html
A. TAJDID DALAM MUHAMMADIYAH
Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana
perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan
periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam
Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi
dan pase rekonstruksi.
Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad
Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan
dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis
menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi
mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu
disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan
tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri iniAdapun
rumusan tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua
arti, yakni:
a. pemurnian;
b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam
yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti
“peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan
sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh
kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari
ajaran Islam.
Rumusan tajdîd di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat
dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama
ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu.
Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur'an dan
Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini.
Secara garis besar, kecenderungan untuk memahami ajaran dasar Islam dapat
dikelompokan menjadi dua kelompok besar, pertama kelompok salafi dan kedua kelompok
‘ashrani. Kelompok pertama biasa disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis,
sedangkan Kelompok yang terakhir dapat disamakan dengan kelompok Islam Liberalis
Kemudian, berdasarkan pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman mengklasifikasikan
aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni fundamentalis, liberalis
dan moderat.
1. Fundamentalis
Istilah Fundamentalis yang dihubungkan dengan penganut ajaran Islam garis keras,
sering kita dengar dari sumber informasi Negara barat. Hal itu terasa lebih popular ketika telah
terjadinya serangan 11 september di New York. Rizizq Shihab, semakin memperkuat dugaan,
bahwa Islam atau muslim fundamentalis itu identik dengan muslim yang mempunyai faham
“garis keras” itu. Apakah memang benar demikian? Tentu persepsi seperti itu perlu ditelusuri
kebenarannya.
Dalam tradisi kajian Islam, istilah lain dari fundamentalis adala salfiy. Kelompok salafi,
dari segi bahasa berarti kelompok yang berorientasi kepada masa lampau atau orang-orang yang
terdahulu.
Tentu, kita sebagai umat Islam harus memberikan apresiasi terhadap sikap mereka yang
konsisten atau istiqamah dalam menjalankan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Namun dalam waktu yang sama kita juga harus memperhatikan dan mencermati sumber ajaran
Islam dengan menggunakan penalaran dan analisis yangt idak bertentangan dengan misi Al-
Qur’an sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semua umat manusia, di mana pun dan kapan
pun mereka berada
2. Liberalis
Istilah Islam Liberal merupakan salah satu wacana dialektis Islam dalam konteks
menghadapi kemoderrnan. Wacana ini menjadi penting dan menonjol akhir-akhir ini, ketika
dunia Islam terkepung oleh peradaban dan sains modern yang datang dari barat. Kemunculan
Islam liberal berbeda secara kontras dengan Islam fundamentalis yang menekankan pada tradisi
salaf. Dalam faham liberal, faham fundamentalis hanya akan membawa keterbelakangan yang
akan membawa dunia islam menikmati buah modernitas, berupa kemajuan ekonomi, demokrasi,
hak asasi manusia.
Lebih dari itu, faham ini meyakini bahwa apabila Islam difahami dengan pendekatan
liberal akan menjadi perintis jalan bagi liberalisme di dunia barat.
Dalam memahami sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, kelompok ini berusaha untuk
menangkap ajaran moral dan bukan aturan-aturan normatif yang terkandung di dalamnya.
Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan norma hukum tidak harus difahami apa
adanya, melainkan harus dibawa kepada konteks manusia modern.
3. Moderat
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kecenderungan pemahaman umat Islam terhadap
Al-Qur’an dan Al-Sunnah dibedakan menjadi muslim liberal di satu sisi dan muslim
fundamentalis di sisi yang lain. Diantara kedua aliran dan kecenderungan ini ada kelompok umat
Islam yang memahami kedua sumber itu secara moderat Artinya, tidak terlalu bebas, seperti
kelompok Islam liberal dan tidak juga kaku, seperti kelompok Islam fundamentalis.
Kelompok ini melihat persoalan yang muncul saat ini sebagai sebuah keniscayaan, karena
sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an dan Al-Sunnah , turun dalam situasi yang berbeda
dengan apa yang ada saat ini. Diakui, bahwa kedua sumber itu mempunyai ajaran yang bersifat
permanent dan konstan,, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Ajaran yang masuk kategori ini
umumnya menyangkut masalah akidah (keimanan) dan ibadah ritual (ibadah mahdlah).
Seorang mujaddid harus dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bebas dari kebid'ahan dan
berjalan di atas manhaj Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya
dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan ahlu bid'ah dan tokoh
sekte sesat sebagai mujaddid, walaupun telah mencapai ketinggian derajat dalam ilmu.
Seorang ulama besar India bernama Syaikh Syamsul Haq al-'Azhimabadi rahimahullah
(wafat tahun 1858 M) menyatakan, “Sungguh aneh yang dilakukan penulis kitab Jami' al-Ushul
dengan memasukkan Abu Ja'far al-Imami asy-Syi'i dan al-Murtadha termasuk mujaddid”. Lalu
beliau lanjutkan, “Sangat jelas bahwa memasukkan kedua orang ini ke dalam kelompok
mujaddid adalah kesalahan besar dan jelas; karena ulama Syi'ah walaupun mencapai martabat
mujtahid dan ketinggian dalam martabat ilmu serta masyhur sekali, namun mereka tidak pantas
menjadi mujaddid. Bagaimana mereka pantas, mereka sendiri merusak agama, lalu bagaimana
melakukan pembaharuan (tajdid)? Mereka mematikan sunnah, bagaimana dikatakan
menghidupkannya? Mereka menebar kebid'ahan, lalu bagaimana dikatakan menghapus
kebid'ahan? Mereka ini sebenarnya orang-orang sesat yang menghancurkan agama lagi bodoh.
Mayoritas karya mereka adalah tahrif, penyimpangan dan ta'wil, bukan tajdid dalam agama dan
tidak juga menghidupkan yang telah hilang dari pengamalan al-Qur`an dan sunnah.” (Aunul
Ma'bud, 4/180).
Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil)
yang benar. Hal ini dilihat kepada metodologi dalam belajar dan pengambilan dalil yang
dibangun di atas al-Qur`an, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ijma', qiyas
yang shahih (benar) dan tinjauan maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat.
Memiliki ilmu syar'i yang benar, hal ini karena di antara aktivitas tajdid adalah
mengajarkan agama, menebarkan ilmu syar'i dan membela sunnah dan ahlinya, serta
menghancurkan kebid'ahan.
Seorang mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, dai yang cerdas yang
mampu menjelaskan al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam yang shahih
kepada manusia. Juga jauh dari kebid'ahan dan memperingatkan manusia dari perkara-perkara
yang diadakan dalam Islam, serta mengembalikan mereka dari penyimpangan kepada jalan yang
lurus yaitu kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam (Fatawa al-
Lajnah ad-Da`imah, 2/169).
Mampu menempatkan dengan pas dan tepat nash-nash syariat pada realita dan peristiwa
yang terjadi.
Memiliki manhaj (metodologi) dan kaidahnya yang jelas. Seorang mujaddid harus
menyertai dalam aktivitas tajdid-nya dengan manhaj dan kaidah yang jelas dalam segala
keadaannya. Sebab, mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam. Ini adalah nisbat ilmu
dan ittiba', bukan sekadar pengakuan dan klaim. Dari sini, maka kebenaran nisbatnya
tersebut dibangun di atas kaidah memahami Islam berdasarkan manhaj tidak benar
memahami Islam kecuali dengannya. Inti metodologi ini ada pada empat bidang:
hanya menetapkan berdasarkan pengertian diutus setiap awal abad dengan kematiannya
di awal abad tersebut. Padahal, Anda pasti tahu yang dapat dicerna langsung dari hadits ini
adalah al-ba'tsu (pengutusan) dan irsaal (kemunculan) ada di awal abad... Pengertian
kemunculan seorang alim adalah kemampuannya untuk maju ke depan memberikan manfaat
kepada orang dan majunya ia dalam menyebarkan hukum-hukum syariat. Kematian seorang alim
di awal abad adalah diambil bukan diutus.
Demikianlah ketentuan dasar penting dalam penentuan tajdid dan mujaddid yang
disampaikan para ulama, semoga memberikan wacana dan pencerahan dalam masalah ini.