Anda di halaman 1dari 7

1.

Tokoh masa lalu


Gus Dur (Abdulrahman wahid)

Penerapan nilai-nilai berakhlak

Berorientasi Pelayanan :

enam nilai teladan dari Gus Dur itu pertama, adalah ketauhidan. Cak Imin, panggilan akrab
Muhaimin menilai ketauhidan Gus Dus sudah melampaui para kyiai.

"Istilahnya, Gus Dur tidak ada rasa takut dan sedih lagi dalam penderitaan. Keimanannya
kuat dan tinggi. Kalau beragama, tidak sombong lagi. Gus Dur juga hidupnya selalu
menderita dan tidak pernah hidup dalam posisi nyaman," ujar Cak Imin.

Nilai kedua, adalah nilai kemanusiaan. Sebab Gus Dur selalu selalu mengutaman
kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang, suku, agama, atau ras orang.

"Ketiga, adalah keadilan di mana dalam praktik hidup sehari-hari, Gus Dur hidup sangat
adil," ungkap Muhaimin yang juga keponakan Gus Dur tersebut.

https://www.jawapos.com/features/humaniora/28/12/2016/6-nilai-yang-harus-diteladani-dari-
gus-dur/

Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan
mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini
dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan
bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
pada Musyawarah Nasional tersebut. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam
mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem
pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/gus-dur-dan-nahdlatul-ulama/

Pada 10 Maret 2019, Ombudsman memasuki usia yang ke-19 sejak resmi berdiri pada 10
Maret tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan
Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Sebagai
Lembaga Negara Independen, Presiden Gus Dur berharap dengan pembentukan Ombudsman
dapat tercapai pelayanan terbaik dan bersih dari pemerintah, dalam makna adanya pelayanan
yang mudah, cepat, murah, dan ringan untuk memastikan masyarakat sebagai pengguna
pelayanan publik benar-benar diberikan pelayanan, sehingga dapat mewujudkangood
governance.

Di Indonesia, setelah berdiri pada tahun 2000 dengan Kepres Nomor 44 dan pada Tahun
2008, DPR mengundangkan undang-undang atas inisiatif DPR yaitu UU Nomor 37 tahun
2008 tentang Ombudsman RI yang mengatur kelembagaan, tugas, dan kewenangan
Ombudsman RI.

Salah satu tugasnya menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai maladministrasi atau


penyimpangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah, BUMN,
BUMD, dan swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik tertentu (Pasal 6 dan 7).

Pelayanan publik penting menjadi perhatian pemerintah dan penyelenggara negara pada
umumnya, karena semakin baik pelayanan maka semakin maju suatu bangsa, dengan salah
satu indikator adanya pelayanan publik yang prima.

https://ombudsman.go.id/pengumuman/r/19-tahun-ombudsman-menuju-pelayanan-publik-
prima

Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian
membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain:
Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus
Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian
menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret
penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan
tersangka pada saat itu.

https://acch.kpk.go.id/id/component/content/%20article?id=144:%20sejarah-panjang-
pemberantasan-korupsi-di-indonesia

Semangat pemikiran Gus Dur sama persis dengan tokoh-tokoh pembaharu ini, yakni
mengajarkan tentang pentingnya memahami Islam secara kontekstual. Gus Dur sendiri
memakai istilah “Pribumisasi Islam” untuk mengupayakan sebuah pemikiran Islam yang
kontekstual. Gus Dur mengibaratkan Islam itu seperti benih yang bisa dibawa ke mana-mana,
tetapi agar benih itu bisa tumbuh di suatu tempat, maka benih itu harus menyesuaikan dengan
tanah di tempat itu. Salah satu arti penting gagasan pribumisasi Islam ini adalah untuk
melawan dan menandingi gagasan lain, yang saya kira, juga ada di sebagian kalangan Islam,
yang memandang bahwa agama Islam itu sifatnya ahistoris, anti sejarah, atau melampaui
sejarah. Kelompok yang berpandangan seperti ini meyakini bahwa Islam tidak boleh
disesuaikan dengan konteks zaman. Islam harus sama persis mulai dari zaman Nabi sampai
sekarang ini dan tidak boleh diubah-ubah.

Pemikiran ini bisa benar juga bisa salah, benar dalam pengertian bahwa Islam itu memang
satu. Tetapi dalam praktiknya dan bagaimana Islam diterjemahkan secara sosial dan budaya,
praktik-praktik Islam mengalami perbedaan-perbedaan. Kita harus menyadari bahwa dari
dulu Islam sudah berbeda-beda, madzhabnya berbeda-beda, pemahaman teologinya banyak
yang berbeda, dan manifestasi kultural dalam berbagai masyarakat juga berbeda-beda.

https://gusdurian.net/gus-dur-dan-warisan-pribumisasi-islam/
dipersepsikan oleh pengikut dan pendukungnya sebagai wali atau manusia setengah dewa.
Dalam posisi itu, jelas rasa kemanusiaannya tinggi sekali, lebih dari rata-rata anggota
masyarakat pada umumnya. Gus Dur membuka paradigma baru dengan menerobos tembok-
tembok pemikiran lama. Ia membuka ruang dialog di antara (umat) agama. Ia ingin setiap
orang diperlakukan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnik,
agama/ideologinya. Gus Dur menghargai mereka sebagai sesama manusia dan sesama warga
negara.

Ia membubarkan Bakorstranas, lembaga ekstra yudisial penerus Kopkamtib yang memiliki


kewenangan luas untuk menindas. Ia juga menghapuskan litsus (penelitian khusus) yang
selama ini digunakan untuk menakuti pegawai negeri agar tidak bersikap kritis. Gus Dur
membuka cakrawala masyarakat agar lebih toleran terhadap ajaran atau paham politik mana
pun. Ini ditunjukkannya dengan usulan mencabut Tap MPRS No XXV/1966 yang
menyangkut pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) dan pelarangan penyebaran ajaran
Marxisme, Komunisme, dan Leninisme. Tap MPRS itu ternyata selama Orde Baru telah
menjadi sandaran dari berbagai peraturan perundangan yang diskriminatif. Penduduk usia di
atas 60 tahun di DKI memperoleh KTP seumur hidup. Kebijakan itu diambil agar tidak
merepotkan warga lanjut usia. Tetapi bagi mereka yang tersangkut peristiwa G-30-S,
ketentuan itu belum berlaku.

Gus Dur ingin membangun Indonesia baru yang damai tanpa prasangka dan bebas dari
kebencian. Untuk itu, masa lalu yang kejam, kelam, serta tidak toleran harus diputus.
Partisipasi masyarakat mesti dibangun, yang lemah tidak ditinggalkan. Dengan
kesetiakawanan yang luas dan menyeluruh itu kita baru bisa membangun Indonesia yang
kuat. Untuk itu Gus Dur tidak keberatan untuk meminta maaf kepada korban 1965 yang
diserang oleh Banser NU. Meskipun Gus Dur mengatakan bahwa ia juga memiliki kerabat
yang terbunuh dalam peristiwa Madiun 1948. Namun, balas dendam itu tidak ada gunanya
dilanjutkan. Kita tidak akan mampu mewujudkan rekonsiliasi tanpa menghilangkan stigma
atau kecurigaan terhadap suatu kelompok.

Gus Dur juga menghilangkan diskriminasi terhadap etnik Tionghoa dengan Instruksi Presiden
(Inpres) No 6/2000 yang dikeluarkan tanggal 17 Januari 2000 untuk mencabut Inpres 14/1967
tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Pada masa Orde Baru, orang takut
bersembahyang di kelenteng atau melakukan acara budaya Tionghoa lainnya. Namun sejak
masa pemerintahan Gus Dur, tahun baru Imlek dijadikan libur fakultatif.

Saya teringat pada malam kesenian yang diadakan Perhimpunan Inti (Indonesia-Tionghoa)
pada 17 Agustus 2004 di Graha Sarbini, Jakarta. Atraksi kesenian ditampilkan untuk
memeriahkan ulang tahun kemerdekaan. Ketika acara dimulai, muncul Salahuddin Wahid
yang waktu itu menjadi calon presiden (berpasangan dengan Wiranto), disusul Hasyim
Muzadi yang juga merupakan calon presiden (berduet dengan Megawati). Pertunjukan
berlangsung terus. Namun ketika Gus Dur masuk ruangan bersama istrinya, seluruh hadirin
yang mayoritas etnik Tionghoa itu tanpa dikomando langsung berdiri dari tempat duduk
untuk menyampaikan rasa hormat mereka. Sebelumnya, 10 Maret 2004, Abdurrahman Wahid
diberi gelar Bapak Tionghoa di kelenteng Tay Kak Sie Semarang.

Terlepas dari beberapa kekurangannya--karena pada komunitas dewa tidak ada pemerintahan,
maka Gus Dur agak lemah dalam manajemen (pemerintahan)—banyak sekali jasanya bagi
bangsa ini. Peraturan bagi etnik Tionghoa sudah mengalami kemajuan yang pesat. Yang
belum tercapai barangkali adalah gagasannya tentang Indonesia-–negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia--menjadi mediator perdamaian antara Israel dan Palestina. Sebagai
tokoh Islam di tanah Jawa, menurut hemat saya Gus Dur adalah wali kesebelas setelah Syekh
Siti Jenar.

Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI


Media Indonesia, 5 Januari 2010

Sivitas Terkait : Asvi Warman Adam

Pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama (Kemenag) untuk belajar
studi islam di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Di November 1963, dia langsung pergi ke Mesir.
Meski dia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak kampus, bahwa dia harus
mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan Bahasa Arab. Baca juga: Sepak Terjang Wikan
Sakarinto, Orang Nomor 1 Ditjen Pendidikan Vokasi Itu karena, dia tidak mampu memberikan bukti
terkait kemampuan ilmu Bahasa Arab. Lalu, terpaksa dia mengambil kelas remedial tersebut. Saat
menikmati hidup di Mesir di 1964, dia suka menonton film Eropa dan Amerika. Dia juga suka
menonton pertandingan sepak bola. Pada akhir tahun 1964, dia berhasil lulus kelas remedial Bahasa
Arab. Ketika dia memulai belajar Islam dan Bahasa Arab di 1965, dia mulai kecewa. Karena, dia telah
mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode yang digunakan kampus. Di Mesir,
Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat bekerja, peristiwa Gerakan 30 September
terjadi. Saat kejadian itu, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan
investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah
itu diberikan ke Gus Dur yang ditugaskan menulis laporan tersebut. Gus Dur gagal kuliah di Mesir,
dia tidak setuju dengan metode pendidikan yang diajarkan serta pekerjaannya setelah G 30
September sangat mengganggu dirinya. Di tahun 1966, pria yang mempunyai 4 anak ini harus
mengulang belajar. Pendidikan kuliah Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas
Baghdad. Setelah dapat beasiswa itu, Gus Dur baru pindah ke Irak dan menikmati tempat barunya.
Walaupun dia lalai pada awal belajar di Universitas Baghdad, tapi Gus Dur bisa belajar dengan cepat.
Pada saat itu, Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan
menulis majalah asosiasi tersebut. Setelah lulus dari Universitas Baghdad di 1970, Gus Dur pergi lagi
ke benua Eropa, yakni Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Dia ingin belajar di Universitas
Leiden. Menimba ilmu di Belanda, karena Gus Dur kecewa dengan pendidikannya di Universitas
Baghdad kurang diakui. Baca juga: Puluhan Ribu Mahasiswa Perguruan Tinggi Sudah Ikut Kampus
Merdeka Dari belanda, Gus Dur terus menimba ilmu pendidikan ke Jerman dan Prancis, sebelum
kembali ke Indonesia di 1971. Saat sampai di Jakarta, Gus Dur ingin kembali menimba ilmu
pendidikan di Universitas McGill, Kanada. Tapi, saat itu dia menyibukkan diri dengan bergabung ke
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri
dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Meski sibuk menjalankan kariernya, Gus
Dur sempat bekerja di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Setelah berselang 1 tahun,
dia memperoleh kerja tambahan dengan menjadi guru kitab Al-Hikam. Saat tahun 1977, Gus Duer
bergabung ke Universitas Hasyim Asy'ari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam.
Pada saat itu, dia juga diamanatkan untuk mengajar syariat Islam dan misiologi. Karena
kelebihannya, dia sempat tidak disenangi oleh beberapa kalangan di kampus. Baca juga: 15
Perguruan Tinggi Berstatus PTN-BH, Berikut Daftarnya Jadi itulah cerita menarik terkait jejak
pendidikan Gus Dur semasa hidupnya. Harapannya, bisa menjadi contoh bagi para siswa dan
mahasiswa yang saat ini sedang menimba ilmu pendidikan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perjalanan Pendidikan Presiden Gusdur dari
Asia Hingga Eropa", Klik untuk baca:
https://edukasi.kompas.com/read/2021/12/03/172738971/perjalanan-pendidikan-presiden-gusdur-
dari-asia-hingga-eropa?page=all.
Penulis : Dian Ihsan
Editor : Dian Ihsan

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak


saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan
yang tidak lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha
mempertemukan jembatan yang selama ini melintas antara agama dan
budaya. menurut Gus Dur, terdapat dua model pemikiran
tentang negara dalam pandangan Islam. Pertama, adalah pemikiran
idealistik yang dalam kerangka pemikirannya telah secara sadar
dirumuskan sebuah kerangka negara yang sepenuhnya berdasarkan
wawasan Islam. Kedua, jenis pemikiran
realistis yang tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah
negara ideal menurut wawasan Islam. Pikiran ini lebih tertarik pada
pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis negara dapat
ditampung dalam Islam.

Pribumisasi Islam adalah bagaimana Islam sebagai ajaran yang


normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan
yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-
masing. Gus Dur, Arabisme atau proses mengidentifikasikan diri
dengan budaya Timur tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya
sendiri. Lebih dari itu, Arabisme belum cocok dengan kebutuhan.
Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari
kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu
tidak hilang. Inti pribumisasi Islam (Islam pribumi) adalah kebutuhan
bukan untuk menghindari pilarisasi antara agama dengan budaya, sebab
polarisasi yang demikian memang tidak terhindarkan.
Pribumisasi Islam bukan suatu upaya meninggalkan norma demi
budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-
kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang
disediakan oleh variasi pemahaman nas
}s
}, dengan tetap memberikan
peranan kepada us
}ûl al-fiqh dan qawâ‘id al-fiqh.
http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/43/40

orientasi kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
biasanya disebut sebagai persatuan.

Orientasi diplomasi ini muncul sebagai representasi dari situasi politik domestik pada saat itu.
MPR memilih dan mengangkat Gus Dur menjadi presiden ke-4 sebagai hasil dinamika politik
di lembaga tertinggi negara itu.

Melalui diplomasi persatuan itu, kurang lebih 20 bulan pemerintahan Gus Dur telah
mengedepankan upaya-upaya pemulihan ekonomi domestik dengan cara meningkatkan
kepercayaan Internasional.

Selain itu, pemerintahan Gus Dur juga berupaya keras mendapatkan dukungan terhadap
kedaulatan NKRI dari negara-negara lain.

Salah satu bentuk nyata dari upaya mencapai tujuan itu adalah kunjungan atau perjalanan
internasional. Selama memerintah, presiden Gus Dur telah mengunjungi lebih dari 80 negara.

Komitmen pemerintahan Gus Dur terhadap reformasi ekonomi menghasilkan dukungan


kembali dari IMF. Lembaga keuangan internasional itu bersikap negatif terhadap Indonesia.
Lebih jauh, IMF menarik dukungannya terhadap kebijakan reformasi dari pemerintahan
Habibie sebagai akibat dari persoalan ekonom dan politik domestik.

Selain itu, diplomasi persatuan pemerintahan Gus Dur menghasilkan dukungan dan
pengakuan atas integrasi nasional Indonesia dari pemimpin negara-negara, seperti anggota
ASEAN, Jepang, RRC, negara Timur Tengah, dan sebagainya. Dukungan ini memainkan
peran signifikan bagi pemerintah Indonesia berkaitan dengan menguatnya tuntutan
desentralisasi dan, bahkan, desakan separarisme.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Presiden Abdurrahman Wahid dan
Diplomasi Persatuan", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/ludiro/60757d5a8ede48605a405bf4/presiden-abdurrahman-
wahid-dan-diplomasi-persatuan

Anda mungkin juga menyukai