Anda di halaman 1dari 10

Being Sane in Insane Places

Dalam esainya, Tentang Being Sane in Insane Places , DL Rosenhan membahas serangkaian


eksperimen yang ia ikuti dalam melibatkan institusi psikiatris dan efek kesalahan diagnosis
gangguan psikologis pada pasien yang dirawat di rumah sakit.Penelitian Rosenhan menunjukkan
kepada kita bahwa label yang terkait dengan penyakit mental (khususnya skizofrenia) memiliki
dampak signifikan pada cara pasien dirawat.

Dalam percobaan tersebut, Rosenhan dan beberapa “pasien semu” lainnya dengan sengaja
mencoba masuk ke rumah sakit jiwa di Jakartabeberapa negara, pura-pura menderita
skizofrenia. Mereka mudah diterima, dan begitu di dalam mereka berhenti menunjukkan perilaku
abnormal. Gagasan Rosenhan adalah bahwa normalitas akan sangat berbeda dan mudah dideteksi
sehingga pasti subjek akan segera dilepaskan. Yang mengejutkannya, perilaku yang secara
tradisional dianggap normal ditafsirkan oleh staf rumah sakit sebagai bagian dari kondisi semu
pasien semu. Misalnya, setiap peserta diminta untuk membuat buku catatan atau jurnal untuk
mencatat pengalaman mereka. Di dunia nyata, seseorang mungkin cenderung bertanya kepada
salah satu subjek tentang apa yang mereka tulis jika mereka menyaksikan subjek yang terus-
menerus menulis di buku catatan. Tetapi di rumah sakit, tidak ada perawat atau anggota staf yang
mengomentari pencatatan pasien semu, dengan asumsi bahwa itu adalah kebiasaan gugup yang
terkait dengan skizofrenia. Bahkan, beberapa pasien nyata di rumah sakit menjadi curiga
terhadap penipu, dan mencoba membawanya ke perhatian para perawat. Namun klaim ini selalu
diabaikan, karena mereka datang dari seseorang yang dicap "gila".

Rosenhan berteori bahwa ada beberapa penyebab reaksi semacam ini. Salah satunya, katanya,
adalah kecenderungan komunitas psikiatris untuk “berbuat salah pada sisi kehati-hatian”,
membuat lebih banyak kesalahan mental positif karena takut membuat kesalahan negatif. Ini
memiliki beberapa implikasi serius dan membuat kita bertanya-tanya berapa banyak orang yang
masuk ke lembaga ini sebenarnya waras dan salah didiagnosis.Rosenhan juga menyarankan
bahwa label yang terkait dengan skizofrenia menyebabkan staf rumah sakit membuat asumsi
yang salah tentang perilaku pasien bukan karena kesalahan mereka sendiri. Ketika seseorang
terlihat sakit mental, semua yang mereka lakukan dapat ditafsirkan sebagai gejala gangguan
mereka. Contoh lain dari ini ditemukan ketika seorang dokter mengamati beberapa pasien palsu
yang menunggu di luar pintu kafetaria setengah jam sebelum makan siang, dan melanjutkan
untuk memberi tahu orang lain bahwa ini adalah bagian dari "sifat oral-acquisitive" dari sindrom
tersebut.Dalam percobaan lain, ketika staf rumah sakit diberitahu bahwa pasien semu akan
berusaha mendapatkan diri mereka sendiri di bulan berikutnya, staf mengidentifikasi banyak
orang yang mereka duga mungkin berpose sebagai sakit mental. Diam-diam, tidak ada pasien
semu yang berjalan melewati pintu klinik!

BACA
Analisis Karakter Jumat Robinson Crusoe
Setiap orang mengalami sedikit gangguan tidur, depresi, kegelisahan, atau kegembiraan, tetapi
tidak satu pun dari kriteria itu yang menyebut kita gila. Dia berbicara tentang cara label itu
melekat dengan seseorang bahkan setelah mereka dilepaskan, dan bahwa jika pasien dalam
benaknya benar-benar percaya bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya, ada kemungkinan
bahwa pada saat pelepasan dia akan kembali ke perilaku lamanya. Eksperimen ini
menggambarkan betapa sulitnya mendiagnosis penyakit mental, jika seseorang bahkan ada pada
individu tersebut.
Perkembangan Kesehatan Mental

Keberadaan penyakit mental telah ada sejalan dengan keberadaan manusia, walaupun ketika
kehidupan manusia tidak semaju zaman sekarang. Bahkan ketika seorang manusia belum dapat
memberikan istilah untuk menjelaskan keadaan mentalnya sendiri. Ketika seseorang mengalami
masalah mental, tentunya ia akan membutuhkan orang lain untuk mengatasi masalahnya
tersebut. Namun karena keterbatasan ilmu pengetahuan, pada zaman dulu masalah kesehatan
mental seringkali dihubungkan dengan gangguan setan atau roh halus, atau gejala alam dan
kemarahan para dewa. Berbagai macam penafsiran manusia mengenai kondisi mental seseorang
menimbulkan berbagai macam cara untuk mengatasinya pula. Misalnya, orang yang
menderita gangguan pasif agresif,  atau gangguan kepribadian histrionik, dianggap sebagai hal
yang mistis. Kesehatan mental bisa kita lihat perkembangannya sejak masa purba hingga ke
masa sekarang. Beberapa masa perkembangan kesehatan mental adalah:
1. Zaman Pra Sejarah
Pra sejarah adalah masa dimana keberadaan manusia purba yang masih berkembang. Pada
zaman ini tentunya manusia sudah merasakan berbagai macam gangguan mental, namun mereka
menanggapinya sebagai suatu hal yang lebih mistis seperti gangguan roh jahat, alam, maupun
akibat perbuatan musuhnya.  Penyakit mental seringkali dianggap sebagai suatu hal yang
berhubungan dengan demonologi, yaitu suatu pendapat atau doktrin yang menyebutkan bahwa
seseorang berperilaku tidak normal, abnormal yang disebabkan karena pengaruh suatu kekuatan
jahat atau jatuh kepada kuasa kegelapan yang berhubungan dengan kekuatan setan. Cara
mengatasi gangguan mental ini pun menjadi sesuai dengan anggapan dan kesimpulan mereka,
yaitu menggunakan mantera dan ramuan tertentu untuk menyembuhkan seseorang yang sedang
terkena gangguan mental.
Pada masa ini banyak terdapat keberadaan dukun sebagai juru penyembuh bagi orang – orang
yang mengalami gangguan mental. Biasanya tiap suku atau kelompok mempunyai satu dukun
kepercayaan mereka sendiri. Para dukun ini pun mempunyai metode tersendiri yang sesuai pada
zaman tersebut untuk mengobati penyakit mental pasiennya, dan mereka benar – benar setia
kepada anggota suku atau kelompoknya. Akan tetapi para dukun ini juga memiliki kebijakan
tersendiri yaitu menyingkirkan orang sakit yang benar – benar membahayakan kelompok atau
sukunya.
2. Zaman Roma Kuno dan Yunani Kuno
Banyak cendekiawan atau para ahli yang bermunculan di masa ini yaitu antara lain dua orang
ilmuwan terkemuka di Yunani, dokter Aesculapius dan Hipokrates yang salah satunya telah turut
berperan dalam mulai adanya pendekatan yang dilakukan secara rasional dan lebih manusiawi
terhadap kondisi orang yang mengalami penyakit mental. Selain itu ada beberapa ilmuwan
lainnya seperti:

 Phytagoras (500 SM) – Cendekiawan yang menjadi orang pertama dalam memberikan
penjelasan secara ilmiah terhadap penyakit mental.
 Hippokrates (460-377 SM)  – Dikenal juga sebagai Bapak Kedokteran, dialah yang menemukan
ilmu medis modern dengan memisahkannya dari agama, takhayul, sihir dan kepercayaan
terhadap dewa – dewa. Dijelaskan oleh Hippokrates bahwa peranan otak sangat penting dalam
mempengaruhi pikiran seseorang dan juga perilaku dan emosinya.
Ilmu somatogenesis dipelopori oleh Hippokrates, yaitu suatu pemikiran dimana kondisi tubuh
atau soma seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan perilaku individu tersebut.
 Plato (429-347 SM) – Menyatakan bahwa gangguan mental seseorang merupakan sebagian dari
gangguan moral, fisik, dan juga adanya gangguan dari dewa – dewa. Plato menyatakan bahwa
seorang penjahat adalah orang yang mengalami gangguan mental. Ia juga menyatakan bahwa
budaya menjadi faktor yang penting dalam berpikir dan bertindak.
 Asclepiades, Aretacus dan Galenius  – Tiga dokter dari Yunani yang memberikan penjelasan
dengan pendekatan naturalistik mengenai gangguan mental. Mereka menyatakan bahwa
penderita gangguan mental harus diberikan perlakuan yang lebih manusiawi dan mendapatkan
perawatan di rumah sakit.
3. Zaman Kegelapan
Satu kekurangan dari zaman para cendekiawan Yunani adalah bahwa pendekatan – pendekatan
ilmiah yang dikemukakan para ahli waktu itu kurang memperhatikan aspek takhayul yang masih
dipercaya banyak orang. Itulah sebabnya pada masa kegelapan ini berbagai ilmu demonologi
kembali muncul, dan jalan keluar melalui exorcisme atau pengusiran setan kembali digunakan.
Ketahuilah juga berbagai teori dalam bidang psikologi, antara lain teori psikologi industri, teori
kepercayaan diri dan teori identitas sosial.
4. Zaman Pertengahan 
Zaman ini berada pada kurun waktu antara 400 hingga 1500 SM, dimana pengaruh dari kalangan
gereja dan Kristen mulai meluas. Ada beberapa peristiwa penting pada masa ini yaitu:

 Pada tahun 1484 Paus Innocent VIII meminta para pendeta di seluruh Eropa untuk menghukum
mati para tukang sihir sehingga lebih dari seratus ribu orang telah dibunuh karena dituduh
sebagai penyihir.
 Pada abad ke lima belas dan enam belas, dibangun suatu tempat penampungan bagi orang –
orang yang menderita penyakit mental untuk memisahkannya dari kehidupan normal. Tempat
tersebut dinamakan Asylum. Henry VIII membangun London’s Hospital of St. Mary of
Bethlehem yang dikenal dengan nama Bedlam untuk menjadi tempat penampungan pasien
gangguan mental.
 Bersamaan dengan perkembangan agama Islam, di negara – negara Arab juga berkembang ilmu
kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai efek dari perkembangan berbagai jenis
keilmuan ini, banyak pula didirikan rumah sakit. Sebuah rumah sakit khusus didirikan di Fez,
Maroko lalu pada abad ke 12 juga didirikan sebuah rumah sakit untuk penderita gangguan
mental di Damaskus.

5. Zaman Renaissance
Masih ada lingkungan yang mendasari penyakit mental dengan pengobatan takhayul dan
perlakuan yang tidak manusiawi pada zaman ini. Walaupun demikian, mulai ada beberapa
ilmuwan yang memberikan pencerahan terhadap pasien gangguan mental.

 Paracelsus (1493 – 1541) – Ilmuwan dari Swiss ini menolak demonology dan mengemukakan
teori bahwa penyebab gangguan mental adalah penyakit psikologis.
 Agrippa (1486-1535) – Di Jerman, Heinrich Cornelius Agrippa berupaya melawan korban-
korban kemunafikan dan korban pelaksanaan Inqusisi.
 Johann Weyer (1515-1585)  – Murid dari Agrippa ini mengeluarkan pernyataan bahwa orang
yang dahulu disebut sebagai tukang sihir adalah sebenarnya orang yang menderita gangguan
mental.
 Vinsensius de Paul (1581-1660) – Ilmuwan yang berasal dari Paris ini menyatakan bahwa
penyakit mental tidak ada bedanya dengan penyakit fisik dan memberi anjuran untuk melakukan
pendekatan yang lebih manusiawi terhadap penderitanya.
5. Abad ke 17 hingga ke 20
Ciri yang menandai pertengahan abad 18 adalah banyaknya pembaruan – pembaruan sosial,
politik dan ilmu pengetahuan. Pada awal zaman ini mulai ada kecenderungan terhadap
memberikan perawatan khusus untuk pasien gangguan jiwa. Dengan memusatkan penelitian
terhadap klasifikasi dan sistem perawatan, mengidentifikasi, menyelidiki, dan mengobati
berbagai penyakit secara rasional termasuk penyakit mental.

 Phillipe Pinel (1745-1826) – Pada permulaan abad ke 19 ia memulai penelitian pada pengobatan
psikiatri dengan mempelopori perlakuan serta pengertian yang lebih manusiawi terhadap orang –
orang penderita gangguan mental.
 Willam Tuke  (1732-1822) – Mendirikan “York Retreat” dalam waktu hampir bersamaan
dengan ketika Phillipe Pinel mendirikan rumah sakit di Perancis.
 Anton Muller (1755-1827)- orang yang bekerja di sebuah rumah sakit untuk penyakit mental di
Jerman. Ia menyerukan perawatan yang manusiawi terhadap penderita gangguan mental dan
menentang kekejaman yang mengekang pasien – pasien di rumah sakit tersebut.
 Vicenzo Chiarugi (1759 – 1820) – Buku karyanya yang terbit di Italia berjudul “Hundred
Observations” mengenai pengamatannya kepada para pasien sakit mental dan juga menuntut
perawatan yang lebih manusiawi untuk mereka.’
 Benjamin Rush (1745 – 1813) – Pelopor perawatan yang lebih manusiawi terhadap orang sakit
mental dan dikenal sebagai “Bapak Psikiatri Amerika” .
 Clifford Wittingham Beers (1876-1943) – Mendirikan Connecticut Society for Mental Hygiene
dan mempelopori gerakan ilmu kesehatan mental, berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai
penderita gangguan mental selama tiga tahun.
 Tahun 1919 dibentuk sebuah badan bernama International Committee for Mental Hygiene yang
bermarkas besar di Amerika Serikat.
 Pada tahun 1920-1930 karena pengaruh dari teori  psikososial Freud, atau teori psikoanalisis
Freud, terjadi perubahan perawatan terhadap pasien gangguan mental, antara lain perawatan
yang dilakukan tidak memerlukan sertifikasi, bisa dilakukan di rumah pasien atau di luar rumah
sakit.
 Dalam kurun waktu 1920 an Komite Nasional Kesehatan Mental Amerika menghasilkan model
undang – undang yang juga dimasukkan ke dalam aturan beberapa negara bagian.
 Tahun 1948 Federasi Dunia Kesehatan Mental dibentuk.

Keadaan sehat dan sakit adalah dua hal yang sangat berhubungan dalam kehidupan manusia
sehari – harinya. Pengertian sehat dan sakit ini sebenarnya tergantung kepada nilai – nilai yang
dianut para anggota masyarakat tertentu, sehingga memiliki standar yang berbeda pada tiap
kebudayaan yang berbeda pula. Bisa saja satu sikap tertentu dianggap normal di satu kelompok
masyarakat namun merupakan sikap yang akan dianggap menyimpang dalam kelompok
masyarakat lainnya.

Akan tetapi pada umumnya, sehat merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak menderita
penyakit atau terbebas dari rasa sakit pada tubuh dan seluruh bagian dari seorang manusia. Jika
demikian, maka kondisi mental seseorang pun termasuk ke dalam kategori tersebut. Kondisi
mental yang terganggu dapat digolongkan sebagai tidak sehat secara mental pula.
Orientasi Kesehatan Mental

Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa
Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang
berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa
mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental. Kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis
(penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).

Dalam kehidupan sehari-hari kata-kata sehat sering kali di pakai untuk menyatakan bahwa
sesuatu dapat bekerja secara normal atau dalam kondisi yang normal.

Konsep Kesehatan

Menurut UU pokok kesehatan, pengertian sehat adalah keadaan yang meliputi sehat badan
(jasmani), rohani (mental), dan sosial, seta bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan
kelemahan. Dari beberapa pernyataan di atas dapat kita bahas tentang beberapa dimensi sehat
seperti berikut ini, antaranya :

a. Dimensi emosi

Sehat secara dimensi emosi adalah orang yang dapat menstabilkan dan dapat mengontrol bahkan
mengekspresikan perasaanya, seperti marah, sedih, kesal maupun senang dengan secara tidak
berlebihan.Dimensi intelektual

Orang yang mampu memecahkan masalah dengan pikiran yang tenang adalah orang yang
mampu dan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan begitu dapat dikatakan sehat
secara intelektual.

b. Dimensi Intelektual

Bisa dikatakan sehat secara dimensi sosial adalah ketika seseorang dapat berinteraksi atau
berhubungan dengan orang lain ataupun dengan kelompok maupun dengan organisasi dengan
baik tanpa membedakan agama, suku, ras, dll dengan saling menghargai satu dengan yang
lainnya.

c. Dimensi Fisik

Kesehatan dalam fisik adalah bahwa seseorang secara klinis tidak ada penyakit atau semua organ
tubuh normal, tidak ada gangguan apapun didalam fungsi tubuhnya dengan kata lain seseorang
tersebut tidak merasakan sakit ataupun mengeluh sakit.

d. Dimensi Spiritual
Dapat diartikan spiritual adalah kehidupan kerohanian. Orang-orang yang sehat secara spiritual
adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada agama kepercayaannya masing-masing, dan
kondisi jiwa dan id mereka secara rohani di anggap sehat karena mereka mempunyai pikiran
yang jernih dan tidak melakukan hal-hal dalam luar batas dan juga berpikir secara rasional.

Sejarah Perkembagan Kesehatan Mental

Dilihat dari namanya yaitu kesehatan mental kita sudah bisa menduga bahwa ini berhubungan
dengan kebahagiaan atau kesejahteraan jiwa kita. Sebelum kita mempelajari sejarah dari
kesehatan mental ini, mari kita kenal dulu apa yang disebut dengan kesehatan mental
itu.Kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang
bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha
mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat
(Kartini Kartono dan Jenny Andary . Yusak ,1999: 9-10).

Pada tahun 1950, organisasi mental hygiene terus bertambah, yaitu dengan berdirinya
NationalAssociation for Mental Health. Gerakan mental hygiene ini terus berkembang sehingga
pada tahun 1975 di Amerika terdapat lebih dari seribu perkumpulan kesehatan mental. Di
belahan dunia lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui The World Federation for Mental
Health dan The World Health Organization.

Dalam perkembangan selajutnya, pendekatan naturalistik ini tidak dipergunakan lagi dikalangan
orang-orang kristen. Seorang dokter perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filasafat
politik dan sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia telah terpilih
menjadi kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini, para pasiennya (yang maniac)
dirantai, diikat ditembok dan ditempat tidur. Para pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau
lebih, adan mereka dipandang sangat berbahaya dibawa jalan-jalan disekitar ruimah sakit.
Akhirnya, diantara mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan lagi kecenderungan
untuk melukai atau merusak dirinya sendiri.

Pendekatan Kesehatan Mental

Seseorang dapat dikatankan mencapai taraf kesehatan jiwa, jika ia dapat kesempatan untuk
mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa menghargai orang lain dan dirinya
sendiri, ada 3 teori dalam kesehatan mental, yaitu :

1. Orientasi klasik

Sehat secara mental artinya tidak ada masalah ataupun keluhan mental, artinya seseorang dapat
dikatakan dan dianggap sehat juika orang tersebut tidak mempunyai kelakukan dan perasaan
tertentu, seperti rasa rendah diri, rasa lelah, cemas, ketegangan, dll yang dapat menimbulkan
perasaan sakit atau tidak sehat yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari. Orientasi klasik
yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan sehat sebagai
kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang tidak
mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak ada keluhan
fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan mental.
Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika kita
berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan
kontak dengan realitas. Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski
hilang kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental dari
orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi
kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau tidaknya seseorang
secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat
digolongkan sehat mental. Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan
sebagai tidak sehat mental.

2. Orientasi Penyesuaian Diri

Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan
dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma
lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya
mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada
hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu
digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam
masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang absolut.

Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu
dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang diterima oleh
lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma
lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada
orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana
hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan
tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya?
Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak
sehat mental sekaligus.

Dengan contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal yang
membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita tidak dapat begitu
saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’ pada seseorang. Sehat atau sakit
mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu
garis dengan derajat yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau
tidaknya seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita
berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat mental, atau
‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia adalah makhluk tidak
sehat mental. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai
kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang
bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan seseorang dalam lingkungannya.

3. Orientasi pengembangan potensi


Keharmonisan antara pikiran dan perasaan dapat mebuat tidakan seseorang tampak matang dan
wajar, dalam mencapai beberapa taraf kesehatan jiwa, jika seseorang dapat kesempatan untuk
mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, bisa menghargai dirinya sendiri dan bisa
di hargai oleh orang lain. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendali
utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan
tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti
bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya,
pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan
perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.

Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah mencegah
timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit
jiwa serta memajukan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya
tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita
tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai
kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan
kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam
pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu, dengan sendirinya
akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial.

Anda mungkin juga menyukai