Anda di halaman 1dari 11

Menilik Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia

Muhammad Alif Raihan

Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Agama
Islam Negeri Kediri, Jalan Sunan Ampel No. 7, Ngronggo, Kec. Kota Kediri, Kota Kediri, Jawa
Timur 64127.

e-mail: alifibnyoyok176@gmail.com

Abstrak
Indonesia merupakan negara yang memiliki beraneka ragam golongan. Meski demikian,
Indonesia tetap bertahan dengan adanya prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini
sejatinya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa agar kita saling mengenal dan agar kita
menjaganya. Cara menjaga keberagaman adalah dengan toleransi. Artikel ini khusus membahas
mengenai keberagaman dan toleransi dalam beragama. Berbagai contoh tentang hancurnya
bangsa bangsa terdahulu akibat kurang maksimal dalam mewujudkan toleransi dalam
keberagaman harus menjadi pelajaran bagi Indonesia khususnya. Di samping itu, berbagai
contoh toleransi yang baik juga banyak dijumpai untuk dicontoh. Toleransi dalam keberagaman
juga telah diperintahkan oleh ajaran Islam. Namun demikian, berbagai serangan untuk
memudarkan dan menyelewengkan arti toleransi pun dilancarkan. Muncul istilah pluralisme
yang janggal dan toleransi palsu, juga radikalisme dan intoleransi. Semua itu jelas akan merusak
toleransi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya mengenal lebih dalam sehingga
pengertian didapat dan akhirnya kedamaian terwujud.
Kata kunci: Kebebasan, Agama, Toleransi.

A. Pendahuluan

Lambang negara Indonesia adalah Garuda yang menggenggam pita bertuliskan Bhinneka
Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini mengisyaratkan bahwa bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai unsur. Unsur-unsur tersebut seperti suku, bahasa, budaya, agama,
dan lain sebagainya.

Indonesia adalah negara yang majemuk. Ini adalah salah satu yang mengagumkan. Sebuah
negara dapat menghimpun berbagai bangsa yang bahkan jumlahnya sangat banyak. Dikabarkan
bahwa Indonesia menaungi 1.340 suku bangsa dan dapat hidup berdampingan. Di sinilah
toleransi berfungsi karena pada umumnya keberagaman adalah pemberian dari Allah SWT untuk
saling mengenal.

Kita banyak menjumpai berbagai konflik yang berkedok perbedaan. Contohnya adalah
konflik antar etnis di daerah-daerah bekas Yugoslavia. Juga konflik Perang Salib yang
melibatkan kaum muslimin melawan umat kristiani, dan jelas merupakan konflik antar agama
atau ideologi. Ada lagi, menurut Karl Heinrich Marx, konflik antarkelas, yakni antara kaum
borjuis melawan kaum proletar ditunjukkan dengan Revolusi Prancis dan Revolusi Bolshevik di
Rusia.

Berbagai konflik di atas dapat diatasi dengan toleransi. Namun konflik antarkelas (yang
dikemukakan Karl Marx) antara si kaya dengan si miskin tidak demikian sebab konflik ini terjadi
karena problem ketidakadilan, bukan sebuah kodrat atau keniscayaan sehingga Islam
memerintahkan manusia untuk menuntaskan problem ini.

Toleransi ibarat perekat perbedaan. Dia dapat membuat berbagai golongan berdampingan
dengan damai.

Maka dari itu, penting bagi bangsa yang majemuk untuk memiliki toleransi yang kokoh dan
murni. Sebab bila bangsa tersebut lemah toleransinya atau palsu, maka kehancuran dan
keruntuhan bangsanya tidak akan lama lagi. Contoh nyata dari sebab kekurangan toleransi di
bangsa majemuk ini sudah jelas: keruntuhan Daulah Utsmaniyah dan bubarnya Yugoslavia.
Bangsa Indonesia yang juga majemuk sudah sepantasnya mengambil pelajaran dari sejarah
mereka.

Meski konflik antar golongan sepintas tampak seperti masalah internal, ada kemungkinan
konflik ini adalah masalah yang disulut oleh pihak luar, dengan kata lain, bersumber dari
eksternal. Pihak musuh sangat mungkin mengeksploitasi perbedaan dalam tubuh target. Oleh
sebab itu, bangsa Indonesia juga harus waspada dan mengantisipasi hal tersebut, juga jeli atas
masalah yang datang.

Artikel ini akan membahas khusus mengenai toleransi dalam beragama di Indonesia. Akan
dibahas juga berbagai fenomena sosial dan masalah di tubuh masyarakat kita dalam beragama
seperti intoleransi, fanatik, dan toleransi semu.
Penulis berharap semoga artikel ini bermanfaat bagi kita yang membacanya dan dapat
meningkatkan tingkat toleransi dalam pluralitas agama di tanah air kita.

B. Pembahasan

B. 1. Pengertian Toleransi

Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin, 'tolerare' yang artinya sabar dan
menahan diri. Sedangkan secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai,
menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia
yang bertentangan dengan diri sendiri.

Toleransi menurut Tillman adalah sebuah sikap untuk saling menghargai, melalui
pengertian dengan tujuan untuk kedamaian. Toleransi disebut-sebut sebagai faktor esensi dalam
terciptanya sebuah perdamaian.

Adapun menurut Friedrich Heiler, pengertian toleransi adalah sikap seseorang yang
mengakui adanya pluralitas agama dan menghargai setiap pemeluk agama tersebut. Ia
menyatakan, setiap pemeluk agama mempunyai hak untuk menerima perlakuan yang sama dari
semua orang.

Dengan kata lain, toleransi adalah sikap manusia untuk saling menghormati dan menghargai
perbedaan, baik antar individu maupun kelompok. Untuk menghadirkan perdamaian dalam
keberagaman, sebuah masyarakat perlu menerapkan sikap toleransi.

B.2. Agama yang Diakui di Indonesia

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)


Kementerian Negeri, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272,23 juta jiwa pada Juni 2021.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88%) beragama Islam. Artinya mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim. Sebanyak 20,4 juta jiwa (7,49%) penduduk Indonesia yang
memeluk agama Kristen. Kemudian, terdapat, 8,42 juta jiwa (3,09%) penduduk Indonesa yang
beragama Katolik.
Penduduk Indonesia yang beragama Hindu sebanyak 4,67 juta atau 1,71%. Penduduk
Indonesia yang beragama Buddha sebanyak 2,04 juta jiwa atau 0,75%. Selanjutnya, sebanyak
73,02 ribu jiwa (0,03%) penduduk Indonesia yang beragama Konghucu. Ada pula 102,51 ribu
jiwa (0,04%) penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan. Provinsi dengan penduduk
muslim terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat, yakni sebanyak 46,3 juta jiwa atau 97,29% dari
total populasi. Kemudian, Jawa Timur dengan penduduk yang beragama Islam 39,85 juta jiwa
atau 97,21% dari total populasi. Berikutnya, Jawa Tengah dengan penduduk muslim mencapai
36,21 juta jiwa atau 97,26% dari total populasi. Terdapat 30 provinsi yang mayoritas
penduduknya beragama Islam atau lebih dari 50% penduduknya adalah muslim. Hanya di 4
provinsi, Islam menjadi agama minoritas atau di bawah 50%. Berdasarkan data
Worldpopulationreview, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar pada
2021, yakni sebanyak 231 juta jiwa. Di urutan kedua, Pakistan dengan penduduk muslim
sebanyak 212,3 juta jiwa dan di posisi ketiga ditempati India dengan penduduk muslim mencapai
200 juta jiwa.

Dari data di atas, tidak mengherankan bila kebanyakan konflik agama yang terjadi di
Indonesia adalah antara umat Islam dengan umat kristiani. Tidak hanya karena data di atas,
faktor sejarah juga mempengaruhi. Pasalnya, konflik antara Islam dengan Kristen sudah terjadi
sejak dahulu dan terjadi secara brutal dan sengit. Namun para pendiri bangsa telah berijtihad,
mengupayakan agar keberagaman agama di Indonesia bisa rukun dan berdampingan. Disusunlah
Pancasila sebagai ideologi negara.

Dengan dibentuknya Pancasila ini, diharapkan Bhinneka Tunggal Ika terwujud dengan baik.
Hal ini juga didukung oleh watak masyarakat Indonesia pada umumnya yang cinta damai.
Sayangnya, musuh-musuh negara ini terus berupaya untuk mengeksploitasi keberagaman ini
menjadi konflik yang menguntungkan pihak mereka.

Uniknya, konflik berkedok agama ini bukan banyak terjadi antar agama, tetapi justru terjadi
di dalam agama khususnya agama Islam. Sebab Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas.
Bila mayoritas kacau, musuh-musuh negara mudah untuk melaksanakan agenda mereka.
B.3. Kebebasan Beragama di Indonesia

Konstitusi Indonesia, yakni UUD '45 jelas menegaskan akan jaminan kebebasan beragama,
dalam Pasal 28E ayat (1). Ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.” Peran negara untuk itu juga dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”.

Dari undang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menjamin kebebasan


beragama. Di sisi lain, undang-undang tersebut juga menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang agamis, bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sehingga orang-orang
yang gemar menistakan dan melecehkan agama, atau yang tidak menghargai agama lain baik itu
pemeluk ataupun ajarannya, adalah pihak yang bertentangan dengan negara.

Undang-undang tersebut juga mengisyaratkan bahwa penduduk Indonesia itu penduduk


yang beragama, bukan atheis atau tidak percaya keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa Sang
Pencipta Alam Semesta. Masyarakat diarahkan untuk menganut satu dari enam agama-agama
yang diakui secara konstitusional dan menghargai atau bertoleransi terhadap yang lainnya.

Intinya, Indonesia tidak memaksakan satu agama pada masyarakat. Agama adalah urusan
pribadi dengan Tuhan. Negara bahkan seorang nabi pun tidak berwenang untuk memaksakan
agama.

B.4. Pluralitas Agama dan Pluralisme Agama

Pluralitas agama adalah paham bahwa keberagaman agama adalah kenyataan atau fakta
yang ada di kehidupan. Hal ini dalam agama Islam ditegaskan oleh Allah SWT melalui Al-
Qur'an surat Al-Maidah ayat 48:

‫ َوٓا َءهُمۡ َع َّما‬R‫ع أَ ۡه‬Rۡ Rِ‫ َز َل ٱهَّلل ۖ ُ َواَل تَتَّب‬R‫ٓا أَن‬RR‫ٱح ُكم بَ ۡينَهُم بِ َم‬R
ۡ Rَ‫ ۖ ِه ف‬R‫ا َعلَ ۡي‬RRً‫ب َو ُمهَ ۡي ِمن‬ ِ َ‫صد ِّٗقا لِّ َما بَ ۡينَ يَد َۡي ِه ِمنَ ۡٱل ِك ٰت‬
َ ‫ق ُم‬ َ َ‫ك ۡٱل ِك ٰت‬
ِّ ‫ب بِ ۡٱل َح‬ َ ‫َوأَن َز ۡلنَٓا إِلَ ۡي‬
ۡ ‫وا ۡٱل‬
ِ ۚ ‫ ٰ َر‬R‫خَي‬
‫ت إِلَى‬ ْ ُ‫تَبِق‬R‫ٱس‬ۡ َ‫ٓا َءاتَ ٰى ُكمۡۖ ف‬RR‫اج ۚا َولَ ۡو َشٓا َء ٱهَّلل ُ لَ َج َعلَ ُكمۡ أُ َّم ٗة ٰ َو ِحد َٗة َو ٰلَ ِكن لِّيَ ۡبلُ َو ُكمۡ فِي َم‬ٗ َ‫ق لِ ُك ٖ ّل َج َع ۡلنَا ِمن ُكمۡ ِش ۡرع َٗة َو ِم ۡنه‬ ِّ ۚ ‫ك ِمنَ ۡٱل َح‬ َ ‫َجٓا َء‬
َ‫ٱهَّلل ِ َم ۡر ِج ُع ُكمۡ َج ِميعٗ ا فَيُنَبِّئُ ُكم بِ َما ُكنتُمۡ فِي ِه ت َۡختَلِفُون‬
Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`ān) kepadamu (Muhammad) dengan membawa
kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya,maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau
mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk setiap umat di antara kamu,*Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,

Adapun mengenai pluralisme agama, ada beberapa pengertian yang diajukan. Namun secara
garis besar, penulis menangkap ada dua pengertian pluralisme agama.

Pertama, pluralisme agama adalah paham atas adanya keberagaman agama untuk dapat hidup
secara toleran di tengah-tengah masyarakat majemuk. Atau dengan kata lain, paham atas
pluralitas.

Kedua, pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama
dan, karena itu, tiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim agamanya saja yang benar
sedangkan agama lainnya salah. Artinya, penganut pluralisme yang satu ini meyakini bahwa
agama dia dan agama lain sama.

Pengertian kedua inilah pengertian pluralisme yang kacau. Alasannya adalah anggapan
seluruh agama di dunia itu sama justru menyalahi ajaran dalan agama tersebut. Bahkan bila
diperhatikan secara saksama, pengertian itu justru bertolak belakang dengan istilahnya.
Pluralisme dari kata plural (majemuk) sedangkan pengertiannya menyatukan seluruh agama
karena pada hakikatnya mereka sama saja. Pluralitas justru hilang.

Oleh karena itu, Islam menolak pluralisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah
mengeluarkan fatwa terkait ini, sebagaimana termuat dalam surat nomor 7/MUNAS
VII/MUI/11/2005. Di sana, MUI menilai pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama
bertentangan dengan Islam.
B.5. Fenomena Toleransi yang Salah Kaprah

Toleransi adalah hal yang indah dan baik. Toleransi juga diajarkan oleh Rasulullah Saw dan
dipraktikkan oleh beliau. Para sahabat beliau juga meneladani Rasulullah Saw dalam
bertoleransi, begitu pula generasi-generasi setelahnya. Kita bisa melihat toleransi mereka dari
kisah Piagam Madinah dan kondisi masyarakat Madinah, pembebasan Yerusalem atau Al-Quds
dengan tetap berdirinya masjid, gereja, dan sinagog dengan kokohnya, juga berbagai candi di
Indonesia masih dapat kita kunjungi di negara mayoritas non Hindu atau Buddha.

Namun, ada pula pemikiran-pemikiran intoleran atau berlawanan dengan toleransi dan telah
mempengaruhi berbagai kalangan, mulai dari zaman dahulu hingga masa kini. Kita bisa
menyaksikan bagaimana pemikiran ini mempengaruhi manusia sehingga terjadinya serangkaian
Perang Salib hingga berjumlah setidaknya delapan kali, pengusiran Bani Israil dari Yerusalem
oleh Nebukadnezar II, genosida atas Yahudi Eropa oleh Hitler, Muslim Bosnia oleh Radovan
Karadžić, atau Kristen Armenia oleh Talat Paşa, teror oleh ISIS di Timur Tengah, penjajahan
atas Palestina oleh Zionis, kasus Bom Bali, tragedi G30S PKI, dan sebagainya.

Di lain pihak, ada juga pemikiran keliru dan janggal yang mengatasnamakan toleransi.
Dalam toleransi beragama, misalnya, orang-orang yang terpengaruh dengan toleransi yang palsu
ini menyerukan keikutsertaan dalam acara acara ibadah agama lain yang memang khusus dan
inti. Ini justru merupakan penyelewengan dan pembangkangan atas ajaran agamanya.

Seperti misalnya mengadakan Maulid Nabi Muhammad Saw dan salawat di gereja. Mereka
yang melakukannya menganggap inilah toleransi. Padahal, kemungkinan besar umat kristiani
akan tersinggung karena sejatinya ajaran Kristen menolak nabi Muhammad dan ajaran beliau
dianggap bertentangan dengan ajaran Yesus Kristus. Jika diperhatikan secara saksama, ini justru
merupakan pelecehan.

Habib Husein Ja'far pernah berkata bahwa pendeta tidak akan rela bila jemaatnya ikut shalat
dalam rangka toleransi. Pun umat Hindu akan sangat tersinggung ketika mereka dipaksa ikut
merayakan dan melaksanakan idul Adha beserta ibadah kurban dengan menyembelih sapi. Bagi
mereka, sapi adalah makhluk suci yang harus dijaga.
Bila kita menilik ke belakang, Sunan Kudus penuh toleransi. Beliau memerintahkan kaum
muslimin Kudus untuk mengganti sapi dengan kerbau saat berkurban. Yang beliau lakukan
bukanlah menyerukan masyarakat Hindu Jawa untuk bertoleransi dengan ikut menyembelih sapi.
Jika seandainya paham bertoleransi yang keliru ini diterapkan di masa itu, tentu dakwah Sunan
Kudus akan habis sampai ke akarnya.

Ketika toleransi diartikan seperti di atas, maka kebebasan beragama justru malah
mengekang dan membebani para pemeluk agama. Mereka malah jadi tersinggung dan serba
salah. Ketika menuruti toleransi mereka melanggar agamanya, dan ketika mereka memegang erat
agamanya, mereka dituduh intoleran. Pengertian toleransi yang tepat sangatlah penting,
mengingat akibat yang dapat ditimbulkan oleh toleransi palsu ini sangat mengerikan.

Toleransi sejati itu datang dari hati, bukan perbuatan. Toleransi, menurut Buya Yahya,
adalah sikap tidak memaksa. Itu sudah cukup. Adapun selebihnya, maka itulah diluar toleransi.
Karena sejatinya, menghargai dan menghormati, yang merupakan unsur toleransi, adalah amal
atau pekerjaan hati, namun terlihat dengan perbuatan lahiriah yakni tidak memaksa.

B.6. Konflik Internal Agama

Berbicara mengenai kebebasan beragama di Indonesia, kesalahpahaman antar sesama


muslim berdampak pada berkurangnya kebebasan itu. Penulis hendak memaparkan beberapa
kesalahpahaman khusus pada Islam.

Perlu diingat bahwa kaum muslimin Indonesia pada umumnya bernaung pada ormas-ormas
Islam. Yang paling terlihat dan dikenal adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Menurut Mufatis Maqdum Biahmada, M.Pd., salah seorang dosen di IAIN Kediri, rasa
gengsi atau tensi antara NU dan Muhammadiyah masih ada. Hal ini terlihat pada rasa enggan
dari masyarakat NU untuk salat di masjid Muhammadiyah, atau sebaliknya, dengan alasan
khawatir akan membahayakan akidah. Padahal sudah jelas bahwa itu hanyalah ormas, bukan
agama. Agamanya tetap sama, yakni Islam. Bahkan pendiri dari kedua ormas tersebut berguru
pada tokoh yang sama.

Pada kasus di atas, bisa dikatakan bahwa fanatik pada golongan atau ormasnya masih sangat
kuat dan melekat pada masyarakat Indonesia. Beliau berpendapat bahwa yang semacam itu
sepatutnya dihindari. Bagaimanapun juga, kedua belah pihak sejatinya adalah sesama pemeluk
agama Islam, bukan berbeda agama. Rasa saling menghargai pendapat perlu diperkuat.

Namun, ada pula golongan yang keras dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam Islam.
Salah satunya adalah yang biasa disebut sebagai aliran Wahabi (meskipun mereka menolak
julukan itu). Mereka terlalu mudah menyalahkan golongan lain. Dengan sikap ekslusif dan
toleransi yang kurang ini, mereka malah dijauhi masyarakat. Sebab masyarakat merasa dikekang
oleh paksaan dan tekanan dari mereka yang menginginkan keseragaman pendapat.

Sumber problematika di atas adalah kesalahpahaman. Ketika masyarakat lebih mengenal


kelompok lain secara lebih intensif dan mendalam, sikap saling menghargai dan memahami akan
tercipta dan sikap fanatisme buta akan lenyap oleh toleransi. Begitu pula golongan yang disebut
dengan Wahabi ini. Ketika mereka mengenal lebih jauh dan dalam mengenai kondisi dan situasi
sosial di masyarakat Indonesia, mereka pun bisa menjadi pribadi-pribadi yang toleransi atau
lebih moderat. Dengan begitu, kerukunan dan kedamaian, yang merupakan buah dari toleransi
sejati, akan diraih dan terwujud.

Di samping itu, ada pula golongan-golongan di luar Islam yang mengaku sebagai bagian
dari Islam dan berusaha menarik simpati dari masyarakat dengan tujuan misionaris atau dakwah.
Contohnya adalah aliran Ahamdiyah dan Syi'ah Rafidhah. Secara akidah atau pondasi pun,
mereka sudah berbeda dan berlawanan dengan akidah Islam Ahlussunah Wal Jama'ah
(Pemegang sunnah Rasulullah Saw dan jama'ah kaum muslimin). Namun fenomena yang terjadi
justru segelintir masyarakat Indonesia menerima mereka sebagai saudara, padahal sejatinya
bukan.

Khususnya Syi'ah, mereka memiliki ajaran taqiyah atau menyamar sehingga sukar untuk
terdeteksi. Yang membuat mereka berbahaya bagi kaum muslimin adalah, ajaran mereka yang
menyatakan bahwa pembunuh muslim bakri (maksud mereka Ahlussunah Wal Jama'ah) akan
diganjar surga. Oleh karena inilah kebebasan beragama akan terancam bilamana mereka berhasil
menjamur di tanah air dan menggunakan label Islam.
C. Penutup

C.1. Kesimpulan

Indonesia merupakan negara yang memiliki beraneka ragam golongan. Meski demikian,
Indonesia tetap bertahan dengan adanya prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini
sejatinya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa agar kita saling mengenal dan agar kita
menjaganya. Cara menjaga keberagaman adalah dengan toleransi.

Artikel ini khusus membahas mengenai keberagaman dan toleransi dalam beragama.
Berbagai contoh tentang hancurnya bangsa bangsa terdahulu akibat kurang maksimal dalam
mewujudkan toleransi dalam keberagaman harus menjadi pelajaran bagi Indonesia khususnya.

Di samping itu, berbagai contoh toleransi yang baik juga banyak dijumpai untuk dicontoh.
Toleransi dalam keberagaman juga telah diperintahkan oleh ajaran Islam.

Namun demikian, berbagai serangan untuk memudarkan dan menyelewengkan arti toleransi
pun dilancarkan. Muncul istilah pluralisme yang janggal dan toleransi palsu, juga radikalisme
dan intoleransi. Semua itu jelas akan merusak toleransi.

Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya mengenal lebih dalam sehingga
pengertian didapat dan akhirnya kedamaian terwujud.

C.2. Saran

Penulis berharap artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang budiman. Kemudian,
keberagaman di Indonesia tetap menjadi kebanggaan dan ciri khas bangsa ini, dan diperkokoh
oleh toleransi sejati. Penulis juga berharap agar masyarakat Indonesia khususnya, dan dunia pada
umumnya dapat lebih memahami tentang realita keberagaman dalam kehidupan manusia dan
dapat lebih memahami tentang arti toleransi yang sejati, terhindar dari pengertian pluralisme dan
toleransi yang palsu.

Selanjutnya, penulis berharap para pembaca menyampaikan kritik, koreksi, atau tanggapan
lain mengenai artikel ini melalui e-mail yang tertera di awal.
D. Daftar Pustaka

Budy, Viva. 2021. Persentase Pemeluk Agama/Kepercayaan di Indonesia (Juni 2021),


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/30/sebanyak-8688-penduduk-indonesia-
beragama-islam, diakses pada 19 Desember 2021.

Ilmi, Dahnial. 2013. Fenomena Toleransi Salah Kaprah dan Bagaimana Pendahulu
Mencontohkan Sikap Toleransi yang Baik dan Benar,
https://www.kompasiana.com/dahnial/fenomena-toleransi-salah-kaprah-dan-bagaimana-
pendahulu-mencontohkan-sikap-toleransi-yang-baik-dan-benar_552a2b856ea834a029552d93,
diakses pada 19 Desember 2021.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2015. Perlindungan terhadap Kebebasan


Beragama, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11505, diakses pada 19
Desember 2021.

Nashrullah, Nashih. 2020. Jangan Samakan Pluralisme dan Pluralitas Agama, Ini Bedanya,
https://republika.co.id/berita/qiidbh320/jangan-samakan-pluralisme-dan-pluralitas-agama-ini-
bedanya, diakses pada 19 Desember 2021.

Tri Nugroho, Faozan. 2020. Pengertian Toleransi Secara Umum dan Menurut Ahli,
Ketahui Jenis-jenisnya, https://m.bola.com/ragam/read/4409596/pengertian-toleransi-secara-
umum-dan-menurut-ahli-ketahui-jenis-jenisnya, diakses pada 19 Desember 2021.

Anda mungkin juga menyukai