Diajukan untuk memenuhi tugas Makalah Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dengan Dosen Pengampu Zainal Abidin, M.Pd.I
Oleh
NAZLAN EFENDI
A. Latar Belakang
Pembaharuan dalam islam dikenal juga dengan modernisasi islam, yang
mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam agama dengan
ilmu pengetahuan dan Falsafah modern, tetapi perlu diingat bahwa dalam islam
ada ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu penafsiran atau interpretasi dari
ajaran-ajaran yang bersifat abadi dari masa ke masa. Dengan kata lain
pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan
karena sudah tidak bisa lagi diganggu gugat seperti pada hukum- hukum yang
tercantum dalam Al-Qur’an. Pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau
kembali beberapa aspek yang memang memerlukan untuk diperbaharui seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin modern sehingga mampu diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang ini.
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang
panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya
yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan
agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran
asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari
berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan
aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan
menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-
orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-
tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu
kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang
berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih
jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani.
Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal
tentang iman.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran
filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang
menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini
ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam.
Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan
justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin
terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak
abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan.
Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang
mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah.
Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya
mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar
sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan
hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka
membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan
Hadits).Maka dari itu penulis mengambil judul tentang tokoh-tokoh pembaharuan
dalam islam
B. Masalah
1. Apa Pengertian pembaharuan dalam Islam?
2. Bagaimana Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami konsep pembaharuan dalam Islam.
2. Memahami Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1Harun Nasution, Pembaharuna dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), cet 1, hlm.10
2 https://muslim.or.id/3942-mengenal-para-ulama-pembaharu-dalam-islam.html
” Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam)
orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus
tahun” (HR. Daud)
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah
mengganti atau mengubah agama, akan tetapi seperti dijelaskan oleh Abbas Husni
Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan
memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan
hawa nafsu manusia sepanjang zaman.
Tema “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa
seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi
maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan
Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh
tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama,
upaya tajdidsecara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal
yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu,
upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-
nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang
menyelisihi ijma’ ulama Islam3[3]. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam
mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama setelah perjalanannya berabad-abad lamanya
dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya
tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah SAW dan para
sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul
dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa
“memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau
menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal
itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-
bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun
3Harun Nasution, Pembaharun dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), cet 1, hlm.10
juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap
aqidah, jika aqidah umat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Pembaruan Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar
mengikuti ajaran yang terdapat didalam Al Quran dan Al-Sunnah. Diperlukan
karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al Quran dengan kenyataan
di masyarakat. Al Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai
pengetahuan agama dan pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang:
hidup bersatu, rukun dan damai yang bersifat dinamis, kreatif, inovatif,
demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu dan
menyukai kebersihan.4
Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide pembaruan
dalam Islam dengan maksud seperti diungkapkan diatas, Muhammad Abduh
dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat dalam ajaran Islam kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya dibuka kembali ke pintu ijtihad. Sementara
itu, Sayyid Ahmad Khan bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan
paham qadariah , perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada
dalam Al Quran tidak bertentangan.
4Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), cet 20,
hlm. 378
5 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, op cit hal. 130
6 Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.hal 203
melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab
Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai
bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
b. Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu
bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala
berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian,
industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta.
Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang laping teratas kedudukannya di
antara ilmu-ilmu yang lain.7
Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang
universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan
perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak
ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.8
Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar
umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut
ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan pun harus ikut
andil dalam bidang pendidikan tersebut.
2. Tahtawi
a. Biografi
Al-Tahtawi memiliki nama lengkap Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, ia
merupakan pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di
pertengahan pertama dari abad ke-19. Ia lahir di Tahta pada tahun 1801, Tahta
merupakan kota yang berada di bagian selatan mesir dan wafat pada tahun 1873 di
kairo. Ketika Muhammad Ali mengambil alih kekayaan di Mesir, harta orang tua
al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu dan ia terpaksa menempuh
pendidikan masa kecilnya oleh bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16
tahun al-Tahtawi memutukan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar dan pada
tahun 1822 ia menyelesaikan studinya.
7 Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 158
8Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta:
Djambatan, 1992.), h. 300
Al-Tahtawi merupak murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-
Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan Napoleon ketika ia datang ke
mesir. Gurunya al-Tahtawi ini sering mengadakan kunungan kepada ahli-ahli dari
Prancis tersebut untuk mengetahui kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Dan
mereka pun menerima kunjungan itu dengan senang hatu karena mereka bisa
belajar bahasa arab dari gurunya al-Tahtawi.
b. Pemikiran
Di antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang
universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan kepada pemberian
kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat.
Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan
kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang
posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi
isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan
putra-putri yang cerdas.9
Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan.
Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak
dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an, agama, dan
matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra,
ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah
pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam
berbagai disiplin ilmu.
Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta
dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik
hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar.
Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab
merusak perkembangan anak didik.
Dengan demikian, dipahami bahwa al-Tahtawi sangat memperhatikan
metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.
9Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan
Kebudayaan Islam. (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.) h, 220
3. Muhammad Abduh
a. Biografi
Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-
Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong
kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di
pedesaan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka
memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha
pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau
mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti
dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke
desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk.
Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia
baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha
(sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an. Setelah dua
tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya
dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah
ia dikawinkan.
b. Pemikiran
Menurut Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis
untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara sistematis.
Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah bahwa ia
sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam lembaga-lembaga
pendidikan umum harus diajarkan agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga
pendidikan agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan
pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh
kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Ilmu-ilmu filsafat
dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga
dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar.10 Dengan memasukkan ilmu
pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya,
dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli
modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.
4. Rasyid Redha
a. Biografi
Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-Sayyid Muhammad
Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin
ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi.11 beliau dilahirkan di Qalmun,
suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282
H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis
keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah
putri Rasulullah saw.12
Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk
menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan
majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan ide-idenya dalam
usaha pembaharuan.
b. Pemikiran
Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu,
peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal ini relevan dengan
pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang
berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka. Beliau
juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya
mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
5. Thaha Husein
a. Biografi
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur
dua tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang biasa
menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya
menuntut ilmu. Ia belajar al-Quran dan dapat menghafalnya pada usia sembilan
tahun.
Pada tahun 1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan
harapan agar kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama
dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi Thaha Husein keluar dari al-Azhar, ia kecewa dengan sistem
pengejarannya yang sempit dan tidak berkembang serta materi pelajarannya amat
tradisonal dan menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran
Muhammad Abduh, salah satu yang amat menonjol dari keterpengaruhannya
adalah sikapnya yang menentang praktek tawassul di desanya sehingga dicap
sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908 bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha
Husein mendaftarkan diri, di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis
semisal Iguazio Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada
tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya yang
berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan berhasil yudisium jayyid jiddan pada tahun itu
juga Thaha Husein dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
b. Pemikiran
Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa
perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang
diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan
Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan
terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding dengan
Dunia Barat.
Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual,
keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan
kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu
dan intelektual.13
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau
menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan
metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga
metode penelitiannya.
Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu
pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam
bidang pendidikan dan di sinilah muncul kemampuan belajar efektif dalam belajar
yang sesungguhnya.
6. Sultan Mahmud II
Kegagalan Sultan Sanlim III tidak menyulutkan penggantinya Sultan
Mahmud II untuk mengadalan pembaharuan. Pada tahun 1826 Sultan Mahmud II
membentuk korp tentara baru di luar Jeniseri dan menggunakan instruktur dari
Mesir tidak berasal dari Eropa agar tidak direspon negatif oleh ulama dan segera
membubarkan.
Jeniseri serta melarang Tarekat Bektasy, mengadakan penghapusan wajir
agung diganti dengan perdana menteri, wajir agung pada saat itu dipegang oleh
syaikh al-Islam, pembaharuan sistem hukum yang memberlakukan hukum sekuler
di samping hukum syari’ah, peradilan syariah diserahkan kepada syaikh al-Islam
14H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 3
mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina
dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami
krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh
PresidenSoeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di
Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997.
Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk
menghindari gejolak politik yang lebih parah.
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak
sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis
(tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap
bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-
Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia
mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan
polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu
yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang
mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini
tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk
membentuk partai yang berlabelkan agama.
16 Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hal 89
Pemikirannya tentang komponen pendidikan yang meliputi tujuan
pendidikan islam, kewajiban kedua orangtua sebagai pendidik pertama dann
utama dalam menanamkan nilai akhlak pada seorang anak, kewajiban guru dan
kriteria guru yang ideal, metode pendidikan, memberikan peluang kepada anak
didik untuk berfikir secara kritis dan merdeka, integralitas materi pendidikan
islam, serta peranan pemerintah dalam pendidikan.
Dinamika pemikiran inovatifnya tentang pendidikan Islam dapat terlihat
dari upayanya menggeser sistem pendidikan tradisional yang masih sederhana,
kepada sistem pendidikan modern yang kompleks dan sistematis. Proses ini
merupakan perwujudan pemahamannya terhadap inklusivitas ajaran Islam yang
dinamis. Melalui peahaman tersebut, ia berupaya mengolaborasi sistem
pendidikan umat Islam yang lebih adatif dan proposional. Dengan sistematika
model pendidikan yang demikian, pelaksanaan pendidikan diharapkan akan
mampu mengantarkan peserta ddidik menjawab dinamika zaman secara aktif,
tanpa melepaskan diri dari norma-norma ajaran agamanya.
Wacana pemikirannya tentang pendidikan dilakukan sebagai respon
terhadap realitas sosialnya, terutama terhadap praktek pendidikan tradisional yang
masih dipertahankan umat Islam waktu itu. Ia mencoba merombak dan sekaligus
melakukan pembaruan terhadap orientasi pendidikan Ilsam yang selama ini masih
rendah dan tertutup (eksklusif). Upaya tersebut dilakukan melalui pendapatan
modern drngan menekankan pada adspek religiusitas. Di sini terlihat bagaimana
ide-ide pembaruannya tentang pendidikan Islam serta informasi dalam upayanya
ikut merespon situasi sosial yang sedang dihadapi umat Islam. Ia mencoba
membangun sebuah “Terobosan baru” kultural maupun keagamaan untuk
mengembalikan daya gerak psikologis (psychological stricking force)umat Islam
yang selama ini terbelenggu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Maka pembaruan Islam bukan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahkan teks Al Quran maupun teks al hadist.
Melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pembaruan Islam hampir setiap tokoh mengutamakan pembaharuan dalam
metode menuntut ilmu dalam hal ini pendidikan. Agar Ummat mengubah keadaan
umat agar mengikuti ajaran yang terdapat didalam Al Quran dan al-sunnah.
Diperlukan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al Quran dengan
kenyataan di masyarakat. Al Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai
pengetahuan agama dan pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang:
hidup bersatu, rukun dan damai yang bersifat dinamis, kreatif, inovatif,
demokratis, terbuka.
B. Saran
Penulis menyadari Makalah ini masih belum sempurna maka dari itu kami
mengharapkan Kritik serta saran yang bermanfaat serta membangun agar kelak
dikemudian hari penulis dapat membuat makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab .Cet. II; Jakarta: Logos, 1999.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, Jakarta : Bulan
Bintang, 1994.
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah
dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.