Anda di halaman 1dari 12

GUS DUR DAN ISLAM KOSMOPOLITAN

DISUSUN OLEH :

1. Nur Isnainiyah (161120001791)


2. Laila Arianti (161120001793)
3. Asif Watul Izah (161120001798)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

TAHUN 2018

1
DAFTAR ISI

GUS DUR DAN ISLAM KOSMOPOLITAN.......................................................................................................1


DAFTAR ISI...................................................................................................................................................2
GUSDUR DAN ISLAM KOSMOPOLITAN........................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................................................3
1.3 TUJUAN..............................................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................4
2.1 Biografi Gus Dur.................................................................................................................................4
2.2 Pemikiran...........................................................................................................................................5
2.3 Kosmopolitanisme Islam....................................................................................................................6
2.4 Dasar pemikiran Gus Dur...................................................................................................................7
2.5 Pesantren sebagai Subkultur Pendidikan...........................................................................................8
2.6 Universalisme Islam dan Kosmopolitasme Peradaban Islam...........................................................11
BAB III........................................................................................................................................................12
PENUTUP...................................................................................................................................................12
KESIMPULAN.........................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Setelah meluncurkan buku berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita pada 2006, kini KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama The Wahid Institute menghadirkan kembali sebuah
karya yang sangat menarik untuk dibaca.

Berbeda dengan karya Gus Dur sebelumnya yang merupakan kumpulan artikel pendek di
media massa, buku Gus Dur ini merupakan tulisan-tulisan panjang, reflektif yang ditulis untuk
sejumlah jurnal dan seminar. Bagi kita yang mengikuti perkembangan pemikiran Gus Dur dan
gaya bertuturnya melalui tulisan, akan dengan cepat mengetahui keluasan wawasan dan
ketajaman analisisnya atas berbagai problem sosial keagamaan.

Satu hal yang sangat khas dari keseluruhan pemikiran Gus Dur yang tercermin dalam
buku ini adalah penggunaan khazanah Islam yang hidup dan tumbuh di pesantren sebagai pisau
analisis dan perspektif. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan Gus Dur menguasai khazanah
Islam klasik. Hal inilah yang menyebabkan Gus Dur tetap menjadi Muslim yang otentik
meskipun ia bergelut dengan berbagai isu modern. Gus Dur juga tidak terlarut dengan
modernitas meskipun sehari-hari Gus Dur bergelut dengan modernitas.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanakah biografi Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana pemikiran Abdurrahman wahid?
3. Apakah yang dimaksud dengan islam kosmopolitan?
4. Apakah yang menjadi dasar pemikiran Abdurrahman Wahid?
5. Apa yang dimaksud Pesantren sebagai Subkultur Pendidikan
6. Apakah yang dimaksud Universalisme Islam dan Kosmopolitasme Peradaban Islam?

1.3 TUJUAN
Dengan adanya tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui riwayat hidup
Abdurrahman wahid,mengetahui dan memehami pemikiran Abdurrahman Wahid tentang islam

3
cosmopolitan,dasar-dasar pemikirannya dan dapat menerapkannya dalam kehidupan agama
sehari-hari.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Gus Dur

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang,
Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya
adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu,
K.H. Bisri Syamsuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada
perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi
Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren
Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.

Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari
keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan
Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri
Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[1]

Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2
tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur
pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum
‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus
Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi
menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama
mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan
pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah
Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan
reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan

4
untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan
Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup
hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan
dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya.[2]

Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia
menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau
ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan
strok. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember
2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai
komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani
hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat
sumbatan pada arteri.[3] Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di
Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[4]

2.2 Pemikiran

Titik tolak pemikiran Gus Dur bukan dengan mengagungkan modernisme, tetapi
mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan menggunakan pisau tradisionalisme Islam.
Dalam konteks ini, ungkapan John L Esposito dan John O Voll dalam buku Makers
Contemporary Islam (2001), Gus Dur adalah "modern reformer but not Islamic modernist"
(seorang pembaru modern tapi bukan Islam modernis) sangat tepat. Kalimat tersebut bukan
sekadar menggambarkan afiliasi kultural dan asal-usul sosial Gus Dur, tetapi juga
menggambarkan corak dan tradisi pemikirannya yang tetap setia dengan tradisi pemikiran Islam
pesantren. Gaya pemikiran seperti ini tampak jelas ketika Gus Dur menjelaskan soal
universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam, sebuah tema yang kemudian
dijadikan judul buku ini. Dalam persoalan universalisme Islam misalnya, Gus Dur tidak perlu
merujuk secara langsung kepada Al Quran atau hadis, sebagaimana sering digunakan kelompok
Islam modernis, tetapi merujuk pada teori dalam ushûl al-fiqh yang disebut dharûriyat al-
khamsah (lima hal dasar yang dilindungi agama).

Kelima hal dasar itu adalah, pertama, hifz al-dîn yang dimaknai Gus Dur sebagai keselamatan
keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama.

Kedua, hifz al-nafs, yang dimaknai sebagai keharusan keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum. Ketiga, hifz al-aqli, pemeliharaan atas
kecerdasan akal. Keempat, hifz al-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan. Kelima, hifz al-
mâl, keselamatan hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur
hukum.[5]

5
Dari penjelasan itu sebenarnya Gus Dur sudah menggunakan term Islam klasik kemudian
diberi makna kontekstualnya. Term hifz al-dîn, misalnya, semula sekadar diberi makna
memelihara agama, dalam arti orang Islam tidak boleh keluar dari Islam dan memeluk agama
lain. Akan tetapi, di tangan Gus Dur, term ini menjadi spirit untuk melakukan pembelaan
kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Demikian juga dengan term hifz al-aqli, yang dalam fikih klasik selalu dicontohkan
dengan larangan meminum minuman keras, tetapi di tangan Gus Dur hifz al-aqli dikaitkan
dengan keharusan untuk memelihara dan mengasah kecerdasan.

Dengan demikian, bagi Gus Dur, universalisme Islam itu tercermin dalam ajaran-
ajarannya yang mempunyai kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dibuktikan dengan
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kezaliman dan kesewenang-wenangan.
Karena itu, pemerintah harus menciptakan sebuah sistem pendidikan yang benar, dan ruang
untuk memperoleh informasi dibuka lebar.

Dengan memberi makna demikian, konsep universalisme Islam seperti menjadi sangat
inklusif dan terbuka dengan berbagai kemungkinan perkembangan modern. Islam juga tampak
menjadi agama yang terbuka. Dari sinilah Gus Dur kemudian merumuskan konsep
kosmopolitanisme Islam.

2.3 Kosmopolitanisme Islam

Kosmopolitanisme Islam sudah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Hal
ini dibuktikan dengan kebersediaan Islam untuk berinteraksi dan menyerap unsur-unsur lain di
luarnya. Keterbukaan itulah yang memungkinkan kaum Muslim selama sekian abad menyerap
berbagai macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari peradaban
lain. [6]

Kosmopolitanisme peradaban Islam, bagi Gus Dur, muncul dalam sejumlah unsur
dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, heteroginitas politik dan
kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. [7] Watak kosmopolitanisme dan
universalisme ini digunakan Gus Dur untuk melakukan pengembangan terhadap teologi ahl al-
sunnah wa al-jama'ah (aswaja) dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan
masyarakat.

Jika selama ini faham aswaja, terutama di lingkungan NU, hanya terkait dengan masalah
teologi, fikih, dan tasawuf, bagi Gus Dur, pengenalan aswaja harus diperluas cakupannya

6
meliputi dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Tanpa melakukan pengembangan itu,
aswaja akan sekadar menjadi muatan doktrin yang tidak mempunyai relevansi sosial.

Dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dimaksud Gus Dur adalah, pertama,
pandangan manusia dan tempatnya dalam kehidupan. Kedua, pandangan tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ketiga, pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan
bermasyarakat. Keempat, pandangan hubungan individu dan masyarakat. Kelima, pandangan
tentang tradisi dan dinamisasinya melalui pranata hukum, pendidikan, politik, dan budaya.
Keenam, pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat. Ketujuh, pandangan tentang
asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin formal
yang dapat diterima saat ini.[8]

Dengan kerangka pengembangan aswaja yang diajukan Gus Dur ini, terlihat sekali
upayanya agar aswaja tidak menjadi doktrin yang baku dan beku, tetapi doktrin yang dinamis.
Gus Dur seolah ingin mengatakan kalau aswaja ingin menjadi doktrin yang hidup, tidak ada
pilihan lain kecuali dia harus mau berinteraksi secara terbuka dengan perkembangan realitas
sosial.

2.4 Dasar pemikiran Gus Dur

Buku yang dieditori Agus Maftuh Abegebriel ini dibagi dalam tiga bab. Bab I berisi
tulisan-tulisan Gus Dur tentang ajaran, transformasi, dan pendidikan agama. Bab II berisi tentang
nasionalisme, gerakan sosial dan antikekerasan, dan Bab III berisi tentang pluralisme,
kebudayaan, dan hak asasi manusia. Masing-masing bab dalam buku ini berisi sepuluh tulisan
sehingga secara keseluruhan buku ini berisi tiga puluh tulisan Gus Dur yang ditulis pada era
1980-an.

Era ini adalah masa-masa sewaktu tulisan-tulisan Gus Dur sangat reflektif dan tajam
sehingga secara substansial buku ini sangat penting untuk dibaca. Dari tulisan-tulisan inilah
pembaca akan mengetahui dasar-dasar pemikiran Gus Dur, baik tentang agama, politik, maupun
kebudayaan. Prinsip-prinsip pemikiran ini yang terus diperjuangkan Gus Dur hingga sekarang.

Meski demikian, ada beberapa catatan kecil yang penting dikemukakan tentang buku ini.
Pertama, tulisan-tulisan Gus Dur yang termuat dalam buku ini bukanlah yang pertama
dikompilasi dalam sebuah buku. Bahkan, ada beberapa tulisan Gus Dur yang ada dalam buku ini
sudah dipublikasikan dalam buku lain, seperti buku Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan [9] dan Prisma Pemikiran Gus Dur.[10] Entah disadari atau tidak, menyangkut
beberapa artikel, dalam buku ini terjadi apa yang oleh ulama ushûl al-fiqh disebut sebagai tahsîl
al-hashil, menghasilkan sesuatu yang sudah dihasilkan sebelumnya. Kedua, buku ini akan lebih

7
informatif kalau ditambahkan dengan sumber tulisan, kapan, dan dalam media apa Gus Dur
menulis. Sayang, informasi ini tidak ditemukan dalam buku ini.

Ketiga, kesalahan-kesalahan kecil berupa penulisan dan transliterasi juga masih ditemukan di
sana sini.

Terlepas dari itu, buku ini penting dibaca bagi peminat kajian Islam, politik, dan
kebudayaan. Apalagi kalau pembaca mampu menggabungkan tulisan dalam buku ini dengan dua
buku yang saya sebutkan di atas, di situlah akan ditemukan dasar-dasar epistemologis pemikiran
Gus Dur

2.5 Pesantren sebagai Subkultur Pendidikan

Pesantren diibaratkan kotak ajaib, yang selalu mengundang siapa saja untuk melihat dan
menelitinya. Semua unsur kalangan, mulai dari peneliti, pembicara, politisi, calon kepala daerah
semua seakan tersengat magnetnya. Di musim pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada),
pesantren bak primadona yang selalu disambangi. Kiai dan santri kebanjiran order dari beberapa
calon untuk bisa mendukungnya.

Secara historis, pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang silam, mulai dari Aceh,
pesisir Pantura sampai Demak yang dibawa oleh para wali sekitar 500 tahun yang lalu, hampir
merata diseluruh lapisan masyarakat muslim Nusantara. 

Peran multifungsi pesantren di Indonesia sudah dimulai sejak perang melawan penjajah
di era kolonialisme hingga menjadi penyumbang pemikiran perubahan dalam membangun
bangsa di era globalisasi. Tidak seorang pun di Indonesia ini yang dapat menolak sebuah
kenyataan bahwa pesantren adalah lembaga Islam yang banyak mempunyai jasa pada bangsa ini,
sejak pertama masuknya Islam di Nusantara yang konon dalam sejarah dibawa oleh pedagang
Gujarat dan Persia. 

Kehadiran para wali yang kemudian mendirikan pesantren telah merubah kultur wilayah
Nusantara yang Hinduistik menjadi muslim. Perkembangan Islam lebih jauh dilanjutkan oleh
para ulama yang juga mengajar dan mendirikan pesantren. Pesantren hadir dan masuk ke dalam
sebuah kultur masyarakat tanpa ia sendiri kehilangan identitas dan wataknya yang khas. 

Para ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Walisongo dalam mengenalkan Islam
terkenal sangat toleran dengan pendekatan kearifan lokal yang telah mentradisi dalam
masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia
berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

8
Pesantren sejak awal kelahirannya telah menjadikan pendidikan sebagai sumber
kehidupan. Pembentukan kepribadian yang berkarakter muslim yang dilakukan oleh pesantren
justru hampir seluruhnya terjadi di luar ruang belajar. Pesantren sebagai pendidikan berkarakter
sudah ada sejak didirikannya, karakter pendidikan akhlak, kebersamaan, dan saling menghargai
perbedaan dengan adanya diskusi-diskusi bahtsul masail, musyawarah dan halaqoh. 

Sebagai bagian dari masyarakat global, pesantren dewasa ini tengah berada dalam
pergumulan yang sangat ketat dengan kebudayaan modern dan kompleksitas kehidupan.
Modernisasi telah merubah kemapanan-kemapanan tradisional hampir dalam seluruh
dimensinya. Perubahan tersebut tidak saja menyangkut praktik-praktik pragmatis kehidupan
melainkan juga menyentuh dimensi yang lebih dalam dan luas, yaitu sistem nilai, visi dan
pandangan atas kehidupan itu sendiri. Keadaan ini, tak pelak, menyebabkan pesantren tengah
berada dalam dua kutub yang berdegup. 

Pesantren berada dalam suasana kritis dan ambivalen. Di satu sisi ia ingin tetap eksis
dengan ketradisionalannya, tetapi di pihak lain ia disergap oleh realitas modernitas dari berbagai
arahnya secara tak terelakkan. Harus diakui memang bahwa dalam kurun waktu yang relatif
panjang, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan segala tradisinya yang unik, telah
mampu memberikan warna kehidupan masyarakat Indonesia terutama pada lapisan bawah di
pedesaan-pedesaan. Ia relatif telah berhasil melakukan transformasi kultural yang sangat berarti. 

Selama masa kolonial Belanda, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling
banyak berhubungan dengan rakyat. Lembaga ini ‘dipandang sebelah mata’ oleh pemerintah
kolonial Belanda karena mereka beranggapan bahwa pesantren memiliki sistem pendidikan yang
‘buruk’ ditinjau dari tujuan, metode, yang digunakan sehingga, lembaga ini tidak dimasukkan
dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Bagi mereka, tujuan pendidikannya
dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, tidak menggunakan metode yang jelas, dan bahasa
yang digunakan bukan bahasa latin. Itulah sebabnya, orientasi yang diarahkan pada sekolah
umum adalah untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam kehidupan duniawi
(pendidikan jasmani) saja, sedangkan orientasi pesantren adalah mengarah pada pembinaan
moral dan kehidupan ukhrawi (pendidikan rohani). 

Dalam posisi terpisah seperti inilah pesantren terus mengembangkan dirinya dan menjadi
tumpuan pendidikan bagi umat Islam di pelosok-pelosok pedesaan sampai pada masa revolusi
kemerdekaan. Pada masa penjajahan, pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam perang
melawan Belanda. Banyak santri membentuk barisan Hizbullah yang menjadi salah satu cikal
bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada masa ini pesantren merupakan tempat belajar yang
sangat diminati oleh berbagai macam kalangan umat muslim. Namun, seiring perubahan yang
semakin cepat sejak Indonesia merdeka dan kehidupan sosial umat Islam Indonesia juga
mengalami perubahan dari masyarakat pedesaan yang agraris ke masyarakat perkotaan industri
dan perdagangan, mengakibatkan pula perubahan dalam model-model pendidikan Islam.
9
Mencetak ulama Intelek

Belakangan terdapat trend baru dalam masyarakat muslim modern untuk menjadikan pesantren
sebagai model bagi sistem pendidikannya dewasa ini, paling tidak mengadopsi sejumlah hal
yang positif dan relevan. Satu hal yang penulis kira menarik adalah kenyataan bagaimana
pesantren bisa mendidik dan memajukan santri dalam khazanah keislaman, atau setidaknya
mencetak ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Kebanggaan dan menjadi tanggung jawab
penulis dalam mengembangkan amanat ini adalah dengan dipercaya mengelola program
beasiswa studi S2 Pendidikan Kader Ulama (PKU) konsentrasi Ushul Fiqh pada Ma’had Aly al-
Hikamus Salafiyah Cirebon. Bangga bukan untuk diri penulis, tapi adanya apresiasi dari
Kementerian Agama dibawah Program Ditpdpontren untuk memajukan wacana dan keilmuan
santri dan ustadz pada bidang kajian kitab dan akademis, tidak hanya itu teman-teman santri dan
ustadz pesantren mampu belajar pada jenjang yang lebih tinggi (pasca sarjana). 

Visi dan kompetensi lulusan pesantren akan tercapai secara ideal, mana kala dalam
penyelenggaraan pendidikan memadukan antara sistem perguruan tinggi dan pondok pesantren.
Sekitar 302 orang yang mengikuti seleksi ini, dari berbagai pesantren yang ada di Indonesia,
namun yang diberikan kesempatan hanya 25 orang untuk bisa belajar.

Penyelenggaaran program beasiswa studi (S2) Pendidikan Kader Ulama Konsentrasi Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu Agama
Islam, dengan kualifikasi dapat menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang falsafah hukum
Islam secara komprehensif, integral dan terpadu dengan basis khazanah ilmu fiqh klasik; mampu
melakukan penelitian pemikiran dan realita sosial keagamaan dalam rangka pengembangan dan
penyelesaian problem-problem umat Islam kekinian; mampu merumuskan konsep-konsep dan
paradigma penggalian dasar-dasar pemikiran keagamaan dan Hukum Islam dalam menghadapi
dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik; mampu merumuskan implementasi nilai-nilai
dasar agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara baik dengan bahasa ibu maupun
bahasa international; memiliki hafalan yang kokoh atas ayat-ayat al-Qur'an terutama yang
berkaitan dengan pemikiran dan praksis sosial keagamaan. 

Program Kompetisi tersebut, diharapkan lulusan dari pesantren siap mengemban tugas atau
berprofesi sebagai; tenaga edukatif pada pesantren dan perguruan tinggi yang berbasis pesantren
atau Ma'had Aly; tenaga peneliti dan pengembangan Ilmu Agama Islam dalam rangka menjawab
problem umat di Indonesia; penulis handal yang dengan bekal keilmuan yang mumpuni mampu
mencurahkan ide, buah pikiran dan konsep melalui tulisan baik dengan bahasa Indonesia
maupun bahasa asing; para santri juga diarahkan pada penerjemahan kitab klasik, gambarannya
apabila ada 25 peserta Program Kader Ulama (PKU) maka akan ada 25 hasil terjemah kitab
klasik yang akan menambah referensi tidak hanya pada kalangan pesantren saja, tapi menambah
referensi untuk perguruan tinggi di Indonesia. Maka sudah saatnya pesantren tidak lagi

10
dipandang sebelah mata, dan label sebagai sarang terorisme akan hilang dengan sendirinya,
karena pesantren sebagai lembaga yang tumbuh dari kultur dan kearifan lokal untuk membangun
peradaban Bangsa memang benar-benar nyata 

2.6 Universalisme Islam dan Kosmopolitasme Peradaban Islam


Universalisme berasal dari kata “universal” yang artinya umum, berlaku untuk semua
orang dimana pun dan kapan pun ia berada. Bila Islam sebagai agama universal berarti Islam
berlaku umum untuk semua orang dimana pun dan kapanpun ia berada, tanpa melihat suku,
etnis, dan agama.

Sedangkan kosmopolitanisme berasal dari kata kosmopolit yang artinya semua suku
bangsa manusia merupakan satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Dua
kata di atas (universalisme dan kosmopolitanisme) kalau ditempelkan kepada kata Islam sepintas
lalu akan menimbulkan makna yang kontradiktif. Di satu pihak Islam sebagai agama universal
harus diterima oleh semua manusia dimana pun dan kapan pun dia berada. Di pihak lain Islam
sebagai agama kosmopolit, Islam harus menerima kenyataan bahwa semua suku bangsa adalah
satu komunistas tunggal yang memiliki moralitas yang sama, tanpa dibatasi oleh agama apa pun.

Islam sebagai agama universal tidak berarti semua manusia di dunia harus menganut
Islam, karena itu sangatlah tidak mungkin, dan bertentangan dengan al-Quran. Menjadikan Islam
sebagai agama universal maksudnya adalah nilai-nilai Islam yang bersifat universal akan dianut
dan diikuti oleh semua manusia di dunia, dimana pun, kapan pun, dan oleh agama atau suku
manapun. Lalu yang menjadi pertanyaan adakah ajaran Islam yang bersifat universal itu ???
jawabannya “ada”.

Nilai-nilai universal dari ajaran Islam menurut Gus Dur menampakkan diri dalam bentuk lima
buah jaminan dasar. Kelima jaminan dasar itu adalah :
1.    Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan fisik di luar ketentuan hukum (hifdun nafs).
2.    Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada pakasaan untuk berpindah
agama(hifdud din).
3.    Keselamatan keluarga dan keturunan (hifdun nasl).
4.    Keselamtan harta benda (hifdul mal).
5.    Keselamtan hak miliki dan profesi (hifdul aqli).

Hampir semua manusia di dunia, baik itu Kristen, Yahudi, Hindu, Buda, Konghucu yang sudah
aqil dan balig, (terkecuali ISIS dan Wahabi karena belum aqil-balig) pasti membenarkan kelima
ajaran di atas. Siapa sih yang ingin keluarganya tidak aman? Siapa sih yang ingin akalnya
dipasung? Siapa sih yang ingin hartanya dicuri oleh orang lain? Saya yakin tidak tidak ada.

11
Islam akan menjadi agama yang universal bila kelima ajaran di atas dapat dijalankan
dengan baik dan benar. Bila kelima ajaran di atas telah menjadi landasan berpikir, bertindak, dan
bergaul dengan kelompok lain, maka akan melahirkan yang namanya kosmopilitanisme
peradaban Islam, yaitu suatu masyarakat Islam yang meyakini semua suku bangsa manusia
merupakan satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Pada saat itulah Islam
akan kelihatan “indah”. (Diulas dari buku Islam Kosmopolitan karya KH. Abdurrahman
Wahid oleh FT edu)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa titik tolak pemikiran Gus Dur
bukan mengagunhkan modernism namun mengkritik modernism dengan pisau tradisionalisme.
Menurut Gus Dur dalam persoalan universalisme islam tidak perlu merujuklangsung pada
Alquran atau hadis namun merujuk pada ushul fiqh yang disebut dhoruriyat al khamsyah yaitu
hifz al din,hifz al nafs, hifz al nasl, dan hifz al mal.
Kosmopolitanisme islam menurut Gus Dur muncul dalam sejumlah unsure seperti
hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas polotik dan kehidupan
beragama. Kosmopolitanisme digunakan untuk melakukan pengembangan terhadap teologi ahlu
sunah wal jama’ah dalam menghadapi perubahan dan tantangan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.nu.or.id/post/read/41134/pesantren-sebagai-subkultur-pendidikan
www.Abdurrahman Wahid-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedibebas.htm
Wahid,Abdurrahman.2007.Islam Kosmopolitan : Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi
Kebudayaan. Jakarta : The wahid Institut
http://www.nu.or.id/post/read/10923/gus-dur-dan-islam-kosmopolitan

12

Anda mungkin juga menyukai