Anda di halaman 1dari 7

A.

PENGERTIAN TAJDID
Tajdid secara kebahasaan (lughawi) berarti pembaharuan, yakni proses
memperbaharui sesuatu yang dipandang usang atau rusak. Secara isthilahi, Tajdid
didefinisikan “menghidupkan ajaran Quran dan Sunnah yang telah banyak
ditinggalkan umatnya, dan memurnikan pemahaman dan pengamalan agama Islam
dari hal-hal yang tidak berasal dari Islam.” (Alawy bin Abdul Qadir As-Saqaf, 2001-
22)
Definisi Tajdid secara etimologi adalah menjadikan sesuatu yang lama/qadim
menjadi baru/jadid. Maksudnya adalah keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi
oleh sesuatu hal yang lain, kemudian diupayakan agar kembali pada keadaannya
semula. Upaya mengembalikan pada keadaannya yang semula inilah yang dinamakan
tajdid. Jika demikian tajdid adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum
berubah.
Tajdid dalam Muhammadiyah
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdid
memiliki dua arti, yakni : (1). Pemurnian, (2). Peningkatan, pengembangan,
modernisasi dan yang semakna dengannya.
Pemurnian sebagai arti tajdid yang pertama, dimaksudkan sebagai
pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Quran
dan Sunnah Shahihah (Maqbulah).
Sedangkan arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna
dengannya, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan
ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Shahihah

Untuk melaksanakan tajdid dengan pengertian di atas. Diperlukan aktualisasi


akal pikiran yang cerdasdan fitri,serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran
islam. Dalam hal ini Muhammadiyah berpendirian, tajdid adalah salah satu watak dari
ajaran Islam. Pengertian atau batasan makna tajdid alaMuhammadiyah tersebut sesuai
dengan pesan yang terkandung dalam hadist Rasulullah yang berbunyi :

• َ ‫علَى َرأْ ِس ك ُِل ِمائ َ ِة‬


‫سنَ ٍة َم ْن‬ َ ‫ث ِل َه ِذ ِه األ ُ َّم ِة‬ ُ ‫ َقا َل َر‬:َ‫ع َْن أ َ ِبى ه َُري َْرةَ َقال‬
ُ ‫سو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم ِإنَّ هللاَ يَ ْب َع‬
)‫يُج َِد ُد َلهَا ِد ْينَهَا (رواه أبو داود‬
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah
mengutus bagi umat ini (Islam) pada setiap menghujung seratus tahun seseorang yang
akan memperbaharui (mengadakan pembaharuan) bagi agamanya” (Diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud) ( Muhammadiyah Syamsul Haq al-Azmi, 1979 : 380).

Istilah tajdid terdapat dalam beberapa hadis Rasulullah SA W. Pertama, hadis sahih
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya yang dikutip dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini
pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharuhi agamanya”.Dalam
riwayat yang lain “seorang yang memperbaharui perkara ajaran agamanya”.
Mengenai hadis di atas terdapat beberapa penjelasan.
1. Mayoritas ulama memahami yang dimaksud dengan umah disini adalah mayoritas
Kaum Muslim.
2. Pengertian “man” (seseorang) dalam hadis tersebut tidak mesti seorang (individu),
tetapi bisa diartikkan jamak. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal bahwa mujadid
abad pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada abad kedua adalah Imam
alSyafi’i.
3. Tidak disyaratkan dalam tajdid agama dan ilmu umum, diemban hanya oleh
seorang mujadid, tetapi dapat diemban oleh para pakar yang meliputi imam-imam
ilmu agama dan ilmu umum, yang terdiri dari fuqaha, ahli hadis, ahli usul fikih,
para dokter, insinyur , ahli fisika dan kimia, pertanian, dan teknologi, sebagaimana
yang ungkapkan oleh Imam al-Nawawi.
4. Telah maklum bahwa perkara tajdid tidak terbatas dalam hal menghidupkan
kembali syiar-syiar ibadah dan beragama saja di antara Kaum Muslim. Apabila hal
itu demikian, maka Islam tidak memerlukan tajdid, sebab masalah ibadah dan
akidah tidak memerlukan perubahan. 5. Pendapat yang kuat mengenai pengertian
“seratus tahun” (abad ini) adalah Abad Hijrah dan dimulai pada awal abad itu.
5. Kedua, hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah,
bahwa Rasullullah SA W bersabda: “Perbaharuilahiman kamu!” Ada seorang
yang bertanya: “Bagaimana kami memperbaharuhi iman kami?” Beliau bersabda:
“Perbanyaklah mengucapkan lâ ilâ ha illa Allâh”.

B. TUJUAN TAJDID
memfungsikan Islam sebagai hudan, furqan dan rahmatan lil alamin,
termasuk mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan masyarakat, dan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, tajdid, bagi Muhammadiyah,
harus senantiasa berpijak dari Al-Quran dan al-Sunnah, dan selanjutnya juga
bermuara pada implementasi atas nilai-nilai ajaran Al-Quran dan al-Sunnah.
Betapapun Muhammadiyah mengadopsi berbagai model pembaharuan dalam
berbagai aspek, namun Muhammadiyah selalu menunjukkan konsistensinya untuk
kembali kepada spirit Al-Quran dan Al-Sunnah.

Tujuan Pembaharuan dalam Islam


• Pertama, purifikasi ajaran Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan
keagamaan pada jaman awal Islam sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Jaman
Nabi sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode yang hebat, suatu
puncak yang luar-biasa dan cemerlang dan merupakan masa yang dapat terulang.
Terjadinya banyak penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena
kurang sempurnanya Islam, tetapi karena kurang mampunya untuk menangkap Islam
sesuai semangat jaman; serta dalam konteks ini, banyaknya unsur-unsur luar yang
masuk dan bertentangan dengan Islam sehingga diperlukan adanya upaya untuk
mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam. Upaya ini
dapat dilakukan dengan membentengi keyakinan akidah Islam, serta berbagai bentuk
ritual dari pengaruh sesat.
• Kedua, menjawab tantangan jaman. Islam diyakini sebagai agama universal, yaitu
agama yang di dalamnya terkandung berbagai konsep tuntutan dan pedoman bagi
segala aspek kehidupan umat manusia, sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai
dengan semangat jaman. Dengan berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu,
maka gerakan pembaruan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasi-kan
ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan umat manusia.

C. DIMENSI TAJDID
Dimensi tajdid dalamMuhammadiyah meliputi: (1) Pemurnian aqidah dan
ibadah, seta pembentukan akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah); (2) Pembangunan
sikap hidup dinamis, kreatif, progresif, dan berwawasan masa depan; dan (3)
Pengembangan kepemimpinan organisasi dan etos kerja dalam Pesyarikatan
Muhammadiyah.
Putusan Muktamar Tarjih ke XXII, 1989 di Malang di atas menjadi pijakan
Muhammadiyah dalam merespon perubahan masyarakat yang semakin kompleks,
baik di bidang nilai-nilai kehidupan, sosial budaya, sosial ekonomi, politik dan
sebagainya, dengan pesan pengarahan risalah Islam, yang dipahami secara dinamis
dan konsisten terhadap pemurnian ajaran Islam. Dalam konteks tugas khusus Majelis
tarjih dan Tajdid yang membidangi pendalaman pemahaman dan pengalaman ajaran
Islam serta pengembangan pemikiran Islam, konsep tajdid di atas menjadi pijakan
dalam mengawal perkembangan pemikiran keislaman baik bagi internal
Muhammadiyah maupun dalam merespon perkembangan pemikiran Islam secara
umum.

D. MAKNA TAJDID DALAM SEJARAH ISLAM


-Salafiyah (pemurnian)
Tidak berkaitan dengan pengaruh Barat. Lebih mengutamakan pemurnian
aqidah Islam dari bahaya tahayul dan khurafat, dan pemurnian ibadah dari bid’ah.
Ziarah dan pensucian atas para wali atau makam ditolak karena mengandung unsur
kemusryikan.
-Reformasi/modernisasi
Berkaitan erat dengan Barat. Pembaharuan di mata reformis/modernis adalah
pembaharuan agama itu sendiri bukan karena Islam sudah tidak memadai, tetapi
karena interprestasi da reinterpretasi Islam adalah proses berkesinambungan. Mereka
menganjurkan ijtihad, kerena dengan ijtihad, problem modernitas dapat direspon
dengan jawaban modern.
Perhatian utamanya berkaitan dengan perbaikan pendidikan, status perempuan
dalam masyarakat, politik, nasionalisme dan upaya modernisasi seluruh aspek
kehidupan lainnya.

Tajdid dan Muhammadiyah


Seperti ditulis oleh Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Tengah.Persyarikatan Muhammadiyah bertekad makin
memperkukuh diri sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Baik pemikiran maupun
gerakan, sepertinya merupakan karakteristik utama organisasi Islam modern ini.
Alasannya, masyarakat selalu berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu
berkembang maju dan alam sekitar pun mengalami perubahan. Mengapa kita mesti
statis dan konservatif ?

Tentu kita akan ketinggalan zaman jika kita tidak berpikir dinamis. Maka KH
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sejak awal kiprahnya telah menyerukan
kepada umat Islam di Indonesia agar selalu mengadakan pembaruan dalam
pemahaman ajaran Islam. Ide pembaruan bersumber dari sebuah Hadis yang artinya :
“Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada tiap-tiap penghujung abad seorang
yang akan memperbarui pemahaman agama bagi umat tersebut”. Dari Hadis ini
ditarik kesimpulan, setiap abad akan muncul mujadid (reformer) Islam.

Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua


sisi dari satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi.
Yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam ke arah keaslian
dan kemurniannya sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah Al-Maqbulah.

Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang akidah dan


ibadah mahdhah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi (
pengembangan ) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian
yang kedua diterapkan pada masalah muamalah duniawi.

Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah memasuki era
globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia rnengalami interaksi
antarbudaya yang sangat kompleks.

Ilmu, Amal, dan Akhlak

Mencermalti jejak KH Ahmad Dahlan, sejak awal kiprahnya dia sangat


mengutamakan pendidikan umat. Dia berobsesi agar umat Islam menjadi umat yang
berilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Mula-mula dia mendirikan sekolah di
rumahnya dan biaya penyelenggaraan pendidikan pun ditanggungnya sendiri.

Dia sangat mendambakan agar bangsa Indonesia jangan kalah pandai


dibanding dengan bangsa Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Maka di sekolah
Muhammadiyah mulai diajarkan bahasa asing, yaitu Arab, Belanda, dan Inggris. Kini
lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah berkembang luas di seluruh
pelosok Tanah Air.

Sejak muda Ahmad Dahlan dikenal sebagai pemuda yang suka bekerja keras
dan tidak banyak bicara. Sifat ini kemudian diformulasikan sebagai semboyan
organisasi yaitu “Sedikit bicara, banyak bekerja”.
Revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan,
pengengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas. Selama ini kajian
masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu diperluas untuk membahas masalah
aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global, meliputi
teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren (
sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme) kaitannya dengan bidang
agama

Semboyan ini menjiwai etos kerja warga, sehingga Muhammadiyah sering


diidentikkan sebagai organisasi amal. Tak ada hari tanpa beramal. Kenyataannya
memang demikian, betapa banyaknya amal usaha Muhammadiyah dalam bidang
pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.

Ahmad Dahlan juga menekankan hendaknya semua warga menghiasi dirinya


dengan akhlakul karimah ( budi pekerti yang luhur ). Di antaranya masalah keikhlasan
dalam mengabdi di organisasi sangat diutamakan, sehingga muncul semboyan
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

Semboyan ini mengandung arti bahwa warga Muhammadiyah harus berani


berkorban demi kelangsungan hidup organisassinya, dan jangan sampai ada orang
yang bekerja di Muhammadiyah hanya semata-mata untuk mencari nafkah, apalagi
untuk memperkaya diri, melainkan harus didasari dengan semangat pengabdian untuk
mencapai cita-cita dan tujuan organisasi.

Dalam melaksanakan dakwahnya, KH Ahmad Dahlan menekankan agar umat


Islam memiliki keimanan yang benar dan mengerjakan ibadah dengan cara yang
benar pula. Sebab kalau tidak, sia-sialah jerih payah dalam mengamalkan ajaran
agama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Barang siapa
yang mengerjakan ibadah yang tidak ada perintahnya dari aku, maka tertolaklah
ibadahnya”.

Sesuai dengan isi Hadis tersebut, maka Muhammadiyah menyerukan kepada


umat Islam agar menjauhi TBC, singkatan dari takhayul, bid’ah,
dan churafat. Dalam churafat itu terdapat unsur syirik, sehingga lebih lengkapnya
ialah agar umat Islam menjauhi takhayul, bid’ah, churafat, dan syirik. Inilah bentuk
awal dari tajdid yang diserukan oleh KH Dahlan. Kemudian oleh para pemimpin
Muhammadiyah periode berikutnya, pengertian itu dikembangkan.

Pengembangan

Pembaruan diperlukan karena terjadinya perubahan dalam masyarakat sebagai


akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, pada zaman Nabi
Muhammad SAW, upaya untuk mencegah kehamilan, yang menurut istilah sekarang
adalah perencanaan keluarga, melalui ‘azl ( coitus interruptus). Pada zaman modern
sekarang, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah ditemukan metode
baru untuk perencanaan keluarga, seperti : dengan suntikan, pil, kondom, susuk, IUD,
vasektomi, tubektomi, dan lain-lain.

Meski terdapat perubahan dalam metode, namun prinsip ajaran agama harus
selalu diindahkan. Misalnya pemasangan alat kontrasepsi pada rahim wanita
hendaknya dilakukan oleh wanita juga. Sebab pada prinsipnya pria dilarang melihat
aurat wanita, kecuali dalam keadaan darurat.

Pengertian tajdid mengalami pengembangan. Dalam Muktamar


Muhammadiyah di Malang Desember 1990, antara lain dirumuskan,
tujuan tajdid adalah untuk memfungsikan Islam sebagai furqan (membedakan antara
yang haq dan yang batil), hudan (petunjuk), rahmatan lil ‘alamin (menjadi rahmat
bagi seluruh alam), mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan
masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan dimensi tajdid meliputi pemurnian akidah dan ibadah serta


pembentukan akhlak yang mulia; pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif,
progresif, dan berwawasan masa depan; pengembangan kepemimpinan, organisasi,
dan etos kerja dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam melaksanakannya, kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)


mendapat perhatian khusus. Dalam satu segi Iptek bisa menimbulkan degradasi harkat
dan martabat manusia. Namun dalam segi lain ia berfungsi positif bagi
operasionalisasi dakwah dan tarbiyah serta pencapaian harkat kemanusiaan yang
menjadi tujuan kemerdekaan bangsa.

Tantangan Masa Kini

Memasuki abad ke-21, sejalan dengan arus globalisasi, tantangan terhadap


eksistensi agama makin keras. Sebagai contoh, di Amerika Serikat belum lama ini
diadakan jajak pendapat oleh lembaga Haris Poll. Hasilnya 42 % penduduk Amerika
Serikat tidak yakin Tuhan benar-benar ada dan berkuasa atas alam semesta.

Tidak mustahil di antara orang-orang Indonesia yang belajar di negeri Paman


Sam itu ada yang terpengaruh menjadi ateis atau agnostis, dan merasa bangga dapat
meniru pandangan hidup orang modern di negara adidaya tersebut.

Meniru cara berpikir dan budaya Barat itu bagi sebagian orang merupakan
kebanggaan. Misalnya orang yang dengan getol ingin terus menerbitkan
majalah Playboy di Indonesia. Meski isi majalah tersebut jelas saru, tetapi mereka
beralasan bahwa di negara maju majalah semacam itu tidak ada masalah, di samping
mereka membayangkan akan meraih keuntungan finansial yang sangat besar.

Berdasarkan contoh kasus tersebut maka revitalisasi tajdid sangat diperlukan,


dalam arti kegiatan ditingkatkan, pengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian
diperluas. Suara yang muncul di Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang antara
lain menyatakan, selama ini kajian masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu
diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan
umat manusia secara global, meliputi : teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
isme-isme yang sedang ngetren seperti : sekularisme, pluralisme, fundamentalisme,
liberalisme, dan lain-lain dalam kaitannya dengan bidang agama.

Anda mungkin juga menyukai