Anda di halaman 1dari 5

QUO VADIS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP

PENGANUT ATEISME DALAM KEBEBASAN BERAGAMA DAN


BERKEYAKINAN DI INDONESIA

Ridea Oktavia
Mahasiswa Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Sejarah hak asasi manusia tidak terlepas dari kisah pilu dalam
memperjuangkan dan mempertahankan hak dengan cara melawan penguasa yang
keji. Hakikatnya, perlawanan tersebut muncul atas kesadaran terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan, yang sejatinya sudah ada sejak dalam kandungan hingga
lahir ke muka bumi. Deklarasi Indonesia sebagai negara hukum bukanlah ungkapan
semata, melainkan konsensus Negara Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini membawa konsekuensi bahwa UUD NRI Tahun
1945 harus menjadi dasar dalam menjalankan negara, karenanya disebut pula
staatsfundamentalnorm yakni sumber dari segala sumber hukum mengatur.

Indonesia memiliki ideologi negara yakni pencasila, sila pertama


menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya manusia, bangsa, dan negara
secara eksplisit mengakui eksistensi Tuhan sebagai sang pencipta. Manifestasi
kepercayaan kepada Tuhan adalah dengan menundukkan diri terhadap suatu agama
dan mematuhi ajarannya. Kewajiban warga negara Indonesia dalam mengimani
keberadaan Tuhan memiliki alasan yang jelas. Para founding fathers menyadari,
bahwa sejak dulu bangsa Indonesia sudah mencari keberadaan Tuhan, hanya saja
tidak mengetahui siapa dan dimana Tuhan itu. Tidak ada keragu-raguan sedikitpun,
dalam menempatkan nilai ketuhanan sebagai sila pertama dalam Pancasila, sebab
The founding fathers meyakini bahwa kemerdekaan atas tanah dan bangsa
Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama merupakan
penopang tegaknya 4 sila yang lain dan tujuannya bermuara pada sila ke-5 yaitu
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pengakuan eksistensi Tuhan
kemudian dicantumkan pada pembukaan UUD NRI Tahun 1945, di sini terlihat
bahwa sebenarnya Indonesia menganut paham teonomokrasi yaitu negara hukum
yang didukung dengan nilai-nilai ketuhanan.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang sudah lama menjadi topik hangat khususnya di tanah air yang
pluralistik ini. KBB di Indonesia bermakna setiap orang bebas memeluk agama
masing-masing dan beribadat sesuai ajarannya. Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945
menyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun. Ketentuan a quo diatur lebih lanjut dalam Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Meski demikian, Indonesia menganut pandangan hak
asasi manusia yang bersifat partikularistik relatif, yaitu memandang persoalan hak
asasi manusia tidak hanya sekadar masalah universal tapi juga masalah nasional.
Oleh karenanya dapat dibatasi melalui Undang-Undang sebagaimana tercermin
dalam pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Apabila dibenturkan dengan makna KBB, maka menjadi pertanyaan


apakah penganut ateis merupakan salah satu bentuk dari KBB? Perlu diketahui
bahwa, konsep KBB Indonesia berbeda dengan negara barat yang membolehkan
jika warga negaranya tidak memiliki agama, karena mereka menganggap persoalan
agama termasuk hak privasi, apabila melanggar sesuatu yang dilarang oleh agama,
maka pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan dan negara tidak mungkin
mengintervensi. Namun di Indonesia, KBB hanya dibenarkan untuk memilih agama
sesuai dengan kepercayaan masing-masing, artinya mewajibkan warga negara
untuk mengakui keberadaan Tuhan, apapun agamanya selama tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lantas menjadi pertanyaan
bagaimanakah perlindungan hukum terhadap penganut ateisme di Indonesia?
Bukankah kewajiban mengakui keberadaan Tuhan mereduksi KBB warga negara?
Bagaimana jika terjadi penyelundupan hukum yang dilakukan penganut ateisme
karena kewajiban memiliki agama tersebut?

Pertama, perlindungan hukum penganut ateisme dan pengakuan keberadaan


Tuhan di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri ateis merupakan penganut minoritas di
Indonesia. Apabila merujuk pada data, maka sulit ditemukan karena penganut
ateisme cenderung tidak mendeklarasikan bahwa dirinya ateis. Kebebasan
beragama dan berkeyakinan telah diatur dalam berbagai instrumen-instrumen
hukum nasional, mulai dari instrumen hukum tertinggi yaitu konstitusi hingga
peraturan dibawahnya. Akan tetapi, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur
larangan seseorang menjadi ateis, sehingga kerab kali penganut ateisme menjadi
salah satu kelompok korban diskriminasi, karena tidak mempunyai kedudukan
hukum dan bertentangan dengan Pancasila. Misal dalam hal kepentingan
administrasi kependudukan, penganut ateisme terkadang memilih salah satu agama
yang diakui oleh negara untuk menghindari keruwetan proses administrasi
kependudukan.

Ketiadaan larangan seseorang menjadi ateis tentu bukan tanpa alasan, dalam
konsep kebebasan beragama dan bekeyakinan terdapat batasan antara forum
internum yaitu pilihan berdasarkan lubuk hati manusia yang bersifat non-derogable
right dan forum eskternum yaitu pengejawantahan dari agama, misalnya beribadah
sesuai kepercayaan masing-masing yang sifatnya derogable right. Karenanya
secara internum negara tidak mungkin menjangkau dan mereduksi apa yang
diyakini seseorang. Satu-satunya yang dapat dijangkau oleh negara ialah eksternum
atau apa yang ditampilkan seseorang dari keyakinannya. Contohnya larangan
menyebarkan ajaran ateisme di Indonesia dan agama lainnya sebagaimana diatur
dalam pasal 157 KUHP, dasar larangan tersebut karena penyebaran agama maupun
ajaran tertentu rentan mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap golongan tertentu sehingga rentan terjadinya konflik, kecuali
apa yang disampaikan adalah edukasi agama bukan ungkapan permusuhan maupun
kebencian yang dapat memecahkan persatuan bangsa.

Bangsa Indonesia merupakan umat bergama yang menjunjung tinggi


keberadaan Tuhan, dimana negara mengakui 6 agama melalui penjelasan Pasal 1
UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Chu
(Confusius). Hal ini bertentangan dengan paham ateisme yang menolak keberadaan
Tuhan. Akibatnya, tidak sedikit stigma sosial yang menganggap bahwa penganut
ateisme tidak memiliki tempat di Indonesia. Makna tidak ada tempat yang
dimaksud ialah nilai-nilai ketuhanan menjadi nafas negara Indonesia. Paham
ateisme tidak mungkin diserap oleh negara dan penganut ateis harus mengikuti
peraturan perundang-undangan meskipun norma didalamnya absorbsi dari nilai-
nilai ketuhan yang terdapat dalam agama tertentu.
Pertanyaan yang muncul ialah, apakah hak asasi manusia yang merupakan
hak kodrati hanya diperuntukkan kepada umat beragama saja? Jawabannya jelas
tidak, terlepas dari adanya keyakinan bahwa hak kodrati berasal dari Tuhan
sehingga orang yang tidak mempercayai Tuhan maka tidak memiliki hak, adalah
kekeliruan yang besar. Status manusia itulah yang menyebabkan seseorang berhak
untuk menerima hak–hak tersebut, yang pemenuhannya wajib dilakukan negara dan
masyarakat wajib menghormati hak asasi orang lain tanpa terkecuali. Oleh karena
itu, memiliki agama atau tidak bukanlah alasan yang dapat menggugurkan
kewajiban negara dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya.

Kedua, penyelundupan hukum oleh penganut ateisme. Penganut ateisme


sering kali mendapat stigma buruk, diskriminasi bahkan dianggap komunis oleh
masyarakat. Maka dari itu dalam hal administratif, penganut ateis memilih
menundukkan diri pada salah satu agama, walaupun sebenarnya penganut ateisme
bisa saja mengosongkan kolom agama tesebut sesuai dengan pasal 61 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Penyelundupan hukum yang dilakukan oleh penganut ateisme terjadi tepat saat
penganut ateisme itu mendeklarasikan bahwa ia memeluk suatu agama, tetapi tidak
benar-benar meyakininya, terlebih ketika penundukkan terhadap agama tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan tertentu. Sebagai
contoh, penganut ateisme menerima warisan dari orang tua muslim karena mengaku
beragama Islam. Padahal dalam hukum Islam perbedaan agama menjadi salah satu
penghalang menerima warisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 butir (c)
Kompilasi Hukum Islam. Contoh lainnya perkawinan beda keyakinan, dalam Pasal
2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 menyebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Lantas bagaimana dengan perkawinan yang dilakukan antara umat


beragama dengan penganut ateisme? Tidak ada satupun agama yang mengizinkan
pemeluknya menikah berbeda agama apalagi tanpa agama, oleh karena itu salah
satu pihak harus menundukkan diri terhadap salah satu agama. Permasalahannya
ialah, penundukkan diri yang dilakukan sebatas pengakuan untuk memperoleh
suatu keuntungan merupakan perbuatan illegal. Namun hukum kesulitan
menjangkaunya, karena objek hukum adalah perilaku, sedangkan perbuatan
tersebut masuk ranah internum atau batin seseorang yang hanya diketahui empunya.
Konteks seperti ini berlaku asas cogitationis poenam nemo patitur artinya tidak
seorangpun dapat dihukum atas apa yang ia pikirkan.

Terakhir, Indonesia sebagai bangsa yang besar, memilki jumlah penduduk


yang padat, dan masyarakat yang majemuk, tentu membuat tanah air ini rentan akan
sekelumit permasalahan baik hukum maupun HAM terutama bagi penganut
ateisme. Dianggap tabu oleh umat beragama, diskriminasi, hingga pengucilan kerab
terjadi. Namun dalam konteks kemanusiaan, hak selamanya akan menjadi hak. Apa
yang diyakini seseorang tidak membuat gugurnya kewajiban negara dalam
memberikan perlindungan HAM. Meskipun begitu, hak selalu berdampingan
dengan kewajiban, karenanya penganut ateisme wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku dengan bersikap yang benar. Di sisi lain, seluruh
warga negara memiliki kewajiban untuk saling menghargai, demi terciptanya
kenyamanan dan keamanan dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara.

Anda mungkin juga menyukai