Anda di halaman 1dari 9

1

PENGUATAN PERAN FKUB (FORUM KERUKUNAN


UMAT BERAGAMA) DALAM MEMELIHARA
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI DAERAH
Oleh: Dr. H. Utawijaya Kusumah, MM1

IFTITAH
Tanggal 5 Juli 1959 merupakan tonggak sejarah dimulainya babak baru kehidupan
beragama di Indonesia secara formal. Betapa tidak, pada tanggal tersebut Soekarno
dengan Dekrit Presidennya telah meletakkan dasar Negara Pancasila sebagai pilihan
final dan menetapkan UUD 1945 sebagai landasan utama bernegara. Saat itu ditetap
bahwa Indonesia adalah Negara Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan atas Pancasila, bukan berdasarkan atas agama tertentu. Karena memang
Indonesia adalah "Negara Bukan-bukan", yaitu "Bukan Negara Agama" dan juga
sekaligus sebagai "Bukan Negara Sekuler".

Penetapan Pancasila sebagai dasar Negara oleh pendiri bangsa adalah sebuah
keniscayaan yang harus dipahami dan dijalankan oleh bangsa Indonesia hingga
sekarang. Melalui Pancasila ini seluruh sendi kehidupan berbangsa, bernegara,
bermasyarakat, dan bahkan beragama harus merujuk kepada falsafah Negara Pancasila
tersebut.

Kaitannya dengan kehidupan umat beragama, sejatinya umat beragama di Indonesia


harus menempatkan Pancasila sebagai "kitab suci" formal dalam meneratas bangunan
Negara yang kuat. Sebab, kalau Pancasila ini dijalankan dengan baik dan konsekuen,
insya Allah bangunan kehidupan umat beragama di Indonesia akan kuat dan indah.
KETUHANAN YANG MAHA ESA (Sila Pertama) akan menjadi rujukan formal bagi
bangsa tentang pentingnya manusia Indonesia beragama, terlepas mau apa pilihan
agamanya. Sementara ini Negara telah mengakui 6 (enam) agama yang harus dianut
oleh rakyat Indonesia, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Dengan kata lain, rakyat Indonesia harus memilih satu dari enam agama tersebut, dan
Negara akan menjamin kebebasan kepada warganya untuk memilih.

Akan tetapi, jika manusia Indonesia secara individu maupun kelompok sudah memilih
salah satu agama yang diakui oleh Negara, maka dalam menyebarkan atau
mendakwahkan atau mission agamanya kepada orang lain harus dilandasi oleh nilai-
nilai KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB (Sila Kedua). Sebab, kalau
mendakwahkan agamanya kepada orang lain tidak dilakukan dengan rasa kemanusiaan

1
Disampaikan dalam FGD Tokoh Agama se Jawa Barat di Hotel Saung Buleud Purwakarta Jawa Barat
tanggal 20 Oktober 2015
2

yang beradab dalam artian memaksakan orang lain harus mengikuti agamanya, maka
yang akan terjadi adalah konflik.
Jika dalam penyebaran agamanya tidak mengindahkan niai-nilai sila kedua Pancasila,
maka bangunan PERSATUAN INDONESIA (Sila Ketiga) akan runtuh dan porak-
poranda seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tentu saja hal ini
tidak dikehendaki oleh semua pihak, karena memang akan sangat merugikan bagi
kelangsungan NKRI.

Apabila sudah terjadi konflik yang bernuansa agama seperti kasus Poso, Ambon, dan
daerah lainnya, maka dalam menyelesaikannya harus didasarkan pada KERAKYATAN
YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAH DAN KEBIJAKSANAAN (Sila Keempat).
Artinya, penyelesaian konflik yang bernuansa itu harus didasarkan atau dilakukan
secara musyawarah untuk memperoleh mufakat dengan niat menjungjung tinggi
kepentingan bangsa, sehingga tidak akan terjadi anarkis di antara sesame pemeluk
agama.

Penyelesaian konflik umat beragama yang diselesaikan secara musyawarah dan


muafakat sebagaimana dikehendaki oleh Sila Keempat, maka insya Allah rakyat dan
bangsa Indonesia akan mencapai tujuan akhir kehidupan berbangsa dan bernegara
berupa KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA. Insya Allah.

SALAH FAHAM TERHADAP ATURAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


Pada tahun 2006 telah keluar Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2006
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Peraturan ini singkatnya disebut dengan PBM. Kebijakan ini memberikan pedoman
kepada para kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama.

Latar belakang lahirnya PBM Menag Nomor 9/2006 dan Mendagri Nomor 8/2006
diawali dari pro kontranya masyarakat terhadap SKB Nomor 1/1969 tentang Penyiaran
Agama dan Pendirian Rumah Ibadat. Sebagian pemuka agama mengusulkan untuk
dicabut. Sebagian lainnya mengusulkan dipertahankan. Presiden memerintahkan
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk meresponnya. Maka lahirlah PBM
tersebut.

Kenapa SKB Nomor 1/1969 tersebut dipersoalkan? Sebabnya adalah:


1. Adanya kalimat-kalimat yang multi tafsir, seperti: tidak adanya kejelasan siapa
yang disebut Pemerintah Daerah, tidak adanya kejelasan siapa yang disebut
"pejabat pemeriuntahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu", tidak adanya
kejelasan tentang siapa yang disebut organisasi keagamaan dan
ulama/rohaniawan setempat, dan lainnya.
2. Komunikasi antar umat beragama pada tingkat grass-root sebagai penyebab
gangguan hubungan antar umat beragama.
3

3. SKB tidak menghalangi berdirinya rumah-rumah ibadat baru.


4. Secara normatif SKB memberlakukan sama semua kelompok agama.
5. Tidak jelasnya syarat-syarat pendirian rumah ibadah.
6. Adanya usaha pengaturan pendirian rumah ibadat di sejumlah daerah yang
berbeda-beda dan belum merata.
7. Tidak jelasnya batas waktu untuk merespon usulan pendirian rumah ibadat.
8. Sering terjadi penyalahgunaan rumah tinggal sebagai rumah ibadat
9. Tidak transparannya rencana pembangunan rumah ibadat pada penduduk sekitar
lokasi.
10. Sulitnya diperoleh rekomendasi dari organisasi keagamaan dan
ulama/rohaniawan setempat

Adapun yang diatur dalam PBM ini bukan aspek doktrin agama, tetapi lalu lintas para
warga negara Indonesia pemeluk suatu agama ketika berinteraksi dengan warga negara
Indonesia lainnya yang memeluk agama berbeda. Pemerintah tidak ikut campur
mengenai doktrin suatu agama.

Beberapa prinsip yang dianut oleh PBM adalah sebagai berikut:


1. Sesungguhnya PBM ini adalah hasil kesepakatan majelis-majelis agama tingkat
pusat, yang kemudian dituangkan menjadi Peraturan Menteri;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
3. Pentingnya memenuhi peraturan perundangan;
4. Pentingnya memelihara kerukunan umat beragama;
5. Pentingnya memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
6. Pemberian kepastian pelayanan secara adil jelas, dan terukur kepada pemohon
pendirian rumah ibadah;
7. Pemberdayaan masyarakat, khususnya para pemuka agama; dan,
8. Kebersamaan antara masyarakat dan Pemerintah.

PBM ini tidak membatasi kebebasan beragama seseorang dan juga tidak membatasi
seseorang untuk mendirikan rumah ibadat. Adanya persyaratan calon pengguna 90
orang dewasa untuk pendirian sebuah rumah ibadat semata-mata untuk
mengadministrasikan dan mengetahui siapa saja yang hendak menggunakan suatu
rumah ibadat yang hendak dibangun. Tidak adanya larangan dalam mendirikan rumah
ibadat ditegaskan dalam Pasal 13 yang mengatakan bahwa kalau syarat jumlah calon
pengguna 90 orang itu tidak dapat dipenuhi di tingkat desa, maka perhitungan dapat
dilakukan di tingkat kecamatan, kabupaten atau provinsi. Bahkan jika sekelompok umat
beragama belum memiliki sebuah rumah ibadat permanen maka mereka diperbolehkan
menggunakan bangunan bukan rumah ibadat sebagai tempat-ibadat-sementara setelah
mendapat izin dari bupati. Jadi, pengaturan oleh PBM ini adalah semata-mata masalah
pengadministrasian.
4

Demikianlah kebebasan itu diberikan secara luas sebagai bagian dari upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama yang menjadi bagian penting dari kerukunan
nasional, yang merupakan salah satu tugas dari daerah, termasuk kepala daerah, untuk
mewujudkannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 butir ‘a’ UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. PBM ini tidak akan mendistorsi pemahaman
keagamaan yang sudah dianut oleh masyarakat Indonesia dan juga tidak akan
membatasi kebebasan beragama. Akan tetapi PBM ini melalui iklim otonomi daerah
akan lebih mempertegas tentang pentingnya Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah
yang harus mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk mengatur urusan kehidupan
umat beragama (bukan agamanya yang diatur), karena memang masalah agama itu tidak
diotonomikan. Yang terpenting bagi Pemerintah adalah bahwa dalam menjalankan
faham agama yang dianutnya harus mendasarkan pada tiga pilar utama bangunan
bangsa, yaitu: NKRI, Demokrasi, dan Bhineka Tunggal Ika.

Memang pada zaman rezim Soeharto dahulu selama 30 tahunan ada kekuatan hegemoni
kekuasaan terhadap umat beragama. Saat itu orang yang memiliki pemikiran yang
berada di luar pemikiran dominan mainstream Pemerintah akan bernasib sial, karena
mereka bisa-bisa mendapatkan sanksi pidana. Perselisihan tafsir atas agama selalu
berakhir dengan eks-komunikasi, penghancuran, dan pembunuhan. Luar biasa
mengerikan. Padahal, bertafsir dan berijtihad bukanlah tindak kriminal yang harus
dipidanakan. Jika ini terjadi, maka kita telah kembali ke abad pertengahan. Adalah
Khalifah al-Qadir yang pernah melakukan inkuisisi terhadap orang-orang yang berada
di luar cetak biru ideologi Mu’tazilah, ideologi yang telah menjadi pilihan negara
Abbasiyah saat lampau. Sejarah mencatat, Abdullah bin Khabab, Abu Manshur al-
Hallaj, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Rusyd, merupakan deretan orang yang menjadi korban
dari kesewenang- wenangan negara hegemonik.

Era reformasi yang transisional telah membuka ruang kebebasan umat beragama bahkan
berhasil menghapus karakter dan kebiasaan buruk Orde Baru yang hegemonik dan
intervensionis. Sebagaimana rezim Soeharto, suka mengatur dan mengintervensi
aktivitas keberagamaan umat di Indonesia. Segala gerak langkah umat beragama selalui
diawasi, dikontrol, dan dipantau sehingga tidak mengganggu stabilitas dan keamanan
kawasan. Indikator yang paling telanjang menyangkut pokok soal ini adalah banyaknya
aktivis-aktivis keagamaan yang ditangkap demi keamanan dan kestabilan. Dalam situasi
kondisi seperti itu, maka pimpinan agama dan umatnya secara ekstrim terbelah menjadi,
yaitu ada yang terang-terangan membrontak dan menentang, tetapiu ada juga yang
mencari selamat dengan cara bermuka manis dihadapan penguasa saat itu.

Sekarang setelah 17 tahun reformasi (1998-2015), Negara bermaksud mengatur


sosiologi kehidupan umat beragama melalui PBM Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006. Jadi yang diatur dalam PBM itu bukan tataran imaniah (teoritis) dan
'ubudiyah (praktis) umat beragama. Sebab, urusan imaniah dan 'ubudiyah sudah
memiliki aturan masing-masing dalam kitab sucinya. Sedangkan Negara hanya akan
mengatur dan memfasilitasi sosiologi keumatannya seperti masalah pergaulan. Dengan
5

demikian, Negara atau Pemerintah tidak akan memaksa rakyatnya untuk memeluk
agama tertentu. Karena Negara sadar bahwa masalah agama adalah masalah pribadi dan
subyektif yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing pemeluknya. Tindakan
intervensi Negara terhadap rakyatnya untuk memeluk agama tertentu adalah amat
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang memberikan kebebasan kepada umat
manusia untuk memilih suatu agama bahkan untuk tidak beragama. Nabi Muhammad
sekalipun pernah ditegur oleh Allah atas upaanya untuk memaksa seseorang agar masuk
Islam. “Apakah kamu akan membenci manusia hingga mereka beriman (Afa anta
tukrihu al-nas hatta yakunu mu`minin)”. Allah SW melalui firman-Nya, faman sya`a
falyukmin wa man sya`a falyakfur, telah memberikan kebebasan mutlak bagi manusia
untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Dengan meminjam terminologi ushul fikih,
intervensi Negara terhadap agama ini jelas akan berpunggungan dengan prinsip dasar
Islam paling puncak, hifdz al-din (kebebasan dalam beragama).

Kemudian, ketika Negara mengeluarkan peraturan tentang kehidupan sosiologis umat


beragama itu bukan berarti telah bertindak amat angkuh ketika memposisikan diri
sebagai penentu bagi sah dan tidaknya sebuah agama. Telah diputuskan, misalnya,
bahwa agama yang sah di Indonesia hanya ada enam, yaitu Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, dan Konghuchu [Pasal 1 Ayat (1)]. Selain yang enam itu adalah batal
dan tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah agama.

PBM itu dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi segala aktivitas keberagamaan di
Indonesia. Aktivitas keberagamaan yang selama ini telah berlangsung di tengah
masyarakat, diatur dan ditertibkan oleh negara melalui perundang-undangan, walaupun
agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda. Masing-masing tidak boleh saling
mengintervensi. Sejarah Indonesia telah menunjukkan betapa kehadiran negara dalam
panggung agama seringkali justru menjadi petaka daripada menjadi rahmat. Umat
beragama yang plural yang sudah terbiasa saling bekerja sama, saling memahami, hidup
rukun, maka dengan intervensi negara melalui PBM ini akan semakin kokoh.

Namun yang paling penting adalah negara harus mempersepsikan agama secara benar.
Agama jangan diletakkan sebagai sumber konflik, setangkup dengan etnis, suku, dan
sebagainya. Kendatipun dengan adanya banyak agama yang ditetapkan oleh Negara ini,
secara sepintas agama dinilai mengandung magma konflik yang luar biasa, sehingga
dengan demikian ekspresi keberagamaan perlu diatur secara tepat. Kalau tidak diatur,
maka heterogenitas agama yang dipeluk akan menjadi "Bom Waktu" bagi kelangsungan
hidup NKRI.

Pluralitas agama akan menjadi malapetaka dan ketidakrukunan sekiranya tidak ada
peraturan semacam PBM tersebut. Dengan argumen ini, tampak dengan jelas negara
menjadi fasilitator dari agama dan bukan menjadi hakim dari agama. Kekeliruan rezim
Soeharto di dalam memperlakukan agama dan para pemeluknya tidak selayaknya
terulang kembali pada era ini.
6

Di samping itu, dengan PBM Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ini
Negara tidak akan melakukan hegemoni dan monopoli tafsir atas agama. Negara akan
memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memberikan tafsir terhadap
pemahaman keagamannya. Sebab, kalau Negara melakukan hegemoni dan monopoli
terhadap tafsir agama, implikasinya adalah kegiatan ijtihad dan bertafsir oleh setiap
umat beragama akan terhenti, karena tafsir atas agama telah dikuasai dan dimonopoli
oleh sekelompok orang. Segala pemikiran akan diseragamkan. Tindakan
pemberangusan terhadap pemahaman yang tidak bersejalan dengan tafsir resmi akan
terus dilakukan. Pola pemberangusan seperti itu tentu saja sangat problematis di tengah
antusiasme Islam yang senantiasa mengobarkan semangat kebebasan berpikir (hifdz al-
’aql). Ini tidak mungkin dilakukan oleh Negara yang mayoritas menganut agama Islam.

Kebebasan bertafsir dan berijtihad terhadap faham keagamaannya bukanlah tindak


kriminal yang harus dipidanakan. Jika ini terjadi, maka Indonesia telah kembali ke abad
pertengahan. Adalah Khalifah al-Qadir yang pernah melakukan inkuisisi terhadap
orang-orang yang berada di luar cetak biru ideologi Mu’tazilah, ideologi yang telah
menjadi pilihan negara Abbasiyah saat lampau. Sejarah mencatat, Abdullah bin Khabab,
Abu Manshur al-Hallaj, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Rusyd, merupakan deretan orang yang
menjadi korban dari kesewenang- wenangan negara hegemonik.

Justru dengan adanya PBM ini akan menyuburkan berkembangnya tradisi keagamaan
dan kearifan-kearifan lokal yang hidup ditengah masyarakat. Yang paling penting dan
mendasar adalah tidak boleh melakukan penafsiran keagamaan yang keluar dari
kesepakatan bersama faham yang dianutnya. Artinya, yang dilarang itu adalah keluar
dari faham keagamaan yang sudah disepakati bersama, seperti dilarangnya tafsir
keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tentang khatamin nabiyyin yang
menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi terakhir setelah Muhammad SAW.
Tafsir seperti itu dianggap menodai ajaran agama Islam yang sudah lama difahami dan
disepakati oleh pemeluk Islam di Indonesia dan di dunia.

PBM tentang kerukunan juga tidak diskriminatif terhadap agama minoritas dan
menganak emas-kan agama mayoritas. Mayoritas yang dimaksudkan adalah kelompok
terbesar dari umat agama tertentu yang terletak pada suatu daerah atau wilayah. Karena
kalau Negara melakukan diskriminasi minoritas dan mayoritas itu maka akan merugikan
setiap pemeluk agama. Sebab, kuantitas pemeluk agama di masing-masing daerah itu
berbeda-beda. Seperti di Jawa yang mayoritasnya Islam, kemudian Bali mayoritasnya
Hindu, Kristen yang mayoritas di Ambon, dan sebagainya. Kalau Negara melakuan
kebijakan diskriminasi mayoritas-minoritas, maka tidak bisa membayangkan bagaimana
nasib umat Islam yang minoritas di Kawasan Timur Indonesia, dan bagaimana nasib
umat agama non-Islam yang minoritas di Jawa.

Sindrom mayoritas-minoritas sungguh amat berbahaya di tengah kondisi negara


Indonesia yang tidak sepenuhnya normal. Dalam konteks demikian, maka mayoritas
merupakan monster bagi yang minoritas. Begitu juga sebaliknya, yang minoritas adalah
7

mangsa mayoritas. Keresahan akan timbul di mana-mana, terutama di kalangan


minoritas.

STRATEGI PENGUATAN FKUB


Sejatinya problem dasar FKUB saat ini adalah problem pembiayaan. Sebab hingga saat
ini pendanaan FKUB dari pemerintah masih belum memadai, padahal kehadiran FKUB
menjalankan tugas Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI dan Menteri Agama RI
Nomor 8/9 Tahun 2006.

Terlepas dari kelemahan yang dihadapi oleh FKUB, maka berkaitan dengan pentingnya
penguatan terhadap Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) agar berperan secara
aktif dalam menciptakan kerukunan umat beragama, gagasan strategis yang harus
dijalankan di masa mendatang adalah:
1. Soft Power (Sosialisasi Pemahaman Keagamaan) dengan cara:
a. Pengembangan pemahaman keagamaan yang rahmatan lil ‘alamîn
b. Program pembinaan kerukunan kepada umat beragama
c. Program pemahaman kebangsaan
2. Hard Power (Law Enforcement) dengan cara:
a. Tindakan tegas terhadap pelaku penodaan agama
b. Penegakan peraturan perundang-undangan tentang larangan terhadap
organisasi keagamaan yang melanggar aturan penyiaran agama.
c. Memutus pengaruh bantuan asing terhadap gerakan dakwah agama yang
merusak kerukunan.

Tujuan utama strategi penguatan FKUB dengan menggunakan pendekatan soft


power (sosialisasi pemahaman keagamaan) adalah: untuk menghasilkan konsep
pemahaman kerukunan umat beragama secara utuh, terpadu, terintegrasi, dan
terorganisasi dengan keterlibatan semua lapisan masyarakat dengan pendekatan
bersifat lembut (soft power approach) dan melalui pendekatan budaya (cultural
approach). Sedangkan pendekatan hard power (Law Inforcement) ditujukan untuk
membuat jera lembaga-lembaga keagamaan yang hendak melakukan penodaan
terhadap agama lain.

Model Soft Power diantaranya adalah:


1. Re-edukasi/Reorientasi
a. Religius
b. Pendidikan
c. Politik
d. Ekonomi
e. Media
2. Rehabilitasi
a. spiritual
b. psikologi
c. pendidikan keterampilan/kerajinan
8

d. sosial/keluarga
e. kreativitas seni
f. Reintegrasi
g. Program keluarga/masyarakat
h. Manajemen konflik

Adapun sasarannya meliputi:


1. Pencegahan
a. Pesantren
b. Perguruan Tinggi Agama
c. Perguruan Tinggi Umum
d. Guru Madrasah
e. Guru Agama di Sekolah Umum
f. Dai/khatib/pengurus mesjid
2. Rehabilitasi
a. Pelaku kerusuhan pengrusakan rumah ibadat
b. Mubaligh/missionaris/jending yang memprovokasi terjadinya kerusuhan
atas nama agama
3. Reintegrasi
a. Pelaku kerusuhan atas nama agama
b. Keluarga pelaku kerusuhan atas nama agama
c. Mubaligh/missionaris/jending yang memprovokasi terjadinya kerusuhan
atas nama agama

Model Hard Power (Law Inforcement) adalah:


1. Penegakan aturan tentang larangan melakukan penodaan atau penghinaan
terhadap agama lain.
2. Penegakan hukum tentang aturan tatacara penyiaran agama.
3. Penegakan hukum tentang tatacara pendirian rumah ibadat.

KHATIMAH
1. Agama menjadi modal dasar pembangunan Negara.
2. Setiap agama mempunyai faham imaniah (teoritis) dan 'ubudiyah (praktis) yang
berbeda-beda, tetapi diupayakan memiliki kesamaan dalam memahami
hubungan insaniyah sesame penganut agama (sosiologis).
3. Negara mengakui banyak agama kendatipun Indonesia bukan Negara agama.
4. Keragaman agama yang dipeluk oleh rakyat mengharuskan Negara membuat
aturan formal yang mengatur dan mengawasi dimensi pergaulan umat beragama,
baik secara intern (rukun internal umat seagama), antar umat beragama, dan
antar umat beragama dengan Pemerintah. Hal itu demi kepentingan kedamaian,
keamanan, dan kestabilan beragama dan bernegara.
5. Keberadaan FKUB adalah mutlak sebagai media merukunkan umat beragama
dalam melayani, jejaring aspirasi, dan sekaligus menjembatani penyelesaian
9

konflik antar umat beragama dengan Pancasila dan tiga pilar pembangunan
(NKRI, Demokrasi, Bhineka Tunggal Ika) sebagai pedomannya.
6. Tugas pengaturan keharmonisan dan kerukunan umat beragama di daerah
menjadi tanggung jawab Pemerintah di daerah (Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota).
7. Strategi penguatan terhadap FKUB melalui pendekatan soft power (sosialisasi)
dan hard power (penegakan hukum dan peraturan)

Tasikmalaya, 01 September 2015

Anda mungkin juga menyukai