Anda di halaman 1dari 25

TEORI BERPIKIR PSIKOLOGI

BERPIKIR

A. PENGERTIAN BERPIKIR
Kegiatan berpikir dan berjalan adalah sebuah kegiatan yang aktif. Setiap penampilan dari kehidupan
bisa disebut sebagai aktivitas. Seseorang yang diam dan mendengarkan musik atau tengah melihat televisi
tidak bisa dikatakan pasif. Maka situasi dimana sama sekali sudah tidak ada unsur keaktifan, disebut
dengan mati. Menurut sudut pandang behaviorisme khususnya fungsionalis berpendapat bahwa berpikir
sebagai penguatan antara stimulus dan respons. Demikian juga menurut kaum asosiasionis memandang
berpikir hanya sebagai asosiasi antara tanggapan atau bayangan satu dengan yang lainnya yang saling
kait mengait. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi
dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory.
Berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117).
Sedangkan menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-
ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam
Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui
transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi,
logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.
Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir
adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir
merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan
(3) berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada solusi.

B. PROSES BERPIKIR
Proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu:
1. Pembentukan Pengertian
Pengertian, atau lebih tepatnya disebut pengertian logis di bentuk melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:
a. Menganalisis ciri-ciri dari sejumalah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan unsur - unsurnya
satu demi satu. Misalnya maupun membentuk pengertian manusia. Kita ambil manusia dari berbagai
bangsa lalu kita analisa ciri-ciri misalnya:
- Manusia Indonesia, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit sawo matang, berambut hitam dan
sebagainya.
- Manusia Eropa, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit putih, berambut pirang atau putih, bermata biru
terbuka dan sebagainya.
- Manusia Negro, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit htam, berambut hitam kriting, bermata hitam
melototn dan sebagainya.
- Manusia Cina, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit kuning, berambut hitam lurus, bermata hitam sipit
dan sebagainya.
b. Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri-ciri mana yang sama atau yang tidak sama,
mana yang selalu ada atau yang tidak selalu ada, mana yang hakiki atau yang tidak hakiki.
c. Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang, ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap cirri-ciri yang
hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk hidup yang berbudi.

2. Pembentukan Pendapat
Membentuk pendapat adalah meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang
dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subyek dan sebutan atau
predikat. Selanjutnya pendapat dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
a. Pendapat Afirmatif atau positif, yaitu pendapat yang menyatakan keadaan sesuatu, Misalnya Sitotok itu
pandai, Si Ani rajin dan sebagainya.
b. Pendapat Negatif, yaitu Pendapat yang menidakkan, yang secara tegas menerangkan tentang tidak
adanya seuatu sifat pada sesuatu hal. Misalnya Sitotok itu bodoh Si Ani malas dan sebagainya.
c. Pendapat Modalitas atau kebarangkalian, yaitu pendapat yang menerangkan kebarangkalian,
kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada sesuatu hal. Misalnya hari ini mungkin hujan, Si Ali mungkin
tidak datang. dan sebagainya.

3. Penarikan Kesimpulan atau Pembentukan Keputusan


Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat
yang telah ada. Ada 3 macam keputusan, yaitu:
a. Keputusan induktif yaitu keputusan yang diambil dari pendapat-pendapat khusus menuju ke satu pendapat
umum. Misalnya: tembaga dipanaskan akan memuai, perak dipanaskan akan memuai,
besi dipanaskan akan memuai, kuningan dipanaskan akan memuai. Jadi kesimpulannya yaitu semua
logam kalau dipanaskan akan memuai (Umum). Francis Bacon (1561- 1626 M adalah yang pertamakali
mengenalkan teori keputusan induksi ini.
b. Keputusan Deduktif ditarik dari hal yang umum ke hal yang khusus, jadi berlawanan dengan keputusan
induktif. Misalnya: semua logam kalau dipanaskan memuai (umum), tembaga adalah logam. Jadi
kesimpulan yaitu tembaga kalau dipanaskan akan memuai.
c. Keputusan Analogis adalah keputusan yang diperoleh dengan jalan membandingkan atau menyesuaikan
dengan pendapat-pendapat khusus yang telah ada. Misalnya: Totok anak pandai, naik kelas (Khusus). Jadi
kesimpulannya Si Nunung anak yang pandai itu, tentu naik kelas.

C. KONSEP ATAU PENGERTIAN


Pengertian atau konsep merupakan konstruksi simbolik yang menggambarkan ciri atau beberapa ciri
umum sesuatu objek atau kejadian. Misalnya pengertian manusia, merah, segitiga, belajar dan sebagainya.
Dengan kemampuan manusia untuk membentuk konsep atau pengertian memungkinkan manusia untuk
mengadakan klasifikasi atau penggolongan benda-benda atau kejadian-kejadian. Misalnya manusia dapat
menggolongkan yang merah dan yang bukan merah, manusia dan bukan manusia, demikian juga yang
lain-lain. Karena itu konsep atau pengertian merupakan alat (tool) yang baik atau tepat (convenient) dalam
berpikir atau problem solving.
Dalam pengertian atau konsep didapati ada beberapa macam konsep yaitu:
1. Konsep-konsep atau pengertian-pengertian yang sederhana (simple concept). Pengertian yang sederhana
yaitu pengertian yang dibatasi ciri atau atribusi tunggal, seperti “merah”.
2. Konsep-konsep yang kompleks (complex concepts). Pengertian atau konsep yang digunakan dalam
berpikir dibatasi oleh ciri yang tidak tunggal.

D. CARA MEMPEROLEH KONSEP ATAU PENGERTIAN


Untuk memperoleh pengertian ada beberapa macam cara yaitu:
1. Dengan sengaja. Pengertian yang diperoleh dengan sengaja yaitu usaha dengan sengaja untuk
memperoleh pengertian atau konsep, yang kadang-kadang disebut dengan sengaja, maka pengertian ini
dibentuk dengan penuh kesadaran. Prosedurnya melalui beberapa tingkatan (misal untuk mendapatkan
pengertian atau konsep mengenai gas): (1) tingkat analisis (2) tingkat mengadakan komperasi (3) tingkat
abstraksi (4) tingkat menyimpulkan.
2. Dengan tidak sengaja. Pengertian yang diperoleh dengan tidak disengaja ini sering disebut pengertian
pengalaman, artinya pengertian yang diperoleh dengan secara tidak sengaja diperoleh sambil lalu dengan
pengalaman-pengalaman. Misalnya pengertian anak pada umumnya diperoleh melalui proses
generalisasi, kemudian atas daya berpikirnya timbul proses diferensiasi, yaitu proses membedakan satu
dengan yang lain.

E. PROBLEM SOLVING
Secara umum dapat dikemukakan bahwa problem itu timbul apabila ada perbedaan atau konflik antara
keadaan satu dengan yang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan, atau juga sering dikemukakan
apabila ada kesenjangan antara das Sein dan das Sollen. Contohnya apabila ada problem terhadap
seorang siswa mendapatkan tugas dari gurunya, maka siswa yang mendapat problem tersebut akan
berpikir untuk mencari pemecahannya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dalam problem
solving itu ada directed, yang mencari pemecahan dan dipacu untuk mencapai pemecahan tersebut.
Dalam mencari pemecahan terhadap problem solving itu ada kaidah atau aturan (rules) yang akan
membawa seseorang kepada pemecahan masalah tersebut. Aturan ini akan memberikan petunjuk untuk
pemecahan masalah. Banyak aturan satu kaidah dalam memecahkan masalah. Ada dua hal yang pokok,
yaitu aturan atau kaidah algoritma dan horistik.
Algoritma merupakan suatu perangkat aturan, dan apabila aturan ini diikuti dengan benar maka akan
ada jaminan adanya pemecahan terhadap masalahnya. Misalnya apabila sesorang harus menaglikan dua
bilangan, maka orang tersebut harus mengikuti aturan dalam hal perkalian dengan benar, akan ada
jaminan orang tersebut memperoleh hasil terhadap pemecahan masalahnya. Namun demikian, banyak
persoalan yang dihadapi oleh seseorang tidak dikenakan aturan atau kaidah horistik yaitu merupakan
strategi yang biasanya didasarkan atas pengalaman dalam menghadapi masalah, yang mengarah pada
pemecahan masalahnya tetapi tidak memberikan jaminan akan kesuksesan. Sedangkan strategi umum
horistik dalam menghadapi masalah yaitu bahwa masalah tersebut dianalisis atau dipecah-pecah menjadi
masalah-masalah lebih kecil, masing-masing mengarah atau mendekati pemecahannya.

F. THORNDIKE VS. KOHLER


Dalam kaitan dengan problem solving terdapat perbedaan yang cukup menarik antara pendapat
Thorndike sebagai salah satu seorang tokoh aliran behaviorisme dengan Kohler sebagai seorang tokoh
aliran Gestalt. Masing-masing mengadakan percobaan sendiri-sendiri dan kesimpulannya berbeda satu
dengan yang lainnya.
Thorndike mengadakan eksperimen dengan kucing yang dilaparkan ditaruh dalam sangkar dan pintu
dapat terbuka apabila grendel yang berhubungan dengan pintu itu ditrarik atau tertarik. Dalam eksperimen
pertama, kucing membuat sedemikian rupa, lari-lari, menggaruk-garuk dan sebagainya. Hingga pada suatu
waktu kucing menyentuh tali yang berhubungan dengan grendel hingga pintu dapat terbuka dan kucing
keluar menuju makanan yang ada di luar kandang atau sangkar. Percobaan dilakukan berkali-kali, dan
ternyata makin lama makin berkurang waktu yang digunakan kucing untuk keluar dari kandang untuk
memperoleh makanan. Dari eksperimen tersebut, Thorndike menarik kesimpulan bahwa dalam
pemecahan problem yang dihadapi oleh kucing tersebut dengan cara-cara (trial and error). Adanya latihan
akan memperkuat hubungan stimulus dan respon.
Kohler menggunakan eksperimen dengan menggunakan simpanse. Model eksperimennya seperti
Thorndike yang menaruh simpanse kelaparan dalam kandang, dan di luar kandang ditaruh makanan yang
tidak bisa dijangkau dengan tangan, tetapi akan dapat diambil apabila simpanse menggunakan tongkat
(stick) yang disediakan oleh Kohler dalam kandang. Setelah beberapa kali simpanse mencoba mengambil
makanan menggunakan tangan saja tidak dapat, maka setelah berjalan kian kemari dan tongkat, terjadi
perubahan dalam wajah simpanse, yaitu adanya “AHA’ tanda menemukan pemecahan yang benar, yaitu
simpanse mengambil tongkat terebut untuk mengambil makanan dan ternyata dapat. Dari percobaan
tersebut, Kohler sampai pada kesimpulan bahwa dalam problem solving yang berperan
adalah insight bukan coba-salah, sekalipun Kohler juga mengaku adanya coba-salah dalam
eksperimennya khususnya yaitu dalam presolution,namun yang penting adalah insght atau pengertian.

G. CARA MENARIK KESIMPULAN


Tujuan berpikir adalah mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan data yang ada maka
ditariklah kesimpulan sebagai pendapat akhir atas data atau pendapat-pendapat yang mendahului.
Cara yang digunakan dalam penarikan kesimpulan yaitu:
1. Kesimpulan yang ditarik atas dasar analogi
Kesimpulan yang ditarik atas dasar analogi, yaitu kesimpulan yang ditarik atas dasar adanya kesamaan
dari suatu keadaan atau peristiwa dengan keadaan atau peristiwa yang lain.
2. Kesimpulan yang ditarik atas dasar cara induktif
Kesimpulan yang ditarik atas dasar cara induktif, yaitu kesimpulan yang ditarik dari peristiwa menuju ke hal
yang bersifat umum.
3. Kesimpulan yang ditarik atas dasar cara deduktif
Kesimpulan yang ditarik atas dasar cara deduktif, yaitu kesimpulan yang ditarik atas dasar dari hal yang
umum ke hal yang bersifat khusus atau peristiwa.
H. BERPIKIR KREATIF
Dalam berpikir kreatif, ada beberapa tingkatan atau stages sampai seseorang memperoleh sesuatu hal
yang baru atau pemecahan masalah.
Tingkatan-tingkatan itu adalah:
1. Persiapan (preparation)

Yaitu tingkatan seseorang memformulasikan masalah, dan mengumpulkan fakta-fakta atau materi yang
dipandang berguna dalam memperoleh pemecahan yang baru.

2. Tingkat inkubasi

Yaitu berlangsungnya masalah tersebut dalam jiwa sesorang, karena individu tidak sengaja memperoleh
pemecahan masalah.

3. Tingkat pemecahan atau iluminasi

Yaitu tingkat mendapatkan pemecahan masalah, orang mengalami “Aha”, secara tiba-tiba memperoleh
pemecahan tersebut.

4. Tingkat evaluasi

Yaitu mengecek apakah pemecahan yang diperoleh pada tingkat iluminasi itu cocok atau tidak. Apabila
tidak cocok lalu meningkat pada tingkat berikutnya.

5. Tingkat revisi

Yaitu mengadakan revisi terhadap pemecahan yang diperolehnya.

Orang yang berpikir kreatif mempunyai beberapa macam sifat mengenai pribadinya yang
merupakan original person, yaitu:
1. Memilih fenomena atau keadaan yang kompleks
2. Mempunyai psikodinamika yang kompleks, dan mempunyai skope pribadi yang luas.
3. Dalam jugment-nya lebih mandiri.
4. Dominan dan lebih besar pertahanan diri (moreself-assertive).
5. Menolak suppression sebagai mekanisme kontrol.

I. HAMBATAN DALAM PROSES BERPIKIR


Hambatan-hambatan yang mungkin timbul dalam proses berpikir dapat disebabkan antara lain karena
data yang kurang sempurna sehingga masih banyak lagi data yang harus diperoleh, dan data yang ada
dalam keadaan confuse (data yang satu bertentangan dengan data yang lain) sehingga hal ini akan
membingungkan dalam proses berpikir.
Kekurangan data dan kurang jelasnya data akan menjadikan hambatan dalam proses berpikir
seseorang, lebih-lebih jika datanya bertentangan satu dengan yang lain, misalnya dalam cerita-cerita
detektif. Karena itu ruwet tidaknya suatu masalah, lengkap tidaknya data akan dapat membawa sulit
tidaknya dalam proses berpikir seseorang.

REFERENSI

Muhammad Baitul Alim. “Pengertian Ilmu


Psikologi”. Online.http://www.psikologizone.com/pengertian-ilmu-psikologi/0651110.
Diakses 12 Desember 2011.

Rozali. “Proses Berpikir”. Online. http://psb-psma.org/content/blog/proses-berpikir.


Diakses 12 Desember 2011.
Walgito, Bimo. 2005. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Makalah: Metode Berfikir Ilmiah (Filsafat Ilmu)


BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Pada dasarnya setiap objek yang ada di dunia, pastilah menuntut metode tertentu. Seperti halnya dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat
diselesaikan menurut berbagai metode. Akhirnya suatu pendapat mengatakan, bahwa suatu memiliki
berbagai segi yang menuntut penggunaan berbagai metode.
Untuk memperoleh pengetahuan, maka digunakanlah metode berfikir ilmiah. Namun tidak semua
pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah. Tetapi agar ilmu berkembang dan tetap eksis dan
mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi, maka digunakanlah metode ilmiah ini.
Agar lebih jelas lagi, didalam makalah ini akan dibahas mengenai metode berfikir ilmiah.

B. Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan metode berpikir ilmiah ?
2. Apa nilai guna metode berpikir ilmiah ?
3. Bagaimana prosedur berpikir ilmiah ?
4. Bagaimana sikap dan aktivitas ilmiah ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah
2. Untuk mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah
3. Untuk mengetahui prosedur berpikir ilmiah
4. Untuk mengetahui sikap dan aktivitras ilmiah
D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan makalah yang digunakan adalah dengan cara study pustaka, yaitu
mempelajari buku-buku yang kami jadikan referensi dalam pengumpulan informasi dan data yang ada
kaitannya dengan masalah yang akan kami bahas serta pencarian informasi dengan melalui jalur
internet.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Metode Berpikir Ilmiah
2. Nilai Guna Metode Berpikir Ilmiah
3. Prosedur Berpikir Ilmiah
4. Sikap dan Aktivitas Ilmiah
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Berpikir Ilmiah


Secara etimologis, metode berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “Meta” yang artinya sesudah atau dibalik
sesuatu, dan “Hodos” yang artinya jalan yang harus ditempuh. Jadi metode berarti langkah-langkah (cara
dan tekhnis) yang diambil menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan tertentu.
Jadi metode berfikir ilmiah adalah prosedur, cara dan tekhnik memperoleh pengetahuan, serta untuk
membuktikan benar salahnya suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya.
Metode ilmiah ini adalah sebuah prosedur yang digunakan para ilmuan dalam pencarian kebenaran baru.
Dilakukannya dengan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru, dan melakukan peninjauan
kembali kepada pengetahuan yang telah ada.
Tujuan dari penggunaan metode ilmiah ini yaitu agar ilmu berkembang dan tetap eksis dan mampu
menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Kebenaran dan kecocokan kajian ilmiah, akan terbatas
pada ruang, waktu, tempat dan kondisi tertentu.
Metode ilmiah dipengaruhi oleh unsur alam yang berubah dan bergerak secara dinamik dan teratur.
Kondisi alam yang diduga para filosof karena adanya asas tunggal dari alam (natural law). Filosof yakin,
bahwa natural law telah menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Ketertiban akan diangkat dan
harus diletakkan sebagai objek ukuran dalam menentukan kebenaran. Corak-corak metodis yang
sandarannya pada kondisi alam, yang dinamik dan teratur, harus diakui telah meneyebabkan lahirnya
ilmu pengetahuan dengan sifat dan kecendrungan yang positivistic. Ilmu selalu berkembang dalam
ukuran-ukuran yang konkrit dengan model dan pendekatan serta eksperimen dan observasi.
Dalam perkembangan selanjutnya model dan cara berfikir demikian telah memperoleh gugatan. Karena,
tidak semua ilmu dapat didekati dengan model yang sama.
Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terdinya kemajuan
dalam ilmu pengetahuan. Manusia bukan saja hidup dalam ritmis modernisasi yang serba mudah dan
menjanjkan. Lebih dari itu semua, manusia dapat menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah tidak
mungkin. Manusia tidak lagi berpangku tangan, terhadap apa yang menjadi kehendak alam.

B. Nilai Guna Metode Berpikir Ilmiah


Metode berpikir ilmiah memiliki peranan penting dalam membantu manusia untuk memperoleh
pengetahuan cakrawala baru dalam menjamin eksistensi kehidupan manusia. Dengan menggunakan
metode berfikir ilmiah, manusia terus mengembangkan pengetahuannya.
Ada 4 cara manusia memperoleh pengetahuan:
1. Berpegang pada sesuartu yang telah ada (metode keteguhan)
2. Merujuk kepada pendapat ahli
3. Berpegang pada intuisi (metode intuisi)
4. Menggunakan metode ilmiah
Dari ke empat itulah, manusia memperoleh pengetahuannya sebagai pelekat dasar kemajuan manusia.
Namun cara yang ke empat ini, sering disebut sebagai cara ilmuan dalam memperoleh ilmu. Dalam
praktiknya, metode ilmiah digunakan untuk mengungkap dan mengembangkan ilmu, melalui cara kerja
penelitian.
Cara kerja ilmuan dengan penelitian ilmiah, muncul sebagai reaksi dari tantangan yang dihadapi
manusia. Pemecahan masalah melalui metode ilmiah tidak akan pernah berpaling. Penelitian ilmiah
dengan menggunakan metode ilmiah, memegang peranan penting dalam membantu manusia untuk
memecahkan setiap masalah yang di hadapinya.
Ilmuan biasanya bekerja dengan cara kerja sistematis, berlogika dan menghindari diri dari pertimbangan
subjektif. Rasa tidak puas terhadap pengetahuan yang berasal dari paham orang awam, mendorong
kelahiran filsafat. Filsafat menyelidik ulang semua pengetahuan manusia untuk mendapat pengetahuan
yang hakiki.

Ilmuan mempunyai falsafah yang sama, yaitu dalam penggunaan cara menyelesaikan masalah dengan
menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah selalu digunakan untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya. Penggunaan metode ilmiah tertentu dalam kajian tertentu, dapat memudahkan ilmuan dan
pengguna hasil keilmuannya dapat memudahkan melakukan penelusuran.
Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, “tidak ada” kebenaran yang sekedar berada di awang-awang meskipun
atas nama logika. Setiap kebenaran ilmiah, senantiasa diperkuat bukti-bukti empirik dan indrawi, bahkan
sesuatu kebenaran tersebut telah teruji.
Kebenaran ilmiah yang meskipun dikuasai oleh relativitasnya, selalu berpatokan kepada beberapa hal
mendasar, yaitu:
1. Adanya teori yang dijadikan dalil utama dalam mengukur fakta-fakta aktual.
2. Adanya data-data yang berupa fakta atau realitas senyatanya dan realitas dalam dokumen tertentu.
3. Adanya pengelompokkan fakta dan data yang signifikan.
4. Adanya uji validitas.
5. Adanya penarikan kesimpulan yang operasional
6. Adanya fungsi timbal balik antara teori dan realitas.
7. Adanya pengembangan dialektika terhadap teori yang sudah teruji.
8. Adanya pembatasan wilayah penelitian yang proporsional.
Ciri-ciri tersebut merupakan “citra” ilmu pengetahuan dan metode ilmah. Oleh karena itu, menurut Juhaya
S. Pradja (1997), metode ilmiah dimulai dengan pengamatan-pengamatan, kemudian memperkuat diri
dengan pengalaman dan menarik kesimpulan atas dasar pembuktian yang akurat.
Langkah metode ilmiah berpijak pada pertanyaan di seputar pada 3 hal, yaitu:
a. Kemana arah yang hendak dituju ?
b. Bagaimana dan kapan mulai bergerak ?
c. Mampukah melakukan langkah dan gerakan yang sesuai dengan maksud yang ditargetkan;
benarkah telah mulai bergerak ?
Metode ilmiah dimulai dengan usaha untuk konsisten dalam berfikir ilmiah. Dalam kerangka berfikir
ilmiah, logika merupakan metode meluruskan pemikiran, baik dalam pendekatan deduktif maupun
induktif. Metode ilmiah pun harus berpedoman pada paradigma tentang kebenaran indrawi yang positif,
karena hal itu akan lebih membuktikan relevansi antara teori dan realitas secara apa adanya.

C. Prosedur Berpikir Ilmiah


Prosedur berfikir ilimiah modern, masih selalu teatp menggunakan kaidah keilmuan barat yang hanya
melandaskan fikirannya pada penalaran rasional dan empiris. Metode ilmiah adalah ekspresi tentang
cara berfikir menurut kaidah ilmiah. Melalui metode ini, diharapakan dapat menghasilkan karakteristik
tertentu yang diminta pengetahuan ilmiah. Karakteristik yang dimaksud bersifat rasional (deduktif) dan
teruji secara empiris. Metode ilmiah dengan demikian adalah pengggabungan antara cara berfikir deduktif
dalam membangun tubuh pengetahuan.
Prosedur ilmiah mencakup 7 langkah, yaitu:
1. Mengenal adanya suatu situasi yang tidak menentu. Situasi yang bertantangan atau kabur yang
menghasilkan penyelidikan.
2. Menyatakan masalah-masalah dalam istilah spesifik
3. Merumuskan suatu hipotesis
4. Merancang suatu metode penyelidikan yang terkendali dengan jalan pengamatan atau percobaan
5. Mengumpulkan dan mencatat data kasar, agar mempunyai suatu pernyataan yang mempunyai
makna dan kepentingan
6. Melakukan penegasan yang dapat dipertanggung jawabkan
7. Melakukan penegasan terhadap apa yang disebut dengan metode ilmiah.
Permasalahan akan menentukan ada atau tidaknya ilmu. Tanpa ada masalah, maka tidak akan ada ilmu.
Langkah pertama suatu penelitian adalah mengajukan sesuatu yang dianggap sebagai masalah. Sesuatu
yang dianggap sebagai masalah apabila terdapat pertentangan antara harapan akan sesuatu yang
seharusnya, dengan kenyataan yang sebenarnya ada.
Permasalahan dalam ilmu pengetahuan, memiliki 3 ciri:
1. Dapat di komunikasikan dan dapat menjadi wacana publik
2. Dapat diganti dengan sikap ilmiah
3. Dapat ditangani dengan metode ilmiah

D. Sikap dan Aktivitas Ilmiah


1. Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah merupakan bagian penting dari prosedur berfikir ilmiah. Sikap ilmiah memiliki 6 karakteristik,
yaitu:
1. Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu yang menjadi pemicu munculnya pertanyaan serta dilakukannya penyelidikan,
pemeriksaan, penjelajahan dan percobaaan dalam rangka mencapai pemahaman.
2. Spekulatif
Spekulatif ini adalah sikap ilmiah yang diperlakukan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis (tentu bersifat
dedukatif) untuk mencari solusi terhadap permasalahan.
3. Objektifitif
Objektifitif ini dimaknai dengan sikap yang selalu sedia untuk mengakui subjektivitas terhadap apa yang
dianggapnya benar.
4. Keterbukaan
Sikap terbuka adalah kesediaan untuk mempertimbangkan semua masukan yang relevan.
5. Kesediaan untuk menunda penilaian.
Kesediaan untuk menunda penilaian, artinya tidak memaksakan diri untuk memperoleh jawaban, jika
peneyelidikan belum memperoleh bukti yang diperlukan.
6. Tentatif
Bersikap tentatif artinya tidak bersikap dogmatis terhadap hipotesis maupun simpulan.

2. Aktivitas Ilmiah
Aktivitas ilmiah merupakan sebuah pekerjaan yang terus-menerus melakukan research ilmiah untuk
mencapai kebenaran.
Para ilmuan sering melakukan aktivitas ilmiah ini, secara terus menerus untuk mencapai pada apa yang
disebutnya benar.
Menurut Walter R Borg and Meredith D Gall, menyebutkan ada 7 langkah yang ditempuh seorang peneliti
dalam melakukan penelitiannya. 7 langkah tersebut diantaranya:
1. Menyusun sesuatu yang disebut masalah
2. Melakukan perumusan masalah atau mendefinisikan masalah kedalam bentuk yang operasional
3. Menyusun hipotesis/dugaan sementara
4. Menetapkan tekhnik dan menyusun instrumen penelitian
5. Mengumpulkan data yang diperlukan
6. Melakukan analisis terhadap data yang terkumpul
7. Menggambarkan kesimpulan yang berhasil dipecahkan
Dalam melakukan reserch, para ilmuan mempunyai dua aspek, yaitu aspek invidual yang mengacu pada
ilmuan sebagai aktifitas ilmuan dan aspek sosial yang mengacu kepada ilmu sebagai suatu komunitas
ilmiah dan kumpulan para ilmuan. Komunitas ini berinteraksi dengan intuisi-intuisi lain dalam masyarakat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode berpikir ilmiah adalah prosedur, cara dan tekhnik memperoleh pengetahuan, serta untuk
membuktikan benar salahnya suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya.
Metode ilmiah digunakan untuk mengungkap dan mengembangkan ilmu, melalui cara kerja penelitian.
Penelitian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah, memegang peranan penting dalam membantu
manusia untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapinya.
Prosedur ilmiah mencakup 7 langkah, yaitu:
1. Mengenal adanya suatu situasi yang tidak menentu. Situasi yang bertentangan atau kabur yang
menghasilkan penyelidikan.
2. Menyatakan masalah-masalah dalam istilah spesifik
3. Merumuskan suatu hipotesis
4. Merancang suatau metode penyelidikan yang terkendali dengan jalan pengamatan atau percobaan
5. Mengumpulkan dan mencatat data kasar, agar mempunyai suatu pernyataan yang mempunyai
makna dan kepentingan
6. Melakukan penegasan yang dapat dipertanggung jawabkan
7. Melakukan penegasan terhadap apa yang disebut dengan metode ilmiah.
Aktivitas ilmiah merupakan sebuah pekerjaan yan terus-menerus melakukan research ilmiah untuk
mencapai kebenaran.

B. Saran
Dalam melakukan sebuah penelitian, sebaiknya digunakan metode yang tepat. Salah satu metode yang
sering digunakan adalah metode ilmiah. Dengan metode ini dapat mengungkapkan dan mengembangkan
ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumadi. 2010. Filsafat Ilmu Pengantar Konsep dan Analisis. Ciamis: Institut Agama Islam Darussalam.

A. Mirawihardja, Sutardjo. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.

Ahmad Saebani, Beni. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: CV Pustaka Setia.


FILSAFAT BARAT KONTEMPORER

(Nazari Mahda/311102930)[1]

Edisi Revisi

A. Pendahuluan
Perkembangan peradaban manusia merupakan suatu hal yang wajar. Suatu kewajaran ini dapat
dirasakan secara total ketika manusia telah mampu menyelimuti dirinya dengan kesadaran-kesadaran. Di
mana setiap kesadaran tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai tindakan nyata yang sesuai dengan
arah perkembangannya. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa suatu peradaban tidak pantas
mengalami perkembangan. Suatu peradaban manusiapantasnya adalah mengalami kemunduran ataupun
kehancuran. Adapun cara untuk mencapai kemunduran dan kehancuran tersebut sangat mudah. Seorang
ataupun sekelompok manusia cukup dengan bermalas-malasan dalam mempelajari segala ilmu
pengetahuan. Berlandaskan pada dua pernyataan di atas, maka ringkasan sederhana ini merupakan salah
satu usaha untuk memposisikan diri secara tepat.

Inilah catatan ringkasan dari setiap materi Filsafat Barat Kontemporer yang telah dipelajari selama
satu semester di Prodi Ilmu Aqidah. Materi perkuliahan tersebut diajarkan oleh Dr. Husna Amin, M. Hum.
Adapun sumber utama materinya merujuk pada salah satu buku yang ditulis oleh Asep Ahmad Hidayat.
Bukunya berjudul “Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda”, dan diterbitkan
pertama sekali oleh PT. Remaja Rosdakarya-Bandung pada bulan Juli 2006. Rujukan terhadap buku ini
didasari oleh adanya pembahasan yang berhubungan dengan sub-materi yang ada dalam silabus
matakuliah. Kemudian, penulisannya juga disesuaikan dengan topik yang ada di dalam
silabus. Namun, secara khusus tidak lagi membahas biografi para tokoh, tetapi langsung memaparkan
konsep yang mereka cetuskan berdasarkan aliran masing-masing.

B. Pembahasan
1. Status filsafat barat kontemporer

a. Latar belakang munculnya filsafat barat kontemporer

Istilah filsafat barat kontemporer pertama sekali muncul di Perancis, Jerman, dan Inggris pada
abad ke-20. Kemunculannya merupakan suatu bentuk kritik terhadap perkembangan filsafat pada abad
modern. Kritikan utama yang dimunculkan adalah dekonstruksi terhadap rasionalisme yang telah begitu
didewakan dalam membangun kebudayaan dunia barat. Upaya demokstruksi terhadap rasionalisme yang
berlebihan dinilai sangat penting, karena hal tersebut telah menyisihkan seluruh nilai dan norma-norma
dalam menjalankan kehidupan. [2]

b. Karakteristik filsafat barat kontemporer

Berdasarkan materi kuliah kedua yang telah disampaikan oleh Husna Amin pada hari Rabu, 08
Oktober 2014, maka dapat diketahui bahwa filsafat barat kontemporer memiliki karakteristik sebagai
berikut:

1. Mengagungkan nilai-nilai relativitas dan mini narasi.

2. Memiliki kecenderungan yang beragam dalam pemikiran.

3. Mengkritik logosentrisme filsafat moderen yang berusaha menjadikan rasio sebagai instrumen utama.

4. Berada pada jalur holistik dan dekonstruksi.

5. Bebas menggunakan teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut original.[3]

c. Pilar-pilar filsafat barat kontemporer


Menurut Husna Amin, refleksi moralitas filsafat telah melahirkan berbagai apresiasi, respon yang
besar dalam sejarah pemikiran, dan menunculkan pilar-pilar filsafat kontemporer, seperti etika,
fenomenologi, eksistensialisme, antropologi/filsafat kebudayaan, dan hermeneutika.[4]

2. Filsafat analitik

a. Memahami filsafat bahasa

Menurutnya Asep Ahmad Hidayat, pemahaman terhadap filsafat bahasa dapat dilihat dari
pengertian filsafat itu sendiri. Menurutnya filsafat adalah sebagai suatu ilmu dan metode berfikir,
sehingga filsafat bahasa pun demikian. Sebagai suatu ilmu, filsafat bahasa ialah kumpulan hasil pikiran
para filosof mengenai hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan
menggunakan metode tertentu. Sedangkan sebagai suatu metode berfikir, maka filsafat bahasa dapat
diartikan sebagai metode berfikir secara mendalam, logis, dan universal mengenai hakikat bahasa.[5]

Selanjutnya Asep Ahmad Hidayat juga berpendapat bahwa objek kajian filsafat bahasa terbagi
dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek materialnya adalah bahasa itu sendiri, sedangkan objek
formalnya adalah pandangan umum yang menyeluruh terhadap objek material yang dilihat dari aspek
ontologi, epistemologi dan aksiologi.[6]

Menurut hemat Asep Ahmad Hidayat, setidaknya terdapat lima metode yang dapat digunakan
dalam mempelajari filsafat bahasa, yaitu: pertama, metode historis; melalui tahapan heuristik, kritik,
interpretasi, dan historigrafi. Kedua, metode sistematis; melalui aspek ontologi, epistemologi, dan
aksiologi filsafat bahasa. Ketiga, metode kritis; intensif, baik menentang atau mendukung. Keempat,
metode analisis abstrak; memadukan antara analisis logis deduktif dengan analisis induktif. Kelima,
metode intuitif; introspeksi intuitif dengan menggunakan simbol-simbol.[7]

Adapun manfaat mempelajarinya ialah dapat menambah pengetahuan baru, bisa berfikir logis,
bisa berfikir analitik dan kritis, terlatih untuk menyelesaikan masalah secara kritis, analitik, dan logis,
melatih berfikir jernih dan cerdas, serta melatih berfikir objektif.[8]

b. Relasi filsafat dan bahasa

Menurut Asep Ahmad Hidayat, filsafat dan bahasa memiliki relasi atau hubungan yang sangat erat
dan sekaligus merupakan hukum kausalitas yang kehadirannya tidak dapat ditolak. Para ahli filsafat telah
menjadikan bahasa sebagai objek perenungan, pembahasan dan penelitian dalam dunia filsafat. Selain
dari itu, berbagai kelemahan dalam bahasa juga telah mengerakkan para ahli filsafat untuk melakukan
analisis secara mendalam terhadap bahasa. Hal ini kemudian dikenal dengan aliran filsafat analisis bahasa
atau filsafat analitik.[9]

c. Fungsi filsafat terhadap bahasa

Menurut Asep Ahmad Hidayat, hubungan fungsional filsafat terhadap bahasa dapat dipahami
bahwa filsafat berfungsi sebagai metode analisis terhadap berbagai problematika kebahasaan, terutama
yang berkaitan dengan hakikat dan makna suatu bahasa; mewarnai pandangan para ahli bahasa dalam
mengembangkan teori-teori kebahasaannya menjadi ilmu bahasa atau ilmu sastra; memberikan arah yang
relevan antara teori kebahasaan tertentu dengan realitas kehidupan manusia.[10]

3. Beberapa teori dalam filsafat analitik

a. Atomisme Logis Russell

Konsep atomisme logis Russell yang dijelaskan oleh Asep Ahmad Hidayat di dalam bukunya
mencakup beberapa hal yang mencerahkan, yaitu:

Atomisme logis merupakan salah satu teori dalam filsafat analitik yang dinisbatkan kepada
Bertrand Russell (1872-1972) dan Ludwig Wittgeinstein (1899-1951). Konsep atomisme logis Russell
dapat dipahami melalui tujuan filsafat yang ia cetuskan, yaitu filsafat bertujuan mengembalikan seluruh
ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana; menghubungkan antara logika dan
matematika melalui analisis logis; dan menganalisis bahasa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar
mengenai realitas.[11]

Menurut Russell, atomisme logis berpijak pada bahasa logika. Bahasa logika akan sangat
membantu aktivitas analisis bahasa dalam melukiskan hubungan antara struktur bahasa dengan struktur
realitas. Menurut Asep Ahmad Hidayat, sepertinya Russell menginginkan penggunaaan metode ilmiah
bagi cara kerja filsafat. Hal ini berdasarkan penegasan Russell bahwa dalam percobaan yang dilakukan
secara serius, tidak selayaknya kita menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain
buruk juga mengandung makna ganda.[12]

Unsur terkecil dari bahasa adalah proposisi atomis. Suatu proposisi atomis dengan sendirinya
mengungkapkan fakta atomis tentang dunia. Suatu kalimat tertentu terdiri dari dua proposisi, yaitu
proposisi atomis dan proposisi majemuk. Proposisi atomis terdiri dari fakta-fakta, sedangkan proposisi
majemuk merupakan gabungan dari dua proposisi atomis tersebut.[13]

b. Wittgenstein I: Meaning Is Picture (makna adalah gambar)

Teori pertama Wittgenstein menyatakan bahwa makna sama dengan gambar. Teori ini
berpandangan bahwa terdapat relasi yang sangat erat antara dunia simbol dengan dunia
fakta.[14] Bahasa akan bermakna jika dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan faktual.[15]

Menurut Wittgeinstein, perlu adanya bahasa ideal bagi filsafat, agar dapat bermaknanya suatu
ungkapan dan terhindar dari penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa logika yang sempurna adalah bahasa
yang mengandung aturan tata kalimat terentu, sehingga mampu mencegah ungkapan yang tidak
bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik, serta terbatas keberadaannya.
Menurut Wittgeinstein, filsafat berfungsi menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan dengan
menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Apa yang dapat dikatakan, dapat dikatakan
secara jelas, dan apa yang tidak dapat kita bicarakan, hendaknya kita diam.[16]

c. Positivisme Logis (Neo-Positivisme)

Positivisme Logis ini merupakan suatu aliran yang dikembangkan oleh kelompok Wiener Kreis
(Lingkaran Wina) di Austria. Adapun corak pemikirannya yang utama ialah bersifat positif, pasti, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[17] Aliran filsafat ini berlandaskan pada empirisme dan logika
modern. Adapun salah satu hal yang paling menonjol adalah penolakannya terhadap filsafat tradisional.
Menurut aliran ini, filsafat tradisional menyajikan banyak ungkapan yang melebihi tautologis (ungkapan
yang ada dalam logika dan matematika), tetapi tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Terdapat lima
asumsi yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis, yaitu: realitas objektif,
reduksionalisme, asumsi bebas nilai, determinisme, dan logika-empirisme.[18]
Seluruh pengikut aliran positivisme logis pada dasarnya membatasi filsafat pada epistemologi dan logika.
Pembatasan tersebut dilakukan dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah
pengalaman inderawi dan menganalisis bahasa.[19]

d. Wittgenstein II: Meaning is Use

Wittgeinstein menentang teori pertamanya dengan teori terbaru, yaitu makna adalah
penggunaan. Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat
bergantung penggunaannya dalam bahasa. Arti lainya adalah bermaknanya suatu kalimat sangat
tergantung pada situasi, tempat dan waktu penggunaan kalimat tersebut. Serta sangat tergantung pula
pada aturan penggunaan atau tata permainannya dalam bahasa sehari-hari.[20] Penggunaan bahasa
dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam sehingga perlu diselidiki bagaimana pemungsian kata kunci
dan ekspresi dalam bahasa tersebut.[21]

4. Dekonstruksi epistemologi filsafat modern

a. Strukturalisme

Strukturalisme adalah suatu gerakan pemikiran yang memandang seluruh realitas sebagai
keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan. Kaum strukturalis menekankan
pencarian terhadap struktur-struktur objektif yang sering tersembunyi. Bagi mereka, dunia hanyalah relasi
struktur-struktur yang saling berkaitan dan beraturan secara tetap. Sehingga makna bahasa tentang dunia
sangat bergantung pada struktur-struktur tersebut.[22]

Menurut Fedinand Morgin de Saussure (1857-1913), bahan darimana bahasa itu terdiri tidak
mempunyai peranan. Persoalan yang terpenting dalam bahasa adalah aturan-aturan yang
mengkonstitusinya, susunan unsur-unsur dalam hubungan satu sama lain, serta relasi dan oposisi yang
membentuk sistem itu.[23] Demikian pula menurut Levi Strauss, bahasa memiliki keterkaitan antara satu
sama lain dan tidak ada pengaruh dari luar. Bahasa dapat diselidiki melalui dua metode,
yaitu syinkronikdan diakronik. Serta bahasa sama dengan budaya.[24]

b. Fenomenologi

Fenomenologi merupakan salah satu aliran pemikiran yang dimunculkan pertama sekali oleh
Edmund Husserl (1859-1939). Istilah Fenomenologi berasal dari kata fenomen, yang artinya gejala yang
tampak.[25]Berdasarkan identifikasi Merleau Pounty (1908-1961) terhadap fenomenologi Edmund
Husserl, maka ia mencirikan fenomenologi sebagai studi filsafat transendental yang menempatkan
kembali esensi ke dalam eksistensi, menganggap dunia selalu mendahului segala refleksi, sebagai usaha
untuk secara langsung melukiskan pengalaman sebagaimana adanya, tanpa memperhatikan asal-usul
psikologisnya dan keterangan kausal dari para ilmuwan, sejarawan, atau sosiolog.[26]

c. Eksistensialisme

Berdasarkan catatan Asep Ahmad Hidayat, eksistensialisme merupakan istilah lain dari filsafat
eksistensi. Kata eksistensialisme berawal dari bahasa latin, yaitu existensialisme.
Kata existensialismemerupakan gabungan dari kata “ex” dan “sitere”, yang dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan “berdiri dengan keluar dari diri sendiri”. Atau dalam bahasa Jerman disebut dengan Dasein, yang
berarti berada disana. Maksudnya adalah berada bagi manusia selalu menempati suatu tempat atau
bersatu dengan alam jasmani.[27]

Menurut Asep Ahmad Hidayat, tujuan dari filsafat eksistensialisme ialah mengerti akan realitas
seluruhnya, dan untuk menyadari hal yang dimengerti itu. Manusia harus memiliki pengetahuan tentang
dirinya sendiri agar dengan demikian ia dapat bereksistensi. Hal ini senada seperti yang dinyatakan oleh
Karl Jaspers (1883-1916),[28] bahwa eksistensi ialah berdiri berhadapan dengan transendensi (keluarnya
manusia di atas dirinya sendiri dan dunia). Chifer-chifer (tanda-tanda) yang ada dibaca oleh manusia
sejauh manusia itu bereksistensi. Eksistensi sama dengan kebebasan yang diraih manusia. Manusia yang
bebas menandakan adanya Tuhan.[29]

d. Pragmatisme

Pragmatisme merupakan metode filsafat yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce (1839-
1914). Selanjutnya dikembangkan oleh William James (1842-1910).[30] Dilihat dari segi bahasa, kata
pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti guna. Secara luas, pargmatisme
adalah filsafat yang lebih menekankan pada nilai guna secara pragmatis (praktis).[31] Menurut Charles
Sanders Peirce, segala sesuatu perlu ditentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau
tidak. Kita akan mendapatkan pengertian tentang objek itu. Kemudian konsep kita tentang akibat itu,
itulah keseluruhan konsep objek tersebut.[32] Berdasarkan pernyataan tersebut maka William James
melanjutkan bahwa pragmatisme adalah istilah lain dari empirisme radikal. Ia merupakan realitas
sebagaimana yang kita ketahui.[33]

Menurut pandangan Asep Ahmad Hidayat, kaum yang pragmatis tidak lagi melihat makna sesuatu
objek secara statis, melainkan mereka melihatnya secara dinamis dan memberikan reaksi terhadap dirinya
sendiri. Makna yang dikandung oleh sesuatu pernyataan dengan sendirinya akan berubah jika seseorang
berbuat sesuai dengan makna tersebut.[34]

e. Post-Modernisme

Menurut Asep Ahmad Hidayat, post-modernisme merupakan suatu gerakan protes dan
ketidakpercayaan terhadap ketangguhan modernisme.[35] Pos-modernisme telah meneruskan alur yang
telah ditempuh oleh mazhab Frankfut. Mazhab ini tidak banyak menyeroti distorsi objektivitas ilmu, tetapi
lebih banyak mempersoalkan kultus objektivitas yang sebenarnya menjadi sumber distorsi tersebut.
Sedangkan pos-modernisme juga demikian. Bagi kaum post-modernisme, konsep kultus objektivitas
dalam realitas sosial sangatlah keliru. Konsep ini mereka ganti dengan hermeneutika. Menurut kaum post-
modernis, konsep hermeneutika ini menghormati sabjektivitas, objek kajian, peneliti, dan bahkan
sabjektivitas pembaca atau pendengar.[36]

Menurut Jean-Francois Lyorand (1984), ciri-ciri postmodern adalah memiliki keraguan terhadap
metanarasi, yaitu teori-teori universal seperti Hegelianisme, Materialisme, Marxisme, Renaisaince, serta
Erosentrisme, yang telah banyak menyumbang pemikirannya terhadap bangunan modernisme. Konsep
kaum metanarasi ini menyatakan dirinya mampu menyunguhkan penjelasan secara universal tentang
berbagai fenomena, dan mensesuaikan fenomena tersebut dengan sistem dan citra dari setiap teori yang
ada.[37]

f. Filsafat Islam

Di dunia Islam, pengetahuan tentang bahasa juga dijadikan sebagai topik pembahasan yang
sangat penting, terutama dalam mempelajari dan memahami makna yang terkandung di dalam setiap
ayat Al-Qur’an. Bagi umat Islam, Al-Qur’an merupakan kitab pedoman yang didalamnya memuat pesan-
pesan Tuhan. Umat Islam diwajibkan untuk mempelajari setiap pesan itu, agar kehidupan yang dijalaninya
memperoleh ridha dari Tuhan. Namun, ada satu polimik yang selalu melanda umat Islam terkini, yaitu tata
ilmu yang mesti dipelajari agar dapat memahami setiap pesan Tuhan yang terdapat di dalam setiap ayat
Al-Qur’an. Polimik inilah yang menurut Asep Ahmad Hidayat, telah menimbulkan berbagai pertanyaan,
seperti: Apakah Al-Qur’an itu bahasa manusia ataukah bahasa Tuhan? Apakah bahasa Al-Qur’an itu qadim
ataukah hudust? Bagaimana kriteria bahasa yang benar dan bermakna? Bolehkah Al-Qur’an itu ditakwil?,
dan lain sebagainya.[38]

Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan tersebut telah dijawab dengan baik oleh para ahli-ahli
ilmu keislaman, seperti ahli tasawuf, ahli fiqh, ahli kalam, ataupun ahli filsafat. Namun tetap saja masing-
masing dari mereka menjawab berdasarkan bidang ilmunya semata, sehingga kesimpulan yang mereka
hasilkan pun berbeda-beda. Inilah ilmuan Islam terkini. Katanya saja Islam, sedangkan realitasnya penuh
dengan pertengkaran.

C. Penutup

Berdasarkan pembahasan yang ringkas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa begitu banyak
aliran pemikiran yang telah berkembang di dalam peradaban barat kontemporer. Aliran pemikiran
tersebut telah menawarkan berbagai konsep yang sesuai dengan kondisi peradabannya. Setiap konsep
baru yang dimunculkan, tetap saja berkaitan dengan konsep sebelumnya. Kaitan tersebut bisa dalam
artian mendukung, mengkritik, ataupun menggantinya secara total dengan yang baru.

Demikianlah pembahasan singkat tentang berbagai sub-materi perkuliahan Filsafat Barat


Kontemporer. Segenab kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga bermanfaat.

[1] Mahasiswa Semester Tujuh di Prodi Ilmu Aqidah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda
Aceh. 26 Januari 2015.

[2] Husna Amin “Hand Out I”, (Bahan Kuliah, 2014), hal. 1-3.

[3] Husna Amin “Hand Out II”, (Bahan Kuliah, 2014), hal. 4.

[4] Ibid, hal. 4-5.

[5] Hal. 13.

[6] Hal. 15.


[7] Hal. 15-17.

[8] Hal. 18.

[9] Hal. 32.

[10] Hal. 37-38.

[11] Hal. 47-48.

[12] Hal. 49.

[13] Hal. 52-53.

[14] Hal. 56.

[15] Hal. 73.

[16] Hal. 54-55.

[17] Hal. 62.

[18] Hal.63-64.

[19] Hal. 65.

[20] Hal. 76.

[21] Hal. 75.

[22] Hal. 102-104.

[23] Hal. 109.

[24] Hal. 114-115.

[25] Hal. 143.

[26] Hal. 147.

[27] Hal. 177.

[28] Hal. 179.

[29] Hal. 184.

[30] Hal. 187.

[31] Hal. 188.

[32] Hal. 188.

[33] Hal. 188.

[34] Hal. 190.

[35] Hal. 202.

[36] Hal. 210.

[37] Hal. 207.

[38] Hal. 245.


JUMAT, 13 MARET 2009

Bahasa dan Logika Berpikir


1.1. Latar Belakang

Akal dan pikiran merupakan perlengkapan paling sempurna yang disematkan Tuhan kepada manusia. Dengan

akal dan pikiran, manusia dapat mengubah dan mengembangkan taraf kehidupannya dari tradisional,

berkembang dan hingga modern. Sifat tidak puas yang secara alamiah ada dalam diri manusia mendorong

manusia untuk selalu ingin mengubah keadaan. Ketidakpuasan tersebut menimbulkan perubahan-perubahan

sehingga tercipta peradaban dunia yang maju.

Kemajuan yang dihasilkan oleh akal dan pikiran manusia membawa dampak positif dan negatif. Untuk

meminimalisiri atau mengatasi masalah-masalah yang timbul dari dampak negatif, manusia tetap memerlukan

akal untuk berpikir secara benar.

Berpikir secara logis ialah berpikir tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-

ilmu logika. Setiap apa yang akan diperbuat hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang ada pada dirinya

masing-masing. Jika hal tersebut sesuai dengan kenyataan dan apabila dikerjakan mendapat keuntungan, maka

segera dilaksanakan. Berpikir secara logis juga berarti bahwa selain memikirkan diri kita sendiri juga harus

memperhatikan lingkungan, serta berpikir tentang akibat yang tidak terbawa emosi.

Dewasa ini, kemampuan berpikir logis dan kreatif sangat diperlukan khususnya dalam upaya mengembangkan

ilmu pengetahuan yang humanis. Berbagai macam pengetahuan berhasil dikembangkan manusia dengan

beragam metode berpikir. Hal paling sederhana yang dapat kita amati adalah sekelompok anak sekolah dasar

yang sedang melakukan riset IPA. Tanpa disadari, mereka menggunakan proses-proses berpikir tertentu yang

berbeda dengan riset-riset pada jenis ilmu pengetahuan lainnya.

Beberapa ahli menyebut cara berpikir dengan istilah top-down dan bottom-up. Kedua cara berpikir tersebut

diimplementasikan dalam pengembangan ilmu yang berbeda. Lantas bagaimana dengan ilmu bahasa? Apakah

para ahli bahasa memulai analisa bahasa dari pengambilan teori tertentu untuk kemudian dipersempit dengan

penentuan hipotesa yang pada akhirnya mmenuju pada proses pengujian kebenaran hipotesa tersebut? Ataukah

sebaliknya, yaitu mengadakan pengamatan penggunaan bahasa dilapangan untuk kemudian digeneralisasi

kesimpulan dan teorinya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang akan menjadi fokus tulisan ini, mengingat pentingnya cara berpikir

dalam proses pertumbuhan dan perkembangan suatu disiplin ilmu. Diasumsikan bahwa seorang ilmuwan yang

tidak memperhatikan cara berpikir dengan tepat dan benar, maka hal tersebut akan mempengaruhi

kematangan hasil pemikiran yang ia hasilkan yang tentu saja berimbas pada kemapanan disiplin ilmu yang

sedang dikaji. Dengan kata lain, cara berpikir yang tepat mengarah pada hasil pemikiran yang tepat pula,

meskipun hal ini tidak bisa dijadikan tolak ukur karena ada faktor-faktor lain yang juga membawa pengaruh

terhadap tingkat kebenaran suatu hal.

Karena disiplin ilmu yang sedang ditekuni penulis adalah ilmu bahasa, maka bahasa dan keilmuwan bahasalah

yang dijadikan fokus pengamatan dalam ulasan pendek ini.

Sekali lagi ditekankan bahwa berfikir adalah berbicara dengan diri sendiri mempertimbangkan, menganalisa

dan membuktikan, bertanya mengapa dan untuk apa sesuatu terjadi. Orang yang berbahagia dan tenteram

hidupnya ialah orang yang memikirkan setiap langkahnya secara akal sehat dan tepat.

1.2. Proses Berpikir


Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.

Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan

atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki. Menurut J.S.Suriasumantri (1997: 1) manusia tergolong kedalam

homo sapiens yaitu makhluk yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek

kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.

Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia untuk membedakan dengan makluk lain. Maka dengan dasar

berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses

bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Ciri utama dari berpikir adalah adanya

abstraksi. Dalam arti yang luas, berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, sedangkan dalam arti yang

sempit berpikir adalah mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (Puswanti. 1992: 44).

Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Dalam

proses berpikir alamiah, pola penalaran didasarkan pada kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam

sekelilingnya. Disisi lain, dalam proses berpikir ilmiah, pola penalaran didasarkan pada sasaran tertentu secara

teratur dan sistematis.

Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak

pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu agar sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa

pengetahuan (Suriasumantri (1997: 1) Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang

disebut dengan sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah

dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu

pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah

yang baik.

Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: bahasa

ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika (Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996: 68). Bahasa ilmiah

merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat

berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang

lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan

dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir

induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.

Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi

pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya

ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif. Fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu

proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.

Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula, maka

dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana

berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses

metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan

gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.

1.3. Logika

Istilah logika berasal dari kata ’logos’ (bahasa Yunani) yang berarti kata atau pikiran yang benar. Jika ditinjau

dari segi istilah saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. (Bakry. 1981:
18). Dalam Kamus Filsafat, logika yang dalam bahasa Inggris ’logic’, Latin ’logica’, Yunani ’logike’ atau

’logikos’ berarti apa yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, dan sistematis

(Bagus.1996: 519).

Dalam pengertian lain, logika merupakan ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya kekeliruan-

kekeliruan di dalam rantai proses berpikir. Dengan batasan itu, logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir.

Logika mempunyai tujuan untuk memperjelas isi suatu istilah. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode

dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang

salah (Kusumah. 1986: 2)

Logika sebagai cabang filsafat membicarakan aturan-aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan yang

benar. Menurut Louis O. Kattsoff (1986: 71), logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan

dari suatu perangkat bahan tertentu, oleh karena itu logika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan

tentang penarikan kesimpulan.

Fungsi logika diantaranya adalah untuk membedakan satu ilmu dengan yang lainnya jika objeknya sama dan

menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya (Kasmadi, dkk. 1990: 45).

Sejak keberadaan manusia di muka bumi hingga sekarang, akal pikiran selalu digunakan dalam melakukan

setiap aktivitas, baik aktivitas berpikir alamiah maupun berpikir kompleks. Dalam melakukan kegiatan berpikir

seyogyanya digunakan kaidah-kaidah tertentu yaitu berpikir yang tepat, akurat, rasional, objektif dan kritis

sehingga proses berpikir tersebut membuahkan pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup

manusia itu sendiri.

Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir

dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a) logika induktif dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum

dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan

mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun

argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.

Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya

kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya, jika kita ingin

mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, lantas bagimana caranya kita

mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran

tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan

lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini

tentu saja akan menghadapkan kita kepada kendala tenaga, biaya, dan waktu.

Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada

suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996: 91-

92), diperlukan proses penalaran sebagai berikut:

1) Langkah pertama adalah pengumpulan fakta-fakta khusus. Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah

observasi dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk

membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.

2) Langkah kedua adalah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang

diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis

ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan sistematis sesuai dalil-dalil
yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta yang dijadikan fokus kajian.

3) Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban

sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan

fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk

membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup

generalisasi untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.

4) Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi. Hasil akhir yang

diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah

untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau

dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk

diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang

derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.

b) Logika Deduktif yaitu suatu cara berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang

bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus yang

secara sederhana digambarkan sebagai penyusunan dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan

yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis

minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis

tersebut (Suriasumantri. 1988: 48-49).

Dengan kata lain, penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran

induktif. Contoh penarikan kesimpulan berdasarkan penalaran deduktif adalah,

Semua mahluk hidup perlu makan untuk mempertahankan hidup (Premis mayor)

Joko adalah seorang mahluk hidup (Premis minor)

Jadi, Joko perlu makan untuk mempertahankan hidupnya (Kesimpulan)

Kesimpulan yang diambil bahwa Joko juga perlu makan untuk mempertahankan hidupnya adalah sah menurut

penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan

apakah kesimpulan ini benar harus dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya.

Apabila kedua premis yang mendukungnya benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya

juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulannya itu salah, meskipun kedua kedua premisnya benar, sekiranya

cara penarikkan kesimpulannya tidak sah. Ketepatan kesimpulan bergantung pada tiga hal yaitu kebenaran

premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan.

1.4. Bahasa, Ilmu Bahasa, dan Logika Berpikir

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak terpisah dari aspek kehidupan

manusia. Hal tersebut juga berlaku pada aspek ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan filsafat. Seorang

pemikir atau filosof senantiasa bergantung pada bahasa untuk menyampaikan gagasan atau buah pikirannya

kepada orang lain (Hidayat. 2006: 31). Disamping itu, tugas utama filsafat adalah menemukan makna dibalik

simbol-simbol yang ada di alam semesta atau dalam kehidupan manusia. Maka, dalam konteks ini, filsafat

membutuhkan bahasa untuk membongkar, memahami, dan menyampaikan makna simbol-simbol tersebut.

Berangkat dari signifikansi bahasa dalam ilmu filsafat diatas, perlu kiranya diulas secara singkat hakikat

bahasa. Rumusan mengenai hakikat bahasa telah ramai dibicarakan oleh para ahli. Beberapa diantaranya

berpendapat bahwa bahasa merupakan sistem lambang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari (Kridalaksana dalam Hidayat. 2006: 22). Senada

dengan pendapat tersebut, Bloch, Trager, dan Wardhaugh menggarisbawahi kata ”lambang”, ”bunyi”, dan

”bermakna” sebagai karakteristik hakikat bahasa. Dengan kata lain, yang disebut sebgai bahasa adalah suatu

lambang berbentuk bunyi yang memiliki makna sebagai media penyampaian pesan dan alat komunikasi antar

manusia.

Meskipun bahasa diibaratkan seperti urat nadi dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain menjadi sesuatu

yang tak terpisahkan, namun bahasa tetap memerlukan payung akademis agar dapat dikembangkan sebagai

sebuah disiplin ilmu. Dewasa ini, dengan semakin banyaknya ilmuwan yang menyertakan bahasa kedalam

kajian-kajian formal, maka ilmu bahasa bergerak menuju tingkat kemapanan akademis yang lebih tinggi.

The New Oxford Dictionary of English (2003), mendefinisikan linguistik sebagai The scientific study of language

and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics

include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and

structural linguistics.

Ilmu bahasa atau yang populer disebut linguistik memusatkan perhatian setidaknya pada dua hal; a) mengkaji

suatu bahasa tertentu untuk kepentingan bahasa itu sendiri dan b) mengkaji bahasa sebagai sarana untuk

mengkaji hal-hal diluar bahasa atau untuk memenuhi kepentingan diluar bahasa. Fokus yang pertama dilakukan

untuk menghasilkan deskripsi yang akurat dan lengkap mengenai bahasa itu sendiri, sedangkan yang kedua

dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai proses-proses alamiah bahasa secara umum.

Linguistik merupakan kajian bahasa melalui langkah atau proses ilmiah. Kata “ilmiah” dan “bahasa” perlu

digarisbawahi sebagai kata kunci. Terdapat perbedaan mendasar antara kajian linguistik tradisional (masa

lampau) dan modern. Perbedaan tersebut ada pada unsur keilmiahan. Apa yang dianggap ilmiah adalah jika

kajian bahasa dilakukan dengan pengamatan atau observasi terlebih dahulu sebelum merumuskan hipotesa

yang kemudian di investigasi melalui eksperimen. Langkah-langkah tersebut dilakukan secara sistematis untuk

menghasilkan sebuah teori yang akurat. Standar dan proses ilmiah tersebut juga berlaku pada disiplin ilmu

lain.

Bahasa merupakan realitas komplek yang berdasar pada dua aspek; aspek fungsional dan aspek formal. Secara

fungsional, bahasa merupakan bentuk komunikasi manusia. Berkomunikasi adalah mentransfer informasi

(pesan, ide, dll) dari pengirim ke penerima. Informasi bisa berbentuk rangkaian bunyi yang sarat makna atau

teks tulis. Yang perlu digarisbawahi disini, bahwa proses komunikasi dalam konteks ini adalah yang melibatkan

komponen visual, vokal, dan auditori yang dimiliki manusia, dan bukan yang berbentuk olah tubuh, mimikri,

ekspresi wajah, dll. Jadi lambaian tangan, dehem, batuk, tepuk tangan, dan yang serupa tidak termasuk dalam

bahasa meskipun bentuk-bentuk ekspresi tersebut mengandung pesan atau makna linguistik.

Sejarah perkembangan ilmu bahasa diawali dengan kelahiran aliran tata bahasa tradisional ketika para filsuf

meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Manusia hidup dalam tanda-tanda yang

mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan

sebagainya. Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama

yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia,

partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic.

Pada perkembangan selanjutnya, ilmu bahasa bergerak maju. Masa tersebut populer disebut linguistik modern,

yang terbagi kedalam dua masa yaitu linguistik abad 19 dan abad 20.

Ciri yang menonjol dari linguistik abad 19 adalah historis komparatif sebagai bidang utama penelitian. Yang
diteliti tentu saja adalah hubungan kekerabatan antar bahasa-bahasa di dunia dan unsur bahasa yang diteliti

tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase

atau kalimat (pola penelitiannya bersifat parsial).

Sedangkan ciri khas perkembangan linguistik abad 20 adalah pendekatan penelitian yang bersifat strukturalistis

(akhir abad 20 lebih bersifat fungsionalis), pengelompokkan tata bahasa berdasarkan atas mikrolinguistik,

makro linguistik, dan sejarah linguistik, perkembangan pesat penelitian antardisiplin, dan prinsip

penelitiannya yang deskriptif dan sinkronik.

Dari corak perkembangan disiplin ilmu linguistik diatas dapat diperoleh gambaran bahwa pola berpikir yang

digunakan cenderung mengalami perubahan dari masa ke masa.

Hal tersebut dapat dilihat pada corak perkembangan linguistik abad 19 yang memfokuskan kajian dan

penelitian pada bahasa-bahasa berkerabat untuk membuktikan adanya relasi historis bahasa-bahasa tersebut.

Pada proses ini, ilmuwan bahasa melakukan langkah atau prosedur ilmiah dengan merumuskan hipotesa,

membuktikan rumusan hippotesa tersebut dengan berbagai evidensi linguistik. Dengan kata lain, para ahli

bahasa mengajukan satu asumsi atau hipotesa adanya kekerabatan antar sekelompok bahasa, untuk

membuktikan kebenarannya, evidensi linguistik seperti bukti kemiripan fonologis, morfologis, sintaksis, dan

leksikon serta latar belakang historis digunakan sebagai bahan analisis sebagai upaya pembuktian hipotesa.

Jika kemiripan struktur bahasa tersebut berbanding lurus dengan relasi historis yang dimiliki sekelompok

bahasa tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sekelompok bahasa tersebut berkerabat dan berasal

dari satu induk bahasa yang sama. Dari langkah ilmiah tersebut, dapat diamati bahwa ilmu bahasa pada masa

itu cenderung memakai pola penalaran induktif.

Perkembangan linguistik abad 20 memiliki corak yang sedikit berbeda. Ilmuwan abad 19 telah bekerja keras

memformulasikan teori-teori baru dari beragam fenomena bahasa. Jika pada abad sebelumnya, ilmu bahasa

diramaikan oleh kajian diakronis maka abad 20 diwarnai oleh penelitian bergenre sinkronik dimana struktur

internal bahasa menjadi titik tolak pengembangan ilmu bahasa.

Dari realitas tersebut, dapat diamati bahwa logika berpikir yang berkembang adalah logika penalaran deduktif

meski tidak dapat dipungkiri penalaran induktif masih digunakan.

Dari berbagai ulasan seputar bahasa, ilmu bahasa, dan logika berpikir yang digunakan dapat disimpulkan bahwa

dua ragam logika berpikir yaitu deduktif dan induktif tidak dapat dilepaskan dari kegiatan ilmiah sebuah

disiplin ilmu, meskipun keduanya memiliki pola yang berbeda. Dapat dijumpai penggabungan kedua logika

berpikir tersebut dalam satu proses ilmiah. Hal ini dianggap sah dan wajar dalam dinamika berpikir dan

dialektika ilmu pengetahuan.

1.5. Kesimpulan

Berpikir ilmiah menjadi titik tolak karya ilmiah dan perkembangan kegiatan ilmiah yang didalamnya memuat

proses berpikir ilmiah. Dalam proses berpikir ilmiah, terdapat dua logika yang memiliki pola berbeda, yaitu

logika berpikir deduktif dan induktif.

Berpikir deduktif didasarkan pada logika deduktif dimana kesimpulan ditarik dari pernyataan umum menuju

pernyataan khusus menggunakan penalaran. Hasil berpikir deduktif dapat digunakan untuk menyusun hipotesis

untuk selanjutnya diadakan pembuktian atas hipotesis melalui analisa dan penalaran.

Berpikir induktif merupakan satu langkah pengambilan kesimpulan yang dimulai dari fakta khusus menuju

kesimpulan bersifat umum. Langkah berpikir induktif dimulai dari pengamatan lapangan, penyusunan hasil
pengamatan, pengujian data, dan penarikan kesimpulann. Pengujian hipotesis tidak melalui pengkajian teori

akan tetapi melalui kajian data lapangan.

Gabungan kedua cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah yang pada akhirnya ditujukan untuk

menghasilkan pengetahuan ilmiah. Berpikir ilmiah adalah gabungan berpikir deduktif dan induktif.

Dalam perspektif disiplin ilmu bahasa atau linguistik, kedua logika berpikir tersebut secara aktif diterapkan

berdasarkan pada objek dan tujuan kajian. Jika tujuan suatu kajian bahasa adalah deskriptif maka logika

berpikir induktif yang digunakan, akan tetapi jika diarahkan untuk kajian yang bersifat preskriptif maka logika

deduktif yang diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Gramedia: Jakarta

Bakry, Hasbullah. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya

Crystal, David. 1982. What is Linguistics?. UK: Edward Arnold

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya

Kasmadi, Hartono, dkk.1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press

Kattsoff, Louis O.. 1986. Pengantar Filsafat. Tiara Yogyakarta: Wacana

Kusumah, Yaya S.. 1986. Logika Matematika Elementer. Bandung

Puswanti, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Suriasumantri, Jujun S. 1988. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

______, 1997. Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

The New Oxford Dictionary of English. 2003. UK: Oxford University Press

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
TEORI LOGIKA
Sumber:http://dana160.student.umm.ac.id/2010/02/06/teori-logika/
02.06. 2010Dunduh: 17 Juli 2010

Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang
diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.

Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur[1].

Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada
kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang
dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Logika sebagai ilmu pengetahuan

Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya
penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi
ketepatannya.
Logika sebagai cabang filsafat

Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis disini berarti logika dapat dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-
pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah
pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.

Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku
dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap
sebagai cabang matematika. logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran
Dasar-dasar Logika

Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah
argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk
menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan
(premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah contoh-contoh dari
logika formal.

Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif—kadang disebut
logika deduktif—adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen
dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari
premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah
argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari
premis-premisnya.

Contoh argumen deduktif:

1. Setiap mamalia punya sebuah jantung


2. Semua kuda adalah mamalia
3. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung

Penalaran induktif—kadang disebut logika induktif—adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian
fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

Contoh argumen induktif:

1. Kuda Sumba punya sebuah jantung


2. Kuda Australia punya sebuah jantung
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
5. …
6. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa ciri utama yang membedakan penalaran induktif dan deduktif.
Deduktif Induktif
Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar Jika premis benar, kesimpulan mungkin benar,
tapi tak pasti benar.
Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis.
Kesimpulan memuat informasi yang tak ada, bahkan secara implisit, dalam premis.
Sejarah Logika
Masa Yunani Kuno

Logika dimulai sejak Thales (624 SM – 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala
dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan
rahasia alam semesta.

Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta.
Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.

Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica.
Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta
dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.

Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:

* Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)


* Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
* Air jugalah uap
* Air jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.

Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis
beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.

Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai
argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti
argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika
Aristoteles adalah silogisme.

Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu:

1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian


2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan
3. Analytica Posteriora tentang pembuktian.
4. Analytica Priora tentang Silogisme.
5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.
6. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.

Pada 370 SM – 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan
pengembangn logika.

Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM – 226 SM pelopor Kaum
Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M – 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua
orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.

Porohyus (232 – 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku
Aristoteles.

Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan
komentar- komentarnya.

Johanes Damascenus (674 – 749) menerbitkan Fons Scienteae.


Abad pertengahan dan logika modern [2]
Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus
dan karya Boethius masih digunakan.

Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika.

Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:

* Petrus Hispanus (1210 – 1278)


* Roger Bacon (1214-1292)
* Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna,
yang merupakan semacam aljabar pengertian.
* William Ocham (1295 – 1349)

Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588
– 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human
Understanding

Francis Bacon (1561 – 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum
Organum Scientiarum.

J.S. Mills (1806 – 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya
System of Logic

Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:

* Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari
Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam
kepastian.
* George Boole (1815-1864)
* John Venn (1834-1923)
* Gottlob Frege (1848 – 1925)

Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John
Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil
Peirce (Peirce’s Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of
signs)

Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica
tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 – 1914) dan Bertrand Arthur
William Russel (1872 – 1970).

Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt
Godel (1906-1978), dan lain-lain.
Logika sebagai matematika murni

Logika masuk kedalam kategori matematika murni karena matematika adalah logika yang
tersistematisasi. Matematika adalah pendekatan logika kepada metode ilmu ukur yang menggunakan
tanda-tanda atau simbol-simbol matematik (logika simbolik). Logika tersistematisasi dikenalkan oleh dua
orang dokter medis, Galenus (130-201 M) dan Sextus Empiricus (sekitar 200 M) yang mengembangkan
logika dengan menerapkan metode geometri.

Puncak logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid
yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 – 1914) dan Bertrand Arthur William
Russel (1872 – 1970).
Kegunaan logika

1. Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap,
tertib, metodis dan koheren.
2. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
3. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
4. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis
5. Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan serta
kesesatan.
6. Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
7. Terhindar dari klenik , gugon-tuhon ( bahasa Jawa )
8. Apabila sudah mampu berpikir rasional,kritis ,lurus,metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada
butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang.

Macam-macam logika
Logika alamiah

Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum
dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan
logika alamiah manusia ada sejak lahir.
Logika ilmiah

Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi.

Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap
pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti,
lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling
tidak, dikurangi.

Anda mungkin juga menyukai