Anda di halaman 1dari 8

NAMA LENGKAP

KH. ABDURRAHMAN WAHID

TEMPAT / TANGGAL LAHIR


JOMBANG, 04 AGUSTUS 1940

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah
dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar
membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah,
Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl,
seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk
menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa
dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan
dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang)
se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan
bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya
wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada
tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di
pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi
sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar
Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah
ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang
berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum
Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji
Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin
mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris,
sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa
Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John
Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya
Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti:
Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya
Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku
berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali
informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London.
Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP
yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat
yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl
Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan
informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa
Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai.
Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan
praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah
ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur
membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada
saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam
paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada
saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan
minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda
lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi
dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang,
dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di
pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua
keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji,
yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali
sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar,
akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena
harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika
(USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan
Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum
intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup.
Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam
yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi
tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di
Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak
didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar
karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca
hampir semua buku yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk
makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran
Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah
Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut
mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada
kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya,
menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi
persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di
Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa
Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan
menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di
Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk
bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada
untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke
Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai
memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur
ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan
tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan
menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya
beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi,
dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

http://www.gusdur.net/id/biografi; diakses pada 05/11/2017

JIL

Prinsip

Prinsip yang dianut oleh Jaringan Islam Liberal yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi
dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua:
kebebasan dan pembebasan. Jaringan Islam Liberal percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat,
sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
penafsirnya. Jaringan Islam Liberal memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat
terhadap Islam, yaitu "liberal".

Sejarah

Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 saat kerajaan Turki Utsmani
Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah
para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian, kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Pada
saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762),
menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan
penduduknya. Hal ini juga terjadi di kalangan Syiah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai
berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.

Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori
gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wachid.
(Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton. Nurcholis
Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun 1970-an. Pada saat itu ia telah
menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: Rasanya toleransi agama hanya akan
tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan
pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap
manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama.1

1
Nurcholis Madjid: 239
Menurut Novrianti, koordinator JIL dan Ulil pergerakan JIL memeperoleh sumbangan dari
organisasi The Asia Foundation sekitar Rp. 1.400.000.000 dari tahun 2001-2005.2

Konflik

Ulil Abshar Abdalla, seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia, menolak penafsiran agama yang
tidak pluralis atau bertentangan dengan demokrasi yang menurutnya berpotensi merusak
pemikiran Islam. Ia mengkritik MUI telah memonopoli penafsiran Islam di Indonesia, terutama
karena fatwa yang menyatakan bahwa Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme adalah ideologi
sesat.3

Ulil dengan Liberalismenya

©istimewa

Oleh : Abdurrahman Wahid

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan
“orang santri”. Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan Muslim Mustofa Bisri,
sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga
cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi ada hal yang membedakan Ulil dari orang-orang
pesantren lainnya, yaitu profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya hal itulah
yang akhirnya membuat ia dimaki--maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh
banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang
mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari
pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang
sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah
anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan
demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas­asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran”
Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama Islam.
Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini.

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan
“Assalamu’alaikum” dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulislah yang
memutuskan hal itu. Segera penulis dimaki--maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud
penulis sebenarnya. Seperti KH. Syukron Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta
Selatan) yang mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bershalat. Penulis,
demikian kata kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan
“selamat pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang
dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan disudahi dengan ucapan“salam”. Jadi, menurut paham
Mazhab al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai
peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika
orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non--muslim. Di lingkungan
Universitas Al--Azhar di Kairo misalnya, para syaikh/ kyai yang menjadi dosen juga sering merubah

2
Feener, R. Michael (2007). Muslim legal thought in modern Indonesia. Cambridge University Press. p. 210. ISBN 0-
521-87775-X.
3
http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdf
“tanda perkenalan“ tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah
(shabâh al-nûr).” Kurangnya pengetahuan kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka
kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang, adalah akibat dari
kekurangan pengetahuan itu.

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang
terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah seorang
santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.
Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang
sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Segala
sesuatu musnah kecuali Dzat Allah (kullu syai’in halikun illa wajhah)” (QS al­-Qashash [28]:88),
dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh
berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang
menyatakan bahwa Ulil anti--Muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa
yang mengkafirkan saudara yang beragama Islam, justru ialah yang kafir (man kaffara akhâhu
musliman fahuwa kâfirun).”

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd [1] (Averoes) yang membela habis-habisan
kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja
oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan--perubahan. Dalam hal ini,
memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham
serba akal “ahl al-aqli (kaum rasionalis)” dalam Islam memang sangat lebar. Kedua pendekatan
ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi (ahl al-dzauq),”
seperti dikemukakan oleh al--Jabiri. Ketiga sumber ini, diusung oleh al--Imam al--Ghazali [2]
dalammagnum opus (karya besar), “Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih diajarkan di
pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan
salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menyatakan
“Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini (al-yauma akmaltu lakum dînakum)” (QS
al--Maidah [5]:3) dan “Masuklah ke dalam Islam/kedamaian secara menyeluruh (ud- khulû fî al-
silmi kâffah)” (QS al­-Baqarah [2]:208), maka seolah--olah jalan telah tertutup untuk berpikir
bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip--prinsip
kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil
mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan
mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan
orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah
tersebut. Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, yang
mengembangkan paham liberalisme dalam Islam.

Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya
reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil
tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja
menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya
spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum Muslim
pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa di rumah
mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri
maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar Abdalla
tersebut.

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika
dibenarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan­ gagasannya di masa
depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat
berhadapan dengan tantangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih
mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat--pendapat terbuka dalam media khalayak.
Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-
perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para
pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmah al-ummah).”

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khalayak, maka kita
dihadapkan kepada dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali
menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya
akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang--orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-
pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat
kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme
yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang sekarang
“menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat
mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada
munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Islam. Pilihan yang
kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan, bukan?

Catatan kaki:

[1] Nama lengkapnya adalah Abu al--Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, lahir di
Cordoba pada 520 H./1126 M. dan wafat di Maghribi pada 1198 M. Di Barat ia dikenal dengan
nama Averroes. Dia adalah seorang doktor, ahli hukum, dan tokoh filsafat yang paling populer
pada periode perkembang- an filsafat Islam (700-1200). Di samping sebagai seorang yang paling
otoritatif dalam fungsi sebagai komentator atas karya--karya filasuf Yunani Aristoteles, Ibnu
Rushd juga seorang filosof Muslim yang paling menonjol dalam usaha mencari persesuaian antara
filsafat dan syariat (al-ittishâl bain al-hikmah wa al-syarî`âh). Ibn Rushd menulis banyak buku
antara lain Fashl al-Maqâl wa Taqrîr mâ baina al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, al-Kasyf `an
Ma- nahij al-Adillah, Tahafut al-Tahâfut, dan Bidâyat al-Mujtahid.

[2] Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ahmad al-Thûsi
al-Syâfi’î. Lahir pada 450 H/1058 M di Tabaran, satu dari dua buah kota kecil di Khurasan. Al-
-Ghazali termasuk ulama yang pe-mikiran--pemikirannya sangat mewarnai dunia Islam. Beberapa
karyanya an-tara Tahâfut al-Falasifah, Kimiyyat al-Sa’âdah, Misykat al-Anwâr, danIhyâ` Ulûm al-
Dîn. Buku-buku tersebut hingga sekarang menjadi bacaan penting dalam kajian Islam.
Tulisan ini sudah dihapus dari website resmi JIL yang hari ini berubah menjadi ‘Islam Nusantara’ dan
bersumber dari perkumpulan Gusdurian The Wahid Institute.

Dikutip Sepenuhnya dari Abdurrahman Wahid. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The
Wahid Institute.

Dari: http://www.nugarislurus.com/2015/10/tulisan-lama-gus-dur-tentang-liberalisme-ulil-
abshar-abdalla.html dikases pada 05/11/2017 pukul 13.15
Jaringan Islam Liberal (JIL) lahir dari sebuah mailing list bernama islamliberal@yahoogroups.com
saat awal millennium yang kala itu teknologi dan informasi dalam dunia internet masih pasif.
Namun isu akan hadirnya liberalisasi islam secara wacana sudah diketahui di seluruh daerah oleh
beberapa kalangan cendikiawan dan akademisi islam.

Dengan beredarnya catatan harian “pergolakan pemikiran islam” karya Ahmad Wahib inilah
menjadi titik awal mencuatnya JIL. Ahmad Wahib sendiri dikenal sebagai pemegang peran berarti
akan mencuatnya JIL. Dia adalah mahasiswa Fisika UGM yang meninggal saat hendak ke kantor
tempo sebagai wartawan di tahun 1973. Dan buku hasil pemikiran beliaulah yang menjadi “buku
pedoman” bagi mahasiswa liberal kala itu bahkan berlangsung hingga kini. Berikut penggalan
pemikiran Ahmad Wahib:

“AKU BUKAN NASIONALIS, BUKAN KATHOLIK, BUKAN SOSIALIS. AKUPUN BUKAN BUDDHA, BUKAN
PROTESTAN, BUKAN WESTERNIS. AKU BUKAN KOMUNIS. AKU BUKAN HUMANIS. AKU ADALAH
SEMUANYA. MUDAH-MUDAHAN INILAH YANG DISEBUT MUSLIM. AKU INGIN ORANG MENILAI
DAN MEMANDANGKU SEBAGAI SUATU KEMUTLAKAN (ABSOLUTE ENTITY) TANPA
MENGHUBUNG-HUBUNGKAN DARI KELOMPOK MANA SAYA TERMASUK SERTA DARI ALIRAN APA
SAYA BERANGKAT. MEMAHAMI MANUSIA SEBAGAI MANUSIA” (CATATAN HARIAN 9 OKTOBER
1969)

Maka secara resmi Jaringan islam Liberal (JIL) didirikan pada tahun 2001 di Jakarta. Latar berakang
didirikannya Jaringan islam Liberal ini menurut salah satu pencetusnya yakni Luthfi Asy Syakanie
yang merupakan jebolan Melbourne, organisasi ini gunanya untuk melengkapi keberadaan
organisasi islam lainya yang sama dan telah ada. Sejak awal, menurutnya JIL memang disiapkan
sebagai wadah penghubung organisasi islam liberal yang ada di Indonesia. Atas dasar itulah
disebut jaringan, agar menjadi komunitas tempat berkumpul, berinteraksi, dan berbagi pemikiran
ser Hadirnya Jaringan Islam Liberal di Indonesia tentu banyak menimbulkan berbagai
kontroversial. Ada yang membolehkannya sebagai bagian dari khazanah pemikiran islam dan atas
dasar kebebasan berpikir tersebut namun ada pula yang menentang dan menganggapnya sebagai
aliran sesat yang berpotensi menghancurkan akidah umat islam dan lantas memamdanngnya
sebuat kejahatan yang patut dibumihanguskan.

Menurut saya pribadi sebagai mahasiswa yang kebetulan menekuni bidang agama, sebaiknya kita
subyektif dalam menganalisa akan sesat dan tidaknya Jaringan Islam Liberal. Bukan karena latar
belakang saya yang menimba ilmu di UIN Syarif Hidayatullah yang mana notabenanya akar dari
pemikiran para kaum Liberal lalu saya menyetujuinya bukan. Saya akui di UIN Jakarta mahasiswa
pada jurusan tertentu mempelajari beberapa pemikiran dan pandangan dari para pelopor JIL.
Namun saya yakini banyak ilmu, gagasan, serta wawasan yang baik dapat kita ambil sebagai
hikmah buah pemikirannya. Jadi perihal sesat atau tidaknya selama itu baik maka petiklah
kebaikannya dan tinggalkan dan buanglah jauh-jauh segala hal yang menurut kita tidak baik.

Berikut Daftar 50 tentang tokoh-tokoh yang berkaitan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia
seperti yang termaktub dalam Buku : 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide
Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, karya Budi Handrianto yang diterbitkan di Hujjah Press
(kelompok Penerbit Al Kautsar)ta pandangan bagi aktivis muslim dari berbagai organisasi islam
liberal.

https://katafadhiel.wordpress.com/2014/06/23/sejarah-tokoh-jaringan-islam-liberal/ diakses
pada 05/11/2017 pukul 13.53

Anda mungkin juga menyukai