N.I.M. : A.131.22.0055
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen : Sayoto Makarim, S.H., M.Pd.
1
Bonar Tigor Naipospos, “Memimpin Promosi Toleransi: Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan Dan Minoritas Keagamaan Di Indonesia,” Setara Institute (Jakarta,
2018), setara-institute.org/memimpin-promosi-toleransi/.
2
https://interaktif.tempo.co/proyek/rumah-ibadah-belenggu-mayoritas/index.html, diakses 1
November 2022, pukul 22.00.
Helldy Agustian (Walikota Cilegon) dan Sanuji Pentamarta (Wakil Wali Kota
Cilegon) ikut menandatangi petisi penolakan pembangunan gereja. Berdasar
sejumlah data yang telah disampaikan, persoalan mengenai Hak Asasi Manusia,
khususnya kebebasan dan keamanan dalam memeluk agama masih menjadi
problem bangsa Indonesia.
Dapat dilihat bahwa Pancasila adalah hasil perdebatan sengit antara para pendiri
kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin muslim mengkritik gagasan Pancasila
Sukarno yang dipandang terlalu inklusif dan memprioritaskan pluralitas agama di
atas Al-Quran bagi penduduk mayoritas Muslim di Indonesia. Mereka
3
Moh. Hatta, Menuju Negara Hukum, Jakarta: Yayasan Idayu 1975, hal. 8
4
Ibid, hal. 9
menginginkan agar peranan Islam lebih eksplisit dan secara politis memberi peran
utama pada Islam. Soekarno memberi alasan bahwa toleransi agama merupakan
kunci untuk persatuan Indonesia, sedangkan diskriminasi agama hanya akan
memecah-belah bangsa. Dalam sebuah pidato di Universitas Indonesia pada 1953,
dia berkata: Kalau kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang
penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei,
dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian
wilayah Indonesia, tidak ingin menjadi bagian Republik.5
5
Sukarno, “A speech at the University of Indonesia” di Jakarta, 7 Mei 1953, dalam Herbert Feith
dan Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965. Jakarta: Equinox, 2007 hal.
168-69.
Bila mencermati Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia ada pernyataan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan orang memeluk
agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Tetapi hal ini berbanding terbalik dari data temuan di
lapangan berikut:6
Ini adalah sebagian kecil data pelaku pelanggaran kebebasan beragama. Para
pelaku bukan merupakan institusi negara. Ketika berhadapan dengan para pelaku
pelanggaran HAM, khususnya mengenai kebebasan beragama, para aparat
keamanan menjadi harapan untuk mendatangkan rasa aman dari para kaum
minoritas. Tetapi, nyatanya ada 16 institusi negara (yang seharusnya melindungi
dan menjamin kebebasan beragama) terlibat sebagai pelaku pelanggaran
6
The Wahid Institute. Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012. Jakarta:
Wahid Institute, 2012, hlm. xv.
kebebasan beragama dengan total 166 tindakan. Berikut adalah data pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh 16 institusi negara:7
Dengan melihat data berikut, terpampang jelas suatu hal miris dalam kehidupan
bangsa negara terkait HAM. Yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah
Polisi, di mana mereka adalah profesi yang berperan untuk melindungi dan
menjamin masyarakat dalam hal keamanan. Polisi sebagai penegak hukum di
lapangan terlibat paling sering dalam berbagai pelanggaran kebebasan beragama.
Padahal polisi telah memiliki satu landasan hukum sebagai pegangan dalam
menangani pelanggaran HAM dan perlindunga minoritas yakni Perkap No. 8
tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.8
Namun yang terjadi di lapangan, negara dengan segala macam tatanan sosial-
politik yang ada di dalamnya semakin melanggar HAM.
(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-
sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan / desa.
(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan
perundangundangan.
(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah
kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan
komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau
kabupaten/ kota atau provinsi.
Lebih lanjutnya, materi pada pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa pendirian
rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat
batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang
disahkan oleh lurah / kepala desa.
c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
9
Ahmad Syafi’i Mufid, “Kebebasan beragama dan Kesejahteraan bangsa: Kerukunan dan
Kedamaian adalah Keniscayaan”. Dalam Ayu Mellisa & Husni Mubarok (Ed.), Agama,
Keterbukaan, dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan. Jakarta: Paramadina, 2015, hlm 74.
10
https://adoc.pub/peraturan-bersama-menteri-agama-dan-menteri-dalam-negeri-
nom8ce0722fc41f2204b153aa5b54d6611a57599.html, diakses 1 November 2022, pukul 22.00.
d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
11
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
12
Ibid.
13
Ibid.
diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
Merujuk pada UU No.12 Tahun 2011 pasal 8 ayat (1), “keputusan” tidak lagi
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan -baik di dalam hirarki
maupun dalam jenis peraturan perundang-undangan lainnya-. Hal ini dipertegas
dalam ketentuan penutup pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan
bahwa: semua keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga negara apabila sifatnya
mengatur yang telah ada sebelum UU ini harus dibaca sebagai peraturan.
Pada materi hukum pasal 13 di atas, ada hal yang tidak jelas dan menimbulkan
kerancuan. Lebih parahnya lagi, hal ini dapat menjadi argumen yang sangat
subyektif untuk melarang pendirian rumah ibadah bila masyarakat menilai
komposisi dalam suatu masyarakat tersebut tidak memenuhi syarat. Terkait
“ukuran dalam batasan keperluan nyata yang didasarkan pada komposisi
penduduk” tidak dinyatakan secara tegas pada pasal 13. Sedangkan, hal ini
penting untuk mendapat kepastian hukum mengenai dasar pendirian rumah ibadah
untuk menghindari potensi perselisihan mengenai pendirian rumah ibadah. Selain
ketidakjelasan padap pasal 13 yang berpotensi menimbulkan perselisihan dalam
hal pendirian rumah ibadah, persayaratan khusus pendirian rumah ibadah pada
pasal 14 ayat (2) juga turut menekan penyelenggaran HAM bagi kaum (super)
minoritas. Materi hukum pada pasal 14 jelas bersifat administratif. Namun secara
esensi, jika mendasarkan pada pasal 13, pendirian rumah ibadah tidak hanya
seputar administratif melainkan lebih ke arah pertimbangan sosiologis dan
psikologis.
Sebagai contoh nyata, ketika dukungan masyarakat sekitar belum terpenuhi, maka
pemerintah daerah yang seharusnya memfasilitasi suatu penganut agama
menggunakan rumah ibadah sementara. Namun persoalan di lapangan adalah
sikap pemerintah daerah yang acapkali berusaha membangkang terhadap
ketentuan yang tertuang dalam peraturan bersama ini. Peran pemerintah daerah
yang bersifat mengayomi masyarakat tidak dijalankan. Pembangkangan lain
adalah, kepala daerah enggan menerbitkan IMB rumah ibadah padahal bangunan
ibadat tersebut sudah ada sebelum adanya Peraturan Menteri Bersama.
Berhadapan dengan problem yang demikian pemerintah dalam hirarki yang lebih
tinggi tidak berani mengambil langkah tegas dan memberi sanksi untuk pemimpin
daerah yang membangkang. Implikasinya, situasi yang demikian terjadi dari tahun
ke tahun tanpa ada kepastian hukum.
SOLUSI PRAKTIS
Peraturan Bersama Menteri yang mengatur kebebasan dan hak asasi beribadah
harus di revisi dan bahkan bila diperlukan ada beberapa pernyataan yang harus
dihilangkan. Beberapa bagian yang perlu di revisi adalah terkait dengan kepastian
hukum bila ada pemerintah daerah yang tidak menjalankan peran untuk menjaga
dan menjamin kebebasan beragama. Salah satu kepastian hukum adalah
keberadaan sanksi yang jelas dan tegas bagi pemerintah daerah yang
membangkang. Dengan demikian, masyarakat mendapat perlindungan HAM dan
perlindungan hukum bila harus berhadapan dengan kasus intoleransi.
Beberapa bagian yang perlu dicabut adalah terkait dengan:
a. Komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan / desa.
b. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
c. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang
disahkan oleh lurah / kepala desa.
Bila didasarkan pada PERBER tersebut, semisal sudah tercapai 90 orang, tapi
kemudian tidak disetujui oleh 60 orang maka rumah ibadah tidak dapat didirikan.
Jelas hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar HAM.
Dengan demikian, beberapa pernyataan ini perlu dihilangkan karena tidak sesuai
dengan konstitusi Indonesia yang mana negara menjamin warga memeluk agama
dan menjalankan ritual keagamaan di Indonesia. Termasuk ketika yang harus
dijamin hanya berjumlah 1 orang, maka negara tetap memiliki tanggung jawab
untuk melindungi. Hal ini dikarenakan konstitusi menjamin hak perorangan.
Feith, Herbert dan Lance Castles (Ed.). 2007. Indonesian Political Thinking 1945-1965.
Jakarta: Equinox.
https://adoc.pub/peraturan-bersama-menteri-agama-dan-menteri-dalam-negeri-
nom8ce0722fc41f2204b153aa5b54d6611a57599.html
https://interaktif.tempo.co/proyek/rumah-ibadah-belenggu-mayoritas/index.html,
Huda, Ni Ma’tul dan R. Nazriyah. 2011. Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, Cet.1. Bandung: Nusa Media.
The Wahid Institute. 2012. Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi
Jakarta: Wahid Institute.