Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persyarikatan Muhammadiyah yang senantiasa bersinggungan dan memiliki
kaitan dengan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat
ini, baik dalam lingkup nasional maupun global, termasuk di dalamnya dinamika
kehidupan umat Islam. Posisi Muhammadiyah dalam dinamika dan permasalahan
kehidupan nasional, global, dan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas
dibingkai dan ditandai dengan lima peran yang secara umum menggambarkan misi
Persyarikatan. Kelima peran tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terus mendorong tumbuhnya
gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku (al-tsawabit) dan
pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang menitikberatkan
aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi munkar.
Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan semangat tajdid yang
dimilikinya terus mendorong tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat dalam berbagai
bidang kehidupan. Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak tajdid tersebut
sebagai realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin
yang berguna dan fungsional bagi pemecahan permasalahan umat, bangsa, negara,
dan kemanusiaan dalam tataran peradaban global.
Ketiga, sebagai salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah bertanggung
jawab atas berbagai upaya untuk tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Indonesia,
sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi Negara.
Keempat, sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah bertanggung jawab
atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang kehidupan, bebas dari
ketertinggalan, keterasingan, dan keteraniayaan dalam percaturan dan peradaban
global.
Kelima, sebagai warga dunia, Muhammadiyah senantiasa bertanggungjawab
atas terciptanya tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan berperadaban tinggi sesuai
dengan misi membawa pesan Islam sebagai rahmatan lil-alamin.
Berdasarkan kelima peran tersebut penulis tertarik untuk membuat makalah dengan
judul gerakan tajdid dan dakwah dalam muhammadiyah.

1
B. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian tajdid dalam muhammadiyah


2. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan tajdid dalam muhammadiyah
3. Mahasiswa dapat mengetahui model tajdid dalam muhammadiyah
4. Mahasiswa dapat mengetahui tokoh-tokoh tajdid dalam muhammadiyah
5. Mahasiswa dapat mengetahui kedudukan dan fungsi tajdid dalam muhammadiyah
6. Mahasiswa dapat mengetahui konsep gerakan dakwah dalam muhammadiyah
7. Mahasiswa dapat mengetahui metode dan strategi dakwah muhammadiyah
8. Mahasiswa dapat mengetahui landasan tajdid dan dakwah muhammadiyah

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gerakan Tajdid dalam Muhammadiyah


1. Pengertian Tajdid
Tajdid berasal dari bahas arab yakni “Jaddada- Yujaddidu-Tajdidan” yang
bermakna memperbaharui sesuatu sehingga menjadi baru. Dengan kata lain, tajdid
berarti pembaharuan terhadap segala usaha yang telah dilakukan pada masa lampau
untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
Dalam hal ini, Muhammadiyah berusaha memberikan yang terbaik bagi warga
Muhammadiyah secara khusus dan warga masyarakat secara umum demi
terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di ridhai Allah SWT (Rohmansyah,
2017).
Sedangkan secara istilah ada beberapa kalangan yang mendefinisikan dalam
Tajdid sebagai berikut :
a. Syamsul Anwar, Tajdid adalah pemurnian. Maksudnya ialah mengembalikan
akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi SAW.
Pengertian tajdid ini dalam ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian
rupa dari sunnah Nabi SAW untuk menemukan bentuk yang paling
mendekati sunnah beliau dengan tidak mengurangi adanya “tanawwu” dalam
ibadah sepanjang memang mempunyai landasan yang jelas dalan sunnah.
b. Din Syamsuddin, tajdid adalah penafsiran, pengalaman dan perwujudan
ajaran islam, dan dalam arti pemurnian berarti pemeliharaan matan ajaran
Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan sunnah al-Shahihah (al-
Maqbulah).
c. Haedar Nashir, Tajdid adalah memperbaharui alam pikiran sesuai dengan
zaman modern, melembagakan pendidikan Islam modern dan bahkan
melawan misi zending dengan langkah-langkah yang modern sehingga
disebut sebagai gerakan islam modernis.
(Rohmansyah, 2017).

3
Tajdid secara kebahasaan (lughawi) berarti pembaharuan, yakni proses
memperbaharui sesuatu yang dipandang usang atau rusak. Adapun secara isthilahi,
sebagaimana ditegaskan oleh imam al-Syatibi, seperti dikutip oleh Syaikh Alawi,
tajdid berarti ajaran Quran dan Sunnah yang telah banyak ditinggalkan umatnya, dan
memurnikan pemahaman dan pengamalan agama islam dari hal-hal yang tidak
berasal dari islam (Alawy bin Abdul Qadir As-Saqaf, 2001:22).

Majelis Tarjin Muhammadiyah dalam Muktamar Tarjih ke XXII, 1989 di Malang


merumus makna tajdid sebagai berikut :
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan; dan dari segi istilah, tajdid memiliki
dan arti, yakni :
a. Pemurnian
b. Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
pemurunian sebagai arti tajdid yang pertama, dimaksudkan sebagai
pemilihara matan ajaran islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-
Quran dan Sunnah Shahihah (Maqabulah). Sedangkan arti peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan semakna dengannya, tajdid dimaksudkan
sebagai penafsiran, Pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap
berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Shahihah. Untuk
melaksanakan tajdid dengan pengertian diatas, diperlukan aktualisasi akal
pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang diawali oleh
ajaran Islam.

4
2. Tujuan Tajdid
Tajdid dengan pengertian seperti itu, bertujuan untuk memfungsikan Islam
sebagai hudan, furqan dan rahmatan lil alamin, termasuk mendasari dan
membimbing perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan teknologi.
Dengan demikian tajdid, bagi Muhammadiyah, harus senantiasa berpijak dari Al-
qur’an dan Al-Sunnah, dan selanjutnya juga bermuara pada implementasi atas nilai-
nilai ajaran Al-qur’an dan Al-sunnah. Artinya, betapapun Muhammadiyah
mengadopsi berbagai model pembaharuuan dalam aspek pengembangan sumberdaya
manusia, manajemen organisasi, strategi dakwah dan kebudayaannya, tetapi
Muhammadiyah selalu menunjukkan konsistensinya untuk kembali kepada spirit Al-
qur’an dan Al-Sunnah.

3. Model-model Tajdid Muhammadiyah


ada beberapa model atau karakteristik Tajdid Muhammadiyah adalah sebagai berikut
:
a. Kongkrit dan prodiktif, yaitu melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya
kongkrit dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa
Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia. Suburnya amal shalih di
lingkungan aktivis Muhammadiyah ditunjukan pada komunitas
Muhammadiyah, bangsa dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam
rangka rahmatan lil Alamin.
b. Tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Keterbukaan adalah
Muhammadiyah mampu mengatisipasi perubahan dan kemajuan di
sekitarnya dengan amal usahanya yang dapat dimasuki dan dimafaatkan oleh
siapa pun, seperti sekolah-sekolah, kampus, lembaga ekonomi, dan usaha
atau jasa.
c. Tajdid sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah untuk
menghadirkan Islam sebagai agama yang berkemajuan, dan juga
berkebajikan yang senantias hadir sebagai pemecah masalah yang dihadapi
umat, seperti masalah kesehatan, pendidikan dan sosial ekonomi.

5
4. Tokoh Pembaharuan pada Periode Klasik sampai Modren :
a. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
Nama lengkapnya Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad, lahir di Harrran, Turki
pada 22 Januari 1263, dan meningal pada 27 September 1328. Ia berasal dari
keluarga cendekiawan. Ayahnya bernama Shihabuddin Abdul Halim seorang ahli
hadits dan ulama terkenal di Damascus; demikian juga kakeknya, Syekh
Majuddin Abdul Salam, adalah ulama terkemuka. Mereka semua adalah pemuka
dalam mazhab Hambali. Ibnu Taimiyah belajar Al-Qur’an dan hadits dari
ayahnya, kemudian sekolah di Damascus. Pada usia 10 tahun ia telah
mempelajari kitab-kitab hadist utama, hafal Al-Qur’an, belajar ilmu hitung dan
sebagainya. Kemudian ia tertarik mendalam ilmu kalam dan filsafat yang menjadi
keahliannya. Karena penguasaannya di bidang kalam, filsafat, hadist, Al-Qur’an,
tafsir dan fikih, pada usia 30 tahun ia menjadi ulama besar pada zamannya. Ibnu
Taimiyah kuat memegang ajaran kaum salafg. Ia juga seorang penulis yang tekun
dan produktif. Karyanya berjumlah 500 jilid.
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasional. Empiris
dalam arti bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam arti bahwa ia
mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran (al-
haqiqah fi al-a’yan la fi al-adhahan), dan rasionalis dalam arti ia tidak
mempertentangkan antara akal dengan naql (Al-Qur’an dan hadist) yang sahih. Ia
menolak logika sebagai metode berpikir deduktif yang tidak dapat digunakan
untuk mengkaji materi keislaman secara hakiki. Materi keislaman empiris hanya
dapat diketahui melalui eksperimen dan pengamatan langsung (Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1993: 169). Adapun beberapa upaya pembaharuannya antara
lain sebagai berikut.

Pertama, sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham


tauhid. Ia menentang segala bentuk bid’ah, takhayul dan khurafat. Menurutnya,
aqidah tauhid yang benar adalah aqidah salaf, aqidah yang bersumber dari teks
Al-Qur‘an dan hadits, bukan diambil dari dalil-dalil rasional dan filosofis. Dalam
menjelaskan sifat-sifat Allah, ia mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah secara
jelas termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits. Pendapat yang membatasi sifat
Allah pada sifat dua puluh dan pendapat yang menafikan sifat-sifat Allah,
bertentangan dengan aqidah salaf. Walaupun ia menetapkan adanya sifat-sifat

6
Allah, ia menolak mempersamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk.
Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa tamtsil (menyamakan sifat-sifat
Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan tanzih (menafikan sifat-sifat Tuhan). la
juga gigih menentang penggunaan ta’wil dalam menjelaskan sifat-sifat Allah. Ta
'wil kata “yad” (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya. Ia tetap
mempertahankan arti “yad” dengan tangan.
Demikian pula dengan ayat-ayat mutasycibihcit lainnya. Inilah yang ia sebut aI-
aqidah aI-wasithiyah.

Kedua, ia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-


ajaran A1 Qur’an dan hadits; serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam
menafsirkan ajaran-ajaran agama. Menurutnya, metode penafsiran Al-Qur’an
yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika tidak didapati dalam
Al-Qur’an, baru dicari dalam hadits. Jika penjelasan ayat tidak dijumpai dalam
hadits, dicari dari perkataan shahabat. Kalau juga tidak didapati, maka dicari
dalam perkataan tabi'in. Ayat Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut bahasa Al-
Qur’an dan hadits. Di sini tampak bahwa Ibnu Taimiyah adalah pembaharu yang
mempergunakan metode berpikir kaum salaf.

Ketiga, karena untuk kembali pada Al-Qur’an dan hadits diperlukan ijtihad,
maka ia menentang taklid. Ia menolak sikap umat Islam yang mengekor pada
para mujtahid yang telah mendahului mereka, sementara pokok persoalan sudah
berubah. Taqlid adalah sikap yang membuat umat Islam mundur, sebab taqlid
berarti menutup pintu ijtihad. membuat otak menjadi beku. Pahadal sudah sangat
lama umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad dinyatakan tertutup.
Menurutnya, ijtihad terbuka sepanjang masa, karena kondisi manusia selalu
berubah. Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum yang
sumbernya dari wahyu. Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan
masyarakatnya sesuai dengan petunjuk wahyu.
Keempat, di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam. Menurut
Ibnu Taimiyah, pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya, itulah
yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan didasarkan atas '
kemauan nafsu. Semua pendapat harus mempunyai alasan yang _ dapat
dipertanggungjawabkan.

7
Kelima, dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu
metode baru. Ia tidak mendasarkan keputusan hukum berdasarkan pada ‘illat,
tetapi berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya
mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan hukum tersebut. Di
sinilah sesunoouhnya letak relevansi sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah dalam
merumuskan ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya.

b. Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1730-1791)


Nama lengkapnya Muhammad Ibn Abdul Wahhab Ibn Sulayman Ibn Ali Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rashid al-Tamimi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730
M/ll 15 H. Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di Najd. Dari ayahnya ia
memperoleh pendidikan di bidang keagamaan dan mengembangkan minatnya di
bidang tafsir, hadits, dan hukum madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan
pengetahuannya ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca
karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga ia benar-
benar menjadi seorang ulama, ahli hukum dan pembaharu ternama.
Proses pembaharuannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan
khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh
banyak pendukung. Pada pemulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal berjudul
Kitab al-T auhid. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul
Wahhab semakin populer dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah
Kerajaan Ibn Saud. Inti gerakan pembaharuannya adalah;

pertama, pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan


tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya
membedakan tauhid menjadi tiga macam; tauhid rububi yah, tauhid uluhiyah dan
tauhid al-asma wa al-sifat (C.M.Helm, 1981: 88-89). Menurut Abdul Wahhab,
Allah adalah Tuhan alam semesta yang maha kuasa, dan melarang penyifatan
kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Dialah yang menciptakan manusia
dan alam dari tiada. Eksistensi Allah dapat dirasakan melalui tandai-tanda dan
ciptaan-Nya yang tersebar di selumh alam, seperti siang dan malam, matahari dar
bulan, gunung-gunung dan sungai-sungai, dan seterusnya. AIlah adalah Tuhan
yang berhak disembah. Segala urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan

8
apapun (QS. Asy-Syura/42: 11). Baik dan buruk berasal dari Allah dan manusia
tidak bebas berkehendak. Wahhab tidak mempercayai superiioritas ras;
superioritas atau inferioritas tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Tauhid
ulz’ihiyyah dipandang sebagai tauhid amali. Tauhid ini didasarkan atas rukun
Islam dan rukun Iman. Yang termasuk dalam tauhid ini adalah semua bentuk
ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman serta perjuangan dengan penuh
kecintaan, ketaqwaan harapan dan kepercayaan pada Allah.Wahhab percaya pada
makna harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapan-ungkapan antropomorfisme
tentang Allah; tetapi bukan berarti ini mengharuskan antropomorfisme bagi
Allah. la berpendapat bahwa orang beriman akan melihat Allah di surga, tetapi
bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah, 1973: 138).

Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul.


Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha
mencari perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan
syirik. Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan
orang suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan memberikan
ampunan bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan berarti
ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bid’ah, takhayul
dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan agar iman tetap
suci dan terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).

Ketiga, sumber-sumber syari’ah Islam adalah AlQur’an dan Sunnah.


Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan
pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling penting
bagi syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamat
dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasyabihat. Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti penafsiran
Al-Qur’an generasi al-salaf al-shalih. Sementara itu, Sunnah Nabi adalah Sumber
terpenting kedua. Sedangkan ijma’ adalah sumber ketiga bagi syari’ah dalam
pengertian terbatas; ia hanya mempercayai kesucian ijma’ yang berasal dari tiga
abad pertama Islam, karena hadits yang memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban
atas setiap masalah, dikembangkan Muslim selama 3 abad pertama (D. S.
Margouliouth, t.th.: 661 ). Ia. menolak ijma’ dari generasi belakangan. Oleh

9
karena itu, menurutnya semua komunitas Muslim dapat melakukan kesalahan
dalam menyusun hukum-hukum secara independen melalui proses ijma’. Wahhab
juga akan tetap memilih mengikuti hadits yang otentik daripada pendapat para
ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Taimiyah
dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan dinamika kehidupan
Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad terhadap Al-
Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi siapapun untuk
mengikuti salah satu dari empat madzhab Imam asalkan sesuai denganAl-Qur’an
dan Sunnah.

Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya


negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam masyarakat yang
otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas
dasar saran ulama dankomunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan
konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah
upaya penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten
melalui kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten
tetap harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan tidak menentang
ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad
untuk melaksanakan syari’ah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh
penjuru dunia (R. B. Wmder 1965: 12).
Pembaharuan Muhammad IbnAbdul Wahhab memurniikan Islam dari segala
bid'ah, takhayul dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan
pembaharuan yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di negara Arab
sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena dukungan Ibn
Saud dan putranya Abdul Aziz.

10
c. Jamaluddin al-Afghani (1838/1839-1897)
Jamaluddin al-Afghani lahir di Asadabad, Afghanistan pada 1838/1 839.
Meskipun lahir di Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syi'ah Iran. Namun, tidak
ada bukti yang menguatkan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang
Syi’ah. Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di kota-kota suci kaum Syi'ah pada 1805.
Di sinilah ia banyak dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina
dan Nasir Al-Din al-Tusi.
Perjalanan hidup Jamaluddin sebenarnya lebih mirip seorang politik dari pada
pembaharu Islam (L. Stoddard, 1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas yang ia
lakukan. Pada umur 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad
Khan diAfghanistan. Pada I 864 ia menjadi penasihat SherAli Khan.
Jamaludin pernah tinggal di India meskipun tidak lama. Setelah itu menetap di
Mesir dari 1871 hingga 1879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di kota ini, ia
menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan penafsiran filsafat
Islam. Ketika Mesir berada dalam krisis politik dan keuangan pada akhir 1870,
tokoh ini mendorong para pengikutnya untuk menerbitkan surat kabar politik. Ia
banyak memberikan ceramah dan melakukan aktivitas politik sebagai. Pemimpin
gerakan bawah tanah. Para pengikutnya antara lain Muhammad Abduh, Abdullah
Nadim; Sa'ad Zaghlul, dan Ya’kub Sannu. Pada 1889 ia membentuk partai Hizbul
Wathani dan berhasil menggulingkan Raja Mesir Khedewi Ismail, meskipun
kemudian ia diusir oleh penguasa baru Tawfik (Harum Nasution, 1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi ke Paris dan bersama-sama muridnya yang
bernama Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-‘Urwah al Wutsqa. Pada
tahun 1 884 pergi ke Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond
Wolff tentang masalah Mesir. Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk mem
bantu penyelesaian sengketa Rusia dan Iran. Akhimya diusir keluar Iran oleh
penguasa Syah Nasir al-Din karena perbedaan faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk
membantu pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Pengaruh
Jamaluddin yang cukup besar, membuat Abdul Hamid khawatir jika posisinya
akan terongrong. Selanjutnya Abdul Hamid mengeluarkan kebijakan untuk
membatasi aktivitas politik Jamaluddin. Di kota inilah Jamaluddin tinggal hingga
akhir hayatnya, meninggal pada 1897 karena penyakit kanker.

11
Meskipun karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin
al-Afghani telah berjasa memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam modern.
Pengalamannya berkelana ke Negara-negara Barat, membawa pada suatu
kesimpulan bahwa dunia islam dalam keadaan mundur, sementara Barat
mengalami kemajuan. Ini mendorongnya untuk melahirkan pemikiran-pemikira
baru. Pemikiran pembaharuannya didasarkan pada keyakinan bahwa islam adalah
agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Jika ada
pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru
terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam, menurutnya, disebabkan karena
mereka statis, taqlid dan fatalis. Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam
yang sebenarnya, al-Islam mahjubun bi al-Muslim. Umat Islam juga terbelakang
dari segi pendidikan dan kurang pengetahuan mengenai dasar-dasar ajarannya,
serta lemah rasa persaudaraan akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin
mengemukakan dan memperjuangkan gagasan pembaharuannya meliputi :

Pertama, dari sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan


pentingnya kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan
dengan kepercayaan pada Tuhan. Jamaluddin mengajarkan hal yang dibela oleh
para filosof, mendakwahkan agama dan rasionalisme kepada massa, serta hukum
alam pada para elite Muslim. Ia berusaha mengelaborasi mterpretasi Islam
modernis dan pragmatis (Nikki R. Keddie, 1995; 25-27).

Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir


dan India. Lebih luas dari itu, juga menawarkan gagasan dan gerakan Pan-Islam
sebagai anti-imperialisme dan mempertahankan kemerdekaan Negara-negara
Muslim. Pan-Islam dalam pengertian kesatuan politik atau lebih umum kesatuan
Negara-negara Gerakan Muslim tersebut, semakin menguat dan mampu
menggalang solidaritas Muslim untuk menentang Kristen dan penjajah Barat.
Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang membuat Jamaluddin
semakin pepuler di dunia Islam saat itu. Maka jasanya adalah memberikan
kontribusi pemikiran Islam modern khususnya berkenaan dengan politik (Nikki R
Kedd1e 1995125-27).

12
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara pria dan wanita
dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya, keduanya mempunyai
akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar rumah,
jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian, Jamaluddin menginginkan
agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria untuk
mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis ( Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam 1993: 300).

d. Muhammad Abduh (1848-1905)


Muhammad Abduh lahir pada 1848 M di sebuah desa di Propinsi Gharbiyyah,
Mesir. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan KhairAllah, dan nama lengkapnya
adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan KhairAllah. Abduh berasal dari keluarga
petani yang sederhana. taat dan cinta ilmu. Ia belajar membaca dan menulis dari
orang tuanya. Dalam waktu dua tahun telah mampu menghafal seluruh isi Al-
Qur'an (Muhammad Abduh. t.th.: 28). Pendidikan selanjutnya di Thanta. Namun
tidak puas karena metode pengajaran di Thanta diutamakan hafalan tanpa
pengertian, sama halnya dengan metode pengajaran yang umum diterapkan di
dunia Islam ketika itu, kemudian kembali ke kampungnya. Orang tuanya
memerintahkan Abduh agar kembali ke Masjid Ahmadi di Thanta, dan berguru
kepada Syekh Darwisy. Bimbingan dari Syekh yang dengan tekun untuk
menumbuhkan kembali sikap cintanya pada ilmu dan mengarahkannya pada
kehidupan sufi. Kemudian melanjutkan studi di al-Azhar. namun hanya
mendapatkan pelajaran agama saja. Di Universitas ini ditemukan metode
pengajaran yang sama dengan di Thanta. Pada 1871, Abduh bertemu dengan
Jamaluddin zal-Afghani dan memperoleh pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan
ilmu pasti (Albert Hour-ani, 1962: 108). Pertemuannya dengan Jamaluddin
membuatnya semakin kecewa terhadap metode pengajaran al-Azhar, dengan
mengungkapkan pernyataannya yang penuh dengan rasa kekecewaan, bahwa
metode pengajaran yang verbalis itu merusak akal dan daya nalar. Rasa kecewa
itulah yang. menyebabkannya menekuni berbagai masalah agama, sosial, politik.
dan kebudayaan. Abduh juga terlibat dalam kegiatan politik praktis yang
berujung pada pengasingannya ke luar negeri dengan tuduhan terlibat dalam
pemberontakan yang dimotori oleh ‘Urabi Pasya pada tahun 1882 (Charles J.
Adams, 1933: 52). la tambah bersemangat melancarkan kegiatan politik dan

13
dakwah, di tempat pengasingannya di Paris bukan hanya ditujukan kepada rakyat
Mesir, tetapi juga kepada penganut Islam diseluruh dunia. bersama Jamaluddin
menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan al-‘Urwah
alWutsqa. Ide gerakan ini membangkitkan semangat umat Islam untuk bangkit
melawan kekuasaan Barat (Lothrop Stoddard, 1966: 46-80). Umur majalah
tersebut tidak lama karena pemerintah kolonial melarang peredarannya di daerah-
daerah yang mereka kuasai. Setelah penerbitannya dihentikan. ia mengunjungi
Tunis dan beberapa negara Islam lainnya, sebelum akhirnya kembali ke Beirut
pada tahun 1884.
Abduh lebih banyak menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa
Arab di Beirut. Di kota inilah ia menyelesaikan Risalah al-Tauhid.
Pada tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah masa pengasingannya berakhir.
Karir Abduh memasuki babakan baru. Kesan keterlibatan Muhammad Abduh
dalam Pemberontakan ‘Urabi Pasya tampaknya belum terhapus di hati Khedewi
Tawlik penguasa Mesir saat itu. Permohonan Abduh agar ia diizinkan mengajar
di Dar al-‘Ulum ditolalmya: Sebaliknya ia menawarkan kepada Abduh jabatan
hakim di kota Benha dan di luar kota Kairo. Abduh sebenarnya tidak menyenangi
jabatan tersebut. Ia melihat tidak ada jalan lain yang lebih baik, maka menerima
tawaran tersebut. Jabatan itu diterima dan dimanfaatkan untuk merealisasi cita-
cita pembaharuannya. Iajuga menj abat sebagai penasehat pada Mahkamah
Tinggi di Kairo.
Ada tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan,
hukum, dan wakaf.

Pertama, pembaharuan di bidang pendidikan dipusatkan di al-Azhar. Ia


beralasan bahwa al-Azhar adalah pusat pendidikan Mesir dan dunia Islam.
Memperbaharui perangkat pendidikan berarti memperbaharui lembaga
pendidikan Islam keseluruhan. Sebaliknya, membiarkannya dalam keadaan
demikian, berarti membiarkan Islam menemui kehancuran. Cita-cita yang
demikian mungkin dilaksanakan karena kedudukannya sebagai Wakil pemerintah
Mesir dalam Dewan Pimpinan al-Azhar yang dibentuk atas usulnya.
Pembaharuan yang dilakukannya menyangkut sistem pengajaran, seperti
metode. kurikulum, administrasi dan kesejahteraan para guru, bahkan juga
mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan

14
pelayanan kesehatan bagi mahasiswa (Harun Nasution, l 987: 20-21). Dampak
positif dari pembaharuannya antara lain tampak pada jumlah murid yang diuji
setiap tahun. Kalau sebelumnya murid yang bersedia diuji setiap tahun hanya
lebih kurang enam orang, maka setelah pembahaman jumlah tersebut, meningkat
menjadi sembilan puluh lima elang dan sepertiganya berhasil lulus.

Kedua, pembaharuan di bidang hukum. Sebagai mufti di tahun 1899,


menggantikan Syekh llasunah al-Nadawi, memberi peluang baginya untuk
mengadakan pembaharuan di bidang tersebut. Usahanya yang pertama adalah
memperbaiki kesalahan pandangan masyarakat, bahkan pandangan para mufti
sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti berpandangan
bahwa sebagai mufti yang ditunjuk negara tugas mereka hanya sebagai penasihat
hukum bagi kepentingan negara. Mereka melepaskan diri dari orang yang
mencari kepastian hukum. Di luar itu seakan tidak menjadi urusanny. Pandangan
ini diluruskan oleh Abduh dengan jalan memberi kesempatan kepada siapa pun
yang memerlukan jasanya. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat untuk negara,
tetapi juga untuk masyarakat luas. Agaknya ada makna positif dari usaha Abduh
terutama bagi masyarakat, yaitu agar kehadiran mereka tidak hanya dibutuhkan
oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat (Arbiyah Lubis, 1993: 118).

Ketiga, wakaf juga merupakan institusi yang menjadi perhatiannya. Wakaf


merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu, sedangkan dalam
pengelolaan administrasi sangat tidak efektif. Untuk itu ia membentuk Majelis
Administrasi Wakaf dan duduk sebagai anggota. Abduh berhasil memasukkan
perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan dana wakaf, maka
mulailah memperbaiki perangkat masjid, pegawai masjid sampai kepada para
imam dan khatib. Perhatian Abduh terhadap perbaikan masjid ini dilatarbelakangi
oleh situasi masjid-masjid di Mesir. Misalnya dalam penyampaian khutbah yang
tidak bersifat mendidik, tetapi lebih menjurus kepada penyuguhan masalah-
masalah hukum yang kurang beralasan dan tidak dapat dipegangi (AlManar, Vol.
VIII: 491). Itulah sebabnya 1a menetapkan beberapa persyaratan bagi para khatib
antara lain mengharuskan mereka yang dari al-Azhar, agar salah paham terhadap
ajaran agama dapat dikurangi.

15
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa periode yang paling penting
dalam perjalanan hidup Muhammad Abduh adalah periode setelah kembali dari
pengasingan. J. Adams (1933:18) melukiskannya sebagai periode berada di
puncak karir, karena pada masa itu dapat merealisasi cita-cita pembaharuan,
mengemukakan ide, dan pemikirannya tentang Islam, yang mengangkat namanya
ke permukaan dan dikenal ke hampir seluruh penjuru dunia Islam.
Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang
dibawanya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama
yang dihadapi adalah para ulama yang berpikiran statis beserta orang awam yang
dapat mereka pengaruhi. Khedewi sendiri pun akhirnya tidak menyetujui
pembaharuan fisik yang dibawanya, terutama tentang institusi wakaf, yang
menyangkut dengan masalah keuangan. Mungkin karena melihat sukamya
penghalang yang harus dilalui, maka pada tahun 1905 bersama-sama dengan
‘Abd al-Karim Salman dan Syekh Sayyid al-Hambali mengundurkan diri dari
Dewan Pimpinan al-Azhar. Dengan mengundurkan diri tersebut beberapa rencana
yang telah disusunnya tidak dapat lagi dilaksanakan. Beberapa bulan kemudian
jatuh sakit pada suatu malam ketika berangkat ke Eropa. Seminggu kemudian
wafat, tepat pada 11 Juli 1905.

e. Mumammad Rasyid Ridha


Muhammad Rasyid Ridha lahir di Suriah pada tahun 1865 dan wafat tahun
1935. Seorang pemikir dan ulama pembaru dalam Islam di Mesir pada awal abad
ke-20. Ia dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat dan taat
beragama. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Muhammad Rasyid Ridha
berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan Husein
bin Ali binAbi Talib Itulah sebabnya ia memakai gelar sayyid.
Pendidikannya diawali dengan membaca Al-Qur'an, menulis dan berhitung di
kampungnya, Qalamun, Suriah. Berbeda dengan anak-anak se-usianya,
Muhammad Rasyid Ridha lebih senang menghabiskan waktunya untuk belajar
dan membaca buku dari pada bermain. Sejak kecil ia telah memiliki kecerdasan
yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah lancar membaca dan menulis, Muhammad Rasyid Ridha masuk ke
Madrasah ar-Rasyidi-yah, yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Di
sekolah itu ia belajar ilmu bumi; ilmu berhitung; ilmu bahasa, seperti nahwu dan

16
saraf (ilmu tata bahasaArab); dan ilmu-ilmu agama, seperti akidah dan ibadah.
Hanya setahun ia belajar di sini, karena ternyata sekolah itu khusus diperuntukkan
bagi mereka yang ingin menjadi pegawai pemerintah, sedangkan ia tidak
berminat mengabdi untuk. pemerintah.
Ketika berumur 18 tahun, Ridha kembali melanjutkan studinya dan sekolah
yang dipilihnya adalah Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah yang didirikan
Syekh Husain al-Iisr. Dibandingkan dengan Madrasah ar-Rasyidiyah, madrasah
ini jauh lebih maju, baik dalam sistem pengajaran maupun materi yang diajarkan.
Di sini belajar mantiq, matematika, dan filsafat, di samping juga ilmu-ilmu
agama. Gurunya, Syekh Husain al-Jisr, dikenal sebagai seorang yang banyak
berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri
Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran-pikiran gurunya yang sangat
mempengaruhi ide pembaruan Rasyid Ridha adalah bahwa satu-satunya jalan
yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan
pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode Eropa.
Syekh Husain al-Jisr berpendapat demikian karena sekolah-sekolah yang
didirikan bangsa Eropa dan Amerika di Suriah saat itu banyak diminati anak-anak
pribumi. Keadaan ini justru mengkhawatirkan al-Jisr karena di sekolah-sekolah
itu tidak disajikan materi pelajaran agama.
Selain menekuni pelajarannya di Madrasah alm-Wathaf niyyah al-Islamiyyah,
Rasyid Ridha juga tekun mengikuti berita perkembangan dunia Islam melalui
surat kabar al-'Urwah al-Wutsqa ( Ikatan Yang Kuat; surat kabar berbahasa Arab
yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, diterbitkan di
pengasingan mereka di Paris). Melalui suratkabar ini Rasyid Ridha mengenal
gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin a l-
Afghani dan Muhammad Abduh. Ide-ide pembaruan yang dikumandangkan oleh
kedua tokoh itu melalui surat kabar al-Urwah al-Wutsqa sangat berkesan dalam
diri Rasyid Ridha dan menimbulkan keinginan yang kuat di hatinya untuk
bergabung dan berguru pada keduanya.
Keinginan Rasyid Ridha untuk bertemu al-Afghani tidak tercapai karena ia
lebih dahulu meninggal sebelum Rasyid Ridha sempat menjumpainya.
Sebaliknya, Muhammad Abduh sempat dijumpainya ketika yang disebut terakhir
ini berada dalam pembuangannya, di Beirut. Pertemuan dan dialog-dialog antara
Ridha dan Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk

17
melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.
Rasyid Ridha banyak menyerap pikiran-pikiran dan pandangan-pandagan
Muhammad Abduh dalam usaha memajukan umat Islam.
Setelah MuhammadAbduh diizinkan kembali ke Mesir. Ia kemudian
mengikutinya pada tahun 1898. Setibanya di Mesir, ia mengusulkan kepada
gurunya, Muhammad Abduh, agar menerbitkan sebuah majalah yang akan
menyiarkan ide-ide dan pikirannya. Atas dasar ini terbitlah sebuah majalah yang
diberi nama al-manar; nama yang diusulkan Rasyid Ridha dan disetujui
MuhammadAbduh. Dalam terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-
Manar sama dengan al-Urwah al-Wutsqu. yaitu untuk memajukan umat islam
dan menjernihkan ajaran islam dari segala paham yang menyimpang.
Setahun setelah al-Manar terbit, ia mengajukan saran kepada gurunya agar
menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman.
Ketika itu Muhammad Abduh aktif mengajar tafsir Al-Qur’an di al-Azhar.
Sebagai murid. Rasyid Ridha mencatat kuliah-kuliah gurunya, lalu catatannya itu
diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi Selesai diperiksa, catatan itu
diterbitkan dalam majalah al-Manor. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang
termuat dalam majalah al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir
al-manar. Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya sempat menafsirkan
hingga surah an-Nisa’ ayat 125. Penafsiran ayat-ayat selanjutnya dilakukan oleh
Rasyid Ridha sendiri.
Rasyid Ridha j uga seorang pengikut tarekat, yaitu Thareqat Naqsyabandiyah.
Berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia menyimpulkan bahwa ajaran-
ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadat dan pengkultusan seorang
guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif. Sikap-sikap seperti
itujelas merugikan umat Islam.
Ide-ide pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Ridha adalah dalam bidang
agama, bidang pendidikan, dan bidang politik. Dalam bidang agama ia
berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan aj
aran-ajaran agama Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa
Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang sudah
banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Selanjutnya ia menegaskan, jika
umat Islam ingin maju. mereka harus kembali berpegang kepada Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW dan tidak terikat dengan pendapat-pendapat ulama

18
terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modern. Mengenai ajaran
Islam, Rasyid Ridha membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan
dengan Tuhan) dan masalah muamalah (yang berhubtmgan dengan manusia).
Yang pertama telah tertuang dalam teks Al-Qur’an yang qalh‘i ( tunjukannya
jelas, pasti) dan hadits mutawatir: Menurutnya, untuk hal yang kedua ini akal
dapat digunakan sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran
Islam. Rasyid Ridha kemudian menyoroti paham fatalisme yang menyelimuti
umat Islam waktu itu. Menurut Rasyid Ridha, ajaran islam sebenarnya
mengandung paham dinamika, bukan fatalisme. Paham dinamika inilah yang
membuat dunia Barat maju. Rasyid Ridha menjelaskan paham dinamika dalam
Islam dengan mengambil bentuk jihad, yaitu kerja keras dan rela berkorban demi
mencapai keridaan Allah SWT. Etos jihad inilah yang mengantarkan umat Islam
ke puncak kejayaannya pada zaman klasik. Idenya yang lain adalah toleransi
bermadzhab. Rasyid Ridha melihat fanatisme madzhab yang tumbuh di kalangan
umat Islam mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Oleh karena itu, perlu
dihidupkan toleransi bermadzhab, bahkan dalam bidang hukum perlu diupayakan
penyatuan madzhab, walaupun ia sendiri pengikut setia Madzhab Hanbali.
Dalam bidang pendidikan Rasyid Ridha mengikuti gurunya, Muhammad
Abduh. Ridha sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan. Umat Islam hanya
dapat maju apabila menguasai bidang pendidikan. Oleh karena itu, ia selalu
menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi
pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Menurut Rasyid Rida, membangun
lembaga pendidikan lebih bermanfaat dari pada membangun masjid. Apa artinya
masjid jika pengunjungnya hanyalah orang-orang bodoh. Sebaliknya, lembaga
pendidikan akan dapat menghapuskan kebodohan dan pada gilirannya membuat
umat menjadi maju dan makmur. Usaha yang dilakukannya di bidang pendidikan
adalah membangun sekolah misi islam dengan tujuan utama untuk mencetak
kader-kader mubaligh yang tangguh sebagai imbangan terhadap sekolah
misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Cairo dengan
nama Madrasah ad-Da'wah wa al-Irsyad. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu
agama, seperti al-Qur’an, tafsir,. akhlak dan Hik-mah at-tasyri (hikmah
ditetapkannya syariat). bahasa Eropa, dan ilmu kesehatan. Setelah itu, Rasyid
Ridha mendapat midangan dari pemuka Islam India untuk mendirikan lembaga
yang sama di sana.

19
Selain aktif di bidang pendidikan, ia juga aktif berkiprah di dunia politik.
Kegiatannya antara lain menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920,
sebagai delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921, sebagai anggota Komite
Politik di Cairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun
1926 dan di Yerusalem tahun 1931. Ide-idenya yang penting di bidang politik
adalah tentang ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Ia melihat salah satu
penyebab kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di kalangan
mereka. Untuk itu. ia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu
keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk kepada satu
sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Akan tetapi, negara
yang di inginkan Rasyid Ridha bukan seperti di Barat, melainkan negara dalam
bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun (empat
khalifah besar). Khalifah haruslah seorang mujtahid (ahli ijtihad) dan dalam
menjalankan roda pemerintahannya, ia dibantu oleh para ulama. Hanya dengan
sistem khilafah, ukhuwwah Islamiyah dapat diwujudkan. Dalam bukunya aI-
Khilafah, Rasyid Ridha menjelaskan secara panjang lebar m e-ngenai khilafah,
antara lain disebutkan bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran:
menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai
masalah-masalah yang tidak dijelaskan dalam nash. Khalifah bertanggung jawab
atas segala tindakannya di bawah pengawasan alil al-hall wa al-‘aqd yang
anggota-anggotanya terdiri atas para ulama dan pemuka-pemuka masyarakat.
Tugas ahl al-hall wa al-‘aqd, selain mengawasi jalannya roda pemerintaha, juga
mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah. Lembaga ini berhak
menindak khalifah yang berbuat dhalim dan sewenang-Wenang.
Pengaruh pemikiran pembaharuan Rasyid Ridha dan gurunya, Muhammad
Abduh, terasa sampai ke Indonesia. Ide-idenya yang terkandung dalam majalah
aI-Manar; khususnya mengenai pemberantasan bid'ah dan khurafat, banyak
mengilhami timbulnya gerakan pembaharuan di Indonesia. Bukti-bukti yang
dapat dikemukakan sebagai adanya pengaruh ide-ide Rasyid Ridha di Indonesia,
antara lain, terbitnya majalah al-Munir di Padang yang dikelola oleh ulama-ulama
yang pernah belajar di Mekah. Majalah ini mengulas berita-berita yang dimuat
dalam majalah al-Manar; Ulama-ulama Indonesia banyak yang tertarik untuk
membaca aI-Manar; baik semasa berada di Mekah maupun setelah kembali ke
Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya pertanyaan ulama Indonesia

20
terhadap Rasyid Ridha melalui al-Manar mengenai nasionalisme, patriotisme,
dan semangat ukhuwwah Islamiyah (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jilid 3, l
993: 255-257).

5. Kedudukan dan Fungsi Tajdid


Majelis Tarjih dan Tajid memiliki rencana strategi untuk menghidupkan
tajdid, dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan
yang kritis-dinamis dalam kehidupan masyarakat dalam menjalankan problem dan
tantangan perkembangan sosial budaya dan kehidupan pada umumnya sehingga
Islam selalu menjadi sumber pemikiran, moral, dan praksis sosial di tengah
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sangaat kompleks.
Berdasarkan garis besar program, Majelis ini mempunyai tugas pokok :
a. Mengembangkan dan menyegarkan pemahaman dan pengalaman ajaran
Islam dalam kehidupan masyarakat yang multikultural dan kompleks.
b. Mensistematisasi metodelogi pemikiran dan pengalaman Islam sebagai
prinsip gerakan tajdid dalam gerakan Muhammadiyah.
c. Mengoptimalkan peran kelembagaan bidang tajdid, terjih dan pemikiran
Islam untuk selalu proaktif dalam menjawab masalah riil masyarakat yang
sedang berkembang.
d. Mensosialisasikan produk-produk tajdid, tarjih dan pemikiran keislaman
Muhammadiyah ke seluruh lapisan masyarakat.
e. Membentuk dan mengembangkan pusat penelitian, kajian, dan informasi
bidang tajdid pemikiran Islam yang terpadu dengan bidang lain.

21
B. Konsep Dakwah dalam Muhammadiyah
1. Pengertian Dakwah dalam Muhammadiyah
Gerakan dakwah atau lebih sering dikenal dengan dakwah harakah bermakna
dakwah dengan atau melalui sistem pergerakan. Sesuai dengan namanya, aliran
dakwah yang satu ini lebih menekankan aspek tindakan (aksi) ketimbang wacana
(teoritisasi). Menurut Hasa al-Qattany, yang dimaksud dakwah harakah adalah
dakwah yang berorientasi pada pengembangan masyarakat Islam, dengan melakukan
reformasi total (islah) terhadap seluruh aspek kehidupan sosial, baik terkait dengan
individu (Islah af-fard), keluarga (islah al-usrah), masyarakat (Islah al-mujtama)
hingga Negara (Islah al-daulah).
Kata Harakah itu sendiri secara harfiah berarti gerak atau gerakan, merupakan lawan
dari daim (al-Harakah Didl al-Sukun). Dikatakan bergerak, bila seorang berpindah
atau mengambil posisi baru. Dan makna harfiah ini, dapat dipahami dua makna
penting kata harakah. Pertama, harakah, menunjuk pada suatu gerakan yang timbul
setelah masa atau kondisi vakum. Kedua, harakah menunjukan pada suatu usaha
pembaruan untuk membawa masyarakat kepada kehidupan baru yang lebih baik.

2. Tinjauan Gerakan Dakwah Dari Berbagai Aspek


Sebagai sistem hidup yang komprehensif (manhaj hayah) menurut Fathi Yakan,
Islam tidak boleh dianggap hanya sebagai sistem keyakinan transedental, melainkan
suatu sistem yang mengatur seluruh segi kehidupan dari mulai sistem sosial,
ekonomi hingga politik. Khususnya aspek politik, Fathi Yakan membedah karakter
harakah Islam dari sistem keyakinan lain. Islam kata Yakan, berbeda dengan agama
Kristen misalnya, yang menghendaki pemisahan agama dari Negara. Dalam
keyakinan Kristen, agama tidak mencampuri urusan-urusan keagamaan. Kaidah
yang amat terkenal terkait dengan pemisahan agama dari Negara ini adalah
pernyataan “Berikanlah kaisar milik kaisar dan berikanlah kepada Allah apa yang
menjadi milik Allah”. Fatih Yakan memaparkan, bahwa kaidah demikian ini tidak
dikenal dalam islam. Kekuasaan Negara, demikian Fatih Yakan menjelaskan,
sejatinya ditujukan untuk melindungi agama dan menghadirkannya dalam
masyarakat.

22
3. Karakteristik Gerakan Dakwah
Menurut Mustafa Masyhur, dakwah harakah mendasarkan diri pada tiga kekuatan
sekaligus yaitu :
1.) kekuatan aqidah dan iman
2.) kekuatan persatuan dan ikatan kaum muslimin (quwawat at-waddah wa at-
tarabbuth)
3.) kekuatan jihad (quwat al jihad).

Menurut Fathi Yakan, ada empat ciri yang sangat menonjol dari dakwah harakah,
yaitu :
1.) murni dan autentik (dzatiyyah), yakni autentik sebagai panggilan Tuhan
2.) mendorong kemajuan (taqaddumiyah), yakni kemajuan yang tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas
3.) universal (syamilahi) mencakup semua aspek kehidupan, memadukan tiga
sistem hidup (manhaj al hayat) yang terdiri dari tiga D, yaitu Din (agama),
Dunya (dunia), dan Daulah (pemerintahan negara)
4.) menekankan prinsip-prinsip agama yang luhur dan menjauhkan diri dari
perbedaan mazhab.

4. Da’i Gerakan Dakwah


Suatu pergerakan pasti memerlukan dukungan kader. Kader dakwah gerakan
adalah da’i, tetapi da’i dalam paradigma gerakan, yaitu pejuang dakwah (mujahid
ad-da’wah). Disini, da’i adalah seorang pejuang dan akrifis pergerakan Islam, yang
sudah membekali diri dengan ilmu, wawasan dan ghirah dinniyah sehingga tabah
mengahadapi ejekan, siksaan fisik dan bahkan siap menjadi syahid. Semboyan
mujahid dakwah adalah Allahamuqshaduna (Allah tujuan kita), Al-Qur’an imamuna
(Al-Qur’an imam kita), wa Sunnah sabilina (sunnah nabi jalan kita), dan al-mautu fi
sabilillah amanuna (mati syahid harapan kita).

5. Kepentingan Gerakan Dakwah


Perberlakian dakwah gerakan tidak sepanjang zaman, tetapi hanya jika keadaan
memaksa, yaitu (1) ketika dakwah dihambat oleh kekuatan fisik,sehingga sama
sekali tidak ada peluang untuk menyebarkan Islam (berdakwah) secara damai, (2)
ketika ada kesiapan pada kaum muslimin, kesiapan mental, moral, dan kekuatan, (3)

23
penggunaan kekuatan fisik dalam dakwah gerakan bersifat darurat. Jika keadaan
kembali menjadi kondusif untuk dakwah secara damai, maka penggunaan kekuatan
fisik harus diberikan.
Perbedaan Islam di berbagai belahan bumi berbeda-beda dan untuk
mengambil keputusan merespons keadaan diperlukan pemikiran mendalam serta
ijtihad yang ikhthiyath (hati-hati) karena rentan terhadap penyusupan pihal lawan,
seperti ynag dialami oleh Jama’ah Islamiyah yang dipimpin oleh Abu Bakar
Ba’asyir dan Habib Riziq, juga Iasykar jihad Ja’far Umar, dan Iasykar jihad Imran.

6. Penggerakan Dakwah
Adapun pengertian penggerakan dakwah adalah seluruh proses pemberian motivasi
kerja kepada para bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka mampu bekerja
dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.
Motiving secara implicit berarti, bahwa pimpinan organisasi di tengah bawahannya
dapat memberikan sebuah bimbingan, intruksi, nasihat, dan koreksi jika diperlukan.
Agar fungsi dari penggerakan dakwah ini dapat berjalan secara optimal, maka harus
menggunakan teknik-teknik tertentu meliputi :
a. Memberikan penjelasan secara komprehensif kepada seluruh elemen dakwah
yang ada dalam organisasi dakwah.
b. Usahakn agar setiap pelaku dakwah menyadari, memahami, dan menerima
baik tujuan yang telah diterapkan.
c. Setiap pelaku dakwah mengerti struktur organisasi yang dibentuk.
d. Memperlakukan secara baik bawahan dan memberikan penghargaan yang
diiringi dengan bimbingan dan petunjuk untuk semua anggota.

Dari semua potensi dan kemampuan ini, maka kegiatan-kegiatan dakwah akan
teakomodir sampai kepada sasaran yang telah ditetapkan. Ada beberapa poin dalam
proses pergerakan dakwah yang menjadi kunci dari kegiatan dakwah yaitu :
a. Pemberian motivasi
b. Bimbingan
c. Penyelenggaraan komunikasi dan
d. Pengembangan dan peningkatan pelaksana.

24
C. Metode dan Strategi dakwah Muhammadiyah
Metode berasal dari bahasa Jerman “methodica” yang artinya ajaran tentang metode,
sedangkan dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata “methodos” artinya jalan
yang dalam bahasa arab disebut tariq (Hasanuddin, 1996 :35) dengan demikian dapat
diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu
tujuan.
Jika dikaitkan dengan dakwah maka dapat diartikan metode dakwah adalah cara-cara
tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai
suatu tujuan atas hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997:43).
Bentuk-bentuk metode dakwah menurut Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125,
menunjukkan bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan yaitu :
1. Dakwah bi al-hikmah (dengan cara hikmah) Kata “hikmah” dengan Al-Qur’an
disebutkan sebanyak 20 kali, baik dalam nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk
masdranya adalah “hukuman” yang diartikan secara makna aslinya yaitu
mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti menghindari hal-hal yang kurang
relevan dalam melaksankan tugas dakwah. Menurut Al-Asma’i adal muda
didirikan hukuman (pemerintahan) ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan
zalim.
2. Dakwah bi al-mau’izah al-hasanah (dengan nasehat yang baik) Nasehat adalah
salah satu cara dari al-mau’izah al-hasanah yang bertujuan meningkatkan bahwa
segala perbuatan pasti ada sangsi dan akibat. Secara terminologi nasehat adalah
memerintah atau melarang atau menganjutkan yang dibarengi dengan motivasi dan
ancaman. Sedangkan pengertian nasehat dalam kamus besar bahasa indonesia
Balai Pustaka adalah memberikan petunjuk kepada jalan yang benar dengan cara
melunakkan hati. Nasehat harus berkesan dalam jiwa dengan keimanan dan
petunjuk.
a) Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh Hasanuddin
adalah sebagai berikut : al-mau’izah al-hasanah adalah perkataan-perkataan
yang vtidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasehat dan
menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Al-Qur’an.
b) Menurut Abd. Hamid al-Biali al-mau’izah al-hasanah merupakan salah satu
manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan
memberikan nasehat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau
berbuat bai.

25
3. dakwah al-mujadalah bi al-lati hiya Ahsan (sanggahan yang sebaik-baiknya)
merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang
tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang
diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

D. Landasan Melakukan Tajdid dan Dakwah


Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam
adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan historis.
1. Landasan Teoligis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan
pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisantersebut adalah landasan teologis yang
mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan islam).
Pertama, keyakinan bahwa islam adalah agama universal (uinver-salisme Islam).
Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan
rahmat bagi seluruh alam.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah sebagai agama yang terakhir yang
diturunkan Allah SWT, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad SAW sebagai
seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa
Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang
berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini
pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang
paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian
agama yang diturunkaan sebelumnya. “Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap,
sempurna, dan mencakup segala-galanya.
2. Landasan Normatif
Landasan Normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang
diperoleh dari teks-teks nash, bail Al-Qur’an maupun Al-hadits.
Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelaksanaan tajdid
dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan
pembaruan. Di antaranya surat Al-Dluha : 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu
lebih baik bagimu dari yang dahulu”. Ayat lainnya adalah surat Ar-ra’d : 11.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga
mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri”.

26
3. Landasan Historis
Diawal perkembangan sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih
terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan madinah, Islam diterima
dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata : “sami’na atha’na”.
Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar
luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan
ajaran Islam itu menjadi segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu
mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu
kala, ilmu hadis, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa
empat abad semenjak ia sempurna diturunkan.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tajdid berasal dari bahas arab yakni “Jaddada- Yujaddidu-Tajdidan” yang
bermakna memperbaharui sesuatu sehingga menjadi baru. Dengan kata lain, tajdid
berarti pembaharuan terhadap segala usaha yang telah dilakukan pada masa lampau
untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Adapun
secara isthilahi, sebagaimana ditegaskan oleh imam al-Syatibi, seperti dikutip oleh
Syaikh Alawi, tajdid berarti ajaran Quran dan Sunnah yang telah banyak ditinggalkan
umatnya, dan memurnikan pemahaman dan pengamalan agama islam dari hal-hal yang
tidak berasal dari islam.

Gerakan dakwah atau lebih sering dikenal dengan dakwah harakah bermakna
dakwah dengan atau melalui sistem pergerakan. Sesuai dengan namanya, aliran dakwah
yang satu ini lebih menekankan aspek tindakan (aksi) ketimbang wacana (teoritisasi).
Sebagai sistem hidup yang komprehensif (manhaj hayah) gerakan dakwah islam yang
disajikan tidak boleh dianggap hanya sebagai sistem keyakinan transedental, melainkan
suatu sistem yang mengatur seluruh segi kehidupan dari mulai sistem sosial, ekonomi
hingga politik.

B. Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang
perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi
ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang
di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang
lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang  sebenarnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat Syamsul.dkk. 2012. Studi Kemuhammadiyahan Kajian Historis, Ideologi dan


Organisasi. Surakarta: LPID

Maarif Syaf’i.dkk. 2010. Menggugat Modernitas Muhammadiyah. Jakarta. Best Media


Utama

Rohmansyah. 2017. Kuliah Kemuhammadiyahan. Yogyakarta : Lembaga Penelitian,


Publikasi dan Pengabdian Masyarakat.

Tanjung Azrul.dkk 2015. Muhammadiyah Ahmad Dahlan Menemukan Kembali Otentisitas


Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai