A. Riwayat Hidup
Albert Bandura lahir pada tanggal 4 desember 1925 di Mundare, kota kecil di
Alberta, Kanada. Dia mendapat gelar B.A. dari University Of British Colombia,
kemudian M. A. Pada 1951, dan Ph.D. Pada 1952 dari University Of Lowa. Dia ikut
magang paska doktoral di Wichita Guidance Center pada 1953 dan kemudian
bergabung di Stanford University. Pada 1969-1970 Dia sempat di Center for the
advanced study in the behavioral sciences. Bandura kini menjabat sebagai David Starr
Jordan Professor Of Social Science di Fakultas Psikologi di Universitas Stanford.
Diantara penghargaan yang pernah diterimanya adalah Guggenheim
Fellowship, 1972; Distinguished Scientist Award dari Divisi 12 American
Psychological Association, 1972; Distinguished Scientific Achievement Award dari
California Psychologycal Association, 1973; Presidency Of the American
Psychologycal Association, 1974; James McKeen Cattell Award, 1977; dan James
Mckeen Cattell Fellow Award dari American Psychologycal Society, 2003-2004.
Selain itu, Bandura menjabat berbagai posisi di beberapa masyarakat ilmiah dan
menjadi anggota dewan editor untuk sekitar 17 buah jurnal ilmiah.
Saat di University Of Lowa, Bandura dipengaruhi oleh Kenneth Spence,
Seorang teoritisi Hullian terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah psikologi
klinis. Pada saat itu, Bandura ingin menjelaskan gagasan yang dianggap efektif dalam
psikoterapi dan kemudian menguji dan memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini
pula Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya Miller dan Dollard
(1941). Buku ini amat mempengaruhi dirinya. Miller dan Dollar menggunakan teori
belajar Hullian sebagai basis penjelasan mereka. Penjelasan tentang belajar sosial dan
imitatif Miller dan Dollard mendominasi literatur psikologi selama lebih dari dua
dekade. Baru pada 1960-an Bandura mulai menulis serangkaian artikel dan buku yang
menentang penjelasan lama tentang belajar imitatif dan perluas topik itu ke apa yang
kini di namakan Belajar Observasional. Bandura kini dianggap sebagai teoretisi dan
periset utama di area Belajar Observasional, topik yang kini sangat popular.
B. KONSEP TEORITIS
Bandura (1986) menyebutkan empat proses yang memengaruhi belajar observasional,
dan ringkasannya adalah sebagai berikut.
1. Proses Atensional
Bandura menganggap belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi
dia menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari.
Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan.
Misalnya, jika aktivitas yang lalu yang dipelajari lewat observasi terbukti berguna
untuk mendapatkan suatu penguatan, maka perilaku yang sama akan diperhatikan
pada situasi modelling berikutnya. Dengan kata lain, penguatan sebelumnya dapat
menciptakan tata-situasi perceptual dalam diri pengamat yang akan memengaruhi
observasi selanjutnya.
Berbagai karakteristik model juga akan memengaruhi sejauh mana mereka
akan diperhatikan. Riset telah menunjukkan bahwa model akan lebih sering
diperhatikan jika mereka sama dengan pengamat (yakni, jenis kelaminnya sama,
usianya sama, dan sebagainya), orang yang dihormati atau memiliki status tinggi,
memiliki kemampuan lebih, dianggap kuat, dan atraktif. Secara umum, Bandura
(1986) mengatakan, [Orang] memerhatikan model yang dianggap efektif dan
mengabaikan model yang penampilan atau reputasinya tidak bagus ... Orang akan
lebih memilih model yang lebih mampu dalam meraih hasil yang bagus
ketimbang model yang sering gagal.
2. Proses Retensional
Bandura berpendapat bahwa ada retentional process ( proses retensional )
dimana informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinal (
imajinatif ) dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan secara imajinatif
adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model, yang dapat diambil dan
dilaksanakan lama sesudah belajar observasional terjadi. Bandura mengatakan
bahwa perilaku setidaknya sebagian ditentukan oleh citra atau gambaran mental
tentang pengalaman di masa lalu. Jenis simbolisasi kedua, dan lebih penting
menurut Bandura, adalah verbal. Bandura mengatakan walaupun simbol verbal
memuat sebagian besar pengetahuan yang diperoleh melalui modelling, seringkali
sulit untuk mengisahkan mode-mode representasi. Aktivitas representasional
biasanya menggunakan kedua sistem itu sampai tingkat tertentu ... kata-kata
cenderung membangkitkan citra yang terkait, dan citra dari suatu kejadian
seringkali disadari atau dipahami secara verbal. Ketika stimuli visual dan verbal
memberikan makna yang sama, orang mengintegrasikan informasi yang disajikan
oleh modalitas yang berbeda ini ke dalam satu representasi konseptual umum.
Menurut Bandura peningkatan kapasitas simbolisasi inilah yang
memampukan manusia untuk mempelajari banyak perilaku observasi. Simbol-
simbol yang disimpan ini memungkinkan terjadinya delayed modeling (modeling
yang ditunda)-yakni kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah
informasi itu diamati.
3. Proses Pembentukan Perilaku
Determinisme Resiprokal
Mungkin pertanyaan paling dasar dalam semua psikologi adalah,
Mengapa orang bertindak seperti yang mereka lakukan itu? Jawaban Bandura
untuk pertanyaan ini termasuk dalam kategori sesuatu yang lain. Jawabannya
adalah orang, lingkungan, dan perilaku orang itu semuanya berinteraksi untuk
menghasilkan perilaku selanjutnya. Dengan kata lain, ketiga komponen itu tak
bisa dipahami secara terpisah-pisah. Bandura (1986) meringkas tiga interaksi itu
sebagai berikut:
E B
Di mana P (Person) adalah orang, E (Environment) adalah lingkungan, dan
B (Behavior) adalah perilaku. Posisi ini disebut reciprocal determinism
(determinisme resiprokal). Salah satu edukasi dari konsep ini adalah bahwa kita
bisa mengatakan perilaku memengaruhi seseorang dan lingkungan, atau
lingkungan atau orang memengaruhi perilaku.
Bandura berpendapat bahwa penguatan, seperti hukuman, eksis hanya
secara potensial dalam lingkungan dan hanya diaktualisasikan oleh pola perilaku
tertentu. Karena itu, aspek mana dari lingkungan yang akan memengaruhi kita
akan ditentukan oleh bagaimana kita bertindak terhadap lingkungan. Bandura
(1977) melanjutkan dengan menyatakan bahwa perilaku juga bisa menciptakan
lingkungan: Kita semua kenal dengan individu yang sering bermasalah yang,
dengan perilaku mereka yang menjengkelkan, dapat diperkirakan akan
menibulkan situasi negatif di mana pun mereka berada. Ada pula orang yang
pandai dalam bergaul dengan siapa pun yang ditemuinya.
Jadi, menurut Bandura, orang dapt memengaruhi lingkungan dengan
bertindak dalam cara tertentu dan perubahan lingkungan itu pada gilirannya akan
memengaruhi perilaku orang itu selanjutnya. Tetapi, Bandura menunjukkan
bahwa walaupun ada interaksi antar orang, lingkungan, dan perilaku, salah satu
dari komponen-kompenen itu akan lebih berpengaruh ketimbang komponen
lainnya pada waktu tertentu. Banyak studi menunjukkan bahwa perilaku manusia
lebih banyak diatur oleh apa-apa yang mereka percayai sedang terjadi ketimbang
apa yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan studi ini dan studi serupa lainnya,
Bandura (1977) menyimpulkan, Keyakinan tentang kondisi penguatan yang ada
lebih berpengaruh ketimbang pengaruh dari konsekuensi pengalaman.
Jelas akan bagus jika keyakinan seseorang itu adalah sesuai dengan
kenyataan. Dalam eksperimen tersebut, partisipan diberi informasi yang salah dan
mereka percaya dan bertindak berdasarkan informasi yang salah itu. Banyak
factor dalam kehidupan sehari-hari dapat menciptakan keyakinan non-adaptif
dalam diri seseorang, yang dapat menimbulkan tindakan yang tidak efektif atau
bahkan aneh.
Ringkasnya, konsep determinisme resiprokal Bandura menyatakan bahwa
perilaku, lingkungan, dan orang (dan keyakinannya) semuanya berinteraksi dan
interaksi ketiganya itu harus dipahami dahulu sebelum kuta bisa memahami fungsi
psikologis dan perilaku manusia.
Regulasi Diri Perilaku
Perilaku manusia sebagian besar adalah self-regulated behavior (perilaku
yang diatur sendiri). Di antara hal-hal yang dipelajari manusia dari pengalaman
langsung atau tidak langsung adalah performance standards (standar performa),
dan setelah standar ini dipelajari, standar itu menjadi basis bagi evaluasi diri. Jika
performa atau tindakan seseorang dalam situasi tertentu memenuhi atau melebihi
standar, maka ia akan dinilai positif, jika sebaliknya,ia dinilai negatif.
Standar seseorang bisa datang dari pengalaman langsungnya dengan
penguatan dengan menilai tinggi perilaku yang efektif dalam menghasilkan
pujian dari individu yang relevan dalam kehidupannya, seperti dari orang tuanya.
Standar personal juga bisa berkembang secara tak langsung dengan mengamati
perilaku yang dilakukan orang lain yang memperoleh penguatan. Misalnya,
Bandura dan Kupers (1964) menemukan bahwa anak yang dihadapkan pada
model yang menetapkan standar tinggi juga akan ikut menetapkan standar tinggi
dalam melakukan performa, dan anak yang dihadapkan pada model yang
menetapkan standar minimum juga akan mengikuti standar minimum.
Bandura (1977) percaya bahwa penguatan instrinsik yang datang dari
evaluasi diri lebih berpengaruh ketimbang penguatan ekstrinsik yang diberikan
oleh orang lain. Bandura menyimpulkan, perilaku yang dihargai oleh dirinya
sendiri cenderung dipertahankan lebih efektif ketimbang jika perilaku itu
diperkuat secara eksternal. Sayangnya, jika standar performa seseorang terlalu
tinggi, standar itu bisa justru bisa menimbulkan tekanan atau tegangan. Bandura
(1977) mengatakan, Dalam bentuk yang lebih ekstrem, standar yang keras untuk
evaluasi diri akan menimbulkan reaksi depresi, kelesuan kronis, perasaaan tak
berguna, dan kurang arah tujuan. Menurut Bandura, menetapkan tujuan yang
terlalu tinggi atau terlalu sulit dijangkau akan menimbulkan kekecewaan: tujuan
dengan tingkat kesulitan moderat kemungkinan akan memicu memotivasi lebih
besar dan memberi kepuasaan.
Seperti standar performa yang diinternalisasikan, perceived self-efficacy
(tanggapan tentang kecakapan diri) berperan dalam perilaku yang diatur sendiri.
Maksud dari anggapan mengenai kecakapan diri ini adalah keyakinan seseorang
tentang kemampuannya dalam melakukan sesuatu, dan ini muncul dari berbagai
macam sumber termasuk prestasi dan kegagalan personal yang pernah dialaminya,
melihat orang yang sukses atau gagal,dan persuasi verbal. Persuasi verbal
mungkin secara sementara bisa meyakinkan sesorang bahwa mereka harus
mencoba atau menghindari suatu tugas, namun dalam analisis terakhir yang paling
berpengaruh terhadap anggapan kecakapan diri ini adalah kegagalan atau
kesuksesan yang dialaminya secara langsung atau tak langsung.
Orang yang menganggap tingkat kecakapan dirinya cukup tinggi akan
berusaha lebih keras, berprestasi lebih banyak, dan lebih gigih dalam menjalankan
tugas ketimbang yang menganggap kecakapan dirinya rendah. Orang yang lebih
percaya diri itu juga tidak terlalu takut atau malu ketimbang orang yang kurang
percaya diri. Bandura (1980) berpendapat bahwa karena orang dengan
beranggapan kecakapan diri yang tinggi cenderung lebih punya kendali atas
kejadian dalam lingkungannya, maka mereka lebih merasa pasti. Karena individu
cenderung takut terhadap kejadian yang tidak bisa mereka kontrol dan karenanya
bersifat tak pasti, maka individu yang memiliki anggapan kecakapan diri yang
tinggi akan cenderung kurang merasa takut.
Anggapan kecakapan diri seseorang mungkin berhubungan atau mungkin
tak berhubungan dengan real self-eficacy (kecakapan diri yang sesungguhnya).
Orang mungkin percaya bahwa kecakapan diri mereka rendah padahal sebenarnya
cukup tinggi, begitupula sebaliknya. Situasi terbaik adalah ketika anggapan
seseorang itu sesuai dengan kemampuan sesungguhnya. Di satu sisi, orang yang
senantiasa berusaha untuk melakukan sesuatu diluar kemampuannya akan
mengalami frustasi dan putus asa, dan bahkan akan selalu gampang menyerah. Di
sisi lain, jika orang memiliki anggapan kecakapan diri yang tinggi tidak
menghadapi tantangan yang memadai, perkembangan personal mungkin
terhambat.