Anda di halaman 1dari 4

Polemik Keagamaan dibalik Keberagaman

Pendahuluan
Berbicara mengenai keragaman, sudah tidak diragukan lagi Indonesia akan muncul sebagai
salah satu juaranya. Indonesia adalah negara yang kaya, seperti yang kita tahu corak ragam budaya
Indonesia begitu beraneka membentang dari Sabang hingga Merauke. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik menyebutkan apabila Indonesia memiliki 1.331 suku dimana
kategori tersebut merupakan kode untuk nama suku, nama lain/alias suatu suku, nama sub suku, dan
termasuk di dalamnya nama sub dari subsuku. Adapun bedasarkan data dari Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memetakan Indonesia memiliki
652 bahasa yang berbeda. Terlebih lagi apabila kita melihat lebih jauh Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar dengan kekayaan alam yang tersebar dari daratan, hingga lautan. Semakin
lengkap rasanya dengan berbagai etnis, ras, agama dan corak budaya tiap daerah yang memperkaya
gradasi kehidupan bermasyarakat di bumi Indonesia.
Dengan berbagai perbedaan yang ada, sebagai anggota masyarakat kita dituntut untuk dapat
menekan ego, saling hidup berdampingan mambantu satu sama lain. Manusia sudah dicitrakan
sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup di luar jejaring tatanan bermasyarakat. Oleh karena
hal itu, kita dituntut untuk dapat saling menerima dan menghormati atas berbagai perbedaan yang
ada sebagai bentuk keragaman Indonesia. Hal ini secara jelas telah menjadi perhatian penting bagi
para pendiri bangsa, sehingga tercetuslah “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyan bangsa
Indonesia yang menunjukkan apabila dengan kesadaran penuh para pendiri bangsa telah menyadari
banyaknya keanekaragaman yang negeri kita miliki dan perbedaan itu seyogyanya tidak akan
menjadi masalah untuk tetap berada dalam lingkup negara Indonesia yang utuh.
Saat ini, 74 tahun sudah Indonesia berdiri sebagai negara merdeka. Usia yang semakin
banyak tidak lantas menjadikan masalah yang dihadapi semakin berkurang. Dalam salah satu
pidatonya, Soekarno pernah berkata “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,
perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Petikan pidato tersebut rasanya
dapat kita akui kebenarannya melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, dimana permasalahan
bangsa Indonesia semakin kompleks. Hal tersebut dimulai dari permasalahan mendasar seperti
moral masyarakat, moral tokoh masyarakat bahkan hingga moral elite politik. Perlahan namun
pasti, nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa sudah mulai memudar dalam nafas
hidup bermasyarakat.
ISI
Dilansir dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
menyatakan apabila dalam kurun tahun 2019 terdapat 70 peristiwa pembatasan terhadap kebebasan
beragama, berkeyakinan, dan beribadah dengan mayoritas pelanggaran adalah pelanggaran dan
persekusi. Sebagai contoh salah satu kasus yang terjadi di Yogyakarta pada akhir tahun 2019
mengenai salah satu komunitas persembahyangan umat Hindu yang dilarang oleh warga setempat
karena dianggap tidak memiliki izin. Belum lagi ramai diberitakan dalam berbagai portal berita
akan adanya konflik sosial dalam bentuk penggerebekkan bahkan hingga penolakan pemakaman
jenazah hanya karena korban memiliki kepercayaan yang berbeda dengan mayoritas masyarakat
setempat (Ridwan, 2019). Hal ini sungguh sangat disayangkan meningat negara kita merupakan
negara Pancasila dengan nilai-nilai “Persatuan Indonesia” sebagai salah satu dasar negara yang
sudah seharusnya dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu bentuk
keberagaman yang saat ini rentan terjadi gesekan sosial dalam bermasyarakat adalah perihal
keagamaan,
Menurut Hafsin (2010), kebebasan dalam beragama (religious liberty) terdiri atas empat
aspek utama yang meliputi kebebasan nurani, kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan,
kebebasan dalam melakukan perkumpulan keagamaan serta kebebasan untuk melembagakan ajaran
keagamaan. Berdasarkan keempat aspek tersebut, aspek kebebasan nurani merupakan hak yang
absolut. Apabila dilihat dari aspek tersebut, maka dapat dikatakan apabila saat ini, telah terjadi
pembatasan dalam kebebasan beragama dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Bentuk
penggerebekan rumah ibadah, penolakan penguburan jenazah dengan alasan perbedaan agama,
sudah mengindikasikan minimnya nilai toleransi dalam masyarakat.
Dewasa ini, sangat disayangkan karena banyak masyarakat yang terlihat bingung akan
kepercayaannya sendiri. Berteriak-teriak atas nama agama ketikaa sebenarnya yang dia bawa adalah
ego pribadi. Disisi lain, banyak juga yang pada akhirnya mencampuradukkan dan membenarkan
semua agama hanya supaya dianggap toleran, bahkan menganggap agama adalah warisan, padahal
agama sejatinya merupakan pilihan sebagai bentuk berkah dari Tuhan sang pencipta semesta, sesuai
dengan kepercayaan masing-masing. Seharusnya, dalam hidup bermasyarakat kita dapat beriman
dengan kepercayaan yang kita yakini dan bertoleransi tanpa menyalahkan agama lain. Bertoleransi
karena membiarkan orang lain menganut agama apapun yang mereka yakini, dengan tetap sibuk
belajar tentang agama sendiri sebelum membanding-bandingkan dan mencari kesalahan orang lain
bahkan membatasi sesuatu yang seharusnya menjadi haknya dalam menjalankan kegiatan ibadah
yang diyakininya.
Dengan kondisi ini, masyarakat perlu suatu pembelajaran untuk kembali merefleksikan
nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang kian hari dirasa semakin
memudar. Pada akhirnya, hal ini menjadi tugas besar bagi masyarakat dalam merajut kembali
persatuan kebersamaan demi pembangunan bangsa yang lebih baik. Kita harus belajar lebih
bagaimana untuk dapat bertoleransi akan berbagai perbedaan yang ada. Dalam Bahasa Indonesia,
diartikan apabila toleran yaitu bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian dimana dalam hal ini diartikan sebagai pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakuan dan sebagainya yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Sebagai contoh lain, konflik sosial yang pernah terjadi di Ketapang yang melibatkan dua
golongan masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda juga seharusnya tidak akan terjadi
apabila mereka masih melibatkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Saling
menghargai dan menghormati perbedaan pendapat orang lain, seharusnya menyadarkan kita apabila
keragaman bukanlah sebuah penghalang untuk mewujudkan suatu hubungan persaudaraan yang
harmonis. Masyarakat yang berpendidikan dapat memahami apabila Muhammad mengajarkan
syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Budha menuntun kita manusia dalam menempuh jalan
yang benar, Yesus mengajarkan cinta kasih kepada umatnya dan Krisna mengajarkan manusia
untuk menegakkan kebenaran dan melawan yang bathil. Atas dasar tersebut, seharusnya masyarakat
sudah dapat mengetahui apabila semua agama pada dasarnya mengajarkan kepada kebaikan.
Sangat disayangkan karena akhir-akhir ini, dengan menguatnya kecenderungan
konservatisme serta radikalisme pandangan maupun praktik keagamaan, toleransi menjadi suatu hal
yang tabu. Semestinya toleransi tidak hanya sebatas membuktikan dengan rangkaian kata melainkan
juga dibuktikan dengan tindakan yang dilakukan secara nyata. Tidak adanya sikap toleransi antar
umat beragama nantinya akan mengancam kerukunan yang selama ini dilestarikan oleh nenek
moyang sebagai pendahulu kita. Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepatutnya kita mensyukuri
atas berbagai bentuk keragaman sebagaimana yang disampaikan di atas sebagai bentuk karunia
Tuhan yang sudah sepatutnya kita jaga.
Penutup
Sebagai generasi muda yang nantinya akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan, sudah
seharusnya kita melestarikan apa yang menjadi kekayaan negeri kita tercinta, meneruskan
perjuangan yang sudah dilakukan pendahulu kita dan meluruskan hal-hal yang dirasa sudah mulai
keliru. Indonesia sebagai negara plural dengan keanekaragaman yang begitu melimpah dari sisi
kebudayaan, agama, etnis dan ras tidak dapat dipungkiri akan mudah untuk menyulut gesekan
dalam hidup bermasyarakat. Disini peran kita sebagai warga negara sudah seharusnya menjunjung
tinggi nilai toleransi antar sesama, menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika dan memegang teguh
“Persatuan Iindonesia” sebagai salah satu dasar negara dalam kehidupan bermasyarakat.
Keragaman bukan alasan menimbulkan suatu perpecahan. Sebaliknya, dengan keragaman yang
dimiliki justru mempeindah persatuan yang akan kita ciptakan di bumi Indonesia untuk mencapai
suatu negara yang kaya, damai dan tentram.
Sumber Pustaka:
Badan Pusat Statistik. Mengulik Data Suku di Indonesia. https://www.bps.go.id/news/mengulik-
data-suku-di-indonesia.html. Diakses pada 31 Mei 2020 pukul 12.45 WIB
Hafsin, Abu. 2010. Demokrasi di Indonesia: Antara Pembatasan dan Kebebasan Beragama. Jurnal
Analisa Vol.XVII No.01.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Badan Bahasa Petakan 652 Bahasa Daerah di
Indonesia. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/07/badan-bahasa-petakan-652-
bahasa-daerah-di-indonesia. Diakses pada 31 Mei 2020 pukul 13.00 WIB
Ridwan, Akbar. 2019. 70 Peristiwa Pembatasan Keagamaan Terjadi pada 2019.
https://www.alinea.id/nasional/70-peristiwa-pembatasan-keagamaan-terjadi-pada-2019-
b1Xr19pKE. Diakses pada 31 Mei 2020 pukul 13.30 WIB

Anda mungkin juga menyukai