Ạl̊ -Ạḥ̊ kāmu Biạl-
Tãgẖayũri Ạl̊ -Ạz̊ māni Wa Ạl̊ -Ạḥ̊ wāli” tidak diingkari berubahnya sebuah hukum disebabkan
karena berubanhya zaman dan keadaan).

Dua metode di atas selayaknya tidak saling mengingkari atau menegasikan antara satu dan
lainnya. Hal ini penting, karena ketika kita mendiskusikan terkait Islam menurut Carl W. Ernst,
setidaknya kita harus melihat dua tipologi yang berbeda. Menurutnya, paling tidak Islam
memiliki dua tipologi eksistensial; yakni di satu sisi Islam merupakan sebuah sistem kepercayaan

1
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ạl-Rĩsālaẗ (Kairo: Maktab Dar Al-Turats, 2005).Hal.474
(region), dan di sisi lainnya dia adalah sebuah peradaban (civilization) yang terus tumbuh dan
berkembang dengan berdasar keyakinan itu sendiri.2

Dari pembagian tipologi Islam yang dilakukan oleh Ernst di atas kita sadar bahwa Islam tidak
melulu hanya soal keyakinan beragama, karena Islam lebih dari itu. Ketika Islam dipahami dan
didefinisikan sebagai sebuah keyakinan (agama) maka kebenaran agama hanya bersifat tunggal,
mutlak, dan absolut karena dia berasal dari Tuhan. Oleh karena itu ajaran dan keyakinan
merupakan sisi yang sakral bagi seorang penganut agama tertentu. Sebaliknya ketika keyakinan
agama tersebut termanifestasi dalam kehidupan, dia tidak lagi disebut agama melainkan sudah
masuk ke dalam tipologi kedua yakni dalam ranah peradaban yang sering dikenal dengan istilah
praktik beragama.

Jika dalam agama kebenaran bersifat mutlak yang mengharuskannya dipahami dengan cara
ittĩbā’ pada generasi-generasi sebelumnya sampai pada titik pijaknya yakni Rosulullah SAW,
maka dalam praktik beragama Islam kebenaran tidaklah bersifat tunggal. Hal ini tidak lain
karena kebenaran beragama merupakan hasil intrepetasi teks-teks agama dari seorang manusia
yang memiliki latar belakang kehidupan, sejarah dan problematika kehidupan yang pasti
berbeda. Sehingga tidak mungkin sebuah peradaban dan tradisi dari satu masyarakat majmuk
untuk diterapkan dan dipraktikan dalam masyarakat yang memiliki peradaban dan tradisi yang
berbeda juga. Kalau pun bisa, tentu tidak dalam praktiknya akan tetapi dalam esensi yang ada di
dalamnya. Oleh karena itu, untuk dapat mengakomodir hal hal tersebut kebenaran dalam
beragama haruslah bersifat plural dan multidimensional.

Dalam implementasinya, Islam sebagai sebuah keyakinan yang bersifat mutlak dan sakral
tersebut harus senantiasa berdialektika dengan realitas kemanusiaan yang tidak pernah hadir
dengan wajah yang tunggal. Sebab keduanya memang layaknya dua sisi mata uang yang dapat
dibedakan akan tetapi tidak mungkin bisa untuk dipisahkan. Akan tetapi perlu dipahami
sebelumnya bahwa dalam proses dialektika yang terjadi, kita tidak sedang menundukan antara
satu di bawah sisi yang lain. Hal ini berarti meskipun agama, dalam konteks ini Islam dipahami
sebagai sebuah ajaran yang suci dan sakral dia tetap tidak boleh diterapkan dengan tanpa
memerhatikan aspek eksternalnya. Begitu pula sebaliknya, hal tersebut juga mengindikasikan

2
Carl W Ernst, Following Muhammad, Rethinking Islam in The Contemporary World (Capel Hill-London: The
University of North Carolina Press, 2003).Hlm.57
bahwa realitas kemanusiaan tidak boleh begitu saja dibiarkan liar tanpa mengindahkan aturan-
aturan dalam agama.

Akhirnya, kesimpulan yang dapat saya ambil adalah dua pandangan yang mewarnai
perdebatan keislaman di ruang publik saat ini sebenarnya merupakan sebuah kesatu-paduan yang
harusnya saling melengkapi dan saling terintegrasi dalam beragama sehingga tentu seharusnya
keduanya dapat bekerja sama sesuai dengan porsi dan proporsi masing-masing. Oleh karena itu,
tidak selayaknya kedua kelompok pemikiran Islam baik yang eklusif maupun inklusif untuk
mengingkari atau menegasikan antara satu sama lain. Bahkan selayaknya kedua kutub pemikiran
ini disatukan sesuai dengan wilayahnya masing-masing tentunya.

Daftar pustaka

Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Ạl-Rĩsālaẗ. Kairo: Maktab Dar Al-Turats, 2005.

Ernst, Carl W. Following Muhammad, Rethinking Islam in The Contemporary World. Capel
Hill-London: The University of North Carolina Press, 2003.

Anda mungkin juga menyukai