Anda di halaman 1dari 8

Kebangsaan & Keagamaan: Dua Kiblat Kehidupan Berbangsa & Bernegara

Oleh,

Veronica

Wandita Komala Kendra

Program Studi Teknologi Elektromedis

Universitas Sanata Dharma

Email: wnd3183@gmail.com

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia didirikan dari berbagai keberagaman suku bangsa yang kemudian
bersatu bersama-sama mempersembahkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara yang terdiri dari berbagai macam budaya, suku, ras, bahasa, agama,
kepercayaan, dan keberagaman lainnya yang menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
plural. Keberagaman inilah yang seharusnya menjadi modal untuk pembangunan serta
perkembangan Indonesia agar bisa menjadi suatu negara yang besar serta kuat dan juga disegani
oleh negara-negara lain. Kita sebagai bangsa Indonesia harus tetap mempertahankan keberagaman
yang telah ada, karna ini merupakan kekayaan serta kebanggaan bangsa Indonesia. Para pendiri
bangsa telah mewariskan keberagaman tersebut dalam suatu bingkai pemersatu sehingga terjalin
kerukunan yang erat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dan Bhineka Tunggal
Ika telah menyatukan seluruh keberagaman dan perbedaan yang dimiliki oleh Indonesia. Di dalam
bingkai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika inilah terjalin keharmonisan dalam berbangsa dan
bernegara.

Dari banyaknya keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia, agama merupakan salah
satu yang turut menjadikan Indonesia menjadi negara yang plural.
PEMBAHASAN

Agama sendiri memiliki arti sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia
yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Pemerintah Indonesia mengakui 6
(enam) agama berbeda yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Mengapa
hanya enam agama ini? Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir
seluruh penduduk Indonesia, maka mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29
ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti
yang diberikan oleh pasal ini.

Bukan hanya menghiasi keberagaman bangsa Indonesia, agama juga turut mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi para masyarakat Indonesia. Berbangsa adalah manusia
yang memiliki kesamaan tertentu, seperti nasib, suku, adat, ras, sejarah, budaya dan lainnya, yang
terikat landasan moral etik atau akhlak dalam mewujudkan makna adil dan makmur bersama.
Sedangan bernegara ialah sekumpulan orang yang mendiami satu wilayah tertentu dan memiliki
struktur pemerintahan yang disepakati bersama.

Agama dalam kehidupan bernegara di Indonesia merupakan ajaran, nilai, dan keyakinan
yang dijamin keberadaan dan hak dasarnya dalam konstitusi. Semua agama memperoleh tempat
penting dalam bernegara, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pengingkaran
atas keberadaan agama di Republik ini sama saja juga mengingkari sejarah panjang berdirinya
negara Indonesia yang sejatinya kemerdekaan bangsa ini juga merupakan perjuangan semua
agama yang ada di Indonesia. Dan selain itu juga sepenuhnya tidak sejalan dengan konstitusi.

Namun sayang, akhir-akhir ini pengingkaran atas keberadaan agama di Indonesia malah
marak terjadi bahkan sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah. Contohnya dikehidupan sehari-
hari seperti pertanyaan tentang agama apa yang dianut oleh seseorang. Segala sesuatu selalu
dikaitkan dengan agamanya apa. Di media sosial banyak warga net yang masih sering menanyakan
agama seseorang dan bahkan apabila agama yang dianutnya berbeda atau bukan yang mayoritas
tak sedikit orang akan langsung berhenti memfollow orang tersebut. Atau bahkan tak sedikit orang
juga malah menasehati bahwa kalau menganut agama tertentu merupakan dosa serta kesalahan
terbesar dan tak jarang pula dibumbui dengan ayat-ayat suci dari kitab suci mereka, untuk
membuktikan dan memperkuat perkataan dari nasehatnya tersebut, yang menyatakan bahwa
agama diluar (selain yang dianut mereka) merupakan sesat. Selain dibumbui dengan ayat-ayat suci
terkadang ada juga yang menambahkan kalimat-kalimat syahadat yang biasa digunakan untuk
resmi memasuki agama mereka. Selain di dunia maya, kejadian seperti ini juga tak jarang ada dan
terjadi di kehidupan nyata. Pertanyaan tentang agama apa yang dianut sudah seperti masuk ke
dalam list pertanyaan yang wajib ditanyakan ketika bertemu seseorang. Padahal menurut saya
pribadi agama merupakan sesuatu yang pribadi dan tidak sepatutnya dipertanyakan. Karena,
menurut saya, agama merupakan sebuah topik yang sangat sensitif untuk ditanyakan kepada orang
lain terlebih orang yang tidak kita kenal atau yang baru saja kita kenal. Meskipun tujuannya untuk
mengetahuinya guna mengatur sikap kita terhadap orang tersebut, tetapi tetap saja hal tersebut
dianggap tidak etis di masyarakat. Bagi yang tidak menunjukan identitas agamanya juga bukan
berarti dia berdosa dan tidak bangga akan agamanya, iman seseorang dalam beragama tidak
ditentukan dari menjawab pertanyaan tentang identitas keagamaan. Alasan lain yang mendukung
individu untuk tidak menunjukan identitas agamanya bisa jadi karena orang tersebut memiliki
realitas sosial atau pengalaman yang tidak menyenangkan seperti perlakuan diskriminasi, menjadi
buah bibir, pembullyan, dan lain sebagainya oleh lingkungan sekitar. Misalnya, ketika dilontarkan
pertanyaan agamanya apa lalu jawaban yang diberikan diluar dugaan, bukan yang seiman atau
yang mayoritas, tak sedikit orang akan memberikan refleks wajah yang aneh atau hanya
memberikan tanggapan yang singkat namun canggung dan seketika suasana obrolan, yang
awalnya biasa saja, berubah menjadi aneh. Realitas sosial yang buruk tersebut tentunya
memberikan beragam dampak negatif, seperti kurangnya percaya diri akan agamanya karena tidak
sesuai dengan mayoritas, dapat memberikan trauma secara mental dan tidak mau bersosialisasi.
Tentu tidak semua orang marah jika ditanya oleh orang tidak dikenal akan identitas agamanya, hal
itu dikarenakan tiap individu memiliki pola pikir yang berbeda-beda akan suatu hal. Jika kita lihat
di sisi lain, ada juga orang yang merasa bangga dengan menunjukan identitas agamanya, dan tidak
ada yang salah akan hal tersebut. Yang menurut saya rasa bangga ini muncul karena ketika ditanya
hal tetek bengek tentang agama seperti itu ia mendapatkan respon positif dari lawan bicanya yang
kemudian percakapan mereka akan terus mengalir tanpa ada canggung dan jelas dengan suasana
obrolan yang makin nyaman.

Ya…. Memang pertanyaan tentang agama ini, bagi sebagian orang, dianggap sebagai hal
kecil dan sepele (apalagi bagi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan kesadaran yang
sangat rendah). Namun, dari hal kecil nan sepele inilah bisa lahir dan terjadi sesuatu yang luar
biasa besar yang dapat menggoyahkan dan merusak kedamaian, kerukunan, serta persatuan negara
ini. Dan tak bisa dipungkiri itu, sesuatu yang bisa merusak persatuan bangsa ini, sudah terjadi
bahkan jauh sebelum masa kini.

Pada masa Orde Baru selama 32 tahun, agama Khonghucu mengalami diskriminasi karena
adanya Inpres No. 14 tahun 1967 yang berisi bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina
di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat
menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap
warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur
serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar. Dan dari Inpres ini bukan hanya orang yang
memeluk agama Khonghucu namun, semua orang yang beretniskan Tionghoa mengalami
diskriminasi yang luar biasa. Mereka, orang-orang Tionghoa, bahkan dalam hal mengurus surat-
surat penting, seperti Kartu Keluarga, Paspor, Surat Pernyataan Warga Negara Republik Indonesia,
dan sebagainya, akan sangat amat dipersulit oleh para pemangku jabatan pada masa itu. Walaupun
ketika masa pemerintahan Gus Dur mencabut Inpres No. 6 tahun 1967 dan Surat Edaran Mentri
Dalam Negeri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978 tentang pembatasan kegiatan agama,
kepercayaan dan adat istiadat Cina, dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000, dikriminasi
terhadap agama Khonghucu dan etnis Tionghoa masih saja terasa sampai sekarang. Banyak orang
yang memandang orang etnis Tionghoa dengan aneh. Dan bahkan di lingkungan masyarakat, anak-
anak keturunan Tionghoa masih sering mendapatkan perundungan atau bullyan dari anak-anak
lain yang seumurannya. Entah dibully secara verbal, dengan mengejek fisik dan kata-kata kasar,
maupun secara fisik.

Selain kasus yang telah dijelaskan diatas, ada juga kasus lain yang menimpa umat yang
beragama Hindu. Rencana pembangunan pura di Desa Sukahurip, Kabupaten Bekasi, ditolak
sekelompok orang dengan tudingan jumlah penganut Hindu di kampung itu sangat minim. Namun
komunitas Hindu bersikukuh telah memenuhi seluruh syarat pendirian rumah ibadah, apalagi
hingga saat ini belum ada satu pun pura di kabupaten dengan jumlah penganut Hindu sekitar 7.000
orang. Terlontar ucapan 'jihad' dari beberapa orang pedemo di sekitar calon lahan pura. Salah
seorang pimpinan demo yang menyebut dirinya sebagai Haji Akbar Kamal, menuding rencana
pembangunan pura itu mengada-ada. Ia mengatakan hanya terdapat satu penganut Hindu di desa
tempat pura akan didirikan. "Sarana ibadah harus ada jemaah, minimal 90 orang. Kan di sini cuma
ada satu, jadi terkesan dipaksakan, membangun rumah ibadah yang cakupannya satu kabupaten,"
kata Akbar. Akbar mengutip syarat yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006. Beleid itu mengharuskan pembangunan rumah
ibadah disertai daftar nama 90 umat yang bakal menggunakan peribadatan. Ada juga kewajiban
meraih dukungan dari 60 warga lokal. "Kalau mereka mencukupi syarat dan transparan dengan
masyarakat setempat, mungkin alasan mereka bisa kami terima," lanjutnya. Namun beragam
tudingan itu disanggah. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengklaim telah memenuhi
seluruh persyaratan, termasuk dukungan dari warga lokal. I Made Pande Cakra, pengurus PHDI
wilayah Bekasi, justru menyebut kelompok penolak pendirian pura bukanlah warga yang tinggal
di permukiman setempat. "Semua syarat sudah terpenuhi, FKUB tinggal memverifikasi dukungan
60 orang. Kalau itu sudah selesai, rekomendasi akan keluar, lalu diajukan izin ke bupati," kata
Pande. "Yang demo kemarin bukan warga kabupaten, tapi dari kota Bekasi. Orang yang tidak tahu-
menahu bilang warga desa tidak mendukung, padahal mendukung sekali," ucapnya. Sejumlah
warga Sukahurip meradang saat ditanyai rencana pembangunan pura di kampung mereka, meski
sebagian menganggap tak ada persoalan yang perlu didebatkan. Lahan yang disiapkan komunitas
Hindu di Bekasi menjadi pura berada di Desa Sukahurip, sekitar 30 kilometer dari kompleks
pemerintahan kabupaten. Lahan itu, kata Pande Cakra, dihibahkan tokoh Hindu setempat yang
telah wafat, Anak Agung Oka Darmawan. Kelompok penentang mempertanyakan niat
pembangunan pura di daerah yang menurut mereka pelosok dan sulit diakses. Keraguan itu
dijawab dengan klaim bahwa lokasi itu merupakan tempat sakral bagi umat Hindu. "Tempat itu
secara spiritual adalah petilasan, peninggalan kerajaan pertama Pasundan. Nilai magisnya luar
biasa, cocok untuk pura kami," kata Pande Cakra. "Soal akses jalan, tidak sulit. Ada jalan raya,
mobil bisa masuk ke sana," tuturnya. Merujuk data PHDI Bekasi, penganut Hindu di kabupaten
itu mencapai enam sampai tujuh ribu orang. Hingga saat ini mereka tidak memiliki rumah ibadah
dan beribadah di Pura Agung Tirta Bhuana yang berada di kawasan Jakasampura, Kota Bekasi.
Pura ini terletak sekitar 30-40 kilometer dari lokasi yang bakal dijadikan pura di Sukahurip. Pande
Cakra menyebut pura itu semakin sesak karena tak mampu menampung umat Hindu dari kota dan
kabupaten Bekasi. Di sisi lain, pegiat kebebasan beragama menyebut jumlah umat tidak
semestinya menjadi dasar pendirian tempat peribadatan. Sementara itu, peneliti dari institut untuk
demokrasi dan perdamaian, SETARA Institute for Democracy and Peace, mendesak pemerintah
untuk mengubah regulasi pembangunan rumah ibadah yang dinilai terus memicu dikotomi
mayoritas-minoritas.

Sebenarnya dikontomi mayoritas dan minoritas secara ekstrim pernah terjadi di ibukota
DKI Jakarta. Lebih tepatnya ketika Pemilihan Gubernur tahun 2017. Bahkan Pilkada ini bisa
dibilang yang paling brutal dalam sepanjang sejarah pemilihan gubernur Jakarta. Pada pemilihan
gubernur Jakarta tahun 2017 terdapat 3 pasang calon gubernur dan wakil gubernur. Paslon yang
pertama ada Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, yang kedua ada Basuki Tjahaja
Purnama dan Djarot Saiful Hidayat dan pasangan yang ketiga Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Awalnya Pilkada DKI Jakarta datar saja. Ahok sang gubernur elektabilitas dan popularitasnya tak
terkalahkan di sejumlah hasil survei. Dengan gaya kepemimpinannya yang khas, Ahok dielu-
elukan bisa dua kali memimpin Ibu Kota. Petaka datang setelah video pidato Ahok yang
menyinggung Surah Al Maidah Ayat 51 di Pulau Pramuka, Kepualauan Seribu pada 27 September
2016 tersebar di media sosial. Ahok pun jadi sasaran karena dituduh menistakan agama. Dia ramai-
ramai dilaporkan ke polisi. Gelombang unjuk rasa massa terjadi di berbagai daerah hingga
puncaknya demo besar-besaran di Jakarta pada 4 November dan 2 Desember 2016. Kedua unjuk
rasa menuntut Ahok dipenjara itu diistilahkan sebagai “aksi bela Islam” 411 dan 212. Ahok ditolak
di berbagai tempat saat berkampanye karena dituding sebagai penista agama, hingga ia memilih
berkampanye di markas tim pemenangannya dengan mengumpulkan para simpatisan dan
pendukungnya. Selain kasus penistaan agama, Ahok juga diterpa tudingan dugaan korupsi Rumah
Sakit Sumber Waras bahkan reklamasi Jakarta. Penantangnya Silviana Murni juga diserang kasus
dugaan korupsi pengelolaan dana hibah dan pembangunan masjid. Pilgub DKI tak hanya sengit di
dunia nyata, tapi juga panas di dunia maya. Warga luar Jakarta pun ikut serta ‘beradu’ opini di
media sosial tentang Pilgub DKI. Media dihiasi perang opini kubu "bertikai" dan analisis
pengamat. Pemungutan suara Pilkada DKI pada Rabu 15 Februari 2017 berlangsung aman. Ahok-
Djarot keluar sebagai pemenang dengan raihan 2.364.577 suara atau 42,99 persen. Di susul Anies-
Sandi dengan 2.197.333 atau 39,95 suara, kemudian Agus-Sylviana 937.955 atau 17,07 persen
suara. Karena tak ada yang memiliki suara di atas 50 persen, laga dilanjutkan ke ronde kedua.
Pesertanya Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Meski tak ada kampanye terbuka, pertarungan Pilgub
Jakarta putaran kedua tetap panas. Aksi dan desakan agar Ahok dipenjara atas kasus penistaan
agama terus terjadi meski sudah disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ahok beberapa kali
meminta maaf, tapi tak meredam aksi massa yang anti padanya. Ia dan pasangannya Djarot juga
masih ditolak di sana-sini saat blusukan. Poster-poster dengan isu SARA bermunculan. Aksi bagi-
bagi sembako jelang pilkada juga marak. Elektabilitas Ahok menurun di beberapa survei yang
dinilai efek dari kasus Al Maidah yang menjeratnya. Pilgub DKI Jakarta putaran kedua yang
berlangsung Rabu 19 April 2017 telak dimenangkan Anies-Sandi dengan raihan 57,96 persen
suara. Jauh meninggalkan Ahok-Djarot yang hanya mendapat 42.04 persen suara. Nasib Ahok
setelah kalah lebih tragis. Dia divonis dua tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Utara dalam sidang di Aula Kementerian Pertanian, pada Selasa 9 Mei 2017. Pidatonya di
Kepulauan Seribu yang menyingguh Surah Al Maidah Ayat 51 dinyatakan memenuhi unsur
penistaan agama. Ahok langsung ditahan ke Lapas Cipinang sebelum dipindah ke Rutan Mako
Brimob, Kelapa Dua, Depok. Ia mundur dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, menyerahkan
posisinya ke Djarot Saiful Hidayat. Massa anti-Ahok menyambut gembira dipenjaranya mantan
Bupati Belitung Timur itu. Tapi, sikap sebaliknya ditunjukkan kubu pendukung Ahok. Mereka
menggelar aksi solidaritas di berbagai titik untuk Ahok yang dianggap sebagai korban
kriminalisasi.

Dari cerita panjang diatas, jelas banyak memberikan dampak di lingkungan masyarakat.
Ketegangan benar-benar terasa, terutama bagi para etnis Tionghoa dan umat yang beragama
minoritas. Banyak diskriminasi yang dirasakan dan banyak isu SARA yang bertebaran. Bahkan
ini masuk sampai dilingkungan sekolah. Contohnya, ketika ada nama anak yang dipanggil dan
namanya tidak terdengar seperti “pribumi” maka orang-orang disekitarnya mulai berbisik “antek
cina, antek cina”, “kafir kafir” dan lain sebagainya. Saya pun mengalami hal yang sama. Waktu
itu saya baru saja duduk di bangku SMA dan kebetulan di kelas, saya adalah satu-satunya orang
Katholik (semuanya Islam). Dan dimomen itulah saya pertama kali dipanggil dengan istilah
“Kafir.” Saya tidak bisa melawan, karna beragama “minoritas”

PENUTUP

Dikotomi atau pembagian istilah mayoritas minoritas kerap digunakan banyak pihak untuk
menyikapi berbagai masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Seharusnya,
sebagai bangsa yang tidak mengenal sistem kasta dan menjunjung tinggi Pancasila yang berazas
berbeda-beda tetapi tetap satu, istilah minoritas mayoritas di Indonesia harus dihilangkan. Jika
dibiarkan, negara ini akan sulit mendapatkan titik keseimbangan. Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang sudah ditakdirkan hidup dalam kondisi plural. Namun, pluralitas bangsa Indonesia jangan
sampai secara ideologi. Sepanjang kita masih membicarakan mayoritas dan minoritas, maka itu
berarti kebangsaan kita masih belum bulat

“Mayoritas Melindungi Minoritas; Minoritas Menghormati Mayoritas"

Pernyataan itu bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi kita. UUD 1945 tidak pernah membuat
dikotomi mayoritas-minoritas. Bahwa setiap agama dan kepercayaan apapun yang hidup di bumi
Nusantara, sama-sama memiliki status hukum yang sama. Tidak dijumpai pengategorian
mayoritas-minoritas. Setiap penganut keyakinan apapun (asal legal/sah) memiliki hak dan
kewajiban yang setara di mata hukum. Oleh karenanya, tugas untuk melindungi setiap warga
negara menjadi kewajiban Negara yang bersifat prinsipal.

Anda mungkin juga menyukai