PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gerakan pembaharuan di Indonesia muncul tidak telepas dari proses
perubahan alam pikiran tentang islam yang terjadi. Terutama setelah terbukanya
jalur komunikasi secara luas dengan Negara-negara timur tengah yang merupakan
pusat perkembangan islam. Timur tengah terutama di mesir, telah memulai era
pembaharuan tersebut semenjak awal abad ke 19 era pembaharuan tersebut ditandai
dengan munculnya pada pemikir islam yang banyak berpengaruh di dunia timur,
seperti jamaluddin al afghani, Muhammad abduh dan Muhammad rasyid ridha.
Ide ide pembaharuan dari timur tengah kemudian berkembang ke Indonesia
baik sedcara individu maupun secara kelompok. Gagasan gagasan pembaharuan
tersebut datang dari orang-orang yang memiliki tanggung jawab tinggi dalam
memperjuangkan keyakinan, identitas serta prinsip-prinsip ajaran islam di tengahtengah kehidupan bangsa ondonesia yang masih dalam belenggu penjajahan.
Disisi lain, kondisi sosial keagamaan di Indonesia ketika itu cukup
memprihatinkan. Selain diakibatkan oleh belenggu penjajahan juga merupakan
dampak dari paham keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran yang
sebenarnya.paham keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran yang sebenarnya itu
kemudian termanifestasi ke dalam realitas kehidupan sosial yang cenderung
mengarah pada kondisi kemujuran, kebodohan, dan kemiskinan.
Ketika ide-ide pembaruan masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke 20M.
secara berangsur-angsur pemikiran dan pemahaman tentang islam terpolarisasi ke
dalam 3 kelompok. Pertama umat islam yang masih berpegang pada tradisi abad
pertengahan . kedua umat islam dari kalangan cendikiawan yang umumnya
berpendidikan barat. Ketiga kelompok cendikiawan muslim yang dengan seluruh
kemampuan mencoba mempertemukan antara ajaran islam dengan seluruh system
falsafah hidup berdasarkan fenomena baru yang muncul Dari kebudayaan barat.
Dari kelompok pertama muncul anggapan bahwa apa yang telah dihasilkan oleh
para ulama terdahulu terutama buah karya Imam mahzab yang empat ( malik, abu
hanifah, syafiI dan ahmad bin hanbal) dinilai sebagai sesuatu yang telah final.
Karena dianggap final maka tidak mungkin lagi terdapat buah pemikiran yang
sanggup menandingi mereka. Pandangan ini menimbulkan rasa skeptic dalam tubuh
kaum muslim sertya rasa ketidak mampuan diri dalam memecahkan masalah
masalah agama yang muncul bersama dengan semakin kompleksnya kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, ber-taqlid merupakan arternatif keharusan.
Dampak jiwa skeptic yang muncul dalam bentuk taqlik akhirnya bukan
hanya terbatas pada masalah-masalah hukum yang berorientasi pada lapangan fiqh
semata. Akan tetapi telah masuk pada masalah-masalah aqidah yang muncul dalam
bentuk semacam taashub kepada guru (syekh) atau khurafat. Kemudian muncul
pula dalam bentuk pemujaan-pemujaaan terhadap kuburan dan juga tempat-tempat
yang dianggap angker atau dikeramatkan. Dalam bidang akhlak sikap taqlid muncul
dalam bentuk penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap sesame manusia
(ghuluw). Seperti penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap syarif-syarif yang
dianggap mewarisi kemuliaan dari Nabi s.a.w tanpa menelusuri sampai dimana
batas kenasabannya.
Sementara itu, umat Islam dari kalangan cendikiawan yang umumnya
berpendidikan Barat memandang sinis terhadap kenyataan kondisi umat islam yang
terbelakang itu. Mereka berpendapat bahwa setiap apa yang dihasilkan oleh
kebudayaan Barat identik dengan kemajuan. Pandangan semacam itu selain
menghilangkan respek terhadap agama islam, juga dapat mengancam keyakinan
mereka sendiri. Di samping itu, kelompok ini juga menawarkan adanya
kemungkinan regenarasi islam untuk meninggalkan tradisi lama dan berusaha
mengadopsi kebudayaan barat yang maju dan modern. Menurut kelompok ini, yang
menyebabkan keterbelakangan kondisi umat islam adalah kelambanan bahkan
karena tidak adanya kesediaan umat islam untuk menerima kebudayaam barat.
Adapun kelompok ketiga berpendapat bahwa yang menyebabkan kaum
muslimin terisolasi dari kehidupan modern karena mereka telah meninggalkan
pedoman yang sebenarnya, yaitu Al-Quran dan al-hadist. Mereka berpendapat
bahwa apabila umat islam dapat memperbaiki pemahaman terhadap Al-Quran dan
Muhammadiyah
juga
berusah
mengembangkan
khazanah
pembaru (tajdid). Yaitu gerakan yang menyebarkan ide-ide pembaruan. Dalam hal
ini, pembaruan atau tajdid berarti upaya menerpkan norma-norma agama atau
realitas sosial untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat dengan
berpegang pada dasar-dasar (ushul: dasar, akar) yang sudah diletakkan oleh agama
itu melalui proses pemurnian yang dinamis. Jadi ijtihad bukan berarti mengganti
ajaran-ajaran dan hokum-hukumnya yang bersifat mutlak, fundamental dan
universal, yang sudah tertuang dalam ketentuan-ketentuan yang otentik (qathiyat).
Namun tajdid itu memiliki ruang gerak yang cukup luas dalam hal memperbaharui
cara memahami, menginterpretasikan dan memformulasi atas ajaran-ajaran agama
itu, yang berada di luar wilayah qathiyat. Yaitu ketentuan-ketentuan yang sifatnya
zhanniyat yang kemudian menjadi wilayah kajian ijtihad.
Hal ini agaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Azyumardi
Azra (1990) bahwa pembaharuan di dalam islam secara sederhana sapat diartikan
sebagai upaya, baik secara individu maupun kelompok pada kurun dan situasi
tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keislaman
yang telah mapan (established) kepada pemahaman dan pengalaman baru.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana memperbarui pemahaman terhadap ajaran al-Quran dan asSunnah akibat pengaruh kemajuan Barat?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana pembaruan gerakan muhammadiyah secara
modernis.
1.4 Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan,
yaitu dengan mencari bahan-bahan yang diperlukan dan sesuai dengan judul
makalah ini melalui buku kemuhammadiyahan karangan Drs. Haedar Nashir
sebagai acuan disertai tambahan bahas penulisan dari website-website terpercaya.
BAB II
PEMBAHASAN
MUHAMMADIYAH GERAKAN ISLAM MODERNIS
Modernisasi Islam
Gerakan pembaruan pada hakikatnya merupakan usaha memulihkan kembali
kekuatan islam pasca kejatuhannya ke dalam dominasi politik dan peradaban barat.
Modernisasi islam dimulai abad ke-18 M. Karena ada kesan politis, daerah-daerah yang
selama ini didiami oleh orang-orang islam kemudian dapat melepaskan diri dari
cengkeraman kekuasaan barat. Secara historis, bangkitnya para pemikir islam untuk
memperbarui pemahaman terhadap ajaran al-Quran dan as-Sunnah akibat adanya
pengaruh kemajuan barat di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Pembaruan atau modernisasi diistilahkan dengan berbagai sebutan, seperti
Revivalis, Reformis, Tajdid, Puritan dan Fundamentalis. Modernisasi ini ada dampak
positif dan negative. Dampak positifnya adalah pemikiran tentang islam modernis
muncul di Timur Tengah untuk mengatasi masalah kemunduran umat islam akibat
dominasi barat atas negeri-negeri yang penduduknya beragama islam, secara praktis
bangsa
barat
datang
membawa
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
untuk
peradaban ini pada sisi tertentu dapat membuat para tokoh islam sadar akan kelemahan
dan ketertinggalan mereka.
Karena itu, mereka berusaha bangkit untuk menyesusaikan diri dengan barat
dalam bidang politik dan peradaban. Caranya adalah dengan memperbarui kembali
interpretasi atau pemahaman-pemahaman yang lama terhadap islam untuk disesuaikan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Berdasarkan dua pembaruan tersebut, pembaruan dalam islam dapat bermakna
ganda, yaitu antara purifikasi dan modernisasi. Purifikasi dimaksudkan untuk
membersihkan ajaran islam terutama dalam bidang aqidah. Sementara modernisasi
dilakukan untuk memperbaiki dan mengadakan reinterpretasi terhadap pemahaman
ajaranagama islam.
Di dunia islam sendiri sebenarnya telah muncul akar-akar pemikiran kea rah
pembaruan semenjak zaman kerajaan Turki Usmani. Terutama pada zaman
pemerintahan Sulthan Ahmad III yang berkuasa (1703-1730). Kemudian pembaruan di
Turki Usmani mencapai zaman keemasannya pada masa Sulthan Mahmud II (18071837M). Salah satu andil penting dari Sulthan Mahmud II ialah tumbuhnya benih-benih
modernis yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan periode Tanzhimat
(1839-1876). Pada zaman inilah pembaruan di Turki Usmani memperoleh bentuknya.
Pada periode yang sama, Mesir yang sebenarnya merupakan daerah otonomi
Turki Usmani, telah memulai pembaruannya pada masa Muhammad Ali Pasya (18051849M). Tokoh pemikiran pembaruan yang muncul dari usaha Ali Pasya adalah atTahtawi (1801-1873), kemudian diangkat menjadi imam para tentara mesir(1824M).
Dua tahun kemudian ia dikirim ke Perancis untuk menjadi iamam para mahasiswi mesir
yang sedang ditugaskan untuk mempelajari teknologi militer. At-Tahtawi juga
memanfaatkan kesempatannya untuk mempelajari berbagai perkembangan modern di
barat.
Gerakan pembaruan di Mesir terus berlanjut hingga memasuki abad ke-20 M.
Bersamaan dengan semakin kuatnya cengkeraman barat, terutama inggris dan perancis,
munculah tokoh-tokoh pembaruan di mesir yang menaruh perhatian secara intensif
terhadap masalah politik. Salah seorang ulama sekaligus politikus pada periode ini
adalah Jamaluddin al-Afghani (1839-1897M), ia adalah orang pertama yang menyadari
sepenuhnnya akan keadaan barat dan bahayanya, oleh karena itu ia mengabdikan
dirinya untuk memperingatkan dunia islam dan melakukan usaha-usaha untuk
pertahanan. Ia juga berusaha membangkitkan semangat local dan nasional di negerinegeri islam.
Usaha Jamaluddin al-Afghani mendapat sambutan hangat dari muridnya yang
sekaligus menjadi sahabat seperjuangannya yaitu Muhammad Abduh (1849-1905).
Muhammad Abduh juga bergerak dalam bidang politik, namun kemudian ia lebih
memfokuskan diri pada usaha pembaruan di bidang pendidikan, pengajaran, menulis
dan menerjemahkan buku-buku ke dalam B.Arab. Beberapa karyanya yang penting
Risalah at-Tauhid dan Tafsir JuzAmma.
Setelah Muhammad Abduh wafat, ide-ide pembaruan dilanjutkan oleh muridmuridnya terutama Rasyid Ridha (1865-1935). Seorang muridnya yang terdekat. Dalam
melaksanakan pembaruannya ia lebih memilih di bidang pendidikan dan pengajaran,
walaupun ia menyadari bahwa pembaruan dalam bidang politik lebih cepat dan praktis.
Oleh sebab itu kedua jalur tersenut mesti saling menunjang.
Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat islam mundur karena tidak menganut
ajaran islam yang sebenarnya, seperti ajaran bidah yaitu meyakini kekuatan bathin
yang membuat pemiliknya dapat memperoleh apa saja yang dikehendakinnya, telah
menyusup kedalam ajaran islam dan merajalela dalam kehidupan umat islam.
Semangat dan ide-ide pembaruan yang menggema di Mesir akhirnya menyebar
ke seluruh penjuru dunia islam. Terutama di daerah-daerah Asia Tenggara. Banyak
daerah muslim di Asia Tenggara, tetapi Kepulauan Nusantara merupakan bagian
terpenting. Sebagaimana diakui oleh Alfian (1989), telah muncul bibit-bibit pembaruan
bercorak Wahabi yang ditandai dengan kepulangan tiga orang haji dari studinyadi
Mekah. Jamaah Haji tersebut datang bukan semata-mata hanya menunaikan ibdah Haji,
tetapi ia semangat untuk belajar Ilmu Agama Islam Langsung dari tempat kemunculan
tersebut.
Gerakan Muhammadiyah
Lahirnya suatu pemikiran atau gerakan baru tidak dapat dipisahkan dari kondisi
kehidupan social dan budaya yang melingkupinnya. Boleh jadi, munculnya pemikiran
atau
gerakan itu merupakan relisasi dari perasaan protes terhadap kondisi yang ada. Atau
sebaliknya, sebagai kekuatan yang ditunjukan untuk mendukung kemapanan itusendiri
agar menjadi lebih kukuh.
Pada dasarnya factor-faktor penting yang dapat menyebabkan berdirinya
muhammadiyah adalah Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
Faktor Internal
Adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan ajaran islam itu sendiri secara
menyeluruh. Terutama berkenaan dengan sikap keberagamaan umat islam, lembaga
pendidikan islam dan dasar-dasar gerakan yang muncul dari ajaran Islam berdasarkan
pemahaman pendiri gerakan itu sendiri.
Pertama , Sikap beragama. Secara historis diakui bahwa masyarakat di Hindia
Belanda (Indonesia), terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki
keyakinan yang bersifat animistik. Bentuk-bentuk kepercayaan baru tersebut berupa
ruh-ruh nenek moyang yang dianggap penjelmaan dari Tuhan.
Ketika agama islam datang ke Indonesia, kepercayan-kepercayaan tradisional
tersebut masih melekat. Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, masuk ke
Nusantara dengan corak Tasawuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India dari system
kepercayaan Hindu-Budha. Sehingga, Islam dapat masuk ke Indonesia secara damai
karena masih terdapat unsur-unsur yang sama dengan pola dan pemikiran orang jawa
pada khususnya dan pulau-pulau di kepulauan Nusantara pada umumnya.
Hal ini menyebabkan munculnya keyakinan baru yang sinkretis, sehingga Harry
J. Benda menyimpulkan bahwa islam di jawa tidak lebih sebagai suatu stagnasi dan
kurang murni jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Keyakinan sinkretis ini
kemudian melahirkan Agama Jawa atau Kejawen. Kemudian agama kejawen itu
tumbuh dan mendapatkan lahannya yang subur di daerah-daerah pendalaman yang
sebelumnya telah mempunyai kebudayaan Hindu yang mapan sperti kota Yogyakarta.
Kemenangan Agama Kejawen atas Islam dalam waktu yang lama menjadikan
kehidupan umat Islam Jawa dilingkupi oleh kepercayaan kepada ruh-ruh yang dianggap
dapat mempengaruhi nasib.
Dari gambaran ini, maka dapat dipahami bahwa sikap keberagamaan umat islam
sangat memprihatinkan. Sikap keberagamaan macam inilah disebut sebagai perbuatan
syirik, takhayul dan bidah.
Kedua, lembaga pendidikan. Menggunakan metode sorogan dan weton yaitu
aktivitas belajar hanya terpusat pada sang kyai. Sementara murid dan santri hanya
bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan dan membantah terhadap penjelasan
kyai adalah hal yang tabu. Ketiga , dasar-dasar berdirinya muhammadiyah dalam alQuran dan al-Hadits.
Faktor Eksternal
Factor ini disebabkan oleh situasi politik penjajahan colonial belanda dan
pengaruh ide-ide pembaruan islam yang berkembang di Timur Tengah. Factor eksternal
tersebut diantaranta Pertama, kebijakan politik pemerintah colonial Belanda. Kebijakan
ini diantaranya adalah Kebijakan Kristenisasi melalui politik netral terhadap agama.
Kedua, ide-ide pembaruan dari Timur Tengah. Ide-ide ini masuk ke Nusantara, terutama
melalui orang-orang yang pergi naik haji, serta melalui majalah al-Manar yang sarat
dengan ide-ide pembaruan.
Gagasan Pembaruan Muhammadiyah
Muhammadiyah sering disebut sebagai gerakan pembaruan sosio-religius. Hal ini cukup
beralasan, walaupun Muhammadiyah sendiri tidak merumuskan dirinya sebagai gerakan
itu. Alasan utama bagi sebutan tersebut adalah karena Muhammadiyah telah banyak
brperan penting dalam perubahan kehidupan social-keagamaan di Indonesia sejak awal
berdirinya. Bahkan menurut pengamatan Alfian (1989), Muhammadiyah turut
memainkan peranan penting pada tiga peran penting yang saling berkaitan, yaitu
sebagai reformis-religious, sebagai agen perubahan social (agent of social change)
dan sebagai kekuatan politik.
Nama-nama lain yang juga sering diberikan kepada muhammadiyah adalah seperti :
gerakan islam, gerakan dakwah dan gerakan tajdid.
1. Pada tahun 1968, Muhammadiyah telah berusaha merumuskan pengertian tajdid itu
sebagai berikut :
Perkataan tajdid mempunyai dua makna, ialah dilihat dari segi sasarannya. Pertama,
berarti pembaruan yang bermakna mengembalikan kepada yang aslinya, ialah apabila
tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal yang mempunyai sandaran, dasar, landasan,
dan sumber yang tidak berubah-ubah/tetap. Kedua, berarti pembaruan yang
bermaknsa modernisasi, ialah apabila tajdid itu sasarannya mengenai hal-hal yang
tidak mempunyai anggaran dasar, seperti metode, system, teknik, strategi, dan lai-lain
yang sebangsa dengan itu, ialah untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang
dan waktu.
2. Pada tahun 1990, dengan bunyi rumusannya sebagai berikut :
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaruan, dan dari segi istilah, tajdid memiliki dua
arti, yakni :
a. pemurnian
b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah dapat dilihat dari ide-ide, pemikiran atau
paham-paham yang dikemukakannya, yang merupakan konsekuensi logis dari gerakan
tersebut. Scara garis besar ide-ide pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah dapat
digambarkan sebagai berkut
Bidang Agama
Sebagai
gerakan
yang
berlandaskan
agama,
ide
pembaruan
(tajdid)
Muhammadiyah ditekankan pada usaha pemurniaan Islam dari pengaruh tradisi dan
kepercayaan local yang bertentangan dengan Islam. Terutama dengan yang berkaitan
dengan masalah-masalah Aqidah dan Ubudiyah.
Untuk merealisasikan tajdid dalam bidang agama ini, Muhammadiyah
membentuk majlis khusus yang disebut Majlis Tarjih atau Lanah Tarjih. Tugas
majlis ini selain membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah
terutama dalam masalah ibadah, juga berijtihad serta memutuskan masalah-masalah
agama yang diperselisihkan, termasuk juga masalah-masalah kontemporer.
Dalam ber-ijtihad, penggunaan akal (rayu) memegang peranan penting, oleh
karena tidak semua persoalan dapat ditemukan jawabannya melalui nash atau dalil
naqli yang tegas atau qathi. oleh sebab itu penggunaan logika atau akal sangat
diperlukan, terutama pada masalah-masalah agama yang bersifat kontemporer.
Dalam hal ini, Abdul al-Wahab al-Khallaf memberikan rumusan dalam al-Ijtihad bin
ar-Rayi.
10
Bidang Sosial
Pelaksanaan zakat, infaq, dan shadaqah yang diprakarsai oleh Muhammadiyah
adalah merupakan penanganan masing-masing keagamaan yang ada kaitannya secara
langsung dengan aspek-aspek social dalam skala yang lebih luas.
Bidang Pendidikan
Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu adalah pendidikan tradisional
pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok dengan kurikulim seadanya.
Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok adalah pelajaran agama. Yang lainnya
dalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan
pelajaran agama tidak diberikan.
Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari
kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama. Sementara
tipe yang kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh
percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negative
terhadap agama.
K.H.A. Dahlan memandang kedua jenis pendidikan ini dengan kacamata
tersendiri. Ia tidak cenderung antipasti terhadap salah satu dari keduanya. Namun ia
justru melihat segi-segi positif dan negative dari keduanya. Langkah ini selanjutnya
direalisasikan dengan memadukan segi-segi positif dari kedua system ini sehingga
terbentuk model pendidikan yang ia inginkan.
Sistem pendidikan baru yang diperkenalkan oleh K.H.A. Dahlan dengan
menggabungkan dua aspek, yaitu aspek yang berkenaan secara ideologis dan praktis.
Aspek ideologisnya mengacu kepda tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk
membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprehensif, baik
umum maupun agama, dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk bekerja
membangun masyarakat. Aspek secara praktis adlah mengacu kepada metode belajar,
organisasi sekolah, mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori
modern.
11
(1993), Muhammadiyah
memperoleh
hasil
Jawa dan Madura yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Dasar itu. Atas
nasehat Liefrinck-Resident colonial Belanda di Yogyakarta dan Rinkers, seorang
penasehat untuk urusan pribumi. Akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda
mengeluarkan Besluit No. 18, bertanggal 22 Agustus 1914 sebagai pengakuan secara
legal ataas berdirinya Muhammadiyah denga wilayah operasionalnya terbatas pada
residensi Yogyakarta.
Setelah Muhammadiyah menerima Besluit tersebut selanjutnya organisasi
itu merumuskan tujuannya sebagai berikut :
1. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w kepada penduduk
bumiputera di dalam residensial Yogyakarta.
2. Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya
Untuk mencapai tujuan tersebut Muhammadiyah memulai gerakannya
secara sederhana.
Bertepatan menjelang diselenggarakannya Kongres ke-9 Budi Utomo pada
tahun
1917,
pembenahan
administrasi
pun
dimulai
untuk
menyongsong
fenomena
yang
menarik
terhadap
pesatnya
perkembangan
muhammadiyah tersebut secara perlahan, tetapi merata ke seluruh penjuru tanah air.
Pada saat pemerintah colonial Belanda sedang menjalankan kebijakan politik netral
terhadap agama yang dalam kenyataannya dilaksanakan dengan cara memandang
sebelah mata terhadap umat Islam, dan dengan membuka peluang yang seluasluasnya kepada misi adan zending Kristen, justru pada saat itu juga Belanda
memberikan izin kepada Muhammadiyah untuk mendirikan cabang-cabang di
seluruh wilayah Hindia Belanda. Padahal jelas bahwa Muhammadiyah memiliki misi
yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah colonial. Fenomena ini dapat
dijelaskan dengan tiga alasan. Pertama, niat pemerintah colonial Belanda
memberikan izin kepada Muhammadiyah sebenarnya tidak tulus. Izin tersebut
13
diberikan karena Belanda ingin mendapat simpati dan mengurangi sikap reaktif kaum
muslimin terhadap pemerintah colonial, disamping bahwa Muhammadiyah bukanlah
organisasi politik.
Kedua, pribadi K.H.A. Dahlan sebagai tokoh sentral dan caranya dalam
berpropaganda
dengan
memperlihatkan
toleransi
dan
pengertian
kepada
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
14
Haji Muhammad
3.2 Saran
Sebagai umat islam yang berada di lingkungan modernis, kita harus mengetahui
bagaimana sejarah dan faktor-faktor islam untuk menjadi negara yang modernis melalui
perjuangan K.H ahmad Dahlan yang mencoba membentuk Muhammadiyah gerakan
islam modernis.
15