Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Aspek Pembaharuan dalam Islam

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H Yunasril Ali M. A.

Kamal Fiqry Musa Lc., M. A

Oleh :

Galuh Retno Oktavyanti

11210480000049

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Aspek
Pembaharuan dalam Islam” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Studi Islam. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Aspek
Pembaharuan dalam Islam” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H Yunasril Ali
M. A dan Bapak Kamal Fiqry Musa Lc., M. A selaku dosen Mata Kuliah Studi
Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu saya menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun senantiasa diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Tangerang Selatan, 11 April 2022

Galuh Retno Oktavyanti

i
DAFTAR ISI

Isi
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang......................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................................... 3
BAB II ................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 5
A. Pengertian dan Fungsi Pembaharuan Islam ........................................................... 5
B. Ruang Lingkup Pembaharuan Islam ........................................................................ 6
C. Persamaan dan Perbedaan Revitalisasi, Reformulasi, Reformasi, Reinterpretasi,
Westernisasi .................................................................................................................... 8
D. Latar Belakang Lahirnya Pembaharuan Islam ....................................................... 15
E. Tokoh Pembaharuan Islam ................................................................................... 16
BAB III ................................................................................................................................ 24
PENUTUP ........................................................................................................................... 24
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 24
B. Saran ..................................................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan adalah moderniasasi. Islam modernis adalah
kelompok umatIslam yang menghendaki agar ajaran Islam mampu
memberikan kontribusi yang riil dan faktual dalam memecahkan berbagai
problem sosial sepanjang zaman dan di manapun problem tersebut harus
dipecahkan. Hal tersebut penting dilakukan, karena sesuai dengan
misiIslam, yaitu untuk memberi rahmat bagi seluruh alam dan sepanjang
zaman serta dimanapun. Untuk itu ajaran Islam yang digali dari al-
Qur’an dan Hadits harus ditinjau ulang setiap zaman untuk dilihat
secara kritis apakah pemikiran itu masih cocok atau sudah tertinggal.
Sejalan dengan itu maka Islam modernis menghendaki agar pintu ijtihad
tetap terbuka, dan umat Islam yang memiliki kemampuan dan kepribadian
yang baik agar tidak ragu-ragu untuk berijtihad bagi kepentingan
umatIslam. Dengan cara demikianlah ajaran Islam tetap relevan sepanjang
zaman.

B. Rumusan Masalah
1. Pengetian dan fungsi dari pembaharuan dalam Islam
2. Persamaan dan perbedaan antara revitalisasi, reformulasi,
reformasi, reinterpretasi, dan westernisasi.
3. Ruang lingkup pembaharuan dalam Islam
4. Memahami latar belakang dari lahirnya pembaharuan dalam Islam
5. Mengenal tokoh-tokoh dalam masa pembaharuan Islam.

C. Tujuan
Makalah ini di buat untuk mempelajari pengertian dan fungsi dari
pembaharuan Islam serta ruang lingkup pembaharuan Islam, dan
menambah pengetahuan tentang latar belakang lahirnya pembaharuan

3
4

dalam Islam serta mengenal tokoh-tokoh dalam masa pembaharuan


tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Fungsi Pembaharuan Islam
Kata pembaharuan dalam bahasa Arab dikenal dengan tajdid,
bentuk masdar dari kata jaddada-yujaddidu-tajdidan yang bermakna
memperbaharui seseuatu.1 Secara istilah, tajdid adalah upaya yang
dilakukan untuk memperbaharui kehidupan keagamaan, baik berbentuk
pemikiran maupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap
tantangan internal maupun eksternal yang berkaitan keyakinan dan urusan
sosial umat Islam.2 Istilah tajdid atau pembaharuan sering digunakan dalam
konteks gerakan Islam modern, ini juga mempunyai hubungan yang kuat
pada Islam klasik. Ada dua kecenderungan (trend) pembaharuan di dalam
dunia Islam, yaitu kecenderungan salafi dan reformis (modernis).3
Menurut Harun Nasution, istilah pembaharuan tidak lepas dengan
kata modernisasi. Modernisme dalam masyarakat Barat berarti aliran,
gerakan dan pemahaman guna mengubah paham-paham adat-istiadat,
institusi-institusi lama untuk diselaraskan atau disesuaikan dengan suasana
yang baru.
Dalam reformasi Islam yang digagas oleh Harun Nasution Sebuah
upaya untuk mengkoordinasikan antara reformasi pandangan Islam Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia modern.4 Maksudnya
adalah pembaharuan pandangan dalam Islam bukan berarti mengurangi,
menambah atau teks dalam Al-Qur’an maupun teks dalam hadits, akan

1
Ahmad Warson Munnawir, Kamus Al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), hlm. 173.
2
Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, idiologis, dan Organisasi,
(Surakarta: LPID UMS, 2006), hlm. 1.
3
Agus Miwanto, M. Zuhron Arofi, Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan, (Magelang:P3UMM,
2012), H. 25
4
Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution Dan Pembaharuan Pendidikan Islam..., hlm. 28.

5
6

tetapi Harun Nasution berupaya mengubah atau menyesuaikan pemahaman


atas dua teks tersebut sesuai dengan keadaan perkembangan zaman.5
Dapat ditegaskan terdaat empat hal berikut yang berkaitan pada
pembaharuan Islam. Pertama, pembaruan dalam Islam menunjuk pada
usaha melakukan perubahan. Usaha ini dilakukan setelah adanya kesadaran
dan keprihatinan umat Islam atas kondisi internal kemunduran yang
dialaminya. Kedua, ajaran agama Islam, khususnya hasil ijtihad dan
pemikiran para ulama terdahulu, adalah merupakan sasaran pembaruan
Islam. Dengan lain kata, sesungguhnya pembaharuan Islam sama sekali
tidaklah berpretensi memperbarui atau melakukan perubahan terhadap al-
Qur’an dan asSunnah, karena kebenarannya mutlak shalih likulli zaman wa
makan (benar untuk setiap waktu dan tempat). Ketiga, subjek pembaruan
dalam Islam adalah para pembaru dari kalangan insider (internal) umat
Islam, bukan dari kalangan outsider (eksternal, non-Muslim), meskipun
dalam banyak hal pembaruan Islam itu tidak dapat dilepaskan dari
pemikiran makro pada umumnya. Keempat, latar belakang pembaruan
dalam Islam secara eksternal tidak terlepas dari adanya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern di satu pihak, tentu secara internal lahir
setelah adanya kesadaran dan keprihatinan akan kondisi internal
kemunduran dunia Islam tersebut. Sungguh pun demikian penting
ditegaskan, bahwa gerakan pembaruan Islam, merujuk Voll, merupakan
bagian asli dan sah dari penjabaran Islam di panggung sejarah, karenanya
bukan hal yang unik dalam Islam.6

B. Ruang Lingkup Pembaharuan Islam


Pembaharuan dalam Islam mencakup seluruh bidang kehidupan, yang pada
dasarnya dibedakan menjadi dua bidang utama, yaitu:

5
Muchammad Iqbal Chailani, Pemikiran Harun Nasution tentang Pendidikan dan Relevansinya
Pendidikan Di Era Modern, Jurnal Management dan Ilmu Pendidikan, Volume 1 Nomor 2, Agustus
2019, H. 51-52.
6
Voll, “Pembaruan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah”, dalam John L. Esposito
(ed.), Dinamika Kebangunan Islam, 22.
7

1. Pembaharuan di bidang akidah dan ibadah. Ini dimaksudkan untuk


memurnikan ajaran Islam (purifikasi) dari unsur-unsur asing dan
kembali kepada ajaran yang murni dan utuh, sehingga iman menjadi
suci karena terus diperbaharui. Pembaruan dalam bidang aqidah dan
ibadah ini sering diidentifikasi sebagai kecenderungan salafiyah.
Kecenderungan ini merupakan respon terhadap perkembangan
praktik dan keyakinan ritual dan spiritual umatIslam. Gerakan ini
bukan merupakan respon untuk menjawab komplesitas tuntutan
modern, tetapi mengembalikan praktik keagamaan sesuai dengan
praktik kehidupan Nabi. Sehingga, gerakan ini berorientasi pada
upaya pemurnian akidah Islam dari bahaya tahayul dan khurafat;
pemurnian ibadah dari bahaya bid’ah, pemurnian tauhid darisyirik.
2. Pembaharuan di bidang muamalah duniawiah. Ini dimaksudkan
sebagai upaya modernisasi atau pengembangan aspek sosial,
ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya sepanjang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Di sini umat Islam bebas
melakukan kreasi, inovasi, dan reformasi kehidupan masyarakat
Muslim dengan berbagai metode dan pendekatan yang memadai.7
Pembaharuan dalam bidang muamalah ini sering diidentifikasi
sebagai kecenderungan gerakan modernis. Kecenderungan ini
memandang masyarakat muslim gagal menangkap spirit kemajuan
dan perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan yang telah
dicapai Eropa. Para reformis tidak bermaksud mengundang
westernisasi, tetapi mereka justru mengkritik kebutaan dunia
Muslim dalam melihat cara-cara Barat memperoleh kemajuan,
mereka berusaha memperbaiki martabat kebesaran Muslim, dan
Arab melalui peremajaan pemikiran Islam.8

7
Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan…,hlm. 4.
8
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993:42
8

C. Persamaan dan Perbedaan Revitalisasi, Reformulasi, Reformasi,


Reinterpretasi, Westernisasi
1. Reformasi
Istilah reformasi atau pembaharuan disini diterjemahkan dari kata
ishlah atau tajdid yang biasa digunakan dalam literatur islam modern.
Namun, istilah pembaharuan ataupun reformasi yang sebenarnya dalam
bahasa inggris keduanya dibedakan. Pengertiannya, memperbaharui sesuatu
yang mengalami ketidaksesuaian dengan apa yang semestinya. Misalnya
sesuatu itu tidak sesuai dengan tuntutan zaman atau dasar-dasarnya. Istilah
tajdid yang berlaku kalangan ilmuan muslim diambil dari hadist rasulullah,
"sesungguhnya Allah mengutus untuk untuk umat ini ada setiap penghujung
seratus tahun, orang yang memperbaharui (yujaddidu) agamanya”.
Maksudnya, mempengaruhi pemahaman yang tidak yang tidak
cocok dan praktik keagamaan yang menyimpang. Dengan demikian,
pembaharuan merupakan hal dalam kehidupan keagamaan dan didasarkan
syari'at. Disamping landasan syari'ah, usaha reformasi atau pembaharuan
tersebut dilakukan karena beberapa alasan. Sesuatu yang lama dinilai tidak
lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Kemungkinan lain karena faham-
faham yang ada dianggap keluar dari maksud teks yang sebenarnya. Karena
itu, faham tersebut perlu diperbaharui, dalam arti di murnikan. Sementara
itu, ijtihad diartikan sebagai upaya keras untuk menggali hukum-hukum
yang ada dalam teks agama.
Untuk melihat perkembang dan perbedaan tersebut, ditampilkan tiga
model pembaharuan dalam sejarah Islam yang masing-masing mempunyai
konsep yang berbeda-beda.
Kelompok pertama, mengartikan bahwa tajdid adalah
mengembalikan pemahaman-pemahaman dan praktik-praktik agama yang
tidak sesuai dengan dasarnya yang otentik, kepada faham serta ajaran Islam
yang benar sebagaimana zaman Rasulullah dan sahabatnya. Metode yang
dipakai dalam memahami teks-teks agama menggunakan metode tekstual
atau literal, di mana lafadz-lafadznya diartikan apa adanya meskipun
9

hasilnya menurut kebanyakan orang bertentangan dengan kenyataan serta


kebutuhan suatu zaman.
Kelompok kedua, mengartikan bahwa tajdid adalah reformasi
(ishlah) atau modemnoisasi (tahdits). Maksudnya, memperbaharui atau
mengembangkan suatu pemahaman pelaksanaan ajaran-ajaran Islam sejalan
dengan perkembangan dan kebutuhan suatu zaman. Metode yang dipakai
adalah metode rasional, di mana teks-teks agama dipahami secara rasional
untuk diambil inti pesan-pesannya dan tidak terikat kepada lafadz-
lafadznya, khususnya dalam aspek muamalah. Sedangkan untuk aspek
ibadah, mereka menggunakan metode tekstual sebagaimana kaum salafi.
Kelompok ketiga, memahami tajdid sebagai upaya atau ussaha
memperbaharui faham-faham lama yang dianggap lemah dengan cara
memasulkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan, ciri-ciri, dan inti
yang lama (Qardlawy, 1986: 28). Konsep itu tampaknya berusaha
menawarkan sesuatu yang baru dengan memkompromikannya dengan yang
lama atau menarima dan menolak yang baru maupun yang lama secara kritis
dan selektif.
Berdasarkan perspektif di atas, kita melihat tiga model
pembaharuan. pembaharuan berarti menghidupkan kembali tradisi pada
masa Rasulullah secara totalitas. Teks wahyu dipahami secara tekstual.
Sebagai konsekuensinya, rasio dalam kelompok ini kurang memperoleh
tempat. Kedua, pembaharuan berarti menggantikan yang lama dengan yang
baru (modern). Yang lama ditinggalkan karena tidak sejalan dengan zaman
moder.
Namun, yang ditinggalkan mereka bukan teks wahyu, tetapi
pemahaman orang terhadap teks. Disamping itu, jika teks dalam Islam ada
dua macam, yaitu qath'i dan zanny maka mereka hanya meninggalkan
pemahaman lama teks-teks yang kedua. Sementara itu, terdapat jenis teks
pertama, mereka tetap sepakat dengan pemahaman umum yang ada.
10

Ketiga, pembaharuan berarti menyintesiskan antara yang lama dan


yang baru (antara tradisi dan modernitas). Unsur lama yang baik
dipertahankan dan unsur baru yang lebih baik dihadirkan.
2. Revitalisasi
Revitalisasi merupakan salah satu konsep yang terdapat pada
pembaharuan dalam Islam. Revitalisasi yang merupakan perbuatan
menghidupkan kembali segala sesuatau yang mulai meredup sangat relevan
dengan pembaharuan dalam islam, melihat bahwa pembaharuan dalam
islam (salah satunya) dilakukan akibat dari kondisi Islam sekarang yang
sangat jauh dari konsep Islam yang sebenarnya. Maka para mujahid merasa
bahwa perlu adanya menghadirkan nilai - nilai islam yang pada era ini telah
terkesampingkan, tentu saja hal ini merupakan tantangan yang berat. Pada
zaman ini, proses menghadirkan nilai - nilai Islam yang sesungguhnya di
kalangan kaum muslimin harus memperhatikan aspek – aspek budaya
global yang telah bersatu dengan masyarakat saat ini.
Dalam agama islam, revitalisasi telah dipraktekkan sejak zaman
dahulu. Pada masa Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w.505/111) sekitar
seribu tahun yang lalu, revitalisasi telah dilakukan. Pada saat itu terdapat
ancaman yang membahayakan eksistensi ilmu - ilmu agama (naqli) oleh
ilmu - ilmu rasional ('aqli) akibat dari munculnya aliran teologi rasional
Mu'tazilah, maka dari itu Al-Ghazali melakukan revitalisasi ilmu - ilmu
agama yang dirasa telah terkesampingkan oleh ilmu - ilmu rasional. Upaya
yang dilakukan Al-Ghazali berhasil mengembalikan "titik tekan" ilmu
kepada ilmu - ilmu agama dan mendegradasi disiplin ilmu filsafat dan ilmu-
ilmu lainnya
Pada zaman sekarang, para cendikiawan serta intelektual muslim
dituntut untuk segera melakukan Revitalisasi cahaya islam yang mulai
memudar. Berbeda dengan tantangan filosofi yang dihadapi Al-Ghazali
ratusan tahun yang laly, kali ini kaum muslimin dihadapkan pada tantangan
filsafat yang jauh lebih serius dan radikal. Tantangan filosofi yang dihadapi
Al-Ghazali berasal dari para filsuf yang masih mempercayai hal-hal ghaib,
11

sedangkan tantangan filosofi yang dihadapi kaum muslimin saat ini berasal
dari para filsuf yang tidak mempercayai adanya hal-hal yang metafisik. Hal
ini disebabkan oleh munculnya pandangan Positivisme Barat
(ketidakpercayaan pada hal metafisik) dan terus merajalela karena didukung
oleh para ilmuwan di berbagai bidang, seperti astronomi, kedokteran, dan
lain-lain, yang sangat diagung-agungkan umat pada saat ini, contohnya
Darwin dengan teori evolusinya, Freud, dan Emile Durkhim. Para ilmuwan
tersebut sangar mengagungkan akal dan rasionalitas sebagai satu-satunya
kepercayaan mutlak. Freud, salah satu IImuwan dunia, mengatakan bahwa
agama adalah ilusi dan agama berasal dari ketidakberdayaan manusia dalam
menghadapi daya-daya dari Iuar dan daya imajinatif dari dalam dirinya.
Pembaharuan pemikiran Islam, dalam hal ini mengarah pada
Revitalisasi nilai-nilai Islam yang semakin terkikis dan , dapat dilakukan
dengan cara revitalisasi ilmu – ilmu rasional. Mengingat bahwa pada masa
lalu ilmu-ilmu rasional pemnah hilang eksistensinya dalam dunia Islam,
maka di era ini revitalisasi ilmu-dmu rasional perlu dilakukan untuk
melindungi kepercayaan agama dengan dan dalam sebuah benteng filosofis
yang dibangun atas dasar - dasar logika yang handal. Berbeda dengan tujuan
al-Ghazali dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (yaitu
menghantam ilmu-ilmu rasional), revitalisasi ilmu-imu rasional kali
inijustru bertujuan untuk menguatkan dan melindungi kepercayaan agama
dari serangan - serangan filosofis dan ilmiah yang dilancarkan pendukung
filsafat positif-sekuler. Karena tantangan filosofis seperti hanya dapat
dihadapi secara filosofis dengan argumen-argumen rasional yang solid dan
sistematik, dan bukan dengan dogma-dogma religius.
Relevansi antara pembaharuan dalam islam dan revitalisasi,
sementars perbedaan mendasar dari konsep revitalisasi dan pembaharuan
Islam adalah terletak pada alasan dan tujuan daripada konsep tersebut. Lebih
jelasnya, konsep revitalisasi, yang mengandung makna "menghidupkan
kembali", berlaku untuk seluruh aspek kehidupan tergantung dari sudut
pandang mana pelaku relativitas ini memandang. Tidak menutup
12

kemungkinan bahwa konsep revitalisasi sekuler (non-islam) dapat muncul


menjadi bumerang, dan mengacaukan eksistensi agama Islam. Sedangkan
pembaharuan dalam Islam adalah pemikiran - pemikiran berdasarkan dalil-
dalil wahyu ilahi yang bertujuan untuk menghadinkan nilai - nilai Islam
yang sesungguhnya dalam kehidupan umat manusia di seluruh alam.
3. Reaktualisasl
Menurut KBBI, reaktualisasi adalah proses, cara, perbustan
mengaktualisasikan kembali, penyegaran dan pembaruan nilai-nilai
kehidupan masyarakat. Reaktualisasi merupakan salah satu metode yang
diusung dalam pembaharuan Islam.
Sejak kemunculan Renaissance pada abad pertengahan, cara hidup
dan cara pikir umat manusia mulai berubah. Sehingga berdampak pada
terciptanya kehidupan yang hanya mementingkan kepentingan dunia.
Renaissance juga merupakan gerbang baru lahirnya peradaban modem.
Hadirnya sains modern telah memberikan pengaruh yang luar biasa
terhadap umat manusia, bukan hanya bukan bidang ekonomi, politik, sosial,
namun juga dalam bidang filsafat dan agama. Umat islam pun tidak lepas
dari pengaruh renaissance tersebut. Menghadapi rasionalitas ilmiah modern
dan permasalahan-permasalahan yang bersifat universal, berbagai khazanah
pemikiran islam sudah saatnya untuk disegarkan dan dibangun kembali,
dengan kata lain perlu diadakannya reaktualisasi khazanah islam yang telah
semakin terpendam oleh nilai-nilai baru yang muncul dalam masyarakat.
Perbedaan mendasarnya terletak pada penggunaan konsep
reaktualisasi itu sendiri, mengingat reaktualisasi bukaniah konsep yang
berasal dari ajaran Islam. Konsep "reaktualisasi" pernah dilakukan oleh
orang non-muslim terdahulu untuk menyegarkan nilai-nilai kehidupan
mereka dan bangkit dari lingkar kemunduran yang disebabkan oleh
dominansi gereja, yaitu pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Akhirya,
reaktualisasi nilai-nilai kehidupan yang dilakukan pada zaman tersebut
melahirkan sebuah pemikiran baru yang secara umum berisi tentang
keutamaan kebendak manusia, manusia berhak mengubah nasib dengan
13

ikhtiar yang maksimal dan satu-satunya pembimbing yang sempurna dan


mutlak untuk menuju kearifan dan kebijaksanaan adalah akal manusia.
Namun akibat dari pembaharuan nilai tersebut, hal-hal yang berhubungan
dengan ketuhanan menjadi tersingkirkan dan tidak dianggap sesuatu yang
sakral. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang
berpegang teguh pada keyakinan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.
4. Reinterpretasi
Reinterpretasi adalah penafsirkan kembali (ulang); proses, cara,
perbuatan menafsirkan kembali terhadap interpretasi yang sudah ada.
Reinterpretasi dapat dinilai sebagai kegiatan penafsiran kembali terhadap
hukum hukum Islam atau ketentuan-ketentuan yang telah diterapkan
sebelumnya. Penafsiran yang atau penelaahan kembali ini dilakukan dengan
tujuan kembalinya pemahaman-pemahaman tentang islam yang belum
berbur dengan budaya. Memurnikan ajaran-ajaran ke-islaman yang telah
melebur kepada kulturisasi budaya masyarakat setempat.
Menurut Fazlur Rahman dalam jurnalnya yang berjudul
Reinterpretasi Sumber Hukum Islam, dalam Abstrak dituliskan bahwa;
membiarkan dua dimensi hukum Islam yakni teks dalil hukum dan
fenomena hukum (waqi'at) dalam sifat dan konteksnya masing-masing,
jelasakan menimbulkan kesenjangan atau perbedaan antara hukum dengan
kenyataan hukum yang dihukumi; oleh karena itu Rahman dengan
ijtihadnya menganggap perlu perubahan cara pandang dan penafsiran
(reinterpretasi) atas sumber hukum Islam. Rahman membedakan antara
Islam historis dan Islam normatif. Islam normatif adalah Islam par
excellence, dalam kitab suci dan Sunnah Nabi sedang Islam historis adalah
sebagaimana dipahami dan dipraktekan Ikaum Muslim. Islam historis inilah
yang sering disebut Rahman sebagai tradisi Islam atau tradisi kaum muslim
yang memungkinkan dilakukannya Revitalisasi.
Ide pemikiran pembaharuan Fazlur Rahman tentang perlunya
metodologi baru dalam memahami teks Al-Qur’an dimulai dengan
penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar
14

(Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan ljma'), yang diungkapkannya dalam buku


Islamic Methodology in History (1965). Pandangan Fazlur Rahman ini
dilatar belakangi oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan
(hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya pada agenda
yang lebih penting lagi; yaitu perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an.
Dalam kajian historisnya, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan
organis antara sunnah ideal Nabi Saw. dan aktifitas ijtihad- ijma'. Bagi
Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad
personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi Saw. yang
kemudian menjelma menjadi ijma atau sunnah yang hidup.
Akan tetapi, persoalannya terletak pada kemampuan kaum Muslim
untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Fazlur Rahman menegaskan:
"..bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagaimana yang
dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanya yang
akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa
lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita
kembali kepada generasi Muslim awal, pasti kita temui pemahaman yang
hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.
Adapun persamaan reinterpretasi dengan pembaharuan adalah
terletak pada acuan kepada penyegaran atau peningkatan pemahaman
terhadap pemahaman-pemahaman Islam baik subjektif maupun objektif,
sama sama mengandung maksud untuk membawa Islam menuju peradaban
yang lebih maju seperti dengan merujuk kepada perkembangan bangsa
eropa.
Reinterpretasi sendiri Iahir karena adanya keinginan umat manusia
pada umumnya dan umat islam pada khususnya untuk melakukan
pembaharuan. Perdedaannya sendiri sulit untuk diidentifikasi karena sangat
eratnya kesamaan redaksi kalimat antara reinterpretasi dan pembaharuan,
perbedaan yang dapat ditangkap oleh penulis adalah bahwa pembaharuan
adalah hal yang sudah ada kemudian dibuat menjadi lebih mengikuti zaman
atau lebih terbaru sedangkan rainterpretasi adalah dilakukannya penafsiran
15

kembali terhadap pandangan-pandangan tentang keislaman sehingga lahir


definisi yang baru.
5. Westernisasi
Westernisasi adalah proses pembaratan, pengambilalihan, atau
peniruan budaya barat. Segala tata cara kehidupan dalam westernisasi
mengacu pada budaya dunia barat. Westernisasi berasal dari kata west
yang artinya barat. Proses pengambilan atau peniruan budaya barat
dalam westernisasi dilakukan secara langsung tanpa ada seleksi atau
penyesuaian dengan budaya setempat.

D. Latar Belakang Lahirnya Pembaharuan Islam


Pembaharuan Islam adalah suatu upaya untuk menyesuaikan
(kontekstualisasi) ajaran Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Gerakan pembaharuan dalam Islam oleh beberapa pakar disebut sebagai
gerakan modernisasi atau gerakan reformasi Islam. Maksudnya gerakan
yang dilakukan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan tatanan dunia baru
yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dengan pembaharuan itu para pemimpin Islam berharap agar umat
Islam terbebas dari ketertinggalan, bahkan dapat mencapai kemajuan yang
setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pemikiran pembaharuan Islam
timbul karena adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat.
Sebelum periode modern, hubungan atau kontak antara Islam dan Barat
sebenarnya sudah terjadi, terlebih antara Kerajaan Utsmani (yang
mempunyai daerah kekuasaan di daratan Eropa) dengan beberapa negara
Barat. Namun kontak dengan kebudayaan Barat ini semakin intens saat
jatuhnya kekuatan Mesir oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis, disusul
dengan imperialisasi Barat terhadap negara-negara muslim lainnya.
Faktor lahirnya gerakan pembaharuan dan modernisasi Islam adalah:
1. Adanya sifat jumud (stagnan) yang telah membuat umat Islam berhenti
berpikir dan berusaha.
2. Persatuan di kalangan umat Islam mulai terpecah belah.
16

3. Hasil adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat.
4. Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaissance dalam dunia
Barat.

E. Tokoh Pembaharuan Islam


1. Jamaluddin al-Afghani (1838/1839-1897)
Dalam sejarah pembaharuan Islam khususnya pada abad ke 19
nama Jamaluddin al-Afghani sangat dikenal khususnya di Timur
Tengah, Asia Selatan dan Eropa. Ia lahir di Asadabad, Afghanistan pada
1838/1839. Menurutnya, kemunduran umat Islam, disebabkan karena
mereka statis, taklid, dan fatalis. Umat Islam telah meninggalkan ajaran
Islam yang sebenarnya, al-Islam mahjubun bi al-Muslim. Umat Islam
juga terbelakang dari segi pendidikan dan kurang pengetahuan
mengenai dasar-dasar ajarannya, serta lemah rasa persaudaraan akibat
perpecahan internal. Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran
tersebut, Jamaluddin mengemukakan dan memperjuangkan gagasan
pembaharuannya diantaranya:
1) Gerakan Rasionalisme. Jamaluddin mengemukakan pentingnya
kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak
bertentangan dengan kepercayaan pada Tuhan. Jamaluddin
mengajarkan hal yang dibela oleh para filosof, mendakwahkan
agama dan rasionalisme kepada massa, serta hukum alam pada
para elite Muslim. la berusaha mengelaborasi interpretasi Islam
modern dan pragmatis.
2) Gerakan Nasionalisme dan Pan-Islam. Jamaluddin berhasil
mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir dan India. Lebih
luas dari itu, juga menawarkan gagasan dan gerakan Pan-Islam
sebagai anti-imperialisme dan mempertahankan kemerdekaan
Negara-negara Muslim. Pan-Islam dalam pengertian kesatuan
politik atau lebih umum kesatuan negara-negara Muslim.
Gerakan tersebut semakin menguat dan mampu menggalang
17

solidaritas Muslim untuk menentang Kristen dan penjajah Barat.


Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang
membuat Jamaluddin semakin popular di dunia Islam saat itu.
Maka jasanya adalah memberikan kontribusi pemikiran Islam
modern khususnya berkenaan dengan politik.
3) Gerakan Feminisme. Jamaluddin menyatakan ide tentang
persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita
dan pria sama kedudukannya, keduanya mempunyai akal untuk
berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar
rumah, jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian,
Jamaluddin menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan
dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam
yang maju dan dinamis.9
2. Muhammad Abduh (1848-1905)
Muhammad Abduh lahir di Delta Nil (kini wilayah Mesir), 1849 –
meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11 Juli 1905 pada umur
55/56 tahun) adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu
penggagas gerakan modernisme Islam.
Ada tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuannya, yaitu
pendidikan, hukum, dan wakaf.
1) Bidang pendidikan.
Ia beralasan bahwa al-Azhar adalah pusat pendidikan Mesir dan
dunia Islam. Memperbaharui perangkat pendidikan berarti
memperbaharui lembaga pendidikan Islam keseluruhan.
Sebaliknya, membiarkannya dalam keadaan demikian, berarti
membiarkan Islam menemui kehancuran. Cita-cita yang
demikian mungkin dilaksanakan karena kedudukannya sebagai
wakil pemerintah Mesir dalam Dewan Pimpinan al-Azhar yang
dibentuk atas usulnya.10 Dalam bidang pendidikan ada beberapa

9
Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan…,hlm. 10-13.
10
Ibid.
18

aspek pembaharuan yang dilakukan. Beberapa hal yang


menjadisasaran pembaharuan Abduh adalah sistem pengajaran,
seperti metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan para
guru, bahkan juga mencakup sarana fisik, seperti asrama
mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan kesehatan
bagi mahasiswa.11 Dampak positif dari pembaharuannya antara
lain tampak pada jumlah murid yang diuji setiap tahun. Kalau
sebelumnya murid yang bersedia diuji setiap tahun hanya lebih
kurang enam orang, maka setelah pembaharuan jumlah tersebut
meningkat menj adisembilan puluh lima orang dan sepertiganya
berhasil lulus.
2) Bidang Hukum.
Abduh pernah ditunjuk sebagai Mufti menggantikan Syekh
Hasunah al-Nadawi. Dengan jabatan baru yang diemban
memberi peluang baginya untuk mengadakan pembaharuan di
bidang tersebut. Usahanya yang pertama adalah memperbaiki
kesalahan pandangan masyarakat, bahkan pandangan para mufti
sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti
berpandangan bahwa sebagai mufti yang ditunjuk negara tugas
mereka hanya sebagai penasihat hukum bagi kepentingan
negara. Mereka melepaskan diri dari orang yang mencari
kepastian hukum. Di luar itu seakan pandangan ini diluruskan
oleh Abduh dengan jalan memberi kesempatan kepada siapa pun
yang memerlukan jasanya. Mufti baginya bukan hanya
berkhidmat untuk negara, tetapi juga untuk masyarakat luas.
Agaknya ada makna positif dari usaha Abduh terutama bagi
masyarakat, yaitu agar kehadiran mereka tidak hanya
dibutuhkan oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat. Ide
pembaruan Muhammad Abduh dalam bidang hukum adalah

11
Lihat karya Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003)
19

mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan dengan tidak terikat pada


pendapat ulama-ulama masa lampau atau tidak terikat pada satu
madzhab, sebab menjadikan pendapat para imam sebagai
sesuatu yang mutlak bertentangan dengan ajaran Islam. Hukum
menurutnya ada dua macam, yang pertama, hukum yang bersifat
absolut yang teksnya terdapat dalam Al-Qur’an dan
perinciannya terdapat dalam hadits, yang kedua, hukum yang
tidak bersifat absolute dan tidak terikat pada konsensus ulama.
3) Di bidang Wakaf
Wakaf merupakan sumber dana yang sangat berarti pada
masa itu, sedangkan dalam pengelolaan administrasi sangat
tidak efektif. Untuk itu ia membentuk Majelis Administrasi
Wakaf dan duduk sebagai anggota. Abduh berhasil memasukkan
perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan
dana wakaf, maka mulailah memperbaiki perangkat masjid,
pegawai masjid sampai kepada para imam dan khatib. Perhatian
Abduh terhadap perbaikan masjid ini dilatar belakangi oleh
situasi masjid-masjid di Mesir. Misalnya dalam penyampaian
khutbah yang tidak bersifat mendidik, tetapi lebih menjurus
kepada penyuguhan masalah-masalah hukum yang kurang
beralasan dan tidak dapat dipegangi Itulah sebabnya ia
menetapkan beberapa persyaratan bagi para khatib, antara lain
mengharuskan mereka dari al-Azhar, agar salah paham terhadap
ajaran agama dapat dikurangi.
Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran
pembaharuan yang dibawanya dapat diterima oleh penguasa dan
pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapi adalah para
ulama yang berpikiran statis beserta orang awam yang dapat
mereka pengaruhi. Khedewi sendiri pun akhirnya tidak
menyetujui pembaharuan fisik yang dibawanya, terutama
20

tentang institusi wakaf, yang menyangkut dengan masalah


keuangan.12
3. Rasyid Ridha (1865-1935)
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin
Syamsuddin bin Baha’uddin Al-Qalmuni Al-Husaini lebih dikenal
dengan Rasyid Ridha. Lahir di Suriah pada tahun 1865 dan wafat tahun
1935. Ia dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat
dan taat beragama
Ridha mengusulkan kepada Abduh untuk menerbitkan sebuah
majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikirannya, yaitu majalah
al-Manar. Dalam terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar
sama dengan al-`Urwah al- Wusqa, yaitu untuk memajukan umat Islam
dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang.
Ide-ide pembaruan penting yang dibawa Ridha adalah sebagai berikut:
a. Dalam Bidang Agama.
Ridha berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka
tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang
dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya,
melainkan ajaran-ajaran yang bercampur dengan bidah dan khurafat.
Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka
harus kembali berpegang kepada Al-Qur’an dan sunah Rasulullah
s.aw. dan tidak terikat dengan pendapat-pendapat utama
terdahuluyang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modem.
Lebih jauh, Ridha membedakan antara masalah peribadatan (yang
berhubungan dengan Tuhan) dan masalah muamalah (yang
berhubungan dengan manusia). Yangpertama telah tertuang dalam
teksAlqur’an yang qath`i(jelasdanpasti)danhadis mutawatir.
Menurutnya, untuk hal yang kedua ini akal dapat digunakan
sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.

12
Ibid.
21

Ridha kemudian menyoroti paham fatalisme yang menyelimuti


umat Islam waktu itu. Menurut Ridha, ajaran Islam sebenamya
mengandung paham dinamika, bukan fatalisme. Paham dinamika
inilah yang membuat dunia Barat maju. Ridha menjelaskan paham
dinamika dalam Islam dengan mengambil bentuk jihad, yaitu kerja
keras dan rela berkorban demi mencapai keridaanAllah SWT. Etos
jihad inilah yang mengantarkan umat Islam ke puncak kejayaannya
pada zaman klasik. Idenya yang lain adalah toleransi ber-mazhab,
Rasyid Ridha melihat fanatisme mazhab yang tumbuh di kalangan
umat Islam mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Oleh karena
itu, perlu dihidupkan toleransi bermazhab, bahkan dalam bidang
hukum perlu diupayakan penyatuan mazhab, walaupun ia sendiri
pengikut setia Mazhab Hanbali.
b. Dalam Bidang Pendidikan.
Ridha seperti gurunya, Muhammad Abduh, dimana beliau
sangat menaruh minat terhadap pendidikan. Menurutnya, umat
Islam hanya dapat maju apabila menguasai bidang pendidikan. Oleh
karena itu, ia selalu mengimbau dan mendorong umat Islam untuk
menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan. Menurut Ridha, membangun lembaga pendidikan lebih
bermanfaat daripada membangun masjid, karena masjid tidak
memiliki arti manakala pengunjungnya hanyalah orang-orang
bodoh. Sebaliknya, lembaga pendidikan akan dapat menghapuskan
kebodohan dan pada gilirannya membuat umat menjadi maju dan
makmur. Usaha yang dilakukannya di bidang pendidikan adalah
membangun sekolah Islam dengan tujuan utama untuk mencetak
kader-kader mubalig yang tangguh. Sekolah tersebut didirikan pada
tahun 1912 di Cairo dengan nama Madrasah ad-Da’wah wa al-
Irsyad. Disekolah tersebut diajarkan ilmu agama, seperti Al-Qur’ an,
tafsir, akhlak dan hikmah at-tasyri` (hikmah ditetapkannya syariat),
bahasa Eropa, dan ilmu kesehatan. Setelah itu, Ridha mendapat
22

undangan dari pemuka Islam India untuk mendirikan lembaga yang


sama di sana.
c. Dalam Bidang Politik.
Aktivitas politik Ridha antara lain menjadi Presiden Kongres
Suriah pada sahun 1920, sebagai delegasi Palestina-Suriah di
Jenewa sahun 1921, sebagai anggota Komite Politik di Cairo tahun
1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah sahun 1926 dan
di Yerusalem sahun 1931. Ide-idenya yang penting di bidang politik
adalah antara lain:
1). Ukhuwah Islamiah (persaudaraan Islam). Ia melihat salah
satu penyebab kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang
serjadi di kalangan mereka. Untuk itu, ia menyeru umat Islam agar
bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu
sistem pendidikan, dan tunduk kepada satu sistem hukum dalam satu
kekuasaan yang berbentuk negara.
2). Sistem Khilafah. Negara yang diinginkan Ridha bukan seperti
di Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan)
seperti pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Khalifah haruslah
seorang mujtahid dan dalam menjalankan pemerintahannya, ia
dibantu oleh para ulama. Hanya dengan sistem khilafah, ukhuwah
Islamiah dapat diwujudkan. Dalam bukunya al-Khilafah, Ridha
menjelaskan secara panjang lebar mengenai khilafah, antara lain
disebutkan bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran,
menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah
mengenai masalah-masalah yang tidak dijelaskan dalam nash.
Khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah
pengawasan ahl al-hall wa al- `aqd yang anggota-anggotanya terdiri
atas para ulama dan pemuka-pemuka masyarakat. Tugas ahl al-hall
wa al- `aqd, selain mengawasi jalannya roda pemerintahan, juga
mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah. Lembaga ini
23

berhak menindak khalifah yang berbuat zalim dan sewenang-


wenang.13

13
Agus Miwanto, M. Zuhron Arofi, Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan, (Magelang:P3UMM,
2012), H. 31-39.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan Islam adalah upaya untuk
menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan pengaruh dari
perkembangan yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekonologi modern. Pembaharuan Islam tidak mengubah, mengurangi, atau
menambahkan teks ke dalam Al-Qur’an dan hadist tetapi hanya
menyesuaikan paham perkembangan zaman. Ini dilakukan agar tidak terjadi
kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an dengan kenyataan yang
terjadi di masyarakat.

B. Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun akan di terima untuk memperbaiki makalah selanjutnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munnawir, Kamus Al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap


(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).
Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, idiologis, dan
Organisasi, (Surakarta: LPID UMS, 2006).
Agus Miwanto, M. Zuhron Arofi, Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan,
(Magelang:P3UMM, 2012).
Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution Dan Pembaharuan Pendidikan Islam.
Muchammad Iqbal Chailani, Pemikiran Harun Nasution tentang Pendidikan dan
Relevansinya Pendidikan Di Era Modern, Jurnal Management dan Ilmu
Pendidikan, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2019.
Voll, “Pembaruan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah”, dalam
John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam.
Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993:42.
Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan.
Karya Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003)
Agus Miwanto, M. Zuhron Arofi, Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan,
(Magelang:P3UMM, 2012).

25

Anda mungkin juga menyukai