Anda di halaman 1dari 7

Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah Dan Tajdid

Raisa Rafdian Risly 202120280211053


Universitas Muhammadiyah Malang

Pendahuluan
Modernitas muhammadiyah lahir sebagai respon atas sejarah, bukan spontanitas.
Ketika rakyat tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan semasa rezim kolonial,
muhammadiyah lahir dengan banyak respon; pendidikan modern dan mengembangkan
spirit PKO ( Pertolongan Kesengsaraan Oemoem) ketika masyarakat terlena dalam
tradisional dan pencampuradukan ajaran agama, muhammadiyah memberikan wacana dan
spirit baru, tajdid dan purifikasi.
Muhammadiyah sebagai gerakan islam merumuskan gerakan pembaharuannya
dalam bentuk purifikasi dan dinamisasi [1]. Purifikasi didasarkan pada asumsi bahwa
kemunduran umat islam terjadi karena umat islam tidak menjalankan aqidah islam yang
benar, sehingga harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan teori “
segala sesuatu dalam ibadah mahdhoh dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Quran dan
Hadist” sedangkan dinamisasi dilakukan dalam bidang mu’amalah, dengan melakukan
gerakan modernisasi sesuai dengan teori “ segala sesuatu boleh dikerjakan selama tak ada
larangan dala Al-Quran dan Hadist”. Muhammadiyah dalam gerakan pembaharuannya di
lakukan bersamaan antara gerakan purifikasi dengan gerakan mu’amalah. Purifikasi dalam
bidang aqidah yang dilakukan oleh muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki
keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan.
Maka penulis menemukan bebeapa rumusan masalah, yaitu Apa Pengertian tajdid
dan tajrid? Kemudian bagaimana Model tajrid dan tajdid Muhammadiyah? Terakhir,
bagaimana Model dan Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah?. Sehingga tujuan dari
makalah ini adalah: Mampu menjelaskan pengertian tajrid dan tajdid. Kemudian mampu
menjelaskan model tajrid dan tajdid Muhammadiyah. Dan terakhir, mampu memahami
model dan makna gerakan keagamaan Muhammadiyah.

Pembahasan
Pengertian Tajdid
Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui
atau menjadikan baru. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid berarti pembaruan,
modernisasi atau restorasi. Secara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan
dan pelakunya disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah
(terminology), tajdid berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam
bentuk pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal
maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat [2].
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki
dua arti, yakni:  a. pemurnian;  b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang
semakna dengannya. Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan
matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shohihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna
dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran
Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak
dari ajaran Islam. Dalam konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan
kembali ajaran al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali
kepadanya [2]. Yang diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan
memperbarui atau mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur”an maupun al-Hadis.
Dengan kata lain, yang diubah atau diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an
dan al-Hadist tersebut. Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif
Muhammadiyah adalah seperti diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai
berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah bertujuan
memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul, bid’ah dan
khurafat yang dianggap syirik.

Pengertian Tarjih
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjiihan “, yang berarti mengambil
sesuatu yang lebih jelas dan kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang
dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang
terkesan saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang
lainnya. Tarjih secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika
terjadinya pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya yang
sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wat-taufiq. Dalil yang dikuatkan
disebut rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh. Tarjih dalam istilah
persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “Matan Keyakinan dan Cita-
cita hidup Muhammadiyah“ adalah membandingkan pendapat dalam musyawarah dan
kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih jelas dan kuat .
Dari pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih adalah : Adanya
dua dalil dan Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain.
Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform
atau pembaruan [3]. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling
membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat
masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan.
Model Tajdid Muhammadiyyah
Model tajdid muhammadiyah Pertama; kongkrit dan produktif, yaitu melalui amal
usaha yang didirikan, hasilnya kongkrit dapat dirasakan  dan dimanfaatkan oleh umat
Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia [4]. Suburnya amal saleh di
lingkungan aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada komunitas Muhammadiyah, bangsa
dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam rangka rahmatan lil alamin.
Kedua; tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut,
Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan di sekitar kita . Dari
sekian amal usahanya, rumah sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh
siapapun. Sekolah sampai kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja.
Kalau Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa, maka yang
menjadi nasabah, partner dan komsumennya pun bisa siapa saja yang membutuhkan.
Ketiga; tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita
Muhammadiyah untuk menjadikan Islam itu, sebagai agama yang berkemajuan, juga Islam
yang berkebajikan yang senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-masalah temasuk
masalah kesehatan, pendidikan, dan masalah sosial ekonomi.
Dengan Demikian model Tajdid  dibagi dalam tiga bidang, yaitu bidang
keagamaan, pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau
prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi
mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan
pemikiran tambahan lain .
Pembaharuan dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali atau
mengembalikan kepada aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik yang
menyangkut akidah atau pun ibadah harus sesuai dengan aslinya, yang sebagai mana
diperintahkan dalam Al-Qur’an dan as sunah. Dalam masalah akidah muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya akidah islam yang murni, bersih dari gejala kemusyrikan, bid’ah
dan curafat tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut islam. Sedangkan dalam ibadah,
muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan
Rasullah tanpa perubahan dan tambahan dari manusia [1]. Usaha permurnian yang
dilakukan muhamaadiyah terhadap keadaan keagamaan yang tampak dari serapan berbagai
unsur kebudayaan yang ada di indonesia yaitu penentuan arah kiblat dalam sholat, yang
sebelumnya mengarah tepat ke arah barat.
Bidang pendidikan, dalam bidang ini Muhammadiyah mempelopori dan
meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi
Muhammdiyah pendidikan memiliki arti yang penting dalam penyebaran ajaran islam,
karena melalui bidang pendidikan pemahaman tentang islam dapat diwariskan dan
ditanamkan dari generasi kegenerasi [5]. Pembaharuan dari segi pendidikan memiliki dua
segi yaitu segi cita-cita. Dari segi ini ingin membentuk manusia muslim yang baik budi,
alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan
bersidia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Kemudian segi teknik pengajaran. Dari
segi ini lebih banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran. Dengan
mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem pendidikan
tradisonal, muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan sendiri [6]. Seperti
sekolah model barat yang dimasukkan pelajaran agama didalamnya, sekolah agama dengan
menyertakan perlajaran umum.
Bidang sosial masyarakat. Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan
dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat
kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal
usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada umumnya.
Usaha pembaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya
Pertolongan Kesengsaraan Oemoen (PKO) di tahun 1923. Perhatian terhadap kesengsaraan
orang lain merupakan kewajiban orang muslim, sebagai perwujudan tuntunan agama yang
jelas untuk ber amal ma’ruf dan juga sebagai bentuk pengamalan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam surat Al-Ma’un 107

Model Tarjih Muhammadiyah


Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadis) yang
terkesan berbeda pemaknaannya. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash tersebut, ada
beberapa cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu Dari Segi Sanad ( Para
Perawi Hadith). Imam al-Syawkany ( 1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa
pentarjihan dapat dilakukan dengan 42 cara, salah satu di antaranya dengan cara melihat
persambungan sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang sanadnya bersambung sampai kepada
Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam dari hadith yang sanadnya terputus.
Pentarjihan melalui cara menerima hadith dari Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam. Yaitu menguatkan hadith yang langsung didengar dari Nabi dari pada hadith
yang didengar melalui perantaraan orang lain atau tulisan [7]. Dirajihkan juga riwayat yang
memakai lafal langsung dari Rasulullah yang menunjukkan kata kerja, seperti kata naha
(melarang), amara (memerintahkan), dan adzina (mengizinkan), daripada riwayat yang
lainnya.
Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum. Cara pentarjihan melalui metode ini,
Imam al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan Muhammad ibn Ali al-Syawkani
menyederhanakannya menjadi 9 cara, salah satu di antaranya sebagai berikut: Teks yang
mengandung bahaya Jumhur lebih didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya
hadith Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam yang artinya: "Tidaklah berkumpul antara
yang halal dengan yang haram, kecuali   yang haram lebih dominan". (HR. Al-Baihaqy).
Suatu teks yang mengandung hukum menetapkan, sedangkan yang lain meniadakan, maka
dalam hal  seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama [3].

Model Gerakan Keagamaan Muhammadiyah


Pada dasarnya, Muhamadiyah telah menggagas mengenai penguatan basis gerakan,
sejak awal berdirinya. Bahkan dalam Muktamar pada tahun 1970-an telah diputuskan
untuk menggalang jama’ah dan dakwah jamaah (GJDJ). Gerakan Jamaah dan Dakwah
(GDJD) adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka terhadap lingkungan
sosialnya. Definisi sederhana tentang jamaah adalah kumpulan keluarga muslim yang
berada dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Ajakan warga aktif merupakan landasan
gerakan Muhammadiyah yang menuntut adanya komunitas yang solid dan terorganisir
untuk memperjuangkan tegaknya kebaikan menentang segala macam keburukan [8].
Orientasi dari gerakan ini adalah membangun basis kehidupan dakwah bil halal di bidang
pendidikan, sosial, ekonomi dan kesehatan.
KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan beberapa sahabatnya
sangat peduli terhadap pembinaan jamaah. Beliau melakukan perjalanan keliling Jawa
untuk melakukan pembinaan hingga ke Banyuwangi, Jakarta dan Jawa Tengah. Itu artinya,
penguatan jamaah sudah menjadi platform dari berdiri dan pengembangan gerakan
Muhamaadiyah. Langkah Penguatan Jama’ah. Langkah pemberdayaan melalui penguatan
institusi cabang dan ranting akan memberi kontribusi bagi penguatan kohesi sosial
/solidaritas antar warga di tengah meluasnya paham-paham radikal yang cenderung anarkis
belakangan ini.

Makna Gerakan Keagamaan Muhammadiyah


Secara harfiah ada perbedaan antara kata “gerak, “gerakan”, maupun “pergerakan”.
Gerak adalah perubahan sesuatu materi dari tempat yang satu ke tempat lainnya, gerakan
adalah perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan pergerakan adalah usaha atau kegiatan
[9]. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah sosial. Dengan demikian, kata
gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur, dan esensi yang dinamis tidak statis.
Muhammadiyah merupakan organisasi pergerakan. Kader muhammadiyah di tuntut
untuk selalu bergerak dalam menyebar syariat islam yang terinspirasi dari surat Al-Imran
ayat 104. Muhammadiyah bukanlah gerakan sosial-keagamaan yang biasa. Tetapi sebagai
gerakan Islam, pergerakan organisasi terkait erat dengan perkembangan agama Islam di
Nusantara. Tidak hanya bergerak, karena setiap dakwah yang disampaikan dan disebarkan
harus berdasarkan bingkai petunjuk ajaran agama Islam: Islam tidak terbangun sebagai
asas formal (teks), tetapi menjiwai, melandasi, mendasari, mengkerangkai, memengaruhi,
menggerakan dan menjadi pusat orientasi dan tujuan . Tidak sekadar meng-Islam KTP,
menjadikannya slogan dan simbolik belaka, tetapi menjadikannya jalan dan ruh kehidupan.
Di sisi lain: Muhammadiyah bertujuan untuk mencetak ummat terbaik atau ummat
yang unggul. Sebagaimana pokok pikiran keenam Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Disebutkan bahwa: “organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-
baiknya.” Ciri-cirinya adalah: a) Muhammadiyah adalah subjek atau pemimpin, dan
masyarakat semuanya adalah objek atau yang dipimpinnya; b) Lincah (dinamis), maju
(progresif), selalu dimuka dan militan; c) Revolusioner; d) Mempunyai pemimpin yang
kuat, cakap, tegas dan berwibawa; dan e) Mempunyai organisasi yang susunannya lengkap
dan selalu tepat atau up to date [1].
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah
mengalami perubahan yang sangat berarti. Tajdid dalam Muhammadiyah  pada tataran
praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi
terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam. Tajdid atau pembaharuan dalam
Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh kader–kader
Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur
oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat
modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran
agama yang  sebenarnya.
Model model Tajdid dalam Muhammadiyah digolongkan dalam tiga bidang
diantaranya (a) bidang keagarmaan yaitu Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah
penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu
lingkungan situasi dan kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas
dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran tambahan lain. (b) bidang pendidikan yaitu
Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi
yang lebih nyata dimana bidang pendidikan dipandang sangat penting dalam penyebaran
ajaran agama islam. (c) bidang sosial masyarakat Muhammadiyah merintis bidang sosial
kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah,
panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola
melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada
umumnya.

Referensi
[1] P. Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Ideologi, Khittah dan
Langkah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.
[2] H. Sucipto, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan Hingga A. Syafii Ma’arief.
Jakarta: Grafindo, 2005.
[3] P. P. M. Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam, Buku Panduan Munas
Tarjih ke 26. Yogyakarta: MTPPI PP Muhammadiyah, 2003.
[4] M. A. Abdullah, Fresh Ijtihad, Manhaj Pemikiran Keislaman Muhammadiyah di
Era Disrupsi. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019.
[5] K. Khozin, “Praksis Pendidikan Perspektif Integrasi Sains dan Islam,” Sci. Educ. J.,
vol. 3.2, pp. 139–144, 2020, doi: https://doi.org/10.21070/sej.v3i2.3096.
[6] M. Ali, Paradigma Pendidikan Berkemajuan; Teori dan Praktik Pendidikan
Progresif Religius KH. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017.
[7] A. Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, 1st ed.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
[8] P. Boy, Era Baru Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMM Press, 2008.
[9] A. F. Fanani, Reimagining Muhammadiyah Islam Berkemajuan dalam Pemikiran
dan Gerakan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.

Anda mungkin juga menyukai