Oleh
Berlian Agata, Ivan Efendi, Dina Maryam,
Samuel Maghu Kaha, Yunita Ina Bura
Universitas Wisnuwardhana Malang
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beragam kebudayaan
dengan berbagai macam agama, budaya, suku, etnis, ras dan bahasa yang beragam.
Masyarakat Indonesia memiliki perbedaan- perbedaan yang ada dalam masyarakat di
Indonesia, tersebar di seluruh pulau yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia.
Peristiwa yang terjadi setelah proses reformasi tahun 1998 negara Indonesia tidak
henti-hentinya mengalami berbagai macam konflik khususnya antar umat beragama
yang berujung pada kerusuhan, pertikaian dan bahkan perang antar golongan, hal
tersebut sangat tidak dibenarkan mengingat Indonesia adalah negara yang di bangun
dengan landasan dasar dan ideologi pancasila dan bhinneka tunggal ika (berbeda-
beda akan tetapi tetap satu).1
Konflik di Indonesia yang sering muncul dikalangan masyarakat beragama di
picu oleh kurangnya rasa toleransi antar umat beragama yang berada di Indonesia
yang memiliki enam agama resmi atau diakui oleh pemerintah yakni Islam, Kristen,
Khatolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Konflik antar umat beragama biasa
disebabkan oleh sikap intoleran serta minimnya pemahaman kaitannya dengan
ideologi bangsa yaitu Pancasila.. Untuk menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia kedepannya ada salah satu solusi, yaitu dengan cara
menekankan kembali dan memahamkan kembali akan dasar-dasar negara Republik
Indonesia khususnya Pancasila yang mana sebagai landasan teoritis dalam
menyatukan keberagaman yang ada di negara ini. Penekanan ini akan di awali dengan
penguataan pemahaman akan Pancasila.2
Hak kebebasan beragama dijamin dalam Pasal 29 ayat 2 Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan “ Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”. Dengan adanya acuan
dasar mengenai peraturan negara sebagai sebuah landasan hukum bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia seharusnya masyarakat Indonesia faham akan makna
saling menghargai dan memahami satu sama lain bukan malah tercerai-berai diantara
umat beragama. Pancasila adalah sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, yaitu sebagai dasar negara yang bersifat umum kolektif serta realisasi
pengamalan Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit. Akan tetapi hakikat
pancasila sendiri adalah suatu nilai, adapun aktualisasi dan pengamalannya adalah
meupakan realisasi kongkrit Pancasila. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa
berguna untuk menjamin keutuhan Republik Indonesia karena persoalan intoleransi
beragama sudah menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara untuk
menanggulanginya.3 Berdasarkan konflik antar umat beragama yang terjadi di
1
. Taufiq Ramadhan Amry, Andri Pratama Pencawa , Dhea Amanda Nasution, Ilfa
Zaimi Sipahutar , Marianche Ferbina Br. Tarigan Naila Ghinaya Damanik, Sola Gracia Manik,
(2023), Pancasila Sebagai Landasan Penanggulangan Intoleransi Antar Umat Beragama.
Jurnal pendidikan tambusai, (7) 3, hal 21819
2
. ibid
3
. ibid
Indonesia, maka pada artikel ini, peneliti ingin membahas mengenai Percepatan
Penanganan Intoleransi beragama dan antar umat beragama
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa bentuk intoleransi beragama, apapula bentuk intoleransi antar umat beragama
2. Bagaimana percepatan penanganan intoleransi beragama dan antar beragama ?
C. METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian normatif deskriptif dengan lebih menekankan pada kekuatan
analisis data pada sumber-sumber data yang ada. Informasi diperoleh dari jurnal-
jurnal penelitian. Teknik yang digunakan yaitu melacak berbagai jurnal yang relevan
dengan penelitian ini. Untuk analisa data digunakan metode analisis isi yaitu menarik
kesimpulan yang sahih dari sebuah dokumen
D. PEMBAHASAN
1. BENTUK INTOLERANSI
A. Diskriminasi beragama dan antar umat beragama
Diskriminasi merupakan perilaku yang diarahkan pada seseorang yang
didasarkan semata-mata pada keanggotaan kelompok yang dimilikinya. Diskriminasi
ini berawal dari adanya prasangka yang timbul dari perasaan-perasaan negatif yang
lambat laun membawa seseorang pada tindakan-tindakan membedakan terhadap
orang-orang yang termasuk golongan lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan-
tindakan diskriminatif ini diartikan menjadi sebuah tindakan yang bercorak
menghambat, merugikan perkembangan bahkan mengancam kehidupan pribadi orang
lain.4
Diskriminasi meliputi perilaku rasis, suku, agama dan budaya serta gender.
Misalnya: seseorang atau kelompok menilai kelompok lain yang berbeda dari dirinya
sebagai kelompok yang “menyimpang” dan melabelinya sebagai “kafir”. Sebagai
bangsa yang terdiri dari banyak agama, suku, ras dan adat istiadat, ragam kelompok
keyakinan di Indonesia dengan sendirinya juga berkembang. Ada minoritas etnis,
minoritas ras, dan minoritas agama. Di dalam kelompok agama sendiri ada minoritas
aliran atau madzhab, minoritas penganut kepercayaan, dan lain-lain. Dari sekian
banyak kelompok minoritas tersebut, keberadaan minoritas agama adalah yang paling
problematik terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan
keyakinannya masing-masing.5
Akhir-akhir ini, keberadaan kelompok-kelompok minoritas ini sering
mendapat perlakuan yang kurang diharapkan. Meskipun secara konstitusional negara
memberi jaminan terhadap keberadaan kelompok minoritas, namun faktanya banyak
kelompok yang tidak dapat leluasa mengamalkan dan mengembangkan agama dan
keyakinan mereka. Hingga saat ini, sejumlah pelanggaran terhadap aktivitas beragama
dan berkeyakinan masih menghisai wajah buruk hubungan antar mayoritas dan
minoritas. Ironisnya, munculnya perlakuan diskriminatif ini justru dilakukan oleh
negara melalui penerbitan serangkaian peraturan yang kemudian dijadikan justifikasi
oleh kelompok mayoritas untuk memusuhi dan meminggirkan kelompok minoritas.
4
. Triana Rosalina Noor, (2020), Menepis prasangka dan diskriminasi dalam perilaku
beragama untuk masa depan multikulturalisme di indonesia, Jurnal Kajian Agama, Sosial dan
Budaya, (5) 2, 210-222
5
. Muhammad Hanif Ihsani, (2022), Diskriminasi dalam Kehidupan Beragama di
Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, (2) 3, hal 95-104
6
. ibid
Perlakuan seperti ini terjadi dalam beberapa bentuk seperti: klaim penyesatan terhadap
aliran keagamaan dan kepercayaan, penutupan tempat ibadah, larangan
mengembangkan dan mendakwahkan keyakinan, hingga pembatasan hak-hak politik
dan akses ekonomi.6
Dasar hukum yang kerap dijadikan alasan pembenar bagi sebuah kelompok
dalam menghakimi kelompok lainnya adalah keputusan negara melalui Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) tertanggal 9 Juni 2008 yaitu terdapat enam butir isi SKB
ini: (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk
tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai
UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama; (2) Memberi peringatan
dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang
tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan
adanya Nabi setelah Nabi Muhammad saw.; (3) Memberi peringatan dan
memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan
peringatan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundangan; (4) Memberi
peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara
kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum
terhadap penganut JAI; (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga
yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai
perundangan yang berlaku; dan (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar
melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. Meskipun SKB ini hanya meyatakan
pelarangan organisasi JAI, dan tidak menyuruh melakukan tindakan anarkitis, tetapi
massa yang marah tidak lagi mempedulikan hal tersebut.7
Beberapa kasus konflik sosial yang pernah terjadi salah satunya pada tahun
2018, yakni adanya perselisihan antara kaum muslim dan non muslim di Papua.
Perselisihan tersebut dipicu oleh ketidaksepakatan pihak gereja atas pembangungan
masjid yang dilakukan oleh umat muslim yang dinilai terlalu tinggi sehingga terlihat
mendominasi daripada bangunan lainnya. Pada tahun 2019, seorang warga beragama
Katolik juga tidak diperkenankan tinggal di sebuah desa di Bantul Yogyakarta. Hal ini
disebabkan oleh karena yang bersangkutan tidak memeluk agama mayoritas
sebagaimana warga lainnya. Kondisi ini diperparah oleh tindakan tersebut didasarkan
pada peraturan desa yang berlaku, yakni tidak mengizinkan warga yang bermukim
selain agama mayoritas Islam.8 Dan peristiwa yang tak kalah kontroversial juga
terjadi di penghujung tahun 2020 ini, yakni sebagian kaum muslimin dikagetkan
dengan berita ditangkapnya Habib Rizieq oleh karena ditetapkan sebagai tersangka
terjadinya kerumunan di Petamburan, Jakarta. Sebagian pihak mengasumsikan adanya
diskriminasi penegakkan hukum yang saat ini masih bersifat tajam ke masyarakat
bawah dan tumpul ke petinggi pemerintahan.8
Kebijakan Negara tersebut bukan hanya menimpa kelompok yang dianggap
menyimpang saja, produk kebijakan yang dikeluarkan negara juga dapat berimbas
7
. Muhammad Hanif Ihsani, (2022), Diskriminasi dalam Kehidupan Beragama di
Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, (2) 3, hal 95-104
8
. Triana Rosalina Noor, (2020), Menepis prasangka dan diskriminasi dalam perilaku
beragama untuk masa depan multikulturalisme di indonesia, Jurnal Kajian Agama,
Sosial dan Budaya, (5) 2, 210-222
pada pemberangusan keberadaan kelompok penghayat kepercayaan dan sejumlah
agama lokal. Seperti diketahui jumlah kelompok seperti ini di Indonesia sangat
banyak semisal Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten), Agama Djawa Sunda (kuningan,
Jawa Barat), Buhun (Jawa Barat), Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim
(Sumatera Utara), Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa Sulawesi
Utara), Tolotang (Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok), Marapu (Sumba) Budi
Luhur, Purwoduksino, Naurus (Pulau Seram, Maluku), Pahkampetan, Bolim, Basora,
Samawi dan masih banyak lagi. Dari
kronologis tersebut, sepertinya Negara semakin sistematis dalam
mengeluarkan kebijakan yang berisi perlindungan terhadap keberadaan agama resmi,
agama yang diakui Negara. Pada tahun 1978, MPR menetapkan TAP MPR NO.
IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, di mana secara eksplisit
disebutkan bahwa “aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan
merupakan agama”. Berdasar pada TAP MPR ini Menteri Agama mengeluarkan
Intruksi no. 4 dan 14 tahun 1978 yang bersisi kebijakan inti mengenai aliran
kepercayaan, maka kelompok-kelompok agama asli nusantara ini kemudian diminta
untuk masuk kedalam salah satu agama resmi yang diakui negara yaitu Islam, Kristen
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha atau Konghucu.9
Data yang dilansir media masa menyebutkan bahwa di tahun 2009 dari 35 kali
kekerasan terhadap kebebasan beragama, 28 kali terkait dengan kelompok Kristen.
Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mulai dari alasan izin pendirian tempat ibadah
yang dinilai belum lengkap, ketiadaan persetujuan warga sekitar atas keberadaan
tempat tersebut, hingga alasan lain seperti menganggu ketertiban umum. Namun
dibalik alasan-alasan yang dimunculkan, sebagian kalangan menyatakan bahwa
agresifitas penyebaran agama atau misi misionaris yang terlanjur melekat dalam
agama Kristen rupanya menyebabkan banyak umat Islam merasa khawatir terhadap
perluasan agama tersebut di negeri ini. Ada kegelisahan di kalangan umat Islam akan
kehilangan jamaah akibat aktifitas kristenisasi. 10
Penyebab terjadinya diskriminasi beragama adalah perbedaan Doktrin. Semua
pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing
menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari
benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran
agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas
agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif)
nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu
dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.11
9
. Muhammad Hanif Ihsani, (2022), Diskriminasi dalam Kehidupan Beragama di
Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, (2) 3, hal 95-104
10
. Ibid
11
. Ibid
diyakininya. Secara negatif, aneka semangat semacam ini kadang kala berbenturan
keras dengan aliran lain, yang kerap kali memunculkan rasa fanatisme, apologisme,
bahkan terorisme yang paling keras sekalipun.12
Pihak-pihak yang telah terpapar radikalisme agama berupaya merusak ideologi
Pancasila dengan berbagai langkah demi menghancurkan persatuan dan kesatuan
suatu bangsa melalui berbagai bentuk kekerasan diantaranya yang pertama adalah
ujaran kebencian (Hate Speech) terhadap agama-agama tertentu.
Ujaran kebencian menjadi salah satu pendekatan yang sering kali digunakan kaum
radikal untuk menumbuhkan permusuhan antar berbagai kelompok agama di
Indonesia. Wujud perilaku radikalisme yang selama ini sering muncul dipermukan di
antaranya adalah ungkapan kebencian terhadap agama-agama tertentu dengan
melakukan pelecehan dalam berbagai bentuk seperti; mengolok-ngolok simbol
keagamaan tertentu, pernyataan yang mengkafir-kafirkan penganut agama lainnya,
bahkan adanya tindakan penghinaan/merendahkan nabi atau Tuhan dalam suatu
agama yang berbeda dengannya.13
Bentuk radikalisme yang kedua adalah provokator. Provokator sebagai suatu
sikap yang dengan sengaja melakukan ajakan yang menghasut serta memanas-manasi
orang/pihak lain agar bersedia bertindak jahat terhadap individu atau kelompok
tertentu. Kaum radikalis sering kali memprovokasi para pengikutnya dengan
mengatasnamakan agama supaya para pengikutnya semakin termotivasi untuk
membenci bahkan melakukan kekerasan terhadap pihak yang menganut agama lain
dengannya. Berbagai wujud provokasi biasanya dilaksanakan dengan banyak cara, di
antaranya melalui ceramah di rumah ibadah, membuat tulisan-tulisan, penyebaran
informasi/berita di media massa/media daring. Semua aktifitas tersebut dilakukan
dengan tujuan supaya penganut agama tertentu merasa benci kepada penganut agama
lainnya sehingga akan memunculkan rasa ketidaksukaan, kebencian serta berbagai
tindakan kekerasan kepada orang lain yang beragama lain/berbeda.14
Bentuk radikalime yang ketiga adalah kekerasan fisik. Pribadi yang telah
terpapar radikalisme agama biasanya tidak mampu mengontrol dirinya secara baik
dan benar sehingga melakukan berbagai bentuk kekerasan kepada sesamanya yang
beragama lain, termasuk kekerasan secara fisik. Hal tersebut sangat berbahaya
dikarenakan dapat membuat orang (pemeluk agama lain) yang tak’ bersalah terluka
bahkan dapat menyebabkan kehilangan nyawa/kematian. Secara umum, kekerasan
fisik cukup sering digunakan oleh kaum radikalis karena beranggapan bahwa cara
seperti itu cukup efektif untuk meneror dan mengintimidasi umat yang beragama lain.
Sehingga jikalau umat beragama lain tersebut ingin untuk hidup tenang dan damai
maka haruslah “bertobat” untuk bersedia mengikuti apa yang diyakini oleh kaum
radikalis. Biasanya kekerasan fisik yang diperbuat kaum radikalis tidak hanya sebatas
melukai sesama manusia yang berbeda agama dengannya, namun juga melalui
pengrusakan sarana/tempat beribadah umat agama lainnya, seperti; melempari umat
agama lain yang sedang menjalani aktifitas/rutinitas peribadatannya, maupun
menutup/membakar tempat ibadat agama lain. Dapat terlihat bahwa berbagai bentuk
7
. Muhammad Hanif Ihsani, (2022), Diskriminasi dalam Kehidupan Beragama di
Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, (2) 3, hal 95-104
8
. Triana Rosalina Noor, (2020), Menepis prasangka dan diskriminasi dalam perilaku
beragama untuk masa depan multikulturalisme di indonesia, Jurnal Kajian Agama,
Sosial dan Budaya, (5) 2, 210-222
kekerasan yang ditimbulkan oleh oknum individu ataupun kelompok radikal sangatlah
tidak berkesesuaian dengan ideologi Pancasila yang terbentuk dari prinsip/nilai-nilai
penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menghargai kemanusiaan, menjaga
persatuan, demokrasi dan berkeadilan sosial.15
Daftar Pustaka
Silvana Oktanisa, Fransisca Ully Marshinta, Ibnu Maja, Yulianto Wasiran. (2021),
PEMAHAMAN IDEOLOGI PANCASILA PADA ASPEK AGAMA DALAM
MENCEGAH INTOLERANSI, RADIKALISME DAN TERORISME. 1-9
Taufiq Ramadhan Amry, Andri Pratama Pencawan , Dhea Amanda Nasution , Ilfa Zaimi
Sipahutar, Marianche Ferbina Br. Tarigan , Naila Ghinaya Damanik , Sola Gracia
Manik. (2023), Pancasila Sebagai Landasan Penanggulangan Intoleransi Antar Umat
Beragama. Jurnal Pendidikan Tambusai, (7) 3, hal 21819
7
. Muhammad Hanif Ihsani, (2022), Diskriminasi dalam Kehidupan Beragama di
Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, (2) 3, hal 95-104
8
. Triana Rosalina Noor, (2020), Menepis prasangka dan diskriminasi dalam perilaku
beragama untuk masa depan multikulturalisme di indonesia, Jurnal Kajian Agama,
Sosial dan Budaya, (5) 2, 210-222
Triana Rosalina Noor, (2020), Menepis prasangka dan diskriminasi dalam perilaku beragama
untuk masa depan multikulturalisme di indonesia, Jurnal Kajian Agama, Sosial dan
Budaya, (5) 2, 210-222
Yakobus Adi Saingo, (2022), Penguatan Ideologi Pancasila Sebagai Penangkal Radikalisme
Agama, Jurnal Filsafat Indonesia, (5) 2, hal 147-161
9
. Muhammad Hanif Ihsani, (2022), Diskriminasi dalam Kehidupan Beragama di
Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, (2) 3, hal 95-104
10
. Ibid
11
. Ibid