Anda di halaman 1dari 8

HARUN NASUTION DAN POKOK PEMBARUAN ISLAM DI

INDONESIA

Makalah Ini Di Susun


Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pemikiran Modern Dalam Islam

Dosen Pembimbing:
Dr. H. Maslim Halimin, MA.

Oleh :
Zoel Fitrah Anwar

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


[STIT] DDI PASANGKAYU 2023
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembaharuan identik dengan sesuatu yang baru hingga dianggap lebih
cocok, lebih baik, lebih hebat dan lebih maju dari keadaan sebelumnya serta
dianggap sebagai suatu solusi untuk situasi terkini. Pembaharuan atau modernisasi
bisa juga disebut dengan reformasi, yaitu membentuk kembali, atau mengadakan
perubahan kepada yang lebih baik, dapat juga diartikan dengan perbaikan.
Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan tajdīd, yaitu memperbaharui,
sedangkan pelakunya disebut mujaddīd yaitu orang yang melakukan
pembaharuan. 1 Ide -ide pembahruan pemikiran Islam muncul pada abad ke -18
M dan seterusnya sering disebut awal kebangkitan umat Islam. 2 Oleh karena itu,
ia merupakan kemaslahatan hidup umat Islam baik di dunia dan akhirat yang
sesuai dengan garis pedoman yang telah ditentukan Islam. Maka, kalau upaya
pembaharuan melanggar atau tidak sesuai ajaran dasar (al -Qur’ān dan sunnah),
maka pembaharuan itu tidak dapat disebut pembaharuan dalam Islam. Bahkan ia
dianggap pembaharuan di luar Islam.

B.Rumusan Masalah
a. Jelaskan biografi Harun Nasution ?
b. Jelaskan pokok pembaharuan pemikiran Harun Nasution ?
C.Tujuan
a. Mengetahui biografi Harun Nasution
b. Mengetahui pokok pembaharuan pemikiran Harun Nasution

i
HARUN NASUTION DAN POKOK PEMBAHARUAN ISLAM DI
INDONESIA

A. Biografi Harun Nasution


Tepat pada tanggal 23 September 1919, Harun Nasution lahir di Pematang
Siantar, Sumatra Utara.128 Harun dibesarkan di lingkungan keluarga ulama. Ini
menjadikan Harun sedari kecil memiliki pertanyaan-pertanyaan kritis. Bahkan
dengan pertanyaan itu sering membuat gurunya kerepotan. Tapi, bagi Harun,
menerima begitu saja apa yang ditulis dalam buku atau apa yang dikatakan
gurunya bertentangan dengan prinsipnya, yang serba ingin mengerti sebab segala
sesuatu mengapa dapat terjadi. Curiosity (rasa keingintahuan) akan pengetahuan
yang tinggi seolah sudah akrab saat Harun masih kecil. Di sini orang tua Harun
berperan cukup signifikan dalam membentuk cikal-bakal intelektualitasnya.
Ayahnya, Abdul Jabbar Ahmad, terbiasa mempelajari kitab-kitab Jawa, suka
membaca kitab kuning berbahasa Melayu, dan berdiskusi dengan orang yang
mengetahui banyak persoalan agama. Meski belajar hanya sekadar cukup
mempunyai pengetahuan pada bidang hokum agama atau fiqih, ia juga sibuk
dalam berdagang, yang dimulai selepas pulang dari pergi menunaikan ibadah haji
saat Harun masih kecil. Ia boleh dikatakan sebagai pedagang yang sukses, terlihat
pada kemampuan impor barang dari Singapura.
Harun Nasution bersekolah di HIS (Hollandsch Indlansche School) dan
lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne Islamietische
Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada
tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American
University of Cairo. disana beliau mengambil ilmu sosial

B. Pokok pembaharuan di indonesia


Pembaharuan atau modernisasi, menurut pendapat Harun Nasution,
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-
paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat
disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan ilmu

1
pengetahuan (sains) modern. Pikiran dan aliran itu timbul di periode yang disebut
Age of Reason atau Englightement (Masa Akal atau Masa Pencerahan) di abad ke
18 M dan seterusnya. Paham ini memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Barat
dan segera memasuki lapangan agama di Barat, yang mana agama masih
dipandang sebagai penghalang kemajuan.
Modernisasi dalam keagamaan di Barat, kata Harun, memiliki tujuan
untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan
Protestan dengan sains dan filsafat modern, yang pada akhirnya membawa kepada
sekularisme di Barat. Namun, kontak Islam dengan Barat membawa ide-ide baru
ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionlaisme, demokrasi dan sebagainya.
Semua ini menimbulkan persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun
mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut. Semisal
seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali Pasya (w.1849 M) di Mesir. Ia
memanfaatkan kedatangan Napoleon dan pasukannya, dengan mempelajari serta
meningkatkan kekuatan militer dan pengetahuan tentang administrasi negara bagi
kepentingan masyarakat Mesir. Ia juga membuka perdana sekolah militer tahun
1815 M; sekolah teknik tahun 1816 M; dan sekolah kedokteran tahun 1827 M.
Tenaga pengajarnya pun didatangkan dari Barat, meski mereka tidak pandai
bahasa Arab, maka ceramah mereka diterjemahkan oleh para ahli penerjemah ke
bahasa Arab dan Turki. 175 Meski pada awalnya Muhammad Ali Pasya sewaktu
berkuasa memerintah sebagai diktator, tapi pada akhirnya berubah sejak adanya
penerjemahan karya-karya dari Barat seperti membaca karangan-karangan
Voltaire, Rouseau, Montesquieu dan lain-lain, maka timbullah ide-ide baru
mengenai demokrasi, parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan
republik, konstitusi, kemerdekaan berpikir, dinamisme Barat diperbandingkan
dengan sikap Timur, cinta tanah air (patriotisme), keadilan sosial dan sebagainya,
di samping ilmu-ilmu teknik, filsafat, pendidikan, alam (paham evolusi Darwin),
kemasyarakatan dan sebagainya.
Pembaharuan seperti itu juga dapat ditemui di Indonesia. Pembaharu
selain Harun, yaitu Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Tidak jauh
berbeda dengan Harun, pembaharuan yang dirumuskan Nurcholish Madjid, adalah

2
sesuatu yang identik dengan pengertian rasionalisasi, yaitu berarti perombakan
pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan
pola berpikir serta tata kerja baru yang rasional. Jadi, sesuatu dapat dikatakan
modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum
yang berlaku dengan alam. Sedangkan pembaharaun yang dirumuskan
Abdurrahman Wahid adalah “Pribumisasi” yang bermakna segenap ajaran agama
yang telah diserap oleh kultur lokal akan tetap dipertahankan dalam bingkai
lokalitas tersebut. Intinya, ia ingin mengokohkan kembali akar budaya
masyarakat, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama.
Setiap pembaharuan tentu memiliki corak pembaharuannya masing -
masing, begitu juga dengan Harun yang memiliki corak yang berbeda dengan para
pembaharu lain di Indonesia. Namun, mereka bertemu dalam kesamaan agenda,
yakni mereka sama -sama tengah berupaya merumuskan penafsiran ulang
pembaharuan pemikiran Islam sebagai solusi alternatif yang berguna bagi
perkembangan masyarakatnya, khususnya umat Islam di Indonesia, yang tengah
menghadapi bersama tantangan yang muncul dari perkembangan sains dan
teknologi. Juga pendangan keagamaan masyarakat di Indonesia yang masih
literalis. Di mana setiap tantangan tersebut sangat membutuhkan konstruksi
pemikiran -pemikiran yang saling menguatkan, melengkapi dan mengisi ruang
kosong satu dengan yang lainnya.
Pemikiran pembaharuan keagamaan senantiasa menjadi bagian penting
dari tradisi Islam sepanjang sejarah perkembangannya. Para pelopor pembaharuan
hadir untuk meroknstruksi kepercayaan, pengetahuan, maupun praktek
keberagamaan masyarakat Muslim. Abad ke -18 M dunia Islam merupakan
kenangan dalam abad kejatuhan dan keterpurukan. Ketika itu banyak perbatasan
dunia Islam yang terjatuh ke tangan koloanialisme Eropa (Barat). Terutama
setelah
Adapun mengenai polemik seputar “Neo Modernisme ”, yang Harun
Nasution dan Nurcholish Madjid diseret ke dalam kategori tersebut, adalah tidak
tepat. Dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, Budhy Munawar
Rachman menulis “Pemikiran Neo Modernisme Islam Di Indonesia” dalam buku

3
Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, mengatakan dalam catatan kakinya bahwa
terdapat perbedaan mendasar antara kaum “Modernis” dan “Neo Modernis”
terletak perhatiannya pada tradisi. Kaum “Neo Modernis”, berusaha membangun
visi Islam di masa modern, dengan sama sekali tak meninggalkan warisan
intelektual Islam. Bahkan jika mungkin, mencari akar -akar Islam, untuk
mendapatkan kemodernan Islam itu sendiri. Sedangkan kaum “Modernis lama”
lebih banyak bersifat apologetik terhadap modernitas.
pembaharuan yang dilakukan oleh Harun sangat hati-hati dalam
memberikan solusi kepada umat Islam. Karena bagi Harun, pembaharuan dalam
Islam memiliki tujuan yang sama. Dengan titik tekan, bahwa dalam Islam ada
ajaran-ajaran yang bersifat mutlak yang tidak dapat diubah-ubah dan yang dapat
diubah. Namun yang jadi fokus pembaharuan Harun, terletak pada ajaranajaran
yang tidak mutlak, yaitu penafsiran atau interpretasi dari ajaranajaran yang
bersifat mutlak itu. Pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau
penafsiran seperti dalam aspek Teologi, Hukum, Politik dan seterusnya dan
mengenai lembaga-lembaga. Interpretasi tersebut merupakan salah satu bentuk
upaya menemukan titik kesesuaian dalam konteks memahami ajaran-ajaran Islam
dengan mengikuti perkembangan zaman. Harun mulai dengan mengambil langkah
menjelaskan secara spesifik terkait persoalan apa yang mutlak dan tidak dalam
ajaran Islam:

4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harun Nasution merupakan sarjana Muslim yang dipengaruhi kuat oleh
pembaharuan Muhammad Abduh. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad
Abduh berupaya mengatasi kejumudan dan menciptakan kepercayaan nasib dapat
ditentukan oleh diri sendiri dalam masyarakat Islam di Mesir. Di samping itu,
Muhammad Abduh juga menyikapi berbagai dampak persoalan yang ditimbulkan
dari gerakan modernisasi sejak awal abad ke -18 M. Kerangka pembaharuan
Muhammad Abduh ini, kemudian dipelajari oleh Harun dalam mengembangkan
gagasan pembaharuannya saat ia pulang ke tanah air. Bertepatan dengan hal yang
terjadi di Indonesia, sebuah konsep kenegaraan sudah mulai mengadopsi
modernisme dan menggunakan pola berpikir yang rasional sebagai paradigma
masyarakat. Harun Nasution memanfaatkan kesempatan tersebut dengan
pembaharuan pemikiran Islam, yang dirumuskan mengikuti perkembangan
peradaban bangsa di Indonesia. Mengingat situasi politik Indonesia pada masa
Orde Baru sedang membutuhkan SDM agamis yang sesuai serta sejalan dengan
sila pertama pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi mampu mengikuti
perkembangan ilmu umum yang modern.

5
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun “Kata Pengantar,” dalam Harun Nasution & Azyumardi Azra,
Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985.
Nasution, Harun Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 1, (Jakarta: UI-
Press, 2013
Nasution, Harun Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 2, Jakarta: UI-
Press, 2012.

Anda mungkin juga menyukai