Anda di halaman 1dari 14

BAB II

BIOGRAFI GUS DUR

Kiprah Gus Dur terkait agama dan kebudayaan yakni, Gus Dur pernah
menjadi ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan juga pernah
menjadi wakil khatib Suriyah PBNU. Berikutnya, Gus Dur juga Pernah menjadi
Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Juri Festifal Film Indonesia, dan sebagai
ketua Forum Demokrasi.

A. Riwayat Hidup

Abdurrahman Wahid lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denannyar

Jombang Jawa Timur, dengan nama Abdurrahman Addakhil. Secara etimologi

Addakhil bermakna sang penakluk. Karena nama Addakhil tidak begitu

dikenal maka diganti dengan nama Abdurrahman Wahid. Kemudian, dikenal

dengan sebutan Gus Dur karena lahir di lingkungan pesantren, sebutan Gus

berkmakna mas, abang, atau akang, merupakan suatu bentuk penghormatan di

untuk putra seorang kiai.1

Gus Dur merupakan putra pertama dari enam bersaudara yang

merupakan keturunan darah biru. Ayahnya, KH.Wahid Hasyim adalah putra

KH. Hasyim Asy‟ari, pendiri Jam‟iyah Nahdatul Ulama (NU), sebagai

organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia dan sekaligus pendiri

1
Kamarudin Salleh, “Gus Dur dan Pemikiran Liberalisme”, (Ar-Raniry International Journal of
Islamic Studies, Vol 1, No 2, Desember, 2014), hlm. 260.

1
Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibunya, Hj. Sholehah yang merupakan putri

KH. Bisri Syansuri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, Kakeknya Gus Dur

dari sanad ibunya adalah Rais „Aam di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

(PBNU) sebagai pengganti posisi KH. Wahab Chasbullah. Pada tahun 1949,

ayahanda Gus Dur diangkat sebagai kepala Menteri Agama pertama, sehingga

keluarga Wahid Hasyim beranjak pindah ke Jakarta untuk memasuki suasana

yang baru. Setelah kepindahannya di Jakarta, berbagai tamu dari berbagai

tokoh, serta dari berbagai tamunya yang ber-macam-macam profesi, yang

sebelumnya pernah berjumpa di kediaman kakeknya pun masih terus berlanjut

di kediaman baru Wahid Hasyim. Sehingga, hal itu dapat menjadi sebuah

pengalaman tersendiri bagi Gus Dur untuk mengenal dunia politik.2

Menurut ibundanya, sejak kecil, Gus Dur sudah terlihat tanda atau

garis hidup yang berbeda dari anak yang seusianya, dan terlihat memiliki

kesadaran penuh untuk mengemban tanggung jawab terhadap Nahdlatul

Ulama (NU). Kemudian, pada pertengahan tahun 1953 sekitar bulan April,

Gus Dur bersama ayahnya berangkat menuju Sumedang di Jawa Barat,

bertujuan menghadiri pertemuan Nahdlatul Ulama (NU) dengan menggunakan

mobil, akan tetapi, pada saat ditengah perjalanan, di sepanjang jalan antara

Cimahi dan Bandung, hujan turun begitu deras dan mengakibatkan jalanan

menjadi licin, tidak lama kemudian kendaraannya mengalami kecelakaan yang

mengakibatkan ayahnya meninggal. Namun, dalam kecelakaan tersebut Gus

18
Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta, Lkis, 2002), hlm. 39.

18
Dur masih selamat. Kecelakaan terjadi pada siang hari, namun Gus Dur hanya

bisa menunggui ayahnya ditepi jalan dengan kondisi yang tidak berdaya

sampai ambulan itu datang menjemput pada sore dini hari. Gus Dur tetap

dalam kondisi tenang walaupun tengah terguncang oleh kecelakaan yang baru

saja menimpanya.3

Dalam kepribadiannya, Gus Dur sangat gemar membaca dan sangat

aktif memanfaatkan perpustakaan milik ayahnya, dan juga aktif berkunjung di

sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Sejak usia remaja, Gus Dur sudah

akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel, serta buku-buku yang bisa

dibilang begitu serius, seperti wacana tentang Filsafat serta dokumen-

dokumen mancanegara tidak luput untuk dibacanya. Selain aktif membaca,

Gus Dur suka bermain bola, catur, musik dan menonton bioskop. Dan masa-

masa remajanya Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya di

Yogyakarta dan Tegalrejo. Karena di kedua tempat tersebut merupakan tahap

awal dimana pengembangan ilmu pengetahuan yang diserap Gus Dur semakin

meningkat. Kemudian, pada masa berikutnya Gus Dur tinggal di Jombang,

yakni di pesantren Tambak Beras, setamatnya dari pesantren, Gus Dur

melanjutkan studinya di Mesir. Akan tetapi, sebelum keberangkatannya ke

Mesir, pamannya Gus Dur telah melamarkan seorang gadis untuk menjadi

pendamping hidupnya, yaitu Sinta Nuriyah. Sinta Nuriyah ialah merupakan

19
Ibid., hlm. 44.

19
putri dari Haji Muh Sakur, dan menurut kabar yang terlintas, bahwa

perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.4

Masa kecil Gus Dur diajari mengaji dan membaca Al-qur‟an oleh

kakeknya yaitu, KH Hasyim Asy‟ari, dan pada saat usia mencapai lima tahun

Gus Dur sudah pandai membaca Alqur‟an. Semenjak Gus Dur ikut dengan

ayahnya berpindah ke Jakarta, disana Gus Dur tidak hanya belajar secara

formal di sebuah sekolah umum, namun Gus Dur juga mengikuti kursus

bahasa Belanda. Guru kursusnya berasal dari negara Jerman yang kebetulan

sudah menjadi mualaf, dahulunya bernama Willem Buhl kemudian mengganti

namanya dengan Iskandar. Metodologi yang dipakai oleh Buhl sangat

menarik, karena dalam pengajaran bahasa Belanda, Buhl menyajikan musik

klasik yang semestinya dinikmati orang dewasa, namun Buhl menyajikan

musik tersebut berguna sebagai peredam ketegangan sebelum memulai

belajar. Maka, dari sinilah awal mula Gus Dur bersentuhan dengan dunia

barat, pada akhirny Gus Dur mulai tertarik sekaligus mencintai genre musik

klasik.5

Setelah kelulusannya dari sekolah dasar pada tahun 1953, Gus Dur

dikirim oleh orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Untuk masuk ke

Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gowongan, sekaligus menetap

di Pesantren Krapyak. SMEP merupakan sekolah formal yang dikelola oleh

4
Pahrurroji M. Bukhori, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiiran Abdurrahman Wahid
dan ‘Ali ‘abd ar-Raziq, (Bantul, Pondok Edukasi, 2003), hlm. 62.
5
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1999), hlm. 326.

20
Gereja Katolik Roma. Sekolah tersebut banyak menggunakan kurikulum yang

sekuler, dan dari sekolah tersebutlah Gus Dur pertama kalinya belajar bahasa

Inggris. Karena Gus Dur merasa kurang leluasa aktifitasnya selama berada

dalam dunia pesantren, sehingga Gus Dur meminta pindah ke kota dan

menetap di rumah Haji Junaedi yang merupakan salah seorang pimpinan lokal

Muhammadiyah, sekaligus orang yang sangat berpengaruh di SMEP. Rutinitas

kesehariannya, setelah shalat subuh Gus Dur berangkat untuk mengaji kepada

KH. Maksum Krapyak. Pada siang harinya, Gus Dur sekolah di SMEP,

kemudian saat malam hari Gus Dur ikut berdiskusi dengan Haji Junaedi dan

anggota Muhammadiyah yang lain.6

Pada saat Gus Dur menjadi siswa sekolah lanjutan pertama, dalam

kegemarannya membaca semakin mendapatkan tempat, pada satu sisi, Gus

Dur di dorong oleh gurunya untuk mendalami bahasa inggris. Sehingga, dalam

waktu dekat Gus Dur telah banyak menghabiskan buku yang berbahasa

Iinggris diantaranya ialah karya Ernest Hemingway, John Steinbeach,

William Fulkner, dan beberapa karya milik Johan Huizinga, Andre Malraux,

Ortega Y. Gasset, serta beberapa karya dari Rusia yakni: Pushkin, Tolstoy,

Dostoevsky dan Mikhail Sholokov, dan karya yang berjudul The Story of

Civilization karyanya Will Durrant yang dibaca hingga tuntas oleh Gus Dur.

Untuk meningkatkan belajar bahasa Inggris-nya, Gus Dur tidak hanya sebatas

memahami buku-buku yang berbahasa Inggris. Akan tetapi, berusaha

22
Ibid., hlm. 326.

21
menggali sebuah informasi-informasi dari mancanegara dan aktif

mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London. Saat seorang

yang bernaama Sumatri yang merupakan guru Sekolah Menengah Pertama

(SMEP) mengetahui Gus Dur sangat pandai dalam bahasa Inggris, maka

sumatri langsung memberinya buku Karya Lenin yang berjudul What Is To Be

Done, dan pada saat yang sama, Gus Dur yang masih menginjak usia remaja

ini telah mengenal Das Kapital Karl Marx, filsafatnya Plato, Thales dan

seterusnya, maka wajar jika wawasan Gus Dur sangat luas dari anak-anak

yang se-usia-nya. Setamatnya dari sekolah tersebut, Gus Dur melanjutkan

pendidikannya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah, yang di pimpin

oleh KH. Chudhari yang merupakan sosok kiai humanis, saleh serta guru yang

dicintainya. Gus Dur pun dikenalkan dengan ritual-ritual sufi yang mistik

dengan bimbingan kiainya, dari situlah kemudian Gus Dur sering melakukan

ziarah ke kuburan-kuburan para wali yang keramat di pulau jawa. 7

Pada saat di Pesantren, Gus Dur tidak pernah lupa untuk membawa

semua koleksi bukunya sehingga membuat para santri ke-heran-an melihat

buku-buku bacaannya. Tidak hanya itu saja Gus Dur pun mulai menunjukkan

kemampuannya dalam hal berbicara dan rasa humor yang membuat santri

sangat terhibur dengan gaya bicara dan humorisnya. Dalam kehidupannya

dilingkungan Pesantren, terdapat sebuah kisah yang begitu menarik dari

seorang Gus Dur pada saat acara imtihan yang diselenggarakan sebelum bulan

7
Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta, Lkis, 2002), hlm. 56.

22
puasa ramadhan. Acara tersebut bertujuan untuk menyambut kelulusan atau

salam perpisahan para santriwan dan santriwati yang telah selesai menempuh

pendidikan. Gus Dur mengadakan Acara Imtihannya lain dari pada yang lain,

maksudnya tidak nampak terlalu formal dan kaku, akan tetapi dibuatnya

sedemikian menarik dan mencerahkan momen para wisudawan-wisudawati.

Kemudian Gus Dur menyediakan konsumsi serta menghadirkan semua

hiburan rakyat, seperti; gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan

dan sebagainya. Padahal, didalam dunia pesantren, hiburan semacam itu

termasuk kategori hiburan yang tabu dan dianggap tidak penting, namun hal

semacam itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo atas ide yang wujudkan

oleh Gus Dur. Setelah menghabiskan waktunya selama dua tahun di Pesantren

Tegalrejo, kemudian berpindah kembali ke Jombang, dan menetap di

Pesantren Tambak Beras hingga pada saat Gus Dur masih berusia 20 tahun-an,

di Tambak Beras Gus Dur menjadi ustad sekaligus menjadi ketua keamanan di

Pesantren milik pamannya yaitu KH. Abdul Fatah. Saat usianya 22 tahun, Gus

Dur berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus

menuju Mesir untuk melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar.8

Setibanya di Mesir, kekecewaan yang Gus Dur dapatkan ialah karena

tidak dapat langsung masuk kuliah di Universitas Al-Azhar, akan tetapi harus

masuk ke Madrasah Aliyah dahulu, dapat dikatakan semacam sekolah

persiapan. Hingga akhirnya Gus Dur merasa bosan belajar disekolah yang

8
Ibid., hlm. 51, 53, 59.

23
harus mengulang-ulang matapelajaran yang sudah pernah ditempuhnya waktu

di Indonesia. Maka, untuk menghilangkan ke-bosan-an yang di rasa-kan Gus

Dur, seringkali melakukan aktifitas-aktifitas untukkesana-kemari hanya untuk

mengunjungi perpustakaan maupun Pusat Layanan Informasi Amerika (USIS)

dan toko-toko buku untuk sekedar mengakses buku-buku yang

dikehendakinya. Pada satu sisi, kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi

Gus Dur pada saat tinggal di Mesir, karena negara Mesir tengah berada

dibawah kekuasaan pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr yang

merupakan sosok seorang nasionalis-dinamis, dan Kairo tengah menjadi masa

ke-emas-an bagi kaum intelektual, sehingga mendapatkan sebuah kebebasan

untuk mengeluarkan pendapat serta mendapatkan jaminan perlindungan yang

cukup baik pada waktu itu. Sekitar tahun 1966 Gus Dur pindah ke Negara

Irak, tak lain merupakan negara modern dan mempunyai peradaban Islam

yang cukup maju, di Irak Gus Dur masuk dalam Departemen of Religion di

Universitas Baghdad sampai tahun 1970. Pada saat di Baghdad, Gus Dur

banyak mendapatkan sebuah rangsangan intelektual yang tidak pernah

dapatkan pada waktu di Mesir. Di Baghdad Gus Dur bersentuhan langsung

dengan buku-buku dari karya sarjana Orientalis Barat, dan merupakan suatu

kegiatan yang intensif untuk membaca hampir secara keseluruhan buku yang

ada di perpustakaan. 9

9
Ibid., hlm. 87-94.

24
Diluar kegiatan kampus, Gus Dur sangat antusias sekali untuk

mengunjungi kuburan keramat para wali seperti: Syekh Abdul Qadir Jaelani,

pendiri jama‟ah Tharekat Qadiriyah, dan Gus Dur pun banyak mendalami

ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi yang merupakan pendiri aliran tasawwuf

yang banyak di ikuti oleh jama‟ah NU. Dengan demikian, Gus Dur

menemukan sumber inspirasi dalam wilayah spiritualnya. Setelah

menyelesaikan pendidikannya di Baghdad, Gus Dur bermaksud untuk

melanjutkan studinya ke Eropa, akan tetapi karena persyaratannya yang cukup

ketat, utamanya dalam bahasa yakni harus menguasai bahasa Jerman,

diharuskan pula menguasai bahasa Hebraw, Yunani, Latin, walaupun hanya

sebatas mengkaji klasik Kohln. Untuk menghilangkan rasa kecewanya,

akhirnya Gus Dur menjadi pelajar keliling yang melakukan kunjungan ke

Universitas-Universitas Lain.10

Pada akhirnya, Gus Dur menetap di Belanda selama enam bulan,

sekaligus mendirikan suatu perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan

Malaysia yang tinggal di daratan Eropa. Untuk memenuhi biaya hidupnya

selama berada diperantauan, dalam sebulan, Gus Dur dua kali pergi menuju

pelabuhan untuk bekerja sebagai cleaning service kapal tanker dan Gus Dur

pun sempat pergi ke McGill University of Canada untuk pendalaman ilmu

kajian ke-Islam-an. Hingga pada akhirnya, Gus Dur kembali ke-Indonesia

setelah ter-ilhami sebuah berita tentang perkembangan dunia pesantren, dan

27
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1999), hlm. 328.

25
perjalanan studinya berakhir pada tahun 1971, ketika kembali ke-Jawa dan

memulai kehidupannya yang baru, sekaligus menjadi perjalanan awal

karirnya.11

Semangat belajar Gus Dur tidak pernah surut, pada tahun 1979 Gus

Dur ditawari untuk menempuh pendidikan di Australia guna mendapatkan

gelar Doktor, namun maksud baik tersebut tidak bisa dipenuhi oleh Gus Dur.

Banyak diantara berbagai promotor sudah tidak sanggup untuk membujuk dan

menganggap bahwa Gus Dur tidak begitu membutuhkan gelar tersebut. Akan

tetapi, tidak sedikit pula para calon doctor dari negara Australia meminta

kepada Gus Dur untuk mengoreksi dan membimbing disertasi untuk sampai

dihadapan sidang akademik.12

B. Perjalanan Karir

Sepulangnya dari pencarian ilmu yang dilakukannya, Gus Dur kembali

ke Jombang dan memilih untuk menjadi Guru pada Tahun 1971, kemudian

bergabung menjadi pengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu Ireng

Jombang. Tiga tahun berjalan kemudian Gus Dur menjadi seorang penulis

aktif dan kolumnis, sekaligus dijadikan sebagai sekretaris di Pesantren Tebu

Ireng. Gagasan pemikiran Gus Dur banyak dituangkan pada tulisan tersebut

dan mendapat banyak perhatian dari Djohan Efendi merupakan itelektual yang

terkemuka pada masanya, Efendi menilai bahwa Gus Dur ialah seorang yang

11
Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta, LKiS, 2002), hlm. 112.
12
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1999), hlm. 327.

26
cerdas yang mampu mencerna sebuah pemikiran yang dibacanya, lalu

pemikiran tersebut dimanifestasikan menjadi pemikirannya sendiri. Sehingga,

dalam tulisannya, Gus Dur jarang menggunakan sebuah catatan kaki.13

Pamannya, yakni KH. Yusuf Hasyim meminta Gus Dur untuk

membantunya di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris,

bermula dari sinilah Gus Dur sering diundang menjadi narasumber pada

sejumlah forum diskusi ke-Agama-an dan ke-Pesantren-an, didalam maupun

di luar Negeri, lebih lanjut Gus Dur mulai terlibat dalam kegiatan LSM

pertama yaitu di LP3ES bersama Dawam Raharjo, As‟ab Mahasin dan Adi

Sasono dalam sebuah proyek untuk pengembangan pesantren, kemudian Gus

Dur mendirikan P3M yang dimotori langsung oleh LP3ES. Pada tahun 1979

Gus Dur mulai berpindah ke Jakarta, mulanya Gus Dur mulai merintis sebuah

Pesantren di Ciganjur, dan pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya untuk

menjadi wakil katib Syuriah PBNU, dari sini terlibatnya Gus Dur dalam suatu

diskusi yang serius mengenai permasalahan Agama, Sosial, dan Politik dan

dengan berbagai kalangan lintas Agama, suku dan disiplin yang berbeda-

beda.14

Keseriusannya menulis dan bergelut dengan dunianya baik itu dalam

lapangan Kebudayaan, Politik maupun ke-Islam-an, karirnya yang dianggap

menyimpang dan kebetulan pada waktu itu kapasitasnya sebagai seorang

13
Ibid., hlm. 328.
14
Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta, Lkis, 2003), hlm. 114.

27
tokoh Agama sekaligus pengurus PBNU, sampai mengundang hujatan pada

saat Gus Dur menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983,

sekaligus menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun

1986 dan 1987. Gus Dur pun secara aklamasi dipilih oleh tim ahl all wa al-

‘aqdi pada tahun 1984 yang diketuai KH. As‟ad Syamsul Arifin, untuk

menjadi ketua PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo, dan pada muktamar

yang ke-28 yang bertempat di Pesantren Krapyak Yogyakarta pada tahun 1989

jabatan tersebut kembali dikukuhkan dan pada saat muktamar di Cipasung

Jawa Barat pada tahun 1994.15

Masa baktinya sebagai ketua umum PBNU dilepaskan pada saat Gus

Dur naik untuk menjabat Presiden RI ke-4, walaupun sudah menjadi Presiden

ciri khas yang nyeleneh dari seorang Gus Dur tidak hilang, malah semakin

diketahui oleh berbagai lapisan masyarakat, mungkin dahulu ke-nyeleneh-an

yang seraya kontroversial dalam gagasan pemikirannya hanya diketahui dan

dirasakan oleh warga Nahdliyin saja. Perjalanan yang panjang dalam karir Gus

Dur yang perlu dituangkan ialah Gus Dur menjadi ketua Forum Demokrasi

masa bakti 1991-1999, dengan anggotanya yang berasal dari berbagai

kalangan, lebih khususnya kaum Nasionalis dan non-muslim.16

Dari uraian tentang riwayat hidup hingga karir Gus Dur tersebut,

betapa rumit dan kompleksnya perjalanan Gus Dur untuk menata

15
Saidiman, Gus Dur Di Mata Dunia, (Islamlib.com, 2012), hlm. 1.
16
Ibid., hlm. 2.

28
kehidupannya, karena Gus Dur bertemu dengan Bermacam-macam orang

yang mempunyai latar belakang budaya, ideology, strata sosial dan pemikiran

yang berbeda-beda. Gus Dur banyak melintasi berbagai perjalanan hidup yang

kompleks tentang pemahaman keagamaan dan ideologi, mulai dari yang

tradisional, ideologis, fundamentalis sampai modernis dan sekuler, dari segi

kultural. Gus Dur mengalami seperti apa kehidupan ditengah-tengah

Kebudayaan Timur yang santun, tertutup sampai pada Kebudayaan Barat yang

begitu terbuka, modern serta liberal.17

Pemikiran Gus Dur dalam hal agama diperoleh dari dunia pesantren,

lembaga inilah yang kemudian membentuk sebuah karakter yang penuh etik,

struktural dan formal, sementara dengan pengembaraannya ke Timur Tengah

mempertemukan Gus Dur dengan berbagai pemikiran Agama dari yang

koservatif sampai pada pemikiran yang liberal dan radikal sekalipun. Pada sisi

humanisme, Gus Dur banyak dipengaruhi berbagai pemikir Barat Filsafat

Humanisme, namun pengaruh kiai yang mendidik dan membimbingnya tidak

luput dalam membentuk sebuah karakter pemikiran Gus Dur seperti kisah

tentang KH. Ali Ma‟shum Krapyak, Kiai Fatah Tmbak beras dan Kiai Chudari

Tegalrejo yang membuat Gusdur peka terhadap soal kemanusian. Terdapat

tiga model kebudayaan yang dilintasi oleh Gus Dur yakni :

1. Persentuhan langsung terhadap kultur pesantren yang tertutup, hirarkis,

keras dan penuh etika secara formal.

17
Ibid., hlm. 3.

29
2. Pergulatan dengan dunia Timur yang terbuka dan keras.

3. Sebuah persentuhan dengan budaya barat yang liberal, rasional, dan

sekuler.

Dengan demikian, tampaknya berpengaruh bagi kepribadian Gus Dur serta dapat

membentuk sinergitas, hal inilah yang kemudian sosok Gus Dur terlihat sangat

dinamis dan sangat sulit untuk dipahami karena kedalaman berfikirnya begitu

mendalam. Pada sisi lain, Gus Dur menjadi seorang politisi dan pejuang Hak

Asasi Manusia (HAM) bisa dikatakan langka, karena bisa melakukan pembedaan

secara jernih terhadap posisinya untuk tetap membela hak-hak minoritas yang

mungkin tidak menguntungkan secara politis, akan tetapi dapat memberikan suatu

dampak perubahan yang signifikan untuk menjadi tonggak acuan bagi

masyarakat.18

34
Ibid., hlm. 3.

30

Anda mungkin juga menyukai