Ridea Oktavia
Mahasiswa Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Sejarah hak asasi manusia tidak terlepas dari kisah pilu dalam
memperjuangkan dan mempertahankan hak dengan cara melawan penguasa yang
keji. Hakikatnya, perlawanan tersebut muncul atas kesadaran terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan, yang sejatinya sudah ada sejak dalam kandungan hingga
lahir ke muka bumi. Deklarasi Indonesia sebagai negara hukum bukanlah ungkapan
semata, melainkan konsensus Negara Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini membawa konsekuensi bahwa UUD NRI Tahun
1945 harus menjadi dasar dalam menjalankan negara, karenanya disebut pula
staatsfundamentalnorm yakni sumber dari segala sumber hukum mengatur.
Ketiadaan larangan seseorang menjadi ateis tentu bukan tanpa alasan, dalam
konsep kebebasan beragama dan bekeyakinan terdapat batasan antara forum
internum yaitu pilihan berdasarkan lubuk hati manusia yang bersifat non-derogable
right dan forum eskternum yaitu pengejawantahan dari agama, misalnya beribadah
sesuai kepercayaan masing-masing yang sifatnya derogable right. Karenanya
secara internum negara tidak mungkin menjangkau dan mereduksi apa yang
diyakini seseorang. Satu-satunya yang dapat dijangkau oleh negara ialah eksternum
atau apa yang ditampilkan seseorang dari keyakinannya. Contohnya larangan
menyebarkan ajaran ateisme di Indonesia dan agama lainnya sebagaimana diatur
dalam pasal 157 KUHP, dasar larangan tersebut karena penyebaran agama maupun
ajaran tertentu rentan mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap golongan tertentu sehingga rentan terjadinya konflik, kecuali
apa yang disampaikan adalah edukasi agama bukan ungkapan permusuhan maupun
kebencian yang dapat memecahkan persatuan bangsa.