Anda di halaman 1dari 8

Pesantren Sebagai Struktur:

Analisis Atas Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid


Oleh:
Badi’ah
Dahri Hidayatullah
Desi Febriana
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
Pesantren sebagai basis tradisi pendidikan Islam ala-Indonesia merupakan sumber
inspirasi yang tidak pernah kering untuk dikaji. Bertebarannya buku-buku yang secara
khusus berbicara soal tradisi pesantren menunjukkan arti penting tersendiri bagi makna
keberadaannya, dimana studi-studi ilmiah seputar dunia pesantren telah mampu melahirkan
banyak sekali disertasi doktor, baik dari kalangan dalam maupun luar negri. Sehingga
merupakan hal yang sangat wajar, kalau diantara para peneliti dan pengamat pesantren
tersebut ada yang mengatakan “tradisi pesantren itu memang sarat dengan aneka pesona,
keunikan, kekhasan, dan karakteristik unggul yang tidak dimiliki oleh institusi pendidikan
Islam lain di belahan dunia manapun”.1Indonesia sesuai peran utamanya sebagai pusat
pendidikan sekaligus media dakwah umat Islam Indonesia generasi pertama, “pesantren”
secara tidak langsung bisa dikategorikan sebagai prototype factual yang menjadi nalar bagi
lahir dan terbentuknya tradisi. Institusi pendidikan Islam ala-Indonesia diantaranya pondok
pesantren, madrasah dan yang sejenisnya, yang oleh banyak pakar antropologi sosial
disepakati sebagai kebudayaan asli (indegenous cultur) yang dimiliki masyarakat muslim
Indonesia.2

Biografi KH. Abdurrahman


Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh fenomenal yang memiliki gaya unik dan
khas, pemikiran dan sepak terjang semasa hidupnya sering kali menimbulkan kontroversi.
Abdurrahman Wahid atau akrab dengan nama panggilan Gus Dur, Gus adalah nama
kehormatan yang diberikan kepada putra kiai yang bermakna mas. Gus merupakan sebuah

1
Baddrut Tamam, Pesantren, Nalar dan Tradisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal. 15.
2
Ibid., hal. 17.

1
kependekan dari orang bagus orang yang berakhlak mulia (Nusantari, 2006:30).
Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus
1940 di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara, ayahnya, K.H. Abdul
Wahid Hasyim, adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng
Jombang dan pendiri jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia,
bahkan barang kali di dunia, melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang (Barton,
2002: 25). Ayah Gus Dur KH. Abdul Wahid pernah menjadi mentri agama pertama, serta
aktif dalam panitia sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Baik dari keturunan ayah
maupun ibu, Gus Dur menempati strata sosial yang tinggi dalam masyarakat Indonesia.
Gus Dur cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia dan secara
genetik Gus Dur masih keturunan darah biru.3
Kehidupan Gus Dur selalu perpindah-pindah tempat baik sebelum menikah
maupun setelah menikah. Hal itu dikarenakan banyaknya aktifitas yang ia jalani terlebih
setelah ia menjadi ketua NU. Bakat-bakat yang dimiliki Gus Dur semasa hidupnya
melebihi santri atau kiai pada zamannya. Ia dikenal memiliki daya ingat yang kuat dengan
fisik yang terbatas, naluri yang tajam, serta berpenampilan sederhana. Sejak kecil ia telah
mengenal berbagai macam bahan bacaan yang luas yang amat jarang dilakukan santri pada
zamannya.
Tradisi pesantren pada umumnya adalah memandang para ulama sepuh sebagai
guru spiritual maupun guru intelektual, walaupun daya intelektual Gus Dur paling
menonjol di antara kiai-kiai NU lainnya ia sangat menghormati dan patuh terhadap para
kiai sepuh dan kiai lainnya. Kecenderungan spiritual Gus Dur yang amat khas yaitu
melestarikan adat ziarah ke makam-makam keramat, bersilaturahmi terhadap kiai-kiai
lainnya, serta memperhatikan kaum yang minoritas. Dari hal itu Gus Dur menyukai tradisi
mistisisme asketik.4

Corak Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid


Sebagai seorang pemikir yang ulung Abdurrahman Wahid mempunyai model dan
corak pemikiran yang berbeda dengan tokoh-tokoh pemikir lainnya. Hal itu
memungkinkan karena setiap tokoh sangat dipengaruhi oleh beberapa setting background,
kondisi sosial, geografis, historis, latar pendidikan dan lainnya. Jika dilacak dari segi
3
Eko Setiawan, “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Prinsip Pendidikan Islam Multikultural
Berwawasan Keindonesiaan”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, 2017, hal. 36.
4
Ibid., hal. 38.

2
kultural Abdurrahman Wahid melintasi tiga model lapisan budaya, yaitu pertama Kultur
Pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal dan apreciate
dengan budaya lokal, Kedua budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras dan ketiga
lapisan budaya Barat yang liberal, rasional dan sekuler. Ketiga lapisan kultural tersebut
terinternalisai pada pribadi Abdurrahman Wahid secara sinergi dan tidak ada yang
menonjol sehingga pikiran-pikirannya sangat kontroversial dan sulit di pahami dari satu
sudut pandang. Menurut Moeslem Abdurrahman corak pemikiran Gus Dur selama ini
identik dengan pribumisasi Islam, Islam dan keadilan sosial, tidak ada konsep negara
Islam, universalisme dan kosmopolitanisme Islam, kontekstualisasi fiqh dan kerja sama
antar umat beragama.
Sedangkan Greg Barton, Fakhri Aly, dan Bachtiar Effendi memasukkan
Abdurrahman Wahid ke dalam kategori Pemikir Neo-Modernisme Islam yang mempunyai
lima ciri. Pertama, mempunyai gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif
terhadap modernitas, dan aliran ini bersikap kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari
pembangunan. Kedua, tidak seperti aliran fundamentalisme yang melihat peradaban barat
sebagi ancaman, akan tetapi harus saling mengisi antara peradaban Barat dengan
peradaban Timur atau Islam. Ketiga, mengafirmasi semangat "sekularisasi" dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai suatu upaya membangun titik temu antara
Islam dan Barat. Keempat, mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan
liberal utamanya dalam hal pluralisme, dan toleransi dalam membangun hubungan antar
komunal dan kelima, mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisasi ijtihad
secara kontekstual, dan berusaha membuat sintesis antara khasanah pemikiran Islam
tradisional dengan keharusan berijtihad serta gagasan-gagasan Barat dalam hal ilmu sosial
dan humaniora (Masdar, 1999).5

Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam di Pondok


Pesantren
Pendidikan pesantren menurut Abdurrahman Wahid bersifat populis, karena
mereka yang berasal dari kraton atau bangsawan telah ditampung dalam lembaga
pendidikan kraton, sedangkan lembaga pendidikan pesantren menampung semua golongan,
sehingga dulunya pesantren tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, akan tetapi juga

5
Kasan As’ari, Hidayatus Sholihah, “Pendidikan Islam Alternatif, Sebuah Pendekatan Kultural
(Analisis Atas Pemikiran Abdurrahman Wahid)”, Jurnal Studi dan Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 1,
No. 2, Agustus 2018, hal. 72.

3
mengajarkan pendidikan umum (Wahid, 1999). Pesantren telah menjadi simbol perlawanan
terhadap pola kehidupan yang dianggap rawan, dan dengan demikian, berdirinya pesantren
itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari transformasi kultural yang berjalan dalam
jangka waktu yang sangat panjang (Wahid, tt). 6 Maka dari itu, keanekaragaman pesantren
pada saat ini musti dimaknai sebagai dinamika dari bentuk pesantren pertama, yang
keberadaannya memang terpaut langsung dengan dinamika yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, sehingga adanya perubahan dan inovasi yang terjadi di dalamnya
perkembangan tradisi pesantren, mulai dari yang paling klasik sampai yang paling modern
sekalipun, bisa terpahami sebagai bagian dari usaha-usaha para penerusnya untuk
memelihara keberlangsungan warisan tradisi Islam nusantara.7 Dengan demikian, sedikit
demi sedikit dapat diungkapkan pertumbuhan awal dan perkembangan pesantren sebagai
ujung tombak yang sangat penting dalam pembangunan peradaban Indonesia modern
mulai tahun 1200. Prof. Johns juga menyarankan agar dokumen-dokumen penting para
saudagar Belanda dan Portugis yang dibawa dan tersimpan di negri Belanda dapat
dipelajari lebih lanjut yang dapat menjelaskan tentang ciri-ciri dan pengaruh pesantren
dalam kehidupan keagamaan orang Indonesia.8
Sistem pendidikan yang ada di pesantren memiliki watak mandiri, baik secara
struktur maupun pandangan hidup yang ditimbulkannya. Sistem pendidikan yang bersifat
lentur dan bisa menerima semua orang tanpa memandang ras, golongan dan strata sosial
memungkinkan pesantren membentuk tata nilainya sendiri yang berbeda dengan
masyarakat sekitar. Di dalam mereformasi pendidikan di pesantren menurut Abdurrahman
Wahid ada dua hal mendasar yang dapat dikonstruksi kembali dalam pendidikan pesantren
sekarang, pertama, melakukan reorientasi kepemimpinan pesantren yang lebih terbuka dan
berwawasan luas, kedua, merombak kurikulum pesantren yaitu dengan memasukan materi
pelajaran non-agama atau pengetahuan umum kepada santri (Ismail, 1999). Untuk
merombak kurikulum di pesantren berdasarkan realitas di atas sangat sulit karena sistem
pendidikan di pondok pesantren belum memiliki kesamaan dasar di luar penggunaan buku-
buku wajib (kutubul muqorroroh) yang hampir bersamaan atau diluar materi pelajaran
yang berdekatan. Hal ini disebabkan ada pesantren dengan sistem pendidikan berupa
pengajian tanpa sekolah/madrasah, ada pesantren yang hanya menggunakan sistem

6
Ibid., hal. 74.
7
Baddrut Tamam, Pesantren, Nalar dan Tradisi, hal. 17.
8
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 62.

4
pendidikan madrasah secara klasikal, dan ada pula pesantren yang menggabungkan antara
sistem pengajian dan sistem madrasah secara non-klasikal sehingga penyatuan kurikulum
secara baku sangat sulit. Akan tetapi, untuk menyediakan tingkatan standar ilmiah minimal
bagi pondok pesantren terutama dalam bidang agama menurut Abdurrahman Wahid
kurikulum pondok pesantren harus mewakili semua unsur ilmu agama secara minimal di
dalamnya pengetahuan dasar yang cukup tentang hukum-hukum syara', pengetahuan alat-
alat bahasa arab yang memungkinkan alumni melanjutkan pelajaran dengan kekuatan
sendiri, penguasaan dasar-dasar skolastisisme seperti mantiq dan balaghah (logika dan
retorika).9
Tujuan pendidikan pesantren menurut Abdurrahman Wahid dapat menghasilkan
lulusan yang akan memiliki kepribadian yang utuh dan bulat, yang menggabungkan dalam
dirinya unsur-unsur keimanan yang kuat dan penguasaan atas pengetahuan secara
berimbang, untuk itu pesantren harus mengarankan kehidupan bagi umatnya kepada tujuan
menciptakan seperangkat sikap hidup seperti memiliki rasa kasih kepada sesama mahkluk
dalam arti yang luas dan dinamis, berpegang kepada nilai-nilai menetap yang mampu
membedakan antara yang baik dan yang buruk, mampu mengatur kehidupan sendiri, dan
menyadari kemampuan serba terbatas dari manusia sebagi mahkluk, bila dihadapkan
dengan keagungan kekuasaan penciptaan-Nya. Dari uraian diatas jelas bahwa
Abdurrahman Wahid ingin membawa pesantren kepada watak aslinya, baik secara historis
maupun secara kulutral, hal ini nampak pada pandangannya yang universal dari tujuan
pendidikan di pesantren.10
Lingkungan pendidikan di pesantren menurut Abdurrahman Wahid lingkungan
pendidikan di pesantren memiliki keunikan sendiri (sub-kultur) dibandingkan dengan
lingkungan sekitarnya. Kriteria sebagai sub-kultur meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola
kehidupan umum. Terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung
kehidupan pesantren, berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam
pesantren lengkap dengan simbol-simbolnya, adanya daya tarik keluar sehingga
memungkinkan masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi
sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri dan berkembangnya suatu proses pengaruh

9
Kasan As’ari, Hidayatus Sholihah, “Pendidikan Islam Alternatif, Sebuah Pendekatan Kultural
(Analisis Atas Pemikiran Abdurrahman Wahid)”, hal. 75.
10
Ibid., hal. 76.

5
mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya yang akan berkulminasi pada pembentukan
nilai-nilai baru yang secara universal bisa diterima kedua belah pihak (Wahid, tth).11
Memasuki sebuah pesantren sekaligus menandai terlepasnya hubungan hirarkis
yang kuat dari keluarga dan desa serta peralihan kepada suatu tatanan sosial yang
pengaturannya lebih longgar, semuanya terutama tergantung kepada kemauan dan prakarsa
masing-masing, sejauh setiap orang intensif turut serta dalam kehidupan keagamaan dan
pelajaran-pelajaran di pesantren. Kesederhanaan cara hidup semua santri, iklim sosial sama
derajat dengan bantu membantu dan tinggal bersama dalam pondok dapat membentuk
hubungan ikatan kekerabatan dan tumbuhnya solidaritas, menciptakan kesadaran suatu
“masyarakat pesantren” yang bebas dan menentukan sendiri, yang berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya para santri muda.12
Pesantren yang lebih besar sering mempunyai madrasah dengan barisan murid
lengkap, yang terdiri dari para santri maupun anak dan remaja dari lingkungan sekitarnya.
Madrasah ini dikunjungi oleh pemuda desa semata sebagai pengganti sekolah pemerintah
formal dan dengan demikian sering kali tak terdapat hubungan sejajar yang khusus intensif
dengan kegiatan pesantren lainnya. Penduduk pedesaan sekitar pesantren membentuk
kelompok sasaran ketiga yang penting serta para murid madrasah adalah sebagian
daripadanya. Pengaruh sebuah pesantren turut ditentukan oleh komunikasi dan program
agama yang bersifat atau berorientasi kemasyarakatan. Dua faktor ini penting bagi kegiatan
politik kemasyarakatan dari organisasi pendidikan ini. Kegiatan-kegiatan pengembangan
masyarakat lingkungan yang timbul dari pesantren memang sesuai artinya termasuk
kedalam sektor yang berkiblat lingkungan masyarakat ini.13
Akhirnya, eksistensi yang tampak tidak lebih hanya sekadar rutinitas sistem yang
kurang bermakna. Selama ini, tradisi pesantren yang dikenal oleh masyarakat luas masih
sangat terbatas pada bentuk dan pola dimana “pesantren” hanyalah dimaknai sebagai
warisan sejarah seperti dalam bentuknya sekarang, yaitu lembaga pendidikan Islam yang di
alamnya terdiri dari; santri (santri mukim), asrama temppat tinggal santri (pondok),
mushola atau masjid, memiliki madrasah atau sekolah yang di dalamnya memuat
kurikulum agama atau umum, serta memilki pengasuh resmi (kyai). Artinya, pesantren
sebagai sebuah kekuatan sosial (sub-cultur dalam bahasa Gus Dur) belum begitu
dimengerti dengan baik, termasuk oleh sebagian kyai, lebih-lebih oleh masyarakat secara
11
Ibid., hal. 78.
12
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 147.
13
Ibid., hal 145-146.

6
umum. Dan salah satu hal terpenting yang belum dipahami sepenuhnya adalah mengenai
konsep dasar yang melatari terbentuknya tradisi pesantren itu sendiri, sehingga
keberadaannya sebagai sebuah manifestasi dari obsesi besar misi dakwah dan sistem
pendidikan berbasis tradisi menjadi kurang teraplikasi dengan baik, karena pengertian yang
dimiliki sangat terbatas pada pola dan bentuk-bentuk pengembangan pesantren yang sudah
ada. 14

Kesimpulan
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memandang pesantren sebagai sebuah
kekuatan sosial (sub-cultur) yang merupakan warisan ulama yang berbasis tradisi
pendidikan Islam ala Indonesia yang memilki sistem pembelajaran yang unik dan berbeda
dari sekolah umum. Pesantren membentuk watak mandiri, sederhana, dan fleksibel dalam
menerima semua golongan, ras, dan strata sosial. Hal tersebut membuat daya tarik
tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Banyak pakar antropologi sosial menyepakati bahwa
pesantren sebagai kebudayaan asli (indegenous cultur) yang dimiliki masyarakat muslim
Indonesia.

14
Baddrut Tamam, Pesantren, Nalar dan Tradisi, hal.44.

7
Daftar Pustaka
As’ari, Kasan, “Pendidikan Islam Alternatif, Sebuah Pendekatan Kultural (Analisis Atas
Pemikiran Abdurrahman Wahid)”, Jurnal Studi dan Penelitian Pendidikan Islam,
Vol. 1, No. 2, Agustus 2018.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011.
Setiawan, Eko, “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Prinsip Pendidikan Islam
Multikultural Berwawasan Keindonesiaan”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 2, No.
1, 2017.
Tamam, Baddrut, Pesantren, Nalar dan Tradisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986.

Anda mungkin juga menyukai