Anda di halaman 1dari 4

Biografi Gus Dur – Siapa yang tidak kenal dengan sosok Gus Dur presiden RI ke-4 ini.

Sosok luar biasa dan merupakan sosok


yang menginspirasi. Terkenal dengan kata-katanya “Gitu aja kok repot”. Untuk mengenang beliau, berikut adalah biografi
singkat Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memiliki nama lengkap
Abdurrahman ad-Dakhil. Secara etimologi, ad-Dakhil berarti sang penakluk.

Namun dikarenakan nama ad-Dakhil tidak begitu dikenal, maka diganti dengan nama Abdurrahman Wahid. Sebutan Gus
Dur dikarenakan lahir di lingkungan pesantren. Gus adalah kependekan dari kata Bagus yaitu sebutan yang sering diberikan
kepada anak seorang kyai sebagai bentuk penghormatan di Daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Gus Dur dikenal sebagai
tokoh yang kontroversial dan berdedikasi tinggi terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) pembela kaum minoritas.

Sosoknya yang penuh teka-teki dan kontroversial sehingga pemikiran dan tindakannya sering disalahpahami oleh banyak
kalangan. Kenali lebih dalam mengenai sosok Gus Dur melalui buku Biografi Gus Dur dibawah ini.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilahirkan di Jombang, Jawa Timur 4 Agustus 1940. Gus Dur merupakan putra pertama
dari enam bersaudara. Ayahnya bernama KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia dan sekaligus pendiri Pesantren Tebu
Ireng Jombang.

Ibunya bernama Hj. Sholehah merupakan putri Kh. Bisri Syansuri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur. Kakek
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari sanad ibunya merupakan Rais ‘Aam di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
sebagai pengganti posisi KH. Wahab Chasbullah.

Tahun 1949, ayah Gus Dur diangkat menjadi kepala Menteri Agama pertama sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke
Jakarta untuk memasuki suasana yang baru. Setelah kepindahannya di Jakarta, berbagai tamu dari berbagai kalangan
bertamu ke kediaman Wahid Hasyim. Hal itu menjadikan Gus Dur menambah pengalaman untuk mengenal dunia politik.

Sejak kecil Gus Dur sudah terlihat memiliki kesadaran penuh untuk mengemban tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama
(NU). Sekitar bulan April tahun 1953, Gus Dur Bersama ayahnya berangkat ke Sumedang, Jawa Barat untuk menghadiri
pertemuan Nahdlatul Ulama (NU) dengan mengendarai mobil, akan tetapi di tengah perjalanan mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan ayahnya meninggal.

Sebagai tokoh panutan para masyarakat Indonesia, Gus Dur sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya
kepada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran. Pelajari lebih lanjut mengenai sosok Gus Dur pada buku Biografi Gus Dur
karya Greg Barton dibawah ini.

Riwayat Pendidikan Gus Dur – KH. Abdurrahman Wahid

belajar di Yogyakarta. Untuk masuk ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gowongan, sekaligus menetap di
Pesantren Krapyak. SMEP merupakan sekolah formal yang dikelola oleh Gereja Katolik Roma. Sekolah tersebut banyak
menggunakan kurikulum yang sekuler, dan dari sekolah tersebut Gus Dur pertama kali belajar bahasa Inggris. Karena Gus
Dur merasa kurang leluasa aktivitasnya selama berada dalam dunia pesantren, akhirnya Gus Dur meminta pindah ke kota
dan menetap di Rumah H. Junaedi yang merupakan salah seorang pimpinan lokal Muhammadiyah sekaligus orang yang
sangat berpengaruh di SMEP.

Rutinitas kesehariannya setelah shalat subuh Gus Dur berangkat mengaji ke KH. Maksum Krapyak. Pada siang harinya, Gus
Dur sekolah di SMEP dan malam hari Gus Dur ikut berdiskusi dengan H. Junaedi dengan anggota Muhammadiyah yang lain.

Untuk meningkatkan belajar Bahasa Inggris, Gus Dur tidak hanya sebatas memahami buku-buku yang berbahasa Inggris.
Akan tetapi berusaha menggali informasi dari berbagai mancanegara dan aktif mendengarkan siaran radio Voice of America
gdan BBC London. Saat seorang bernama Sumantri (guru SMEP) mengetahui Gus Dur pandai bahasa Inggris, Sumantri
memberinya buku berjudul What is To Be Done. Pada saat yang sama Gus Dur telah mengenal Das Kapital Karl Marx, filsafat
Plato, Thales, dan lain-lain.

Tamat dari sekolah tersebut Gus Dur melanjutkan Pendidikan ke pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah pimpinan KH.
Chaudhary. Gus Dur pun dikenal dengan ritual-ritual sufi yang mistik dengan bimbingan kiainya. Dari situlah Gus dur sering
melakukan ziarah ke kuburan-kuburan para wali yang keramat di Pulau Jawa.

Pada saat di pesantren, Gus Dur tidak pernah lupa membawa koleksi-koleksi bukunya sehingga membuat para santri yang lain
heran melihat buku-buku bacaannya.
Tak hanya itu, Gus Dur pun mulai menunjukkan kemampuannya dalam hal berbicara dan humor yang membuat santri lain
terhibur dengan gaya bicara dan sifat humorisnya. Dalam kehidupannya di lingkungan pesantren, ada sebuah cerita yang
menarik dari sosok Gus Dur, pada saat acara imtihan yang diselenggarakan sebelum puasa ramadhan, acara tersebut
bertujuan untuk menyambut kelulusan para santri yang telah selesai menempuh pendidikan.

Gus Dur membuat konsep yang berbeda dari acara-acara sebelumnya, acara imtihan dibuat sedemikian rupa sehingga
tidak kelihatan terlalu formal dan kaku. Gus Dur menyediakan konsumsi serta hiburan rakyat seperti: tarian tradisional,
gamelan, kuda lumping, jathilan, dan masih banyak lagi.

Padahal di dalam dunia pesantren, hiburan rakyat semacam ini tidak biasa dilakukan atau dianggap tabu. Acara tersebut
terselenggara atas ide Gus Dur di Pesantren Tegalrejo. Setelah menghabiskan waktunya selama dua tahun di Pesantren
Tegalrejo, Magelang, kemudian berpindah kembali ke Jombang dan menetap di pesantren Tambak Beras hingga Gus Dur
berusia 20 tahun.

Di Pesantren Tambak Beras, Gus Dur menjadi ustad sekaligus menjadi ketua keamanan di Pesantren milik pamannya yaitu
KH. Abdul Fatah. Saat usianya 22 tahun, Gus Dur berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus
menuju Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.

Setibanya di Mesir, Gus Dur merasa kecewa karena tidak dapat langsung melanjutkan ke kampus Al-Azhar karena harus
masuk ke Madrasah Aliyah dahulu. Di luar kegiatan kampus, Gus Dur antusias untuk mengunjungi makam keramat para
wali seperti: Syeikh Abdul Qadir Jaelani, pendiri Jamaah Tarekat Qadiriyah dan Gus Dur pun banyak mendalami ajaran
Imam Junaid Al-Baghdadi yang merupakan pendiri aliran tasawuf yang banyak diikuti oleh jamaah NU.

Dengan demikian, Gus Dur menemukan sumber inspirasi dalam wilayah spiritualnya. Setelah menyelesaikan pendidikan di
Baghdad, Gus Dur bermaksud melanjutkan studi ke Eropa, akan tetapi persyaratannya cukup ketat karena harus
menguasai Bahasa Jerman, Yunani, dan Latin. Untuk menghilangkan rasa kecewanya akhirnya Gus Dur menjadi pelajar
keliling yang melakukan kunjungan ke Universitas-universitas lain. Akhirnya Gus Dur menetap di Belanda selama 6 bulan,
sekaligus mendirikan suatu perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di daratan Eropa.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama di perantauan, dalam sebulan Gus Dur dua kali pergi ke pelabuhan untuk
bekerja sebagai cleaning service kapal tanker dan Gus Dur pun sempat pergi ke McGill University of Canada untuk
memperdalam kajian keislaman.

Kemudian Gus Dur kembali ke Indonesia setelah terilhami sebuah berita tentang perkembangan dunia pesantren dan
perjalanan studinya berakhir pada 1971. Kemudian kembali ke Jawa dan memulai kehidupan baru sekaligus menjadi
perjalanan awal karirnya.

Semangat belajar Gus Dur tidak pernah surut. Tahun 1979, Gus Dur ditawari untuk menempuh pendidikan di Australia
untuk mendapatkan gelar doktor, namun hal tersebut tidak bisa dipenuhi oleh Gus Dur. Gus Dur merupakan sosok yang
gemar membaca dan sangat aktif memanfaatkan perpustakaan milik ayahnya dan sering berkunjung ke perpustakaan
umum di Jakarta.

Sejak usia remaja, Gus Dur sudah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel, serta buku-buku seperti tentang
filsafat serta dokumen-dokumen mancanegara juga tidak luput dibacanya. Selain gemar membaca Gus Dur juga suka
bermain bola, catur, menonton bioskop, dan mendengarkan musik.

Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4

gus dur presiden ke-4

Source : id.wikipedia.org

Setelah jatuhnya era Soeharto, banyak partai politik baru terbentuk. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU
berharap pada Gus Dur untuk membentuk parti politik. Pada Juli 1998, Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena
menyadari bahwa partai politik merupakan satu-satunya cara untuk berjuang di dunia politik (pemerintahan).

Gus Dur akhirnya menyetujui pembentukan parpol yang kemudian diberi nama PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Beliau
menjabat menjadi Ketua Dewan Penasihat.

Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandiat pemilihan presiden. Kemudian pada Juni 1999
partai PKB beraliansi dengan PDIP dikarenakan tidak memiliki kursi mayoritas penuh.
Pada Juli, Amin Rais membentuk poros tengah yang berisi partai-partai politik muslim. Poros tengah ini mencalonkan Gus
Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden. Hal ini tentu saja merubah komitmen terhadap PDI-P.

Pada 7 Oktober 1999, Gus Dur secara resmi dinyatakan sebagai calon presiden oleh Poros Tengah.

Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden.

Kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung
Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian
terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Sebagai Presiden
Indonesia ke-4, Gus Dur menjadi figur perekat berbagai komponen bangsa yang saat itu sedang terkoyak. Namun,
perjalanan politiknya ternyata berlikaliku, seperti halnya yang dibahas pada buku Perjalanan Politik Gus Dur dibawah ini.

Beberapa Gagasan dan Pemikiran Gus Dur

Gagasan dan pemikiran seorang tokoh biasanya ada pada karya tulis dan pidatonya. Gus Dur, sosoknya sebagai kiai, tokoh
politisi, dan juga akademisi. Hal ini terlihat dari sejumlah karyanya yang memiliki visi dan berbobot. Di antara karya-karya
Gus Dur ialah sebagai berikut.

1. Buku Bunga Rampai Pesantren, Salah Satu Karya Gus Dur

Pada buku ini Gus Dur menunjukkan rasa optimisnya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya memiliki kemampuan yang
luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat terutama pada kaum tertindas dan termarjinalkan. Bahkan dengan
kemampuan fleksibelnya, pesantren dapat mengambil peran yang signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan tetapi
juga dalam setting sosial budaya bahkan politik dan ideologi.

Peran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang demikian tersebut diakui oleh Martin Van Bruinessen yang mengatakan
bahwa kaum tradisionalis termasuk pesantren yang terdapat di negara berkembang adalah kelompok yang resisten dan
mengancam modernisasi. Pernyataan Van yang demikian itu sudah tampak sejak Kemerdekaan Republik Indonesia hingga
sekarang. Dengan berbagai bentuk dan dinamikanya sendiri, di mana santri-santri tradisional tampil di permukaan.

Peta perpolitikan pada tahun 2004, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, ditandai dengan adanya peran yang
dilakukan kelompok santri dengan tingkat yang sangat signifikan.

Seperti contoh tokoh berikut, Salahuddin Wahid sebagai wakil presiden mendampingi Wiranto, dan Jusuf Kalla
mendampingi Susilo Yudhoyono. Hal ini membuktikan peran politik dan ideologi yang signifikan telah dimainkan kaum
santri yang berbasis pada Pendidikan pesantren. Namun perlu diperhatikan bahwa pesantren zaman sekarang dilihat dari
segi ruang lingkungan program dna organisasi kelembagaan sudah tidak sama lagi sepenuhnya dengan model pesantren
klasik.

Melihat dinamika sistem pendidikan di pesantren, tidak heran jika alumni pesantren sudah dapat melakukan berbagai peran
yang demikian besar dalam konstelasi politik, ekonomi, pendidikan, seni, keagamaan, dan bidang-bidang lainnya.

Lahirnya dinamika pesantren yang sedemikian rupa tersebut tidak lepas dari gagasan modernisasi dan dinamisasi
pesantren. Gus Dur menginginkan terjadinya proses penggalakan kembali nilai-nilai positif yang telah ada dan melakukan
pergantian nilai-nilai lama yang tidak relevan lagi dengan nilai-nilai baru yang lebih relevan serta dianggap lebih baik untuk
menjaga eksistensi pesantren.

Gus Dur juga menyinggung mengenai terjadinya kekacauan dalam sistem pendidikan pesantren. Menurut Gus Dur
kekacauan ini disebabkan dua hal.

Pertama, sebagai refleksi dari kekacauan yang terjadi secara umum di masyarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat yang
mengalami transisi.

Kedua, munculnya kesadaran bahwa kapasitas pesantren dalam menghadapi tantangan modernitas hamper tidak memadai
karena unsur strukturalnya mandek sehingga berakibat tidak mampu menanggapi perubahan.

Gus dur juga melihat adanya kerawanan pada sistem pesantren yang mengakibatkan pada kekurangsiapan pesantren dalam
menghadapi tantangan pembaharuan. Hal ini melahirkan dua reaksi yaitu munculnya sikap menutup diri dari
perkembangan umum masyarakat luar terutama dari kegiatan yang mengancam kemurnian kehidupan beragama dan
timbulnya aksi solidaritas yang kuat di antara masyarakat dan pesantren.

Kedua hal tersebut menggambarkan ketidakberdayaan pesantren yang menunjukkan bahwa pesantren tidak memiliki
pimpinan yang efektif yang didukung oleh semua pihak. Kurangnya tokoh yang dapat dijadikan panutan pada tingkat
nasional, selain menyebabkan terjadinya polarisasi sosial politik yang melanda umat Islam juga telah mempengaruhi watak
kepemimpinan pesantren yang selama ini ditopang oleh kekuatan moral.

Menurut hemat Gus Dur, hal ini pada gilirannya telah menyebabkan tidak munculnya pemimpin yang efektif. Sebagai solusi,
Gus Dur mengajukan gagasan tentang perlunya membangun komitmen untuk mencari jalan tengah yaitu jalan yang
mengimbangi tradisi agama dan tuntutan praktis yang muncul sebagai akibat terjadinya modernisasi dan kemajuan zaman.

Modernisasi dan dinamisasi pesantren bisa dilakukan dengan perbaikan keadaan di lingkungan pesantren yang didasarkan
pada regenerasi kepemimpinan yang sehat dan kuat serta perlu adanya syarat yang melandasi terjadinya proses dinamisasi
tersebut meliputi rekonstruksi bahan-bahan pengajaran ilmu agama dalam skala besar.

Gus Dur menginginkan pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan agama, melainkan juga lembaga yang
mampu memberikan sumbangan yang berarti serta membangun sistem nilai dan kerangka moral pada individu dan
masyarakat. Gus Dur sangat yakin bahwa pesantren mempunyai potensi yang kuat untuk mewujudkan masyarakat madani.
Temukan cerita lebih lengkapnya pada buku Gus Dur Kh Abdurrahman Wahid: Biografi Singkat 1940 – 2020.

2. Tradisi keilmuan Pesantren Fiqih Sufistik

Tradisi keilmuan di pesantren yang bersifat fiqih sufistik menurut Gus Dur terbentuk dan bersumber pada gelombang
pertama pengetahuan Islam yang datang ke kawasan nusantara pada masa abad ke 13 Masehi.

Disebut fiqih sufistik karena corak dan karakter Islam pertama kali masuk Indonesia lebih menekankan konsep tauhid dan
pengamalan-pengamalan ilmu syariah secara sufisme, hal ini dikarenakan tidak bisa lepasnya pengaruh proses penyebaran
Islam pada negara ini melalui Persia dan anak benua India yang dalam beragama lebih menekankan pada orientasi tasawuf.

Selain itu, juga karena adanya kesamaaan antar pemikiran sufisme para penyebar Islam ke Nusantara dengan watak mistik
masyarakat Indonesia pra Islam (animisme-dinamisme).

Hal ini dapat ditemukan dari beberapa literatur pesantren seperti buku-buku tasawuf dengan menggabungkan fikih dan
amalan-amalan akhlak dijadikan bahan pelajaran utama seperti kitab Hidayah al-Hidayah dari Imam al Ghazali yang
merupakan karya fiqih sufistik paling menonjol dalam berabad-abad hingga saat ini. Selain itu, terdapat pula buku yang
mementingkan pendalaman akhlak dalam bentuk pengamalan secara tuntas dan pendalaman secara sufistik kepada ranah
kehidupan (Syarh al Hikam karya Ibnu Atha’illah al-Iskandary).

3. Akar tradisi keilmuan di pesantren bersumber pada pengiriman anak-anak muda dari Kawasan Nusantara untuk belajar di
Timur Tengah

Akar tradisi keilmuan di pesantren yang bersumber pada pengiriman anak-anak muda dari daerah Indonesia untuk belajar di
Timur Tengah dan akhirnya mereka menghasilkan korp ulama yang tangguh dan mendalami ilmu agama di semenanjung
Arab, terutama Makah. Dari sinilah lahir ulama-ulama besar seperti Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai
Nawawi Banten, dan masih banyak ulama lagi yang kemudian mendirikan pesantren di Indonesia.

Dalam hal ini Gus Dur ingin membuka fakta yang hari ini terjadi serius dalam dunia keilmuan pesantren, yaitu sebuah akar
tradisi keilmuan yang mencoba mengaktualisasikan Al-Qur’an dan hadits dengan perangkat pemahaman yang serba memiliki
konsep.

Sekaligus di sisi lain para ilmuwan tersebut masih berpegang teguh pada normativitas ritual agama yang telah ada secara
turun temurun. Inilah yang disebut Gus Dur sebagai ilmuwan humanis yang sholeh. Berbagai karya Gus Dur sebagai tokoh
Republik Indonesia juga bisa Grameds temukan pada buku 99+ Bukti Gusdur Wali yang ada dibawah ini.

Anda mungkin juga menyukai