BAB I
PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok
Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Karenanya
banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan
kajian.
serta simbol – simbol yang dipergunakannya tidak akan pernah ditemukan di Lembaga
Islam mananapun didunia, sebuah lembaga pendidikan yang sama sekali berbeda dari
pakem induknya, yang denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan darah dalam
upaya penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama sekali korban
nyawa, agama yang pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau jawa ini, dengan
ketelitian dan penelitian mendalam oleh tokoh – tokoh islam pada masa awal penyebaran
ajaran islam di Indonesia telah mengantarkan pada keberhasilan penyebaran islam di bumi
jawa.1[1]
Pondok Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di Indonesia dengan
sistem lingkungan pendidikan yang integral, menurut Agus Sunyoto ada dua hal yang
dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren Sebagai Lembaga Pendidikan; (1) Proses
Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren melakukan Pembentukan karakter dan, (2)
1[1] Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Suluk Abdul Jalil Edisi ke 4, tokoh sentral yang telah
meneliti bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak
pusat agama hindu – bhuda adalah syekh Lemah Abang atau yang lebih dikenal dengan Syekh Siti
Jenar yang mempunyai nama kecil San Ali, atau Abdul Jalil (santri generasi pertama Padepokan Giri
Amparan Jati) yang dalam kaca mata kita dianggap bid’ah ajarannya, beliaulah yang menelorkan
adanya sebuah konsep Pendidikan Pondok Pesatren, , merupaka orang yang telah meneliti
bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat
agama hindu – bhuda
2
Akademi Militer dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda yang disitu ada
seseorang dapat mengambil pengalaman secara integral, menurutnya ada tiga elemen yang
(1) Pola Kepemimpinan pondok pesatren yang mandiri tidak pernah terkooptasi oleh
negara,
(2) Kita – kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dan,
(3) Sistem nilai (Volue System) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat
merupakan pola pendidikan integral antara yang religius dengan Pendidikan sosial
perkembangan sangat pesat tidak hanya pada khazanah kitab kuning juga sudah
merambah pada pendidikan umum, inilah yang membawa banyak pakar, baik lokal
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena
“modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi
daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya,
hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah
suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi
masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah
2[2] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar
Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda
3[3] Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, Said Aqiel Siradj et al. Cet. Bandung : Pustaka Hidayah,
1999. Hal. 13-14
3
yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini
Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus
kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam sejumlah aspek tertentu,
pesantren juga harus dipahami sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri karena
peran sejarah yang dimainkanya.4[4] maka tidak heran kalau kemudian Abdurrahman
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut;
BAB II
PEMBAHASAN
4[4] Ibid Pengantar Penyunting Buku Pondok Pesantren Masa Depan, Hal 7.
5[5] Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001, hal
10
4
Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga
pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van
Bruinessen yang memandang bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal
Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip dari Soegarda Poerbakawatja—memandang
pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari
Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.
Ada dua alasan yang dikemukakan Steenbrink untuk memperkuat pandangan bahwa
pesantren diadopsi dari India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk.
Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan di pesantren
seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab melainkan dari India. Selain
itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran
agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di
atas kemudian diambil oleh Islam.
Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India
dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh
negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya
terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak
mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya
meminta sumbangan ke luar lingkungan pesantren.
Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-
usul pesantren berasal dari India. Sementara itu Bruinessen berpendapat bahwa pesantren
yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia besar kemungkinan berasal
dari Arab. Alasannya tentang posisi Arab—khususnya Mekah dan Madinah—sebagai pusat
orientasi bagi umat Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di pesantren.
5
Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul
pesantren dari tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai
berikut:
"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari
di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di
Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari Indonesia
(meskipun syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran
perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di
sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi
tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya
boleh jadi orang Indonesia sendiri)."
Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang
menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan
pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika
madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan
lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut
masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon
ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat kiai-kiai besar hampir semua
menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka di
tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah air
dalam bentuk pesantren.
Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren
dari India dan Arab, perlu ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa
yang digunakan di pesantren, pendapat bahwa asal-usul pesantren dari India atau Arab
tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang dominan
digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata "santri" yang
digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik yang
berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk
mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru di
pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki-laki dan
nyai untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai
dan nyai dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.
6
Istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan oleh banyak kalangan
sehingga terjadi banyak penafsiran tentang istilah – istilah tersebut disebabkan memang
istilah yang dipakai ini tidak akan pernah ditemukan pada pakem induknya.
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti
ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata
pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti
menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap
sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan
menurut Clifford Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya
ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang
Sedangkan menurut Agus Sunyoto lebih rinci menjelaskan bahwa istilah Pondok
Pesatren pertama kali dikenalkan oleh murid Padepokan Giri Amparan Jati generasi ke
empat yaitu Raden Sahid (Syaikh Malaya, atau Sunan Kalijaga) pada saat musyawarah
pergantian kepemimpinan ketika Pendiri Padepokan Giri Amparan Jati Syaikh datuk Kahfi
mangkat. Istilah Pondok Pesatren berasal dari kata Pondok yang diambil dari kata Funduq
yang berarti Penginapan, sedangkan kata santri diambil dari bahasa sansekerta Syastri yang
berarti orang yang mempelajari kitab suci. Kemudian kedua kata tersebut dipadukan
menjadi Pondok Pesatren yang bermakna “Tempat tinggal para murid yang mempelajari
kitab suci”7[7]
6[6] Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd.
com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)
7[7] Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3
Cet. 4 Yokyakarta : LKiS Hal 103
7
Dari semua pemaparan para ahli dapat kita simpulkan bahwa Pondok Pesantren merupakan
pusat pendidikan keislaman yang para muridnya di-asrama-kan dalam rangka memahami
ajaran agama islam yang militan pada masa yang akan datang dengan melestarikan ajaran –
ajaran islam semasa nabi Muhammad SAW. serta dalam rangka mencetak manusia –
Tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan tepatnya istilah pondok
pesantren itu mulai diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya sehingga
kita sulit untuk menentukan Pondok Pesantren mana yang pertama kali didirikan, Menurut
Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi
terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya pesantren itu sendiri
juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu
panjang...8[8] menurut Wahjoetomo, model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan
berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Menurutnya pondok pesantren yang
pertama kali ada adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik
Menurut Dr. Suryadi Siregar DEA, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren
pertama ia menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat.
Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum
sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih
banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok
organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin
tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama
empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat
9[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70
8
dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk
keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-
tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan
tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan
agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian
dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal sekarang ini
pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh
orang-orang Hindu di Nusantara.10[10] Pendapat kedua ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh Agus Sunyoto dalam sebuah Work Shope Kaum Muda Nahdhatul Ulama
Dengan sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang proses
munculnya Pendidikan Pondok Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren tidak lepas
dari pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia dan merupak anti tesis dari
Menurutnya orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa
kholifah Ali Bin Abi Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama
sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk lokal karena pengaruh asumsi bahasa_karna
kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani, sedangka kata Yamani dalam
Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut nyawa yang ada di neraka jadi
Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada perpindahan suku – suku di negri persia
menuju kenegri jawa, yang juga tidak ada sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386
11[11] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar
Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU.
9
Ini dapat dilihat dari penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perlak pada abad 12
M ia menjelaskan bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok Pribumi
penyembah berhala, penduduk Cina Muslim dan Arab Muslim, dan juga bisa dilihat dari
catatan H. Ma’huan salah seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang masuk ke Aceh pada
tahun 1405 M. Ia menyebutkan ada tiga kelopok penduduk, sama seperti pernyataan
dalam catatan perjalannya dituliskan bahwa peduduk disekitar pelabuhan tuban mayoritas
Baru pada tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah dari Negeri campa
menuju jawa, waktu itu penduduk lokal sama sekali belum mau menerima Ajaran Islam.
Kemudian Raden Rahmat pindah ke ngampel delta mendirikan padepokan untuk dijadikan
pusat belajar agama islam, wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan Padepokan Ampel
Delta. 13[13]
Menurut Slamet Muljana (2005:48) yang dikutip dari Serat Kanda dalam
Pararaton, terbitan Dr. J. Brandes, Raden Sayid Rahmat14[14] (Sunan Ampel) datang dari
Campa menuju Jawa untuk menemui saudara ibunya Putri Dwarawati, istri dari
Angkawijaya (Raja Majapahit), Raden Sayid Rahmad diterima baik oleh Prabu
Setelah Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi datang dari daratan
cina menuju tanah jawa, kemudian menetap di Cerebon mendiami daerah Giri Amparan
Jati mendirikan sebuah padepokan yang kemudian juga dikenal dengan sebutan padepokan
Giri Amparan Jati pada saat itu penduduk lokal jawa mayoritas masih menganut agama
Hindu-Budha, dan anggapan bahwa agama Islam adalah agamanya para pembesar kerajaan,
12[12] Ibid
13[13] Ibid
14[14] Dalam Preambule Prasaran, berita dari Klenteng Sam Po Kong di semarang nama lain dari
Sunan Ngampel atau Sayid Rahmatullah adalah Bong Swi Hoo
10
karna disinyalir waktu itu para pembesar kerajaan telah memeluk agama Islam.15[15] Dalam
perkembangannya Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat menjadi ratusan murid
Berangkat dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana agar ajaran
islam ini bisa diterima seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan penelitian tentang bagaimana
cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa harus ada darah yang mengalir dalam proses
islamisasi yang akan dilakukan nanti_menurut Agus Sunyoto orang yang banyak meneliti
tentang kultur masyarakat jawa waktu itu adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).
Nama Pondok Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah dewan guru
yang dibentuk ketika syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat, dewan guru tersebut
adalah Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim Akbar, K Gedeng Pasambangan, Ki Gedeng
Babatan, Ki Gedeng Surantaka, Haji Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin
Hasanuddin, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden Sahid, dan
Raden Qosim. kemudian forum musyawarah ini mempercayakan atau mengangkat Raden
Syarif Hidayatullah sebagai ketua dewan guru atau pengasuh dari padepokan giri amparan
jati. Dan dalam sidang yang sama kemudian Syarif Hidatullah mengusulkan agar nama
padepokan di rubah menjadi pondok yang kemudian atas usul raden sahid nama pondok di
tambah dengan pesantren untuk membedakan padepokan tempat orang hindu belajar
Terlepas benar dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang
dilakukan oleh para penyiar islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang
teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini, tidak terdapat dalam ajaran Islam yang
ada dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi budaya Islam terhadap
budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah pembaharuan budaya, apa yang dilakukan
oleh para penyiar Islam masa itu suatu langkah yang sangat tepat karna menurut Cillford
Geertz yang dikutip dari Ward Goodenough; kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–
15[15] Bisa dilihat di bukunya Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu;Perjuangan dan Ajaran Syaikh
Siti Jenar Buku 3. Cet Ke IV Yogyakarta: LkiS, 2004.
pikiran dan hati manusia, jadi suatu kebudayaan masyarakat terdiri dari apa saja yang harus
diketahui dan dipercayai seseorang supaya dapat berjalan dengan suatu cara yang dapat
yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat cepat, karna memang apa
yang silakukan oleh para da’i islam waktu itu memang masuk dalah roh budaya penduduk
lokal.
berstatus sebagai pesantren seharusnya ada lima elemen yang pokok, yaitu pondok, masjid,
1. Kyai; adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Ia merupakan
penggagas atau pendiri, oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren
sangat bergantung pada peran seorang kyai Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa
dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga
amat di segani oleh masayrakat di lingkungan pesantren.19[19]. Dhofier berpendapat “Para
kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang
senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian
mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang
awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam bentuk-
bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban”20[20]. Menurut
Agus Sunyoto, sebutan kyai merupakan gelar kebangsawanan umat hindu yang di adopsi
oleh umat islam, kyai adalah orang yang disegani, orang yang faham dan mendalam tentang
ilmu agamanya.
2. Pondok; adalah tempat mukim para santri yang belajar tengtang teks-teks
keagamaan, sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para santri tinggal
bersama, belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan
17[17] Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture:
Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992. hal 13.
18[18] Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. P18. 1982
19[19] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 28
sebutan “kyai”. Tempat mukim para santri ini berada dalam lingkungan komplek pesantren
dimana kyai bertempat tinggal, tempat mukim para santri ini merupakan ciri khas tradisi
pesantren jawa yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-
masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Amin
Haedari, berpendapat Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama
bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya
tentang islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut
secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan
kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua
pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup
untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama
khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para
santri menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan menganggap
para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi. Sikap ini juga
menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal
bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri tumbuh perasaan pengabdian kepada
kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber
tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.21[21]
3. Masjid; merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan
dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-
kitab klasik. Kedudukan masjid merupakan pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren, manivestasi universalisme dari system pendidikan tradisional. Dengan
kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al
Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar
dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan
islam. Dimanapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid
sebagi tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural.
Lembaga-lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu
mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang
paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban
sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama
yang lain. Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya
21[21] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 32
13
a. Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap
dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tingGal di
pesantren tersebut biasanya mdrupakan suatu kelompgk tersendiri yang
memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-
hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santRi-santri m5da
tentang kitab-kitab dasar $an menengah.
b. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari
rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar
dapat dilihat d!ri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan
semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan
memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.23[23]
c. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia
pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren
ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini
akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang
di jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau
ulama’ di jawayang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam
pengetahuan dan memperluas penguasaan ilmuagamanya dengan cara
me.gembara dari pesantren ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren
mengadopsi system pendidikan modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi
kelana ini mulai di tinggalkan.24[24]
disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing
dan mencatat jika perlu. Dilakukan setelah sembahyang fardhu. Di jawa barat metode
24[24] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 37
Halaqah
b. Sorogan yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang
dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan
bagian yang paling rumit dari keseluruhan metode Pendidikan Islam Tradisional sebab
sistem ini menuntut kesabaran kerjinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri/
kendatipun demikian, metode ini dianggap paling intensif karna dilakukan seorang
c. Hafalan yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat terntentu dari
D. Tipologi Pesantren
tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi
sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat
Yacub yang dikutip oleh Khozin (2006:101) mengatakan bahwasanya ada beberapa
sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode
(madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan
pendidikan keterampilan.
3. Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik
27[27] Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
16
beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari
siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
Kerja, dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren
yaitu :
ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan
berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren
dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti
madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun
ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas
4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar
dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh
17
(2002:149-150)28[28]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Latar belakang pondok keberadaan Pendidikan Pondok Pesatren tidak lepas dari
mentranformasikan budaya islam kedalm buday hindu waktu itu, yang klimaksnya
2. Pondok pesatren merupak pusat menimba ilmu Agama Islam dengan berpegang
pada ajaran anbi Muhammad SAW dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab
kuning), dengan system asrama yang integral antara Kyai, Santri, dan Masjid
3. Secara garis besar tipologi pondok pesatren dibedakan menjadi 2 tipe yaitu;
yang dikenal dengan Salafi Kedua Pondok Pesatren yang mulai mengadopsi hal –
hal baru dalam pendidikan (pendidikan umum) kedalam kurikulum Pondok Pesatren
dan System Pendidikannya atau yang dikenal dengan kholafi walaupun pada tingkat
Daftar Pustaka
1. Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi
Nalar Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh
Kaum Muda
2. Said Aqiel Siradj, Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, et al. Cet.I Bandung Pustaka
Hidayah, 1999.
3. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS
,2001,
4. Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam
Indonesia skripsi untuk memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam
di STAIN Jember (on line). (http://baim32.multiply.com /journal/item/36
/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli 2010)
5. Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
6. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD
PRESS, Jakarta, 2005.
7. Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of
Culture: Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
8. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai
LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta
1982
9. Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus
STMIK Bandung tanggal, 12 Desember 1996 (On line).
(http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses tanggal 14
Juli 2010)
10. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
19
11. Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti
Jenar Buku 3 Cet. 4 Yokyakarta : LkiS
12. Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online).
(http://www.scribd. com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-
Nilai diakses 28 Juni 2010)