Anda di halaman 1dari 13

Nama : Dimas Aryo Yuwono

N.I.M. : A.131.22.0055
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen : Sayoto Makarim, S.H., M.Pd.

TRAGEDI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI


DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006 DAN NOMOR 8 TAHUN 2006
DALAM KONTEKS PENYELENGGARAAN HAM DI INDONESIA

LATAR BELAKANG MASALAH


Isu mengenai kebebasan beragama selalu mewarnai perjalanan bangsa Indonesia.
Hampir tiap tahun selalu muncul berita mengenai praktik penolakan rumah
ibadah, penggerebekan warga yang sedang melakukan kegiatan peribadahan di
rumah, dan berbagai tindakan yang bersifat menekan kaum minoritas dalam
mengekspresikan ritus keagamaan. Setara Institute dalam laporan ”Memimpin
Promosi Toleransi: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas
Keagamaan di Indonesia 2017” merilis data kasus kebebasan beragama di
Indonesia sebanyak 155 (seratus lima puluh lima) persitiwa yang salah satunya
dipengaruhi faktor pendirian rumah ibadah.1 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
mencatat, dalam 10-15 tahun terakhir terdapat sekitar 500-600 pengaduan terkait
kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk di dalamnya kasus pendirian
rumah ibadah.2 Sebagai contoh, dapat dilihat dari berbagai kasus yang telah
bergulir cukup lama dan mendapat sorotan dunia, yaitu kasus GKI Yasmin Bogor
dan HKBP Filadelfia Bogor. Kasus ini berlangsung kurang lebih 10 tahun dan
bahkan umat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia mencoba beribadah di depan
istana. Seiring berjalan kasus ini, masih banyak kasus terkait dengan pelarangan
dan penyegelan rumah ibadah. Terbaru, seorang pemimpin daerah bernama

1
Bonar Tigor Naipospos, “Memimpin Promosi Toleransi: Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan Dan Minoritas Keagamaan Di Indonesia,” Setara Institute (Jakarta,
2018), setara-institute.org/memimpin-promosi-toleransi/.
2
https://interaktif.tempo.co/proyek/rumah-ibadah-belenggu-mayoritas/index.html, diakses 1
November 2022, pukul 22.00.
Helldy Agustian (Walikota Cilegon) dan Sanuji Pentamarta (Wakil Wali Kota
Cilegon) ikut menandatangi petisi penolakan pembangunan gereja. Berdasar
sejumlah data yang telah disampaikan, persoalan mengenai Hak Asasi Manusia,
khususnya kebebasan dan keamanan dalam memeluk agama masih menjadi
problem bangsa Indonesia.

PANCASILA: PERJUANGAN HAM SEJAK SEMULA


Berbagai pasal yang ada dalam UUD 1945 tidak terlepas dari Pancasila sebagai
fondasinya. Untuk bisa melahirkan Pancasila membutuhkan proses yang tidak
mudah bahkan melalui perdebatan sengit. Ketika itu terjadi perbedaan pemikiran
antara Soekarno yang berkeinginan memisahkan antara agama dan negara, dan
Moh. Natsir yang berkeinginan mendirikan negara nasional berdasarkan Islam
(karena banyaknya penganut agama Islam di Indonesia).
Natsir dan para pengikutnya sudah agak lega dengan muncul Piagam Jakarta yang
memuat penyatuan agama dengan negara yang tertera dalam sila pertama.
Rumusan Piagam Jakarta ini yang sudah disepakati oleh seluruh wakil-wakil
bangsa Indonesia sebagai sila-sila yang akan tertera di Pancasila. 3 Namun, pada
saat akan dibacakan pada tanggal 18 Agustus 1945, Ir. Soekarno dipanggil
menemui Laksamana Maeda yang mengutarakan rasa khawatir mengenai
penyatuan agama yang tertera pada salah satu sila di rumusan tersebut. Indonesia
terdiri dari banyak agama di dalamnya. Kemudian dalam tempo yang sangat
singkat Soekarno merubah rumusan tersebut. Perubahan ini sedikit
mengecewakan harapan berbagai kelompok Islam. PPKI dan Soekarno dianggap
melakukan kesalahan dengan mementingkan kelompok minoritas (non-islam) dan
mengorbankan kepentingan kalangan mayoritas (umat Islam).4

Dapat dilihat bahwa Pancasila adalah hasil perdebatan sengit antara para pendiri
kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin muslim mengkritik gagasan Pancasila
Sukarno yang dipandang terlalu inklusif dan memprioritaskan pluralitas agama di
atas Al-Quran bagi penduduk mayoritas Muslim di Indonesia. Mereka

3
Moh. Hatta, Menuju Negara Hukum, Jakarta: Yayasan Idayu 1975, hal. 8
4
Ibid, hal. 9
menginginkan agar peranan Islam lebih eksplisit dan secara politis memberi peran
utama pada Islam. Soekarno memberi alasan bahwa toleransi agama merupakan
kunci untuk persatuan Indonesia, sedangkan diskriminasi agama hanya akan
memecah-belah bangsa. Dalam sebuah pidato di Universitas Indonesia pada 1953,
dia berkata: Kalau kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang
penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei,
dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian
wilayah Indonesia, tidak ingin menjadi bagian Republik.5

QUO VADIS PANCASILA?


Dari awal, perjuangan Pancasila adalah untuk menjamin keadilan bagi setiap
warga negara Indonesia agar bisa merasakan keadilan, salah satunya dalam hal
kebebasan dan rasa aman beragama. Menetapkan Pancasila sebagai falsafah dasar
negara adalah keseriusan dalam mencari sistem kenegaraan yang menjamin
kerukunan dan pluralisme keagamaan, dan mengusung Konsep Negara Hukum.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 (2) menyatakan: “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini menjadi
dasar dan menunjukkan bahwa negara dengan tegas menjamin kebebasan
beragama setiap warga negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia:
a. Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk
agamanya masingmasing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk
agamanya dan kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk beragama
menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
b. Pasal 22 ayat (2) mengatur bahwa “Negara menjamin kemerdekaan setiap
orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”

5
Sukarno, “A speech at the University of Indonesia” di Jakarta, 7 Mei 1953, dalam Herbert Feith
dan Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965. Jakarta: Equinox, 2007 hal.
168-69.
Bila mencermati Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia ada pernyataan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan orang memeluk
agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Tetapi hal ini berbanding terbalik dari data temuan di
lapangan berikut:6

Ini adalah sebagian kecil data pelaku pelanggaran kebebasan beragama. Para
pelaku bukan merupakan institusi negara. Ketika berhadapan dengan para pelaku
pelanggaran HAM, khususnya mengenai kebebasan beragama, para aparat
keamanan menjadi harapan untuk mendatangkan rasa aman dari para kaum
minoritas. Tetapi, nyatanya ada 16 institusi negara (yang seharusnya melindungi
dan menjamin kebebasan beragama) terlibat sebagai pelaku pelanggaran

6
The Wahid Institute. Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012. Jakarta:
Wahid Institute, 2012, hlm. xv.
kebebasan beragama dengan total 166 tindakan. Berikut adalah data pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh 16 institusi negara:7

Dengan melihat data berikut, terpampang jelas suatu hal miris dalam kehidupan
bangsa negara terkait HAM. Yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah
Polisi, di mana mereka adalah profesi yang berperan untuk melindungi dan
menjamin masyarakat dalam hal keamanan. Polisi sebagai penegak hukum di
lapangan terlibat paling sering dalam berbagai pelanggaran kebebasan beragama.
Padahal polisi telah memiliki satu landasan hukum sebagai pegangan dalam
menangani pelanggaran HAM dan perlindunga minoritas yakni Perkap No. 8
tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.8
Namun yang terjadi di lapangan, negara dengan segala macam tatanan sosial-
politik yang ada di dalamnya semakin melanggar HAM.

Permasalahan HAM dalam kebebasan beragama di Indonesia memang sudah


terjadi sejak dahulu. Hal ini makin diperparah ketika tanggal 21 Maret 2006
7
Ibid, hlm.xxi
8
Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan
Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
muncul “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006”. Kebijakan ini mengatur tugas kepala
daerah dan wakilnya dalam memelihara kerukunan, memberdayakan forum
kerukunan umat beragama dan ijin mendirikan bangunan rumah ibadat.9

Peraturan Bersama pada dasarnya menjadikan aturan mengenai pendirian rumah


ibadah sebagai instrumen dasar mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Hal
ini tertulis dalam BAB IV tentang “Pendirian Rumah Ibadat”. Dalam pasal 13
dinyatakan:10

(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-
sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan / desa.
(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan
perundangundangan.
(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah
kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan
komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau
kabupaten/ kota atau provinsi.

Lebih lanjutnya, materi pada pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa pendirian
rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat
batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang
disahkan oleh lurah / kepala desa.
c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
9
Ahmad Syafi’i Mufid, “Kebebasan beragama dan Kesejahteraan bangsa: Kerukunan dan
Kedamaian adalah Keniscayaan”. Dalam Ayu Mellisa & Husni Mubarok (Ed.), Agama,
Keterbukaan, dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan. Jakarta: Paramadina, 2015, hlm 74.
10
https://adoc.pub/peraturan-bersama-menteri-agama-dan-menteri-dalam-negeri-
nom8ce0722fc41f2204b153aa5b54d6611a57599.html, diakses 1 November 2022, pukul 22.00.
d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

PERATURAN BERSAMA 2 MENTERI: DIMANA POSISIMU?


Jika ditelusuri dalam konteks yang lebih umum terkait pelaksanaan HAM,
pendirian rumah ibadah sebenarnya harus tunduk pada ketentuan UUD 1945:
Pasal 28, terkait dengan HAM. Beberapa yang dapat dijadikan landasan adalah
pada pasal 28 E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
28J (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.

Dalam realita di lapangan, Peraturan Bersama (PERBER) ini terlihat punya


kekuatan yang sangat besar hingga selalu dijadikan alasan terkait dengan
pembangunan rumah ibadah. Pada titik ini, ada miskonsepsi dalam membaca,
memahami dan menjalankan PERBER. Secara hirariki, urutan perundang-
undangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Ketetapan MPR
c. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Apabila Keputusan Menteri ditinjau berdasarkan Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011, maka tidak masuk dalam hirarki tersebut. Namun bila dibaca lebih
lanjut Keputusan Menteri diatur keberadaannya dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.
12/2011, yang menegaskan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”. Peraturan
perundang-undang sebagaimana disebutkan, diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.11

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dibedakan antara peraturan perundang-


undangan dan peraturan menteri. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.12 Sementara itu,
peraturan menteri didefinisikan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh menteri
berdasarkan materi muatan, dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam
pemerintahan.13 Jadi, peraturan menteri menurut fungsinya, dimaksudkan untuk
melaksanakan ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan di
atasnya yang secara tegas memerintahkan atau mendelegasikan pengaturan lebih
lanjut. Pengaturan lebih lanjut yang dimaksud adalah penjabaran ketentuan yang

11
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
12
Ibid.
13
Ibid.
diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
Merujuk pada UU No.12 Tahun 2011 pasal 8 ayat (1), “keputusan” tidak lagi
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan -baik di dalam hirarki
maupun dalam jenis peraturan perundang-undangan lainnya-. Hal ini dipertegas
dalam ketentuan penutup pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan
bahwa: semua keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga negara apabila sifatnya
mengatur yang telah ada sebelum UU ini harus dibaca sebagai peraturan.

Berkaitan dengan Peraturan Bersama lembaga negara sebagai sebuah keputusan


yang hadir setelah adanya UU ini, sudah seharusnya hanya merupakan sebuah
penetapan yang tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
Kedudukannya tidak lebih dari sebuah penetapan dan tidak dapat dikategorikan
sebagai sebuah peraturan perundang-undangan apalagi termasuk di dalam hirarki.
Kedudukan Peraturan Bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berdasarkan ketentuan berlaku memiliki kedudukan
lebih tinggi. Hal ini didasarkan pada asas hukum “lex superior derogate
inferiori” (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah)
dan teori hirarki, yang mana suatu norma akan selalu bersumber dan berdasar dari
norma yang lebih tinggi. Dengan demikian hukum tidak akan saling tumpang
tindih. Kejelasan kedudukan ini, akan menjamin kepastian hukum dalam sistem
peraturan perundang-undangan.14 Jadi dapat dikatakan bahwa Peraturan Bersama
hanya sebatas penetapan dan tidak dapat dikualifikasikan sebagai peraturan
perundang-undangan dan tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-
undangan.

PERATURAN BERSAMA 2 MENTERI: PERJUANGAN HAM?


Idealnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 ingin memelihara kerukunan umat
beragama dan bahkan memaksimalkan kinerja pemimpin di tiap daerah untuk
menjamin kebebasan beragama masyarakat. Tidak hanya pemimpin daerah,
melalui peraturan bersama 2 menteri, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
14
Ni’matul Huda dan R. Nazriyah. Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,
Bandung: Nusa Media, 2011, cet.1, hlm. 74.
semakin mendapat eksistensi dan peran untuk menjaga kerukunan antar umat
beragama. Sekalipun memang bertujuan untuk memelihara kerukunan umat
beragama (termasuk dalam kaitan pendirian rumah ibadah), beberapa pernyataan
dalam peraturan bersama 2 menteri justru bertentangan dengan penyelenggaran
HAM di Indonesia. Dapat dilihat dari PERBER pasal 13 ayat (1) yang
menyatakan “Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan
sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan / desa” dan pada pasal 14 ayat
(2).

Pada materi hukum pasal 13 di atas, ada hal yang tidak jelas dan menimbulkan
kerancuan. Lebih parahnya lagi, hal ini dapat menjadi argumen yang sangat
subyektif untuk melarang pendirian rumah ibadah bila masyarakat menilai
komposisi dalam suatu masyarakat tersebut tidak memenuhi syarat. Terkait
“ukuran dalam batasan keperluan nyata yang didasarkan pada komposisi
penduduk” tidak dinyatakan secara tegas pada pasal 13. Sedangkan, hal ini
penting untuk mendapat kepastian hukum mengenai dasar pendirian rumah ibadah
untuk menghindari potensi perselisihan mengenai pendirian rumah ibadah. Selain
ketidakjelasan padap pasal 13 yang berpotensi menimbulkan perselisihan dalam
hal pendirian rumah ibadah, persayaratan khusus pendirian rumah ibadah pada
pasal 14 ayat (2) juga turut menekan penyelenggaran HAM bagi kaum (super)
minoritas. Materi hukum pada pasal 14 jelas bersifat administratif. Namun secara
esensi, jika mendasarkan pada pasal 13, pendirian rumah ibadah tidak hanya
seputar administratif melainkan lebih ke arah pertimbangan sosiologis dan
psikologis.

Alih-alih mengatur tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian


rumah ibadah, peraturan bersama 2 menteri membatasi hak kebebasan beragama
dan berkeyakinan itu sendiri. Pengelolaan hak beragama di Indonesia cenderung
“membatasi” daripada “menjamin dan melindungi”. Ketika terjadi konflik antara
penganut agma mayoritas dan agama minoritas, negara seringkali membatasi hak
kelompok minoritas dengan alasan menghindari konflik yang lebih besar.
Pendekatan menghindari konflik ini jelas bertentangan dengan kewajiban negara
untuk menjamin hak setiap warga negara untuk beragama dan beribadah menurut
keyakinannya. Pendekatan model seperti ini hanya bersifat “mencari aman” dan
tidak bersifat edukatif bagi masyarakat. Ketika negara menjamin keamanan dalam
beragama, artinya negara beserta dengan segala instrumen di dalamnya harus
berani bersikap tegas dan memberi sanksi setiap pihak yang berusaha menganggu
keamanan masyarakat dalam menjalankan kebebasan beragama.

Sebagai contoh nyata, ketika dukungan masyarakat sekitar belum terpenuhi, maka
pemerintah daerah yang seharusnya memfasilitasi suatu penganut agama
menggunakan rumah ibadah sementara. Namun persoalan di lapangan adalah
sikap pemerintah daerah yang acapkali berusaha membangkang terhadap
ketentuan yang tertuang dalam peraturan bersama ini. Peran pemerintah daerah
yang bersifat mengayomi masyarakat tidak dijalankan. Pembangkangan lain
adalah, kepala daerah enggan menerbitkan IMB rumah ibadah padahal bangunan
ibadat tersebut sudah ada sebelum adanya Peraturan Menteri Bersama.
Berhadapan dengan problem yang demikian pemerintah dalam hirarki yang lebih
tinggi tidak berani mengambil langkah tegas dan memberi sanksi untuk pemimpin
daerah yang membangkang. Implikasinya, situasi yang demikian terjadi dari tahun
ke tahun tanpa ada kepastian hukum.

SOLUSI PRAKTIS
Peraturan Bersama Menteri yang mengatur kebebasan dan hak asasi beribadah
harus di revisi dan bahkan bila diperlukan ada beberapa pernyataan yang harus
dihilangkan. Beberapa bagian yang perlu di revisi adalah terkait dengan kepastian
hukum bila ada pemerintah daerah yang tidak menjalankan peran untuk menjaga
dan menjamin kebebasan beragama. Salah satu kepastian hukum adalah
keberadaan sanksi yang jelas dan tegas bagi pemerintah daerah yang
membangkang. Dengan demikian, masyarakat mendapat perlindungan HAM dan
perlindungan hukum bila harus berhadapan dengan kasus intoleransi.
Beberapa bagian yang perlu dicabut adalah terkait dengan:
a. Komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan / desa.
b. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
c. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang
disahkan oleh lurah / kepala desa.
Bila didasarkan pada PERBER tersebut, semisal sudah tercapai 90 orang, tapi
kemudian tidak disetujui oleh 60 orang maka rumah ibadah tidak dapat didirikan.
Jelas hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar HAM.
Dengan demikian, beberapa pernyataan ini perlu dihilangkan karena tidak sesuai
dengan konstitusi Indonesia yang mana negara menjamin warga memeluk agama
dan menjalankan ritual keagamaan di Indonesia. Termasuk ketika yang harus
dijamin hanya berjumlah 1 orang, maka negara tetap memiliki tanggung jawab
untuk melindungi. Hal ini dikarenakan konstitusi menjamin hak perorangan.

Yang menjadikan Pancasila kehilangan jalannya adalah para oknum dalam


pemerintahan yang tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai landasan hidup
bernegara. Pada akhirnya pertanyaan “Quo Vadis Pancasila?” akan dapat terjawab
ketika pemerintah mampu memperjuangkan HAM dan melindungi HAM
masyarakat salah satunya terkait dengan kebebasan beragama.
DAFTAR PUSTAKA

Bonar Tigor Naipospos, 2018, “Memimpin Promosi Toleransi: Kondisi Kebebasan


Beragama/Berkeyakinan Dan Minoritas Keagamaan Di Indonesia”. Jakarta:
Setara Institute.

Feith, Herbert dan Lance Castles (Ed.). 2007. Indonesian Political Thinking 1945-1965.
Jakarta: Equinox.

Hatta, Moh. 1975. Menuju Negara Hukum. Jakarta: Yayasan Idayu.

https://adoc.pub/peraturan-bersama-menteri-agama-dan-menteri-dalam-negeri-
nom8ce0722fc41f2204b153aa5b54d6611a57599.html

https://interaktif.tempo.co/proyek/rumah-ibadah-belenggu-mayoritas/index.html,

Huda, Ni Ma’tul dan R. Nazriyah. 2011. Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, Cet.1. Bandung: Nusa Media.

Mufid, Ahmad Syafi’i. 2015. “Kebebasan beragama dan Kesejahteraan bangsa:


Kerukunan dan Kedamaian adalah Keniscayaan”. Dalam Ayu Mellisa & Husni
Mubarok (Ed.), Agama, Keterbukaan, dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan.
Jakarta: Paramadina.

Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang


Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian

The Wahid Institute. 2012. Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi
Jakarta: Wahid Institute.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan

Anda mungkin juga menyukai