Anda di halaman 1dari 21

BAB I

Pendahuluan

Di dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, agama


merupakan salah satu aspek yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat secara umumnya.Agama bahkan dianggap sebagai
suatu aspek yang paling penting dalam kehidupan seseorang,
dimana semangat ini pun juga memengaruhi kondisi sosial
masyarakat dimana nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat Indonesia cenderung terinspirasi atau malah
mengambil seutuhnya prinsip-prinsip yang ada dalam suatu
agama tertentu.
Fenomena ini merupakan suatu hal yang umum di kalangan
negara-negara berkembang.Namun, tidak seperti banyak
negara-negara lain, Indonesia merupakan suatu negara dimana
masyarakatnya bersifat multikultural.Itu berarti, bahwa
Indonesia terdiri dari berbagai individu yang terdapat dalam
berbagai kelompok sosial yang cenderung memiliki hierarki,
nilai-nilai dan kepentingan yang berbeda.
Dikarenakan adanya perbedaan nilai-nilai dalam
masyarakat Indonesia, tentunya konflik terkait dengan
perbedaan nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang wajar,
atau bisa dibilang sesuatu yang dapat diprediksi akan
terjadi.Belum lagi, masyarakat Indonesia pada umumnya,
terutama yang berada di wilayah pedesaan yang belum begitu
terjamah dengan pemikiran-pemikiran dari luar, cenderung

1
sangat primordialistis.Adanya suatu kecenderungan untuk
memegang teguh nilai-nilai yang diturunkan sejak kecil, baik
melalui keluarga, institusi sosial, maupun agama.Sikap dari
orang-orang yang ‘kekeuh’ terhadap bagaimana nilai-nilai yang
mereka anut harus ditegakkan, menunjukkan kurangnya suatu
kesadaran akan kesatuan, yang juga berujung pada rendahnya
kesadaran akan sikap pluralis, bagaimana kita harus
menghormati nilai-nilai yang dianut oleh kelompok sosial atau
kelompok masyarakat yang lain.
Mengingat bagaimana agama merupakan suatu hal yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka terjadi suatu
pengkultusan terhadap institusi dan tokoh keagamaan, dimana
segala sesuatu terkait dengan agama merupakan sesuatu yang
sakral, dan karenanya segala bentuk kritik dan ketidaksetujuan
yang ditujukan pada metode dan prinsip dari institusi, tokoh,
maupun penganut beragama dianggap sebagai suatu
perlawanan atau tanda permusuhan yang memicu konflik yang
tak jarang berujung pada kekerasan fisik.
Hal inilah, yang sekiranya diasumsikan oleh penulis sebagai
latar belakang munculnya hukum terkait penistaan, terutama
penistaan agama.Hukum ini bisa dibilang merupakan suatu
himbauan akan bagaimana kita seharusnya menjalani
kehidupan sebagai masyarakat yang berbeda-beda .

Rumusan Masalah

2
1. Apa itu hukum penistaan?
2. Bagaimana pelaksanaan hukum penistaan di luar negeri?
3. Bagaimana pelaksanaan UU terkait dengan penistaan
agama?
4. Bagaimana masyarakat menanggapi kasus penistaan
agama, khususnya yang dilakukan oleh Ahok?
5. Apakah Ahok menistakan agama?

Tujuan
1. Menjelaskan apa itu hukum penistaan
2. Menjelaskan bagaimana hukum penistaan di luar negeri
dilaksanakan
3. Menjelaskan pelaksanaan UU terkait dengan penistaan
agama di Indonesia
4. Menjelaskan bagaimana masyarakat menanggapi kasus
penistaan agama, khususnya yang dilakukan oleh Ahok
5. Menguraikan apakah Ahok menistakan agama atau tidak
serta alasannya.

BAB II
Pembahasan

3
Mengutip Wikipedia berbahasa Inggris ( dengan
terjemahan penulis ), hukum penistaan, atau yang disebut
dengan blasphemy law, adalah hukum yang membatasi
kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi terkait
dengan penistaan, atau sikap yang kurang berkenan
terhadap tokoh keagamaan, artifak keagamaan, kebiasaan
keagamaan, ataupun kepercayaan.
Di masa lalu, banyak negara cenderung hanya
melindungi agama mayoritas ( seperti Kristen Protestan di
AS ataupun Islam Sunni di Arab Saudi ) dari penistaan
agama, sedangkan agama minoritas cenderung tidak
mendapatkan perlindungan yang sama.Namun, seiring
berkembangnya zaman, ada suatu kemajuan dimana
semua agama yang ada dalam suatu negara cenderung
mendapatkan perlindungan yang sama.
Tentunya, tidak semua negara menerapkan hukum
penistaan.Amerika Serikat contohnya, yang berasaskan
liberalisme, tidak menerapkan hukum penistaan.Hal ini
tentunya dikarenakan hukum penistaan berarti membatasi
kebebasan berbicara dan berekspresi, yang jelas-jelas tidak
selaras dengan ideologi masyarakat dan negara AS.

Dalam KUHP no 156 bagian a disebutkan : “Dipidana


dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan:

4
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau pendaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia.”
Kasus penistaan agama yang dialami oleh Ir. Basuki
Tjahaja Purnama bukan kasus penistaan agama yang
pertama kali ada di Indonesia, dan mungkin bukan terakhir
kalinya. Pada Agustus 1968, majalah Sastra memuat
sebuah cerpen berjudul "Langit Makin Mendung". Ceritanya
bukan tentang turunnya hujan, tapi tentang turunnya Nabi
Muhammad ke bumi, persisnya turun di Jakarta. Nabi turun
ditemani malaikat Jibril. Mereka hendak menyelidiki, kenapa
jumlah orang Islam yang masuk surga begitu sedikit.
Di bumi, mereka menemukan perzinahan, budaya
minum alkohol, saling bertikai dengan sesama Islam sendiri.
Banyak orang Islam yang bertindak tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Mereka teracuni oleh ideologi sekuler.
Muhammad dan Jibril tak bisa berbuat apa-apa atas apa
yang terjadi. Mereka hanya bisa melihat kelaparan,
kejahatan dan permainan-permainan politik Jakarta dengan
menyaru sebagai burung elang.
Cerita yang ditulis Ki Pandji Kusmin (nama pena dari
penulis yang di kemudian hari diketahui bernama
Sudihartono) itu memicu amarah besar umat Islam
Indonesia. Majalah Sastra, tempat HB Jassin menjadi
penyunting, menjadi sasaran amuk massa. Kemarahan

5
sama sekali tidak mereda walau pun majalah Sastra sudah
melayangkan permintaan maaf.

Dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I, Denys Lombard


menulis: “jika dilihat dari tahun terbitnya, sebenarnya kritik
itu tidak istimewa dan tidak provokatif. Namun cara yang
dipilihnya menimbulkan kemarahan kalangan (Islam)
ortodoks, karena sejak baris pertama muncul Nabi
Muhammad, yang karena bosan dengan surga meminta
kepada Allah agar diizinkan untuk turun ke dunia
mengemban misi.” HB Jassin menjadi orang yang
bertanggung jawab atas cerpen tersebut. Pasalnya, Ki
Pandji Kusmin tidak diketahui orangnya. Itu hanyalah nama
pena. Apalagi Jassin juga menolak membeberkan identitas
Ki Pandji Kusmin yang sebenarnya. Permintaan maaf Jassin
tak cukup. Dia diajukan ke pengadilan. Jassin diberi
hukuman satu tahun penjara dan dua tahun percobaan.

HB Jassin bukan satu-satunya penulis yang dituduh


menistakan agama. Pimpinan Redaksi tabloid hiburan
Monitor, Arswendo Atmowiloto, juga pernah kena masalah
hukum sebagai penista agama (Islam). Tabloid yang
sebagian besar sahamnya dimiliki Kompas-Gramedia ini
oplahnya pernah mencapai 500 ribu eksemplar. Monitor
membuat heboh pada edisi 15 Oktober 1990. Monitor

6
menyiarkan hasil angket pembaca yang memilih tokoh yang
mereka kagumi melalui kartu pos.

Dalam edisi itu, Monitor mengumumkan angket


pembaca di rubrik Kagum. Dalam angket itu, Presiden
Soeharto berada di urutan teratas dengan 5.003 pengagum
yang mengirim kartu pos. Lalu berturut-turut: Menristek BJ
Habibie dengan 2.975 pengagum, Mantan Presiden
Sukarno dengan 2.662 pengagum, Iwan Fals dengan 2.431
pengagum. Dari peringkat 5 sampai 10 diisi oleh: Zainudin
MZ, Try Sutrisno, Saddam Husein, Siti hardiyanti Rukmana
alias Mbak Tutur dan Arswendo selaku pemimpin redaksi
menempati posisi 10 dengan 797 pengagum. Angket ini
menjadi kecaman karena Nabi Muhammad SAW hanya
menempati posisi ke-11 dengan 616 kartu pos pengagum
saja. Nabi Muhammad kalah populer dibandingkan
Zainuddin MZ, Soeharto, Saddam Husein, Soekarno,
bahkan kalah dari Arswendo sendiri.

Kecaman dengan segera bermunculan. Surat kabar Adil


nomor 11 th 59 Oktober II/1990 memampangkan wajah
Arswendo di bawah judul artikel: "Penghinaan terhadap
Islam: Di balik Angket Monitor".Pada edisi Senin 22 Oktober
1990, di halaman delapan, Monitor memajang permintaan
maaf. Bunyinya: “MOHON MAAF//Kami, seluruh karyawan
Monitor, memohon maaf yang sebesar-besarnya karena

7
khilaf memuat ‘Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca
Kita’ dalam terbitan no.255/IV 15 Oktober 1990.”

Meski Ketua Umum Nahdlatul Ulama, Abdurrahman


Wahid, sudah bilang bahwa wibawa Nabi Muhammad tidak
akan berkurang hanya karena kasus Monitor, tetap saja
amarah tak mereda. Seruan Gus Dur bahwa cukuplah
Monitor diboikot dengan tidak membeli juga tidak cukup
meredakan persoalan. Gus Dur memang sendirian. Tokoh-
tokoh yang pada masa itu dianggap moderat pun cenderung
tidak membela Arswendo.
Tokoh Muhammadiyah, Amien Rais, menuding Monitor
telah memberi pukulan serius yang menghina umat Islam.
Bahkan Nurcholis Madjid sekali pun gusar benar. "Saya
merasa disepelekan betul!” kata Cak Nur. Arswendo kala itu
dianggap menyusahkan usahanya untuk mengembangkan
toleransi. Cak Nur bukan saja menyarankan Monitor
dibredel, tapi juga meminta pemerintah untuk tidak
menutup-nutupi jika ada mekanisme di belakang kasus
tersebut.Arswendo pun harus menelan pil pahit. Ia dibawa
ke pengadilan dan diputuskan bersalah. Ia dihukum bui
selama lima tahun.
Pada Januari 2012, Alexander Aan, seorang PNS di
Sumatra Barat, ditangkap setelah diserang oleh sekumpulan
massa muslim yang militant.Massa tersebut beraksi karena
suatu pernyataan yang dibuat Aan di Facebook yang berisi

8
kritikan terhadap agama Islam dan mengatakan bahwa ia
meninggalkan agama Islam dan menjadi seorang
atheis.Polisi menjatuhkan tuntutan pada Aan dengan 3
pasal yang berbeda: menghina agama ( dengan maksimal 5
tahun penjara ), ujaran fitnah melalui sarana elektronik (
maksimal 6 tahun penjara ), dan laporan palsu dalam
bentuk resmi ( 6 tahun penjara ).
Tuntutan penghinaan dan fitnah terkait dengan
kritikannya terhadap agama Islam melalui jejaring sosial
Facebook.Tuntutan akhir padanya mengklaim bahwa surat
lamaran yang dibuatnya dalam meraih pekerjaannya
sebagai PNS menyatakan bahwa ia dulunya seorang
Muslim walau faktanya ia adalah seorang ateis, padahal
‘ateis’ bukanlah suatu status yang diakui dalam lampiran
identitas.
Pada tanggal 14 Juni 2012, pengadilan negeri
menjatuhkan hukuman pada Alexander Aan selama 2 tahun
dan 6 bulan di penjara atas “penyebaran informasi yang
menyatakan ujaran kebencian terhadap agama”.Aan juga
disebutkan mendapat denda sebesar 100 juta rupiah.Ia
telah dibebaskan pada Februari 2014.
Dari beberapa kasus yang telah penulis kutip, bisa
disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia masih kurang
bisa membedakan antara kritik dan penghinaan.Atau
mungkin, bagi banyak orang,justru kritik itu sendiri adalah
suatu penghinaan.Banyak orang yang mengikuti ajaran

9
tertentu bukan karena mereka benar-benar menyimpulkan
dengan pikirannya bahwa ajaran tersebut benar, namun
mengikuti suatu kepercayaan karena suatu alasan-alasan
yang irrasional, seperti mengikuti pasangan, karena
indoktrinasi lingkungan dan orang tua, karena merasa telah
menerima mukjizat, dan sebagainya.Inilah yang disebut
dengan “irrational theist”.
Di satu sisi, tentunya, kepercayaan terhadap hal-hal
yang sifatnya tidak ilmiah, terutama terkait dengan agama
mempunyai suatu unsur irasionalitas di dalamnya, dan ini
merupakan suatu yang sah-sah saja sekalipun menjadi
faktor pendorong yang utama.Hanya saja, masalah timbul
jika menerima kepercayaan itu dilakukan bersamaan
dengan menanggalkan akal budi untuk berpikir secara kritis.
Bagaimana dengan kasus Ahok? Kronologinya adalah
sebagai berikut.Pada Kamis, 6 Oktober 2016, video Ahok
yang menyebut surat Al Maidah ayat 51 itu viral di media
sosial lewat jejaring facebook milik Buni Yani. Video ini
lantas memicu kemarahan sebagian besar umat Islam.
Pada 7 Oktober 2016, Ahok dilaporkan oleh Habib Novel
Chaidir Hasan yang berprofesi sebagai alim ulama,
sebagaimana Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016
Bareskrim. Ahok dilaporkan karena diduga melakukan
tindak pidana penghinaan agama.
Setelah menjadi sorotan, pada Senin, 10 Oktober 2016,
Ahok meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Ahok

10
menyatakan tidak bermaksud menyinggung umat Islam.
Nyatanya pernyataan Ahok terkait dugaan penistaan agama
masih memantik reaksi, demonstrasi pun pecah di depan
balai kota DKI Jakarta pada Jumat, 14 Oktober 2016.
Ahok pun mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada
Senin, 24 Oktober 2016 untuk memberi klarifikasi terkait
pernyataannya di Kepulauan Seribu. Namun, kekecewaan
publik atas dugaan penistaan agama tersebut nyatanya tak
terbendung lagi. Jumat, 4 November 2016, massa dari
berbagai daerah memadati sejumlah titik di jantung ibukota
termasuk di kawasan ring 1 Istana Negara.
Atas nama kebebasan demokrasi, massa turun ke jalan
menuntut proses hukum Ahok atas dugaan penistaan
agama segera dituntaskan. Pintu Istana akhirnya terbuka,
Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka dialog dengan
perwakilan demonstran. Kata sepakat pun tercapai.
Pemerintah menjanjikan proses hukum Ahok akan dilakukan
dengan cepat dan transparan.
Ahok, terlapor dugaan penistaan agama pun memenuhi
panggilan penyidik Bareskrim Mabes Polri, Senin, 7
November 2016. Proses penyelidikan terkait dugaan
penistaan agama tersebut ditangani langsung oleh
Kepolisian Republik Indonesia. Beberapa saksi ahli
dihadirkan untuk memeriksa apakah dugaan penistaan,
benar dilakukan oleh sang terlapor. Proses hukum berjalan
sesuai dengan konstruksinya.

11
Pada akhirnya, Ahok pun dijatuhkan hukuman 2 tahun
penjara.Hal ini telah diprediksi oleh Supriyadi Widodo
Eddyono selaku Direktur Komite Eksekutif for Criminal
Justice Reform ( ICJR ). “Saya pikir susah untuk Ahok
mengelak dengan pasal yang sedemikian karet seperti ini.
Susah orang bisa melepaskan diri. 156a saja akan susah
melepaskan diri, apalagi juncto UU ITE. Dari rumusan
pasalnya ada membuka ruang banyak penafsiran. Pasal ini
sekali kena tidak akan bisa lepas,” tegas Supriyadi saat
berbincang dengan tirto.id, Rabu (16/11/2016).
Prediksi Supriyadi ditopang sekian banyak kasus-kasus
penistaan agama yang pernah terjadi. Berdasarkan hasil
risetnya, hanya ada lima orang dalam kasus penistaan
agama secara bersama-sama yang pernahlolos. Itu pun
terjadi cukup lama.
Tentunya tidak cukup jika kita membicarakan kasus
Ahok dari segi penanganan secara hukum saja, mengingat
kasus penistaan tidaklah sama dengan, katakanlah suatu
kasus pembunuhan, walaupun sama-sama merupakan
hukum pidana.Hukum penistaan agama memiliki suatu
subjektifitas dimana penilaian akan benar atau tidaknya
suatu tindakan dinilai dari persepsi publik yang tatkala
dipengaruhi oleh berbagai opini dan informasi, baik yang
akurat maupun sekedar kebohongan ( hoax ).
Seperti yang bisa kita simpulkan dari contoh-contoh
kasus di atas, masyarakat cenderung sangat sensitif terkait

12
dengan agama, sehingga banyak orang yang merasa
bahwa perkataan Ahok merupakan suatu
penghinaan.Namun, ini bukan berarti bahwa semua orang
Islam menganggap bahwa Ahok melakukan penistaan
agama.Warga Kepulauan Seribu yang mendengarkan
langsung ceramah Ahok, dimana merekalah saksi utama
perkataannya, justru malah tidak merasa tersinggung.
Di satu sisi, kelompok-kelompok Islam radikal seperti
Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin oleh Habib
Muhammad Rizieq Syihab, menggerakkan massa untuk
melakukan demonstrasi sebagai reaksi dari ‘penistaan
agama’ yang dilakukan oleh Ahok.Diadakan provokasi
terhadap masyarakat muslim, khususnya golongan
menengah ke bawah, dimana selalu ditekankan bagaimana
Ahok telah menistakan agama, dan bagaimana orang-orang
yang tidak setuju akan pernyataan tersebut adalah orang-
orang yang munafik.Terjadi suatu alienasi ( pengasingan )
terhadap kaum Islam moderat dengan pelabelan “munafik”
dan “kafir”, sampai-sampai dikatakan bahwa orang-orang
yang mendukung Ahok tidak boleh disholatkan, sambil
mengutip ayat Al-Quran.Di sini kita melihat adanya suatu
praktek indoktrinasi yang dilakukan oleh kelompok
radikal.Dan yang mengenaskan adalah, bahwa gerakan-
gerakan tersebut diadakan di dalam institusi agama itu
sendiri, di masjid.

13
Namun, di balik kostum sektarian yang dipakai oleh
Habib Rizieq, penulis menyimpulkan bahwa seluruh diorama
pengadilan ini adalah suatu pergerakan yang berbasis
politik, yang memanfaatkan ‘celah’ yang ada dalam
masyarakat kita : Penyamaan Kritik dan
Penghinaan.Kesimpulan semacam ini tentunya penulis
ambil bukan tanpa alasan.Karena pada awalnya, gerakan
demonstrasi Habib Rizieq telah dimulai terhadap Ahok
sebelum kasus penistaan agama, justru dengan
menyampaikan ujaran kebencian berupa diskriminasi dan
ancaman pembunuhan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hukum penistaan, khusunya penistaan terhadap
agama masih merupakan suatu isu yang kontroversial,
dimana setiap negara mempunyai kebijakan
tersendiri.Namun, penulis menyimpulkan bahwa faktor
terbesar akan keberadaan hukum penistaan terhadap
agama itu sendiri adalah bagaimana masyarakat
memandang pentingnya kebebasan berpendapat dan
berekspresi, dan bagaimana masyarakat dapat berpikiran
terbuka jika dihadapkan pada kritik mengenai aspek
kebudayaan dan keagamaan yang telah mendarah daging,

14
terutama masyarakat Indonesia yang sangat kental dengan
tradisi.
Keberadaan hukum penistaan terhadap agama
merupakan suatu pengingat.Pengingat akan bagaimana kita
masih harus belajar banyak, sebagai suatu masyarakat,
akan bagaimana kita harus menghormati dan menghargai
satu sama lain, akan bagaimana seberapa militan atau
seberapa cinta kita pada suatu nilai-nilai kebudayaan atau
agama, tak sepantasnya jika kita memaksakan nilai-nilai
tersebut pada orang lain, apalagi merendahkan orang lain
yang berseberangan dengan nilai-nilai yang kita anut.

Kritik
Berdasarkan hasil dari riset yang dilakukan oleh penulis
terkait dengan penistaan agama, penulis menyimpulkan
bahwa penjatuhan vonis terhadap Ir. Basuki Tjahaja
Purnama mempunyai dasar yang lemah, karena didasarkan
pada sentiment dari ‘saksi’ tersier, jikalau orang-orang yang
bersaksi di pengadilan dianggap sebagai saksi.Tidak pantas
juga menjatuhkan hukuman dengan menganggap
seseorang sebagai penista agama jikalau masih ada
perdebatan tekait hal tersebut.
Hal lain yang penulis perhatikan dalam suasana kasus
penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok adalah,
kurangnya kesadaran masyarakat secara umum dalam
membela HAM.Hal ini disimpulkan penulis mengingat

15
banyak kasus-kasus ketidakadilan yang telah terjadi
sebelumnya ( termasuk yang ada di luar ranah penistaan
agama ) yang tidak mendapat banyak perhatian dan
pembelaan dari masyarakat.Di satu sisi ini juga disebabkan
oleh kurangnya insiatif dari media untuk gencar
memberitakan kasus ketidakadilan ini.

Saran
Penulis tentunya berharap akan adanya perubahan positif
dalam kehidupan bermasyarakat di NKRI, terutama berbicara
dalam konteks politik dan sosial.Pemerintah dapat
menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk mengenalkan
cultural diversity kepada para peserta didik secara dini dalam
segala kesempatan.Tentunya dengan kurikulum pendidikan
yang direformasi serta adanya pengaturan komposisi
penerimaan murid dan kelas agar siswa-siswi benar-benar
dihadapakan pada situasi masyarakat multikultural, agar
mereka dapat benar-benar menghargai satu sama lain, bukan
hanya sekedar ‘teori’ saja.
Di satu sisi, penulis juga yakin bahwa jika pemerintah
berhasil mengatasi ketimpangan ekonomi yang terjadi, isu-isu
konflik antar kelompok sosial juga akan mereda.Hal ini
dikarenakan bagaimana banyak dari anggota masyarakat kita

16
yang mudah diprovokasi dikarenakan keterpurukan dalam
bidang ekonomi, dan adanya perasaan diskriminasi
kelas.Penulis sangat yakin bahwa semakin kita bergerak
menuju globalisasi, banyak dari kita yang akan makin berpikiran
terbuka, dan pada akhirnya kita dapat menjadi lebih baik dalam
hidup sebagai masyarakat multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

https://en.wikipedia.org/wiki/Blasphemy_law
http://end-blasphemy-laws.org/countries/asia-central-
southern-and-south-eastern/indonesia/
https://tirto.id/mereka-dipenjara-karena-didakwa-menista-
agama-b46G
https://tirto.id/asal-usul-delik-penistaan-agama-b49e
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39853373
https://tirto.id/upaya-menghapus-pasal-penistaan-agama-
b5HE
http://pasalkuhp.blogspot.com/2016/12/kuhp-pasal-156-
pasal-157-pasal-158.html

17
LAMPIRAN

Ahok saat berbicara di Kepulauan Seribu, yang menjadi awal


kasus penistaan agama.

18
Demonstrasi yang diorganisir oleh kelompok radikal Islam yang
bertajuk “Bela Agama”

19
Ahok saat diadili atas kasus penistaan agama.

Ahok saat dijatuhi hukuman vonis penjara selama 2 tahun.

20
Aksi menyalakan lilin yang dilakukan warga Jakarta untuk
menunjukkan dukungan terhadap Ahok.

21

Anda mungkin juga menyukai