Anda di halaman 1dari 3

Ujian Tengah Semaster

Nama : Muhammad Shafary Akbary


NIM : 220101010536
Lokal : 22-E
Studi : Kewarganegaraan

Soal

1. Jelaskan Pengertian Kewarganegaraan !


2. Silahkan Analisis Tentang “ Identitas Nasional ” !
3. Jelaskan Mengenai Empat Pilar Kebangsaan !
4. Sebutkan Nama-nama Tokoh dan Jelaskan Mengenai Negara Hukum dan Konstitusi ?
5. Analisis lah Tentang Hubungan Agama dan Negara !
6. Bagaimana Aspirasi Penerapat Syariat Islam di Indonesia ?
7. Bagaimana Pendapat Anda Mengenai Pendirian Rumah Ibadah Umat Minoritas & Mengenai Nikah beda Agama ?

Jawaban

1) Pengertian kewarganegaraan adalah suatu hak dimana manusia menetap atau tinggal di kawasan suatu Negara dan memiliki
hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari Negara tersebut,Menurut pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia, pengertian kewarganegaraan adalah segala hal yang berhubungan dengan
warga Negara dan keanggotaan sebagai suatu warga negara.

2) Identitas nasional adalah ciri, tanda, atau jati diri yang melekat pada suatu bangsa yang membedakannya dengan bangsa
lain.Secara etimologi, identitas nasional berasal dari kata identitas dan nasional.
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris, identity berarti ciri, tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang,
kelompok, dan bangsa. Sementara kata nasional merujuk pada kebangsaan atau kenegaraan.
Secara etimologi, identitas nasional berasal dari kata identitas dan nasional.
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris, identity berarti ciri, tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang,
kelompok, dan bangsa. Sementara kata nasional merujuk pada kebangsaan atau kenegaraan.
Empat pilar disebut juga fondasi atau dasar yang menentukan kokohnya bangunan.

3) empat pilar adalah kumpulan nilai-nilai luhur yang harus dipahami oleh seluruh masyarakat dan menjadi panduan dalam
kehidupan ketatanegaraan untuk mewujudkan bangsa dan negara yang adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.
Nilai-nilai luhur itu adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan dan Bhinneka Tunggal Ika. Penyebutan empat pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi, dan konteks yang berbeda. Dalam hal ini, posisi Pancasila tetap
ditempatkan sebagai nilai fundamental berbangsa dan bernegara.

4) pemikiran tentang konsep Negara hukum sebelum konsep Negara hukum berkembang seperti sekarang ini, di antaranya
dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti: Plato, Aristoteles, Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes, dll.Suatu negara hukum
dapat diartikan sebagai negara apabila tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum, untuk mencegah
adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah atau penguasa dan tindakan rakyat yang dilakukan menurut
kehendaknya sendiri.K. C. Wheare: Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan
peraturan yang membentuk dan mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Herman Heller: konstitusi lebih luas
daripada UUD.

5) HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMAManusia membutuhkan agama karena perlu untuk pedoman hidup didunia dan akhirat,
dengan beragama dipula, seseorang akan memiliki nilai moral yang tidak terpikirkan oleh akal. Kemudian mengapa manusia
juga mebutuhkan negara? karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan pasti membutuhkan orang lain, maka dari itu perlu
seorang pemimpin serta peraturan untuk mengatur kehidupan tersebut .
Negara sebagai manifestasi kodrat dalam hubungan manusia dengan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Hal yang
berkaitan dengan negara adalah seperti pada sila pertama, bahwa warga negsra tidak dapat hidup teratur jika tidak takut pada
tuhannya dan tidak menghargai agamanya, maka yang terutama adalah agama dahulu,baru negara. Karena sejatinya keyakinan
manusia sangan mempengaruhi hubungan agama dan negara.
Beberapa pemahaman akan negara dan agama dapat dibedakan menjadi 4, yaitu:
1.Paham Sekuler
2.Paham Komunisme
3.Paham Teokrasi
4.Serta Paham Islam

6) Melalui pendekatan fenomenologis, penelitian ini berhasil menggambarkan persenyawaan politik partai-partai Islam untuk
mengegolkan diberlakukannya Syariat Islam (SI). Meskipun pemahaman terhadap SI dan segi penerapannya belum sepenuhnya
disepakati. Yang menarik dari hasil penelitian ini, ternyata integrasi politik dalam aspirasi pemberlakuan SI hanya tampak pada
partai-partai Islam, yang disimbolisasikan oleh elite politik. Pada level akar rumput fenomena tersebut tidak tampak atau
kurang jelas. Bahkan, cenderung terjadi perbedaan yang sangat “kontras”. Penelitian ini lebih banyak mengakses
pendapat satu dua informan. Karena Itu, secara metodologis lebih banyak menjelaskan pendapat pribadi ketimbang fenomena
yang sebenarnya. Pada sisi lain, pembelahan secara dikotomik santri dan abangan (model Geertz) tampak kurang relevan untuk
menjelaskan kondisi masyarakat.

7) Terkait urusan pendirian rumah ibadat, umat minoritas di suatu daerah selalu merasa was-was dan penuh kecurigaan bahwa
izin mendirikan rumah ibadat pasti dihalang-halangi oleh umat mayoritas. Maka pendirian rumah ibadat harus dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi dan “ngakali” aturan atau posedur. Dalam pemahaman mereka, pelaksanaan aturan tidak lebih
dari sekedar siasat kelompok mayoritas untuk menghalang-halangi dan pasti berakhir dengan kegagalan. Maka umat minoritas
selalu merasa di-dzalimi.
Di sisi lain, kelompok agama mayoritas di suatu wilayah selalu khawatir dan curiga bahwa pendirian rumah ibadat di wilayahnya
selalu digunakan sebagai siasat untuk menyebarkan agama bersangkutan dan menarik warga setempat untuk masuk ke
agamanya. Kelompok mayoritas menganggap kelompok minoritas adalah pihak-pihak yang cukup piawai dalam berlindung di
balik kebebasan beragama, padahal mereka selalu melakukan berbagai cara yang tidak terpuji dalam menyebarkan agamanya.
Bukankah situasi ini merupakan bom waktu karena memendam pontensi konflik yang tidak terselesaikan?
Ketentuan-kententuan mengenai pendirian rumah ibadat, telah diatur melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 09 dan 08 Tahun 2006. Dalam Peraturan tersebut, yang dimaksud dengan rumah ibadat adalah bangunan
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara
permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Rumah ibadat permanen itu adalah Masjid bagi umat Islam, Gereja untuk
umat Kristiani, Pura untuk Hindu, Wihara untuk umat Budha serta Kelenteng atau Litang bagi umat Konghucu. Adapun yang
dimaksud rumah ibadat keluarga antara lain musala, langgar, surau atau lainnya bagi umat Islam. Setingkat dengan itu, adalah
rumah do’a bagi umat Kristen, atau kapel bagi umat Katholik dan lain-lain.
Pendirian rumah ibadat permanen, harus memenuhi syarat khusus antara lain telah memiliki jemaat (pengguna) paling sedikit
90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Syarat lainnya yaitu
mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.
Sering terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman antar pihak dalam memahami kategori-kategori ini. Seorang umat Kristen biasa
mengeluhkan banyaknya tempat ibadat orang Islam di desa-desa, berjajar-jajar dan berdekatan satu-sama lain tanpa
mempertimbangkan jumlah jemaat. Sementara baginya, betapa sulit mendirikan gereja dengan alasan belum mencukupi
jemaat hingga 90 orang. Pandangan ini jelas keliru karena tidak semua bangunan rumah ibadat muslim adalah Masjid. Banyak
diantaranya yang berada di desa-desa adalah musala yang dikategorikan sebagai rumah ibadat keluarga, dan tidak merupakan
rumah ibadat permanen.
Sementara itu, orang Islam juga sering keliru menyamakan rumah do’a sebagai gereja. Sehingga tidak sedikit umat Islam yang
mengeluhkan rumah jemaat Kristen yang dianggap dipergunakan sebagai gereja. Kekeliruan ini bisa jadi memang
ketidakpahaman mengenai peraturan yang berlaku, atau mungkin sudah disusupi perasaan penuh curiga dan tidak adanya
saling menghormati dan toleransi.
Hal terpenting dalam membangun kerukunan umat beragama adalah toleransi. Mengembangkan toleransi dalam hubungan
sesama umat beragama dengan cara mengakui adanya perbedaan. Menghormati kebenaran agama orang lain berdasarkan
keyakinan masing-masing adalah pertanda harmoni dalam perbedaan. Artinya, kita bisa hidup berdampingan satu sama lain
dengan tetap menyadari adanya perbedaan. Tantangan memang ada, terutama bersumber dari tafsir atas teks agama itu
sendiri. Maka tantangan terletak sepenuhnya kepada pengajaran agama itu sendiri, apakah agama diajarkan dalam tafsir bagi
kesadaran untuk saling menghormati ataukah untuk saling bermusuhan satu sama lain.
Jika bangunan kerukunan umat beragama itu telah berdiri kokoh, ia menjadi daya immune yang bisa menangkal berbagai
kepentingan yang bisa mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Jika itu yang terjadi, maka kita telah siap untuk saling
bekerja sama meraih kemajuan sosial melalui sendi-sendi agama di dalam kerangka kebangsaan dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Amin.

Anda mungkin juga menyukai