Anda di halaman 1dari 21

TOKOH PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas Makalah Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dengan Dosen Pengampu Zainal Abidin, M.Pd.I

Oleh

NAZLAN EFENDI

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS AL-WASHLIYAH (UNIVA)
MEDAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembaharuan dalam islam dikenal juga dengan modernisasi islam, yang
mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam agama dengan
ilmu pengetahuan dan Falsafah modern, tetapi perlu diingat bahwa dalam islam
ada ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu penafsiran atau interpretasi dari
ajaran-ajaran yang bersifat abadi dari masa ke masa. Dengan kata lain
pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan
karena sudah tidak bisa lagi diganggu gugat seperti pada hukum- hukum yang
tercantum dalam Al-Qur’an. Pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau
kembali beberapa aspek yang memang memerlukan untuk diperbaharui seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin modern sehingga mampu diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang ini.
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang
panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya
yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan
agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran
asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari
berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan
aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan
menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-
orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-
tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu
kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang
berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih
jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani.
Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal
tentang iman.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran
filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang
menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini
ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam.
Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan
justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin
terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak
abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan.
Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang
mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah.
Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya
mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar
sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan
hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka
membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan
Hadits).Maka dari itu penulis mengambil judul tentang tokoh-tokoh pembaharuan
dalam islam

B. Masalah
1. Apa Pengertian pembaharuan dalam Islam?
2. Bagaimana Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami konsep pembaharuan dalam Islam.
2. Memahami Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam


Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.1 Dalam bahasa arab Pembaharuan Islam
disebut Tajdidsecara harfiah tajdid berarti pembaharuan dan pelakunya
disebut Mujaddid. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena
betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di
zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh
kecenderungan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut
untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat
digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada
kondisinya yang seharusnya”.
Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-
bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya
adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau
dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Ansyur mengatakan, Pembaharuan
agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia.
Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman
yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan
agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya
menguatkan kekuasaan agama.
Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa2[2]
‫ل ث س هاإىِ هم ِ ِ ُم ِا هِ َّللاث ِهل ثَ عِنِإ هََّللا ِنِإ‬ ‫ه‬ ‫ث‬ َ ‫اه َه‬
‫يِ َّللاِ هه ِل ث‬
‫ُ عهنِ هي هْ م َا هم ِ ةِئ ِِ ه‬

1Harun Nasution, Pembaharuna dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), cet 1, hlm.10
2 https://muslim.or.id/3942-mengenal-para-ulama-pembaharu-dalam-islam.html
” Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam)
orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus
tahun” (HR. Daud)
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah
mengganti atau mengubah agama, akan tetapi seperti dijelaskan oleh Abbas Husni
Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan
memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan
hawa nafsu manusia sepanjang zaman.
Tema “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa
seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi
maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan
Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh
tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama,
upaya tajdidsecara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal
yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu,
upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-
nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang
menyelisihi ijma’ ulama Islam3[3]. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam
mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama setelah perjalanannya berabad-abad lamanya
dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya
tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah SAW dan para
sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul
dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa
“memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau
menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal
itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-
bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun

3Harun Nasution, Pembaharun dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), cet 1, hlm.10
juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap
aqidah, jika aqidah umat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Pembaruan Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar
mengikuti ajaran yang terdapat didalam Al Quran dan Al-Sunnah. Diperlukan
karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al Quran dengan kenyataan
di masyarakat. Al Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai
pengetahuan agama dan pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang:
hidup bersatu, rukun dan damai yang bersifat dinamis, kreatif, inovatif,
demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu dan
menyukai kebersihan.4
Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide pembaruan
dalam Islam dengan maksud seperti diungkapkan diatas, Muhammad Abduh
dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat dalam ajaran Islam kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya dibuka kembali ke pintu ijtihad. Sementara
itu, Sayyid Ahmad Khan bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan
paham qadariah , perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada
dalam Al Quran tidak bertentangan.

B. Tokoh Pembaharuan Dalam Islam kawasan Timur


1. Jamaluddin Al-Afghani
a. Biografi
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul,
Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897.5 Tetapi penelitian
para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang bernama sama
(As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini menyebabkan
banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang
muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah
terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri,
dengan sebutan Al-Afghani.6Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin Ali

4Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), cet 20,
hlm. 378
5 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, op cit hal. 130
6 Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.hal 203
melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab
Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai
bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
b. Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu
bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala
berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian,
industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta.
Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang laping teratas kedudukannya di
antara ilmu-ilmu yang lain.7
Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang
universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan
perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak
ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.8
Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar
umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut
ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan pun harus ikut
andil dalam bidang pendidikan tersebut.

2. Tahtawi
a. Biografi
Al-Tahtawi memiliki nama lengkap Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, ia
merupakan pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di
pertengahan pertama dari abad ke-19. Ia lahir di Tahta pada tahun 1801, Tahta
merupakan kota yang berada di bagian selatan mesir dan wafat pada tahun 1873 di
kairo. Ketika Muhammad Ali mengambil alih kekayaan di Mesir, harta orang tua
al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu dan ia terpaksa menempuh
pendidikan masa kecilnya oleh bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16
tahun al-Tahtawi memutukan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar dan pada
tahun 1822 ia menyelesaikan studinya.

7 Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 158
8Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta:
Djambatan, 1992.), h. 300
Al-Tahtawi merupak murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-
Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan Napoleon ketika ia datang ke
mesir. Gurunya al-Tahtawi ini sering mengadakan kunungan kepada ahli-ahli dari
Prancis tersebut untuk mengetahui kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Dan
mereka pun menerima kunjungan itu dengan senang hatu karena mereka bisa
belajar bahasa arab dari gurunya al-Tahtawi.
b. Pemikiran
Di antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang
universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan kepada pemberian
kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat.
Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan
kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang
posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi
isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan
putra-putri yang cerdas.9
Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan.
Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak
dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an, agama, dan
matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra,
ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah
pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam
berbagai disiplin ilmu.
Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta
dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik
hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar.
Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab
merusak perkembangan anak didik.
Dengan demikian, dipahami bahwa al-Tahtawi sangat memperhatikan
metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.

9Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan
Kebudayaan Islam. (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.) h, 220
3. Muhammad Abduh
a. Biografi
Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-
Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong
kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di
pedesaan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka
memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha
pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau
mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti
dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke
desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk.
Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia
baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha
(sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an. Setelah dua
tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya
dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah
ia dikawinkan.
b. Pemikiran
Menurut Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis
untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara sistematis.
Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah bahwa ia
sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam lembaga-lembaga
pendidikan umum harus diajarkan agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga
pendidikan agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan
pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh
kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Ilmu-ilmu filsafat
dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga
dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar.10 Dengan memasukkan ilmu
pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya,
dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli
modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.

4. Rasyid Redha
a. Biografi
Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-Sayyid Muhammad
Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin
ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi.11 beliau dilahirkan di Qalmun,
suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282
H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis
keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah
putri Rasulullah saw.12
Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk
menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan
majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan ide-idenya dalam
usaha pembaharuan.
b. Pemikiran
Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu,
peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal ini relevan dengan
pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang
berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka. Beliau
juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya
mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.

10 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181.


11A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN
Antasari, 1990), h. 13
12 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1994), h. 280.
Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun sekolah
misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballig yang
tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut
didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-
Irsyad.
Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan
kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional.

5. Thaha Husein
a. Biografi
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur
dua tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang biasa
menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya
menuntut ilmu. Ia belajar al-Quran dan dapat menghafalnya pada usia sembilan
tahun.
Pada tahun 1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan
harapan agar kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama
dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi Thaha Husein keluar dari al-Azhar, ia kecewa dengan sistem
pengejarannya yang sempit dan tidak berkembang serta materi pelajarannya amat
tradisonal dan menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran
Muhammad Abduh, salah satu yang amat menonjol dari keterpengaruhannya
adalah sikapnya yang menentang praktek tawassul di desanya sehingga dicap
sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908 bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha
Husein mendaftarkan diri, di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis
semisal Iguazio Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada
tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya yang
berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan berhasil yudisium jayyid jiddan pada tahun itu
juga Thaha Husein dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
b. Pemikiran
Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa
perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang
diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan
Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan
terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding dengan
Dunia Barat.
Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual,
keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan
kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu
dan intelektual.13
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau
menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan
metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga
metode penelitiannya.
Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu
pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam
bidang pendidikan dan di sinilah muncul kemampuan belajar efektif dalam belajar
yang sesungguhnya.

6. Sultan Mahmud II
Kegagalan Sultan Sanlim III tidak menyulutkan penggantinya Sultan
Mahmud II untuk mengadalan pembaharuan. Pada tahun 1826 Sultan Mahmud II
membentuk korp tentara baru di luar Jeniseri dan menggunakan instruktur dari
Mesir tidak berasal dari Eropa agar tidak direspon negatif oleh ulama dan segera
membubarkan.
Jeniseri serta melarang Tarekat Bektasy, mengadakan penghapusan wajir
agung diganti dengan perdana menteri, wajir agung pada saat itu dipegang oleh
syaikh al-Islam, pembaharuan sistem hukum yang memberlakukan hukum sekuler
di samping hukum syari’ah, peradilan syariah diserahkan kepada syaikh al-Islam

13 Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana


Yogya, 1994), h. 99
sedangkan peradilan sekuler diserahkan kepada Majlich-I Ahkam-I Adliye, dan
pembaharuan di bidang pendidikan dengan membentuk sekolah umum ( Mekteb-I
Ma’arif) dan sekolah sastra ( mekteb-i ‘Ulum-u Edebiye).14

7. Cak Nur (Nurcholis Madjid)


Cak Nur atau biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang
pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di
masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai
kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi
keberagaman / ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur,
keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini
keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat
mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk
agama yang sama.
Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda,
Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep
Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama
tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak
Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap
Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia
lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.
Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan
dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka
pahala ataupun dosa akan menjadi imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan
yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di
Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan

14H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 3
mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina
dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami
krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh
PresidenSoeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di
Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997.
Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk
menghindari gejolak politik yang lebih parah.
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak
sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis
(tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap
bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-
Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia
mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan
polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu
yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang
mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini
tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk
membentuk partai yang berlabelkan agama.

8. K.H. Ahmad Dahlan


Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan), Beliau
adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh
bersaudara. Bapaknya bernama K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang
ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa
itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga
menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad
Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga
dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia
merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk
keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan
seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama
dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya
ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH.
Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung
Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki
Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin
Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-
pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun
1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau
bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun.
Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang
juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan
Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Sepulang dari Makkah, ia
menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji
Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH.
Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H.
Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak.
KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai
Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau
pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau
dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.15

15 Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan.


Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. Hal 45
K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa
pembaharuan dan membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan
panggilan dan tuntutan zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan
kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya
pandai membaca ataupun melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat
memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian diharapkan
akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al
Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya
hanya mempelajari Islam dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami
isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu dogma yang mati.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain
untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan,secara praktis-
organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut
merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam
menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal
dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan
pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma
yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut,
merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak
diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu,
tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan
menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara
baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi sistem pendidikan
pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas antara jenjang dan metode yang
diajarkan lantaran mengutamakan hafalan dan tidak merespon ilmu pengetahuan
umum. Sehingga Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan
memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga
Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun
memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus
mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya,
beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik,
dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan.Beliau semakin meningkatkan
dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal,
beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada
perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan
ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-
pusaka keratin seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga
memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha,
animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi
Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah,
yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran
pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai
pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan
membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka –
dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-
berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul
Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka
sekarang.
Pemikiran-pemikirannya
a. Berkaitan dengan sosial kemasyarakatan yang ada di Jawa khususnya,
Ahmad Dahlan menawarkan 3 konsep pemikiran, yaitu modernisme,
tradisionalisme dan jawanisme. Menghadapi modernisme Dahlan
menyikapinya dengan mendirikan sekolah-sekolah model Barat.
Tradisionalisme disikapi Ahmad Dahlan dengan metode tabligh, yaitu
mengunjungi murid-muridnya untuk melakukan pengajian, ini merupakan
perlawanan terhadap pemujaan tokoh dan perlawanan terhadap mistisisme
agama yang bertentangan ajaran Islam. Sedangkan dalam menghadapi
jawanisme, Ahmad Dahlan menyikapinya dengan metode positive action yang
mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan metode ini Ahmad Dahlan
menekankan bahwa keberuntungan hidup semata-mata kehendak Tuhan yang
diperoleh manusia melalui shalat, bukan melalui jimat, pengeramatan kuburan,
dan tahayul.
b. Pembaharuan Islam dilakukan melalui agenda perbahan sosial dengan
metode ijtihad dan tajdidnya. Ahmad Dahlan dalam melakukan proses ijtihad
tanpa harus memperhatikan berbagai persyaratan yang ketat bagi seorang
mujtahid. Hal penting dalam berijtihad adalah berpedoman kepada al-Qur’an
dan al-Hadits.
c. Melakukan perbaikan kehidupan masyarakat Jawa agar sesuai dengan
pemahaman Islam yang benar yaitu kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits,
pemurnian ajaran tauhid dan tidak beriman secara taqlid.

9. Abdul Karim Amrullah


Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau,
Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan
merupakan salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia.
Beliau juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern
pertama di Indonesia.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad
Amrullah dan Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku
Kisai, merupakan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah
Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang
memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.
Pada tahun 1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba
ilmu dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu
itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari
perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau,
tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya. Salah satu putranya, yaitu
Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal banyak orang
sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.16

16 Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hal 89
Pemikirannya tentang komponen pendidikan yang meliputi tujuan
pendidikan islam, kewajiban kedua orangtua sebagai pendidik pertama dann
utama dalam menanamkan nilai akhlak pada seorang anak, kewajiban guru dan
kriteria guru yang ideal, metode pendidikan, memberikan peluang kepada anak
didik untuk berfikir secara kritis dan merdeka, integralitas materi pendidikan
islam, serta peranan pemerintah dalam pendidikan.
Dinamika pemikiran inovatifnya tentang pendidikan Islam dapat terlihat
dari upayanya menggeser sistem pendidikan tradisional yang masih sederhana,
kepada sistem pendidikan modern yang kompleks dan sistematis. Proses ini
merupakan perwujudan pemahamannya terhadap inklusivitas ajaran Islam yang
dinamis. Melalui peahaman tersebut, ia berupaya mengolaborasi sistem
pendidikan umat Islam yang lebih adatif dan proposional. Dengan sistematika
model pendidikan yang demikian, pelaksanaan pendidikan diharapkan akan
mampu mengantarkan peserta ddidik menjawab dinamika zaman secara aktif,
tanpa melepaskan diri dari norma-norma ajaran agamanya.
Wacana pemikirannya tentang pendidikan dilakukan sebagai respon
terhadap realitas sosialnya, terutama terhadap praktek pendidikan tradisional yang
masih dipertahankan umat Islam waktu itu. Ia mencoba merombak dan sekaligus
melakukan pembaruan terhadap orientasi pendidikan Ilsam yang selama ini masih
rendah dan tertutup (eksklusif). Upaya tersebut dilakukan melalui pendapatan
modern drngan menekankan pada adspek religiusitas. Di sini terlihat bagaimana
ide-ide pembaruannya tentang pendidikan Islam serta informasi dalam upayanya
ikut merespon situasi sosial yang sedang dihadapi umat Islam. Ia mencoba
membangun sebuah “Terobosan baru” kultural maupun keagamaan untuk
mengembalikan daya gerak psikologis (psychological stricking force)umat Islam
yang selama ini terbelenggu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Maka pembaruan Islam bukan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahkan teks Al Quran maupun teks al hadist.
Melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pembaruan Islam hampir setiap tokoh mengutamakan pembaharuan dalam
metode menuntut ilmu dalam hal ini pendidikan. Agar Ummat mengubah keadaan
umat agar mengikuti ajaran yang terdapat didalam Al Quran dan al-sunnah.
Diperlukan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al Quran dengan
kenyataan di masyarakat. Al Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai
pengetahuan agama dan pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang:
hidup bersatu, rukun dan damai yang bersifat dinamis, kreatif, inovatif,
demokratis, terbuka.

B. Saran
Penulis menyadari Makalah ini masih belum sempurna maka dari itu kami
mengharapkan Kritik serta saran yang bermanfaat serta membangun agar kelak
dikemudian hari penulis dapat membuat makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN


Antasari, 1990.

A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181.

Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, Bandung: Remaja /Rosdakarya.

Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab .Cet. II; Jakarta: Logos, 1999.

Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.

H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan


dalam Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, Jakarta : Bulan
Bintang, 1994.

John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Mukhadumar.2013.tokoh pembaharu islam


http://mukhamadumar.blogspot.co.id/2013/12/para-tokoh-pembaharuan-
dalam-dunia-islam.htm

Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat Islam Laki-Laki,


Menggurat Perempuan Baru, .Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Sharingmahasiswa.2013.tokoh pembaharu di Indonesia.


http://sharingmahasiswa.blogspot.co.id/2013/08/tokoh-pembaharuan-
islam-di-indonesia.html

Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi .Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana


Yogya, 1994.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia,Jakarta:


Djambatan, 1992.

Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah
dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai