Anda di halaman 1dari 22

PARADIGMA POLITIK ISLAM INDONESIA: TELAAH

TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID


Oleh:
Muhammad Ridho Arief Rausan Fikri
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sultan
Aji Muhammad Idris Samarinda
E-mail: ridhoariefrausan@gmail.com

Abstrak

Dalam artikel ini, peneliti menganalisis paradigma politik Islam di Indonesia


dengan berfokus pada gagasan Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur. Gus Dur
dianggap sebagai representasi dari paradigma politik Islam di Indonesia
yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan hak asasi manusia, pluralisme,
dan demokrasi. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang konsep politik Islam Gus Dur,
bagaimana hal itu berdampak pada kemajuan politik Indonesia, dan
bagaimana hal itu relevan untuk masyarakat modern.

Kata kunci: Politik Islam di Indonesia, Abdurrahman Wahid.

Abstract

In this article, we analyze the Islamic political paradigm in Indonesia by


focusing on the ideas of Abdurrahman Wahid, or Gus Dur. Gus Dur is
considered a representation of an Islamic political paradigm in Indonesia that
combines Islamic values with human rights, pluralism, and democracy. The
purpose of this article is to gain a better understanding of Gus Dur's concept
of Islamic politics, how it has impacted Indonesia's political progress, and
how it is relevant for modern society.

Keywords: Political Islam in Indonesia, Abdurrahman Wahid

1 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


A. PENDAHULUAN
Berdasarkan data statistik Indonesia merupakan Negara dengan
penduduk terpadat ke-4 di dunia yaitu sebanyak 277,7 juta jiwa1. Dengan
banyaknya jumlah penduduk tersebut menciptakan Indonesia sebagai Negara
yang memiliki keanekaragaman suku ras budaya agama, dan ternyata selain
menduduki urutan ke-4 sebagai Negara dengan populasi penduduk terpadat,
Indonesia juga merupakan Negara dengan populasi umat beragama Islam
terbesar di dunia, yaitu sebesar 231 juta jiwa penduduk, yang artinya sebanyak
86,7% masyarakat Indonesia memeluk agama Islam2.
Jika ditinjau dari aspek sejarah keberadaan Islam di Indonesia sudah
ada sejak zaman kerajaan (sebelum kemerdekaan), sehingga dapat dikatakan
Islam sudah sangat mengakar di Indonesia3. Perkembangan Islam di Indonesia
ternyata membawa dampak yang begitu besar pada dinamika Negara, adanya
hukum Islam membawa pengaruh terhadap pergerakan politik di Indonesia4.
Hadirnya partai politik Islam di zaman orde baru seperti Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Muslimin Indonesia (PERMUSI), merupakan
salah satu contoh dari adanya eksistensi Islam di dalam ranah politik
Indonesia. Selain itu di era 80an hadir juga tokoh-tokoh Islam yang membawa
sumbangan pikiran yang berfokus pada modernisasi (neo-modernisme),
sosialisme demokrasi Islam, universalisme, dengan para tokoh diantaranya
Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Jalaluddin Rakhmat,
AM. Saefudin dan Abdurrahman Wahid. Adanya pola pemikiran baru tersebut

1
Cindy Mutiara Annur, “10 Negara Dengan Jumlah Penduduk Terbanyak Di Dunia Pertengahan
2023,” databoks.katadata.co.id, 2023, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/28/10-
Negara-dengan-jumlah-penduduk-terbanyak-di-dunia-pertengahan-2023.
2
Aulia Mutiara Hatia Putri, “Negara Dengan Umat Muslim Terbanyak Dunia,” CNBC INDONESIA,
2023, https://www.cnbcIndonesia.com/research/20230328043319-128-424953/Negara-dengan-umat-
muslim-terbanyak-dunia-ri-nomor-berapa.
3
Wazin Baihaqi, “Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan Kekuasaan Politik Di Indonesia,” Al-
Qalam 22 (2005): 1–20, https://doi.org/https://doi.org/10.32678/alqalam.v22i1.1437.
4
Sirojul Munir, “Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia,” Istinbath 13, no. 1
(2014): 1–25.

2 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


membuat dikotomi tradisionalis-modernis menjadi semakin pudar.
Pembaharuan pemikiran tersebut mempengaruhi perubahan orientasi
organisasi dari para pemimpin Islam, jika sebelumnya fokus perjuangan Islam
terletak pada jalur politik, maka dalam progresi selanjutnya titik perjuangan
Islam berada pada bidang yang lebih luas dan konkrit, seperti membebaskan
umat dari kebodohan dan kemiskinan5, hal ini tentu sejalan dengan cita-cita
Negara Indonesia yang sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea ke IV
yang berbunyi: “melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”6.
Berbicara mengenai tokoh politik Islam tentu kita sudah tidak asing
lagi dengan sosok KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur,
gagasan Gus Dur dalam kancah politik di Indonesia dianggap mencipatakan
suasana yang dinamis, ia dianggap sebagai figur yang fenomenal dalam
realitas sosial politik masyarakat Indonesia. Pemikirannya seringkali menjadi
sasaran para kritikus yang selalu ingin menyangkal pendapatnya, sekaligus
menjadi tumpuan bagi para kaum minoritas yang terancam keberadaannya.
Hal ini tentunya tidak lepas dari dari landasan pemikiran Gus Dur yang selalu
mengedepankan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dalam konteks
Islam7.
Artikel ini akan membahas pemikiran politik Gus Dur dan dampaknya
pada politik Islam di Indonesia, serta relevansinya dalam perubahan politik
dan sosial kontemporer. Melalui telaah terhadap pemikiran Gus Dur, artikel
ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
kompleksitas politik Islam di Indonesia dan cara pemikiran ini memengaruhi
perkembangan Negara dan masyarakatnya.
5
Qisthi Faradina Ilma Mahanani et al., “ISLAM AND POLITICS IN INDONESIA (Historical
Perspective),” Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities 3.1 (2022): 1–199.
6
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” n.d.,
https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945.
7
Al-Zastrouw Ng., Gus Dur Sih Siapa Sampeyan? Tafsir Teoritik Atas Tindakan Dan Pernyataan Gus
Dur, 1999.

3 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


B. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Biografi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, merupakan
tokoh yang dikenal sebagai sosok humanis. Beliau lahir di sebuah kota santri
atau yang dikenal dengan kota Jombang pada tanggal 8 Oktober 1940. Gus
Dur merupakan putra sulung dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai
Solichah. Pada masa pendidikannya Gus Dur terbilang cukup unik, berbeda
dengan ayah dan kakeknya yang tidak mengenyam pendidikan modern, Gus
Dur justru lebih dahulu menempuh pendidikan modern di masa pendidikan
dasar dan lanjutannya, akan tetapi beliau sudah mendapatkan pendidikan
pesantren sejak kecil dari kedua orang tuanya, bahkan sejak kecil ia sudah
belajar bahasa Arab dan sudah fasih membaca Al-Qur‟an8.

Berdasarkan riwayat pendidikannya, Presiden RI ke-4 tersebut


menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jakarta, kemudian melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di
Yogyakarta, sembari menempuh pendidikan menengah pertama, Gus Dur juga
belajar bahasa Belanda kepada seorang muallaf berkebangsaan Jerman
bernama Williem Bohl. Satu tahun kemudian, disaat yang bersamaan beliau
juga berusaha untuk pergi dan menjalani pendidikan dengan menjadi santri di
pondok pesantren Krapyak yang diasuh oleh K.H. Ali Ma‟sum hingga tamat
pada tahun 1957.9

Pada saat menempuh pendidikan di Jogja Gus Dur kerap kali melihat
berbagai pertunjukan seni, diketahui bahwa Gus Dur sejak kecil sudah
mengenal berbagai dunia seni mulai dari seni yang identik dengan budaya

8
Muhammad Rifai, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009, ed. Atania Rahma
(Jogjakarta: Garasi, 2014).
9
Indo Santalia, “K.H. Abdurrahman Wahid : Agama Dan Negara, Pluralisme, Demokratisasi, Dan
Pribumisasi,” Jurnal Al-Adyan 1 (2015): 138–46.

4 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


pesantren bahkan seni musik modern, tak heran jika beliau dikenal sebagai
tokoh yang sangat mempertahankan tradisi namun tidak ingin pula
ketinggalan terhadap perkembangan zaman modern yang ada. Selain
mendapatkan previllage dengan berguru pada orang-orang yang kuat
pengetahuannya, Gus Dur juga diberkahi dengan kemampuan berupa ingatan
yang kuat dan kecakapan dalam memahami suatu bacaan.

Setelah menamatkan pendidikannya di Yogyakarta Gus Dur kemudian


melanjutkan pendidikannya di Mgelang dan berguru pada seorang kyai
Kharismati yakni Kyai Khodori di pondok pesantren Tegalrejo, disini Gus
Dur belajar secara penuh keilmuan di dunia pesantren. Pada saat yang
bersamaan di paro waktu beliau juga berguru pada kakeknya dari sang ibu
yaitu kyai Bisri Syansuri di pesantren Denanyar Jombang. Dua tahun
berselang, Gus Dur kembali melanjutkan pendidikannya lagi lagi di pesantren,
kali ini Gus Dur belajar di pesantren Tambakberas yang diasuh oleh kyai
Wahab Hasbullah, dari sinilah kemudian Gus Dur mendapatkan pendidikan
yang cukup intens dari kyai Wahab Hasbullah, beliau mendapat dorongan
untuk menjadi seorang pengajar, hingga pada akhirnya beliau mengajar
bahkan pernah menjadi kepala madrasah modern. Melalui pesantren Gus Dur
minatnya bertambah khususnya pada studi Islam serta tradisi-tradisi sufistik
dan mistik dari kebudayaan Islam, tak heran beliau seringkali berkunjung ke
makam para wali, kyai, dan ulama di waktu tengah malam. Mewarisi sifat
kakeknya Syeikh Hasyim Asy'ari dan ayahnya K.H. Wahid Hasyim, yang
selalu haus akan ilmu pengetahuan dan selalu merasa kurang dalam belajar,
demikian juga dengan Gus Dur. Maka dari itu beliau melanjutkan
pendidikannya keluar negeri, yaitu Kairo, Baghdad, dan kemudian Eropa10.

10
Rifai, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009.

5 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


Beliau melanjutkan kuliah di Al-Azhar university pada tahun 1964-
1966, merasa kecewa terhadap level pengajaran disana membuat Gus Dur
lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan dan di
warung kopi, sambil berpartisipasi dalam kegiatan diskusi intelektual, debat
politik dan budaya, khususnya berkaitan dengan baik buruknya sosialisme dan
nasionalisme Arab. Selanjutnya pada tahun 1966-1970 beliau kuliah di
fakultas seni di Universitas Baghdad, disana ia melihat pendidikan yang
cenderung sekuler dan bergaya barat, hingga membuat ia yakin bahwa Islam
harus di tafsirkan ulang, walaupun pendidikan S2 telah di tempuh, penulisan
tesisnya menjadi tertunda akibat profesor penasihatnya meninggal. Akhirnya
Gus Dur pergi ke Eropa untuk melanjutkan studi, dan menghabiskan waktu
mulai dari pertengahan 1970-1971 berkeliling Eropa dan belajar bahasa
Prancis, Inggris dan Jerman. Setelah selesai melalang buana di manca Negara
Gus Dur kembali ke Indonesia dan bergabung di Fakultas Ushuluddin
Universitas Hasyim Asy'ari, dan menjadi dekan hingga tahun 1974. Selain itu
di tahun 1970an Gus Dur menekuni dunia tulis menulis dan menjadi kolumnis
tetap di majalah Tempo, Kompas, Pelita, dan Jurnal Prisma. Selain itu di
bidang organisasi Gus Dur pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) periode 1982-1985, lalu menjabat sebagai ketua PBNU tahun 1989 dan
1994 berturut-turut, dan terpilih menjadi Presiden RI Ke-4 pada Oktober
1999.11

Greg Barton seorang Profesor di bidang politik Islam di Globaldi


Deakin University di Australia, dalam bukunya yang berjudul Gus Dur : The
Authorized Biography of Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa Gus Dur
merupakan sosok pemimpin yang bersahaja, dalam beberapa situasi
kepribadian Gus Dur nampak sulit ditebak, bahkan guru besar di bidang

11
Santalia, “K.H. Abdurrahman Wahid : Agama Dan Negara, Pluralisme, Demokratisasi, Dan
Pribumisasi.”

6 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


politik Islam tersebut dalam bukunya mengatakan perlu waktu beberapa
bertahun bagi dirinya untuk menyimpulkan sikap dari sosok Abdurrahman
Wahid. Namun terlepas dari semua itu, Gus Dur merupakan seorang yang
berpenampilan sedrhana dengan pembawaan yang santai, hal tersebut terlihat
dari cara bicara dan pakaian yang dikenakannya hanya berupa kemeja murah
dengan kancing bawah yang sulit terkancing, serta duduk di kantor PBNU
(Pengurus Besar Nahdatul Ulama) yang terbilang cukup sederhana, padahal
beliau merupakan tokoh politisi yang sangat terkenal terutama dikalangan
para kiayi dan para diplomat.

Menurut Barton, Gus Dur adalah sosok yang sangat terbuka terhadap
pluralitas dalam Islam. Dia mencoba memahami dan menghormati berbagai
aliran dan tradisi dalam Islam, serta menyuarakan pesan toleransi, dialog
antaragama, dan kebebasan beragama. Barton juga menggambarkan Gus Dur
sebagai seorang yang sangat cerdas secara politik, namun sering kali kurang
dipahami oleh banyak orang karena kecenderungannya untuk berbicara dalam
bahasa yang kompleks dan filosofis. Secara keseluruhan, Barton
menggambarkan Gus Dur sebagai sosok yang sangat inspiratif dan
berpengaruh dalam membawa pesan toleransi, pluralisme, dan pemahaman
Islam yang inklusif di Indonesia.12

2. Konsep Politik Islam KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


a. Agama dan Negara
Jika membahas mengenai politik maka tentu tidak terlepas dari sistem
pemerintahan di suatu Negara, namun jika membahas tentang politik Islam
maka timbul pertanyaan “apakah politik Islam mengharuskan sebuah Negara
menerapakan ideologi Islam dalam pemerintahannya?” sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai hubungan

12
Greg Barton, Gus Dur : The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: Equinox
Publishing, 2008).

7 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


Islam dan Negara, menurut Gus Dur sejatinya Islam tidak mengenal doktrin
tentang Negara, tidak ada doktrin secara utuh yang mengharuskan suatu
Negara harus berbentuk “Negara Islam”13.

Berbeda dengan Muhammad Natsir yang menginginkan Islam menjadi


ideologi dasar Negara, bagi Gus Dur jika menerapkan Islam sebagai dasar
ideologi hanya akan membuat disintegrasi dan konflik horizontal, hal ini
karena agama, politik, dan budaya yang diideologikan membuat fungsinya
menjadi terdistorsi14. Menurut Gus Dur agama sejatinya adalah hukum atau
aturan, dalam Islam sendiri tidak mengenal konsep pemerintahan yang
definitif, sehingga peran umatlah yang harus berpengaruh, bagi Gus Dur Islam
tidak perlu diformalkan sebagai sebuah bentuk Negara, cukup umat Islam
yang mesti berperan secara informal dalam pengembangan demokrasi.
Pemikran dari Gus Dur ini sejalan dengan Qamaruddin Khan, Dosen
Universitas Karachi, yang menyatakan tujuan diturunkannya Al-Qur‟an
bukanlah untuk menciptakan Negara, melainkan untuk memberdayakan
masyarakat. Ketidakadaan bentuk Negara yang baku dalam Islam membawa
hikmah tersendiri, sebab tanpa harus ada bentuk Negara Islam secara formal
jika masyarakat didalamnya sudah mencerminkan masyarakat yang Qur‟ani
maka hal tersebut sudah cukup untuk menjamin tanda-tanda Negara Islam15.

Ada dua hal yang menyebabkan Gus Dur menolak didirikannya


Negara Islam. Pertama, pernyataan bahwa Negara Islam (Islamic state) tidak
disebutkan secara jelas di dalam Al-Qur‟an, meskipun pada potongan QS.
Saba‟ ayat 15 yang berbunyi: ‫ب َغ ُف ْوٌر‬
ٌّ ‫ بَلْ َدةٌ طَيِّبَةٌ َّوَر‬yang artinya “(Negerimu) adalah

negeri yang baik (nyaman), sedangkan (Tuhanmu) Tuhan Yang Maha

13
Muh Rusli, “Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur,” Jurnal Farabi 12 (2015): 50–71.
14
Ach Khoiri, “Islamic Political Thought in Indonesia (Thought Study KH. Abdurrahman Wahid
Concerning the Relationship Between Islam and the State),” Voice Justisia: Jurnal Hukum Dan
Keadilan, 2019, 1–22.
15
Rusli, “Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur.”

8 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


Pengampun.”16. Ayat ini lebih terfokus pada konteks sosiologi dimana Negara
yang baik, akan penuh dengan pengampunan tuhan, atas dasar inilah pendpat
Gus Dur bahwa Islam tidak perlu menjadi ideologi Negara, melainkan hanya
cukup menjadi nilai etik di kehidupan masyarakat. Kedua, berdasarkan fakta
historis dalam sejarah Islam, tidak ada yang menunjukan secara baku
bagaimana mekanisme politik dalam Islam, bahkan keempat khalifah saja
terpilih melalui prosesi yang berbeda satu sama lain, padahal lewat
pengangkatan pemimpin kita bisa mengetahui sistem politik suatu Negara17.

Maka dapat dipastikan bahwa agama Islam tidak mengharuskan suatu


Negara untuk menerapkan ideologi Islam kedalam bentuk pemerintahan
Negara, sebab tidak ada aturan baku di dalam Al-Qur‟an yang menyatakan hal
tersebut, maka pada dasarnya setiap wilayah yang bersangkutan (Negara)
bebas menentukan sistem politik dan ideologi yang ingin dianut, entah itu
demokrasi, monarki, parlementer, dan lainnya. Yang terpenting menurut Gus
Dur adalah terpenuhinya tiga kriteria yaitu; pertama, mengedepankan prinsip
musyawarah mufakat. Kedua, mengakkan keadilan. Ketiga, terjaminnya
kebebasan (al-huriyyah)18.

Selain itu menurut Gus Dur menjadikan agama apapun baik itu Islam
ataupun agama lainnya sebagai ideologi Negara secara formal di Negara yang
pluralistik seperti Indonesia hanya akan memicu terjadinya disintegrasi, sebab
sangat tidak mungkin menjadikan salah satu agama sebagai dasar ideologi
Negara, ditengah keberagaman agama yang ada di Indonesia. Sejatinya
keberagaman yang ada di Indonesia sudah menjadi hukum alam dan sudah

16
“QS. Saba Ayat 15,” n.d., https://quran.nu.or.id/saba‟/15#:~:text=Sungguh%2C pada kaum Saba‟
benar,Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya.
17
Khoiri, “Islamic Political Thought in Indonesia (Thought Study KH. Abdurrahman Wahid
Concerning the Relationship Between Islam and the State).”
18
Santalia, “K.H. Abdurrahman Wahid : Agama Dan Negara, Pluralisme, Demokratisasi, Dan
Pribumisasi.”

9 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


menjadi ketetapan Allah SWT, maka sejatinya ajaran Islam hadir sebagai
penyempurna kehidupan di dalam masyarakat.

Menjadikan Islam sebagai ideologi formal Negara khususnya di


Indonesia hanya akan membuka peluang yang memicu terjadinya intervensi
Negara terhadap agama, dan hanya berujung pada politisasi agama, yang
artinya agama hanya dijdikan alat untuk mencapai tujuan politik semata,
padahal hakikatnya agama bersifat privat yang hanya boleh berjalan dengan
pendekatan yang bersifat persuasif bukan melalui perundungan Negara yang
bersifat kohesif, selain itu Gus Dur juga menegaskan bahwa agama
merupakan ranah paling independen dari manusia yang tidak boleh
diintervensi oleh Negara yang sifatnya publik19.

Keinginan Gus Dur untuk tidak menjadikan Islam sebagai ideologi dan
landasan formal dalam berNegara sejalan dengan keinginan sebagian besar
warga Negara yang mayoritas Islam, menurutnya Negara ini bukan hanya
semata-mata milik orang Islam saja, melainkan juga milik seluruh warga
Negara terlepas apapun agama yang dianutnya. Perjuangan pluralisme Gus
Dur merupakan perjuangan pluralitas agama, artinya tidak bersikap
diskriminatif terhadap agama lain selain Islam. Dalam negeri yang majemuk
yang kaya akan keberagaman seperti Indonesia ini harus memberi kesempatan
bagi siapapun untuk menjalankan perintah agama sesuai kepercayaan masing-
masing. Hal ini sesuai dengan prinsip tasamuh pada QS. Al-Mumtahanah ayat
8 yang berbunyi:

ُّ ‫ََل يَْن ٰهى ُك ُم ال ٰلّهُ َع ِن الَّ ِذيْ َن ََلْ يُ َقاتِلُ ْوُك ْم ِِف الدِّيْ ِن َوََلْ ُيُْ ِر ُج ْوُك ْم ِّم ْن ِديَا ِرُك ْم اَ ْن تَبَ ُّرْوُه ْم َوتُ ْق ِسطُْوٓا اِلَْي ِه ْمٓ اِ َّن ال ٰلّهَ ُُِي‬
‫ب‬

‫ي‬ ِِ
َ ْ ‫الْ ُم ْقسط‬

19
Khoiri, “Islamic Political Thought in Indonesia (Thought Study KH. Abdurrahman Wahid
Concerning the Relationship Between Islam and the State).”

10 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah:8).20

Pernyataan dan sikap diatas bukan menandakan bahwa Gus Dur dan
mayoritas yang mendukungnya berpandangan sekularisme dalam arti ingin
memisahkan urusan agama dan Negara, tentu hal tersebut juga tidak
dibenarkan. Akan tetapi sikap Gus Dur disini ingin mempertahankan keadaan
yang majemuk dan perbedaan latar belakang agama, sebab jika kelak
Indonesia menjadi Negara Islam, dan Islam di terima sebagai ideologi Negara,
akan timbul persepsi dari kalangan umat agama lain bahwa Indonesia hanya
mengedepankan umat yang mayoritas saja, dan jika di realisasikan maka tentu
akan terjadi konflik dan perpecahan di kalangan rakyat Indonesia, hal ini tidak
diwujudkan dengan maksud ingin menghormati masyarakat yang bukan dari
agama Islam21.

b. Islam dan Demokrasi


Demokrasi secara bahasa berasal dari kata “demos” yang berarti
rakyat/masyarakat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Secara etimologis
berarti rule of the people, yaitu pemerintahan dari rakyat22. Secara sederhana
demokrasi merupakan sebuah sistem dalam pemerintahan yang menjadikan
rakyat sebagai otoritas tertinggi dalam politik, baik secara langsung atau
melalui dewan perwakilan rakyat. Islam sebagaimana yang kita ketahui adalah
agama yang menjadi mayoritas di Indonesia, yang oleh umatnya diyakini

20
“QS. Al-Mumtahanah Ayat 8,” n.d., https://quran.nu.or.id/al-mumtahanah/8.
21
Rusli, “Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur.”
22
Kiki Muhamad Hakiki, “Islam Dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim Dan Penerapannya
Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2016, 1–17.

11 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


sebagai agama dengan seperangkat aturan/ketentuan yang berasal dari Allah
SWT, dari seluruh aspeknya dengan dimaksudkan untuk pedoman manusia23.

Demokrasi sendiri merupakan sebuah aliran politik yang diterapkan di


Indonesia, begitu pula dengan agama Islam yang merupakan mayoritas di
Indonesia. Ketika dikaitkan antara keduanya maka timbul pertanyaan,
“apakah Islam dan demokrasi tidak bertentangan?”, Mengutip wawancara
Gus Dur pada masa orde baru yang bertajuk “Negara Ini Kaya Dengan Calon
Presiden”, yang menunjukan konsentrasi Gus Dur terhadap ide demokrasi.
Dalam wawancara tersebut disebutkan bahwa: “ya, sampai pada masyarakat
yang setidaknya sudah melaksanakan demokrasi, walaupun itu nggak
sempurna. Jadi, hal- hal yang mendasar dalam kehidupan demokrasi itu
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Nah, intinya menurut saya, ada
beberapa hal. Yaitu, kebebasan pendapat itu betul-betul dijamin undang-
undang. Undang-undang dasar menjamin. Tapi, kalau undang-undang justru
membungkam dia. Sedangkan Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang
untuk mengoreksi undang-undang ya bagaimana? yang terjadi sekarang ini
kan begitu. Kemudian kebebasan berorganisasi dan berserikat, kebebasan
berpergian masuk dan ke luar negeri tanpa dikaitkan dengan masalah politik.
Orang yang mengkritik pemerintah setajam apa pun itu bukan merupakan
alasan untuk melakukan “cekal”. Cekal itu hanya diperuntukkan bagi orang
yang melakukan tindakan-tindakan kriminal. Orang yang tidak melakukan
tindakan kriminal tidak boleh dicekal, betapa pun keras kritiknya kepada
pemerintah”. Tegas Gus Dur ketika ditanya tentang bagaiamana cara
mencapai demokrasi sesuai yang dikehendaki24.

23
Ajat Sudarjat, “Islam Dan Demokrasi (Masalah Adaptasi Parsial),” Universitas Negeri Yogyakarta,
n.d., 1–30.
24
Rifai, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009.

12 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


Pernyataan Gus Dur menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar
demokrasi harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seseorang dalam
masyarakat demokratis. Kebebasan berpendapat, yang seharusnya dijamin
oleh undang-undang dasar adalah inti dari masalah ini. Namun, prinsip
demokrasi akan terancam jika undang-undang yang seharusnya melindungi
kebebasan justru menjadi alat untuk membatasi kebebasan. Hal ini
menunjukkan peran penting Mahkamah Agung sebagai pengawas yang
memiliki wewenang untuk memeriksa undang-undang yang bertentangan
dengan demokrasi, terutama yang membatasi kebebasan berpendapat. Selain
itu, pernyataan tersebut juga menekankan pentingnya kebebasan
berorganisasi, berserikat, dan berpergian tanpa adanya keterkaitan dengan
masalah politik. Ditegaskan bahwa kritik terhadap pemerintah, sekeras
apapun, seharusnya bukan alasan untuk diberlakukannya “cekal”. Hanya
individu yang melakukan tindakan kriminal yang seharusnya dikenai
pembatasan tersebut, bukan semata karena kritik yang dilontarkan terhadap
pemerintah. Dalam pernyataan ini, penting untuk mempertahankan prinsip-
prinsip dasar demokrasi, seperti perlindungan kebebasan berekspresi,
kebebasan berorganisasi, dan perlakuan yang adil terhadap mereka yang
mengecam pemerintah. Ini berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang
inklusif, adil, dan demokratis.

Dalam penerapannya, ada dua prinsip demokrasi yang dikembangkan


oleh Gus Dur, yaitu demokrasi yang bersifat prosedural dan demokrasi yang
bersifat substansial. Hanya saja hingga kini bangsa Indonesia hanya mampu
menerapkan demikrasi yang bersifat prosedural. Adapun demokrasi
prosedural sendiri adalah demokrasi yang kita lakukan pada umumnya yaitu
tatkala seseorang memilih dan dipilih, contohnya memilih walikota, gubernur,

13 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


presiden dan wakil presiden, dan seterusnya25. Adapun yang kedua yakni
demokrasi subtansial, yang mana ini dipraktikkan langsung oleh Gus Dur
yang berorientasi pada kaidah fiqh yaitu Tasharruful imam 'alar ra'iyyah
manuthun bil maslahah yang berarti tindakan seorang imam/pemimpin
terhadap rakyatnya yang didasari unutuk terwujudnya kemaslahatan yang
mampu memberi manfaat baik di dunia dan di akhirat26.

Diketahui saat menjadi ketua PBNU, Gus Dur mengimani pancasila


sebagai dasar negara karena tidak bertolak belakang dengan ajaran islam,
menurutnya umat islam tidak diwajibkan untuk memilih atau bergabung
dengan partai islam, bahkan umat islam diperkenankan jika ingin memilih
partai politik seperti Golkar, PDIP yang sejatinya bukanlah partai politik yang
berlandaskan islam, hal ini sebagai wujud dari adanya kebebasan berpolitik
yang diterapkan oleh mantan presiden RI ke-empat tersebut.

Pada masa pemerintahan orde baru yang pada saat itu dipimpin oleh
presiden Soeharto seringkali mengalami pro dan kontra, demokrasi yang
diterapkan pada masa itu hanya sebatas formalitas, hal ini dibuktikan dengan
ketatnya pengawasan terhadap kaum oposisi yang tidak sejalan dengan
pemerintah negara pada masa itu, sehingga kebebasan dalam berpendapat
sangatlah terbatas bahkan membuat klaim seolah masyarakat dilarang
menentang pemerintah karena itu termasuk tindakan subversif yang imbasnya
akan berurusan dengan aparat negara.

Gus Dur yang diketahui memiliki kedekatan dengan aparat negara


namun juga dianggap sebagai tokoh yang pro demokrasi, dirinya
menginginkan Indonesia untuk dapat menjalankan demokrasi sebagaimana
25
Malik Ibnu Zaman, “Dua Prinsip Demokrasi Yang Dibangun Gus Dur,” NU online, 2022,
https://www.nu.or.id/nasional/dua-prinsip-demokrasi-yang-dibangun-gus-dur-70qgO.
26
Achmad Musyahid Idrus‟, “KEBIJAKAN PEMIMPIN NEGARA DALAM PERSPEKTIF
KAIDAH FIKIH : Tasarruf Al-Imam Manutun Bil Maslahah,” Jurnal Ad-Daulah UIN Alauddin 10,
no. 2 (2021): 123–37.

14 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


mestinya, yang tentunya memenuhi hak masyarakat Indonesia27. Bagi Gus
Dur yang terpenting dalam demokrasi adalah bagaimana cara untuk
menggerakannya, inilah yang membuat presiden RI ke-4 tersebut cenderung
enggan terlibat pada perdebatan teoritis mengenai demokrasi, karena pada
akhirnya perdebatan hanya akan menciptakan pro dan kontra, sehingga malah
menghambat terwujudnya demokrasi pada kehidupan28.

Seperti yang sudah penulis paparkan pada sub tema sebelumnya,


bahwa Gus Dur sangat menolak adanya konsep negara Islam di Indonesia, hal
ini bukan karena Gus Dur menganut paham sekularisme melainkan beliau
tidak ingin Islam dijadikan alat fanatisme politik belaka, hal ini juga
dipengaruhi oleh visinya yang mengedepankan pluralitas dan kebebasan
beragama. Menurut Gus Dur untuk mewujudkan negara demokratis haruslah,
diikuti oleh masyarakat yang demokratis pula, artinya seluruh lapisan
masyarakat memiliki kedudukan sama di mata hukum, yang diiringi dengan
kebebasan berpendapat dan kebijakan yang memisahkan antara fungsi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta penegakkan demokrasi tanpa adanya
kekerasan29.

Maka jika berbicara tentang relevansi antara islam dan demokrasi,


tentu tidak ada yang bertolak belakang antara keduanya selama pemerintah
mampu menerapkannya dengan baik dan amanah, jika pada satu kondisi ada
demokrasi yang ternyata menyalahi aturan islam maka perlu dipastikan lagi
apakah penerapannya sudah benar atau hanya sekedar formalitas saja?.
Sejatinya tidak ada yang salah dari makna demokrasi tersebut, karena
demokrasi ialah keterlibatan masyarakat dalam memutuskan kebijakan, dan
27
Rian Rohimat and Abdul Hakim, “Teologi Pembebasan Dan Demokrasi Menurut Gus Dur,” JAQFI:
Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam 4, no. 1 (2019): 105–34.
28
Ato Sugiarto, “Demokrasi Dalam Pandangan Abdurrahman Wahid” (Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
29
Santalia, “K.H. Abdurrahman Wahid : Agama Dan Negara, Pluralisme, Demokratisasi, Dan
Pribumisasi.”

15 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


demokrasi sendiri memiliki kesamaan terhadap sistem syura, yaitu sistem
yang merujuk pada musyawarah mufakat dengan mengumpulkan beberapa
orang dalam satu majelis, untuk bertukar pikiran dan memurumuskan sebuah
keputusan30. Sistem ini lebih dahulu diterapkan oleh para sahabat Nabi salah
satunya khalifah Umar bin Khattab yang membentuk dewan syura ketika ingin
mencari khalifah pengganti dirinya31.

3. Peran Gus Dur Terhadap Kemajuan Politik Indonesia


Kiprah Gus Dur dalam dunia perpolitikkan tidak terlepas dari
statusnya yang merupakan seorang ulama, hal ini tentu menjadi bukti adanya
peran tokoh islam dalam perkembangan politik di Indonesia, bahkan sebagai
tokoh yang memiliki latar belakang santri nyatanya tidak menghalangi beliau
untuk bisa menjadi seorang presiden. Meskipun hanya memimpin dalam
kurun waktu yang singkat, yaitu hanya selama 22 bulan nyatanya tidak
merubah kenyataan bahwa ada banyak perubahan yang dilakukan oleh Gus
Dur.

Beberapa persoalan di masa orde baru seperti pelarangan perayaan,


peribadatan serta pesta adat yang dilakukan oleh masyarakat etnis Tionghoa
yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, oleh Gus Dur tidak diberlakukan lagi
sebagaimana yang diaturnya dalam32, sehingga segala bentuk diskriminasi
kepada masyarakat Cina dilarang, dan keputusan tersebut menandai awal mula
hari raya imlek dirayakan secara terbuka, serta menandai awal mula agama

30
Aat Hidayat, “Syura Dan Demokrasi Dalam Perspektif Al-Qur‟an,” Jurnal Addin 9, no. 2 (2015):
401–20.
31
Muhammad Abror, “Kisah Umar Bin Khattab Bentuk Majelis Syura Untuk Memilih Khalifah,” NU
online, 2021, https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/kisah-umar-bin-khattab-bentuk-majelis-syura-
untuk-memilih-khalifah-LBa5w.
32
“Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Pada 17 Januari 2000 Tentang Pencabutan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina,”
2000.

16 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


konghucu menjadi agama resmi keenam di Indonesia, dimana sebelumnya
etnis Tionghoa dipaksa untuk menganut salah satu dari lima agama (sebelum
konghucu diresmikan), sejak saat itu mereka bisa kembali menganut
kepercayaannya.
Selanjutnya Gus Dur juga melakukan kunjungan ke Irian Jaya,
tepatnya pada 30 Desember 1999 ia menemui masyarakat di kantor gubernur
provinsi Papua dan disana beliau berdialog dengan masyarakat keluhan demi
keluhan beliau dengarkan, salah satu yang paling menarik ketika beliau
mengabulkan permintaan masyarakat disana untuk mengganti nama “Irian
Jaya” menjadi “Papua”, menurutnya arti Irian dalam bahasa Arab bermakna
jelek yaitu berarti telanjang, serta dalam tradisi Jawa dirinya mengungkapkan
jika seorang anak sakit sakitan maka namanya akan diganti “Saya sekarang
ganti Irian Jaya menjadi Papua,” tegas Gus Dur. Hal tersebut dianggap cara
Gus Dur untuk menjaga dari orang-orang Islam dan Jawa yang berpotensi
melakukan protes, oleh sebab itu dirinya menggunakan istilah bahasa Arab
dan tradisi Jawa.
Kemudian Gus Dur juga mengabulkan permintaan masyarakat Papua
untuk mengibarkan bendera bintang kejora selama tidak lebih tinggi dari
bendera merah putih serta menyanyikan lagu “hai tanahku papua” padahal
kedua hal ini sempat dilarang oleh presiden Soeharto pada masa orde baru,
karena baginya hal itu harus diterima sebagai identitas keberagaman 33. Hal ini
membuktikan konsistensi Gus Dur dalam menjaga nilai-nilai pluralisme serta
memperkuat nilai toleransi serta sikap saling menghormati antar umat
beragama dimana hal ini merupakan bagian dari ajaran islam itu sendiri yang
sejak dulu dikenal dengan istilah tasamuh.

33
Aru Lego Triono, “Perubahan Besar Era Presiden Gus Dur: Tionghoa, Papua, Hingga Tentara,” NU
online, 2020, https://www.nu.or.id/nasional/perubahan-besar-era-presiden-gus-dur-tionghoa-papua-
hingga-tentara-Wzzcu.

17 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


Masih di era reformasi pada masa pemerintahannya Gus Dur
mengeluarkan kebijakan yang cukup kontroversial pada masa itu, yaitu
pemisahan antara TNI dan POLRI yang mulanya disebut ABRI, hal ini
dilakukannya guna mengembalikan fungsi-fungsi TNI dan POLRI. Kebijakan
kontroversial lainnya adalah ketika dibubarkannya Departemen Penerangan
dan Departemen Sosial34.
Alasan dibubarkannya Departemen Penerangan karena sebagai
Departemen yang mengatur terkait pers, media massa, radio, televisi dan
lainnya pada masa orde baru dianggap membatasi pergerakan media masa dan
lembaga pers, selain itu Gus Dur jua beralasan Departemen Penerangan
dianggap terlalu banyak mencampuri urusan pengelolaan informasi yang
seharusnya menjadi hak masyarakat35, hal ini merupakan upaya Gus Dur
untuk menumbuhkan budaya demokrasi dengan memberikan free public
sphere. Kemudian alasan dibubarkannya Departemen Sosial adalah karena
merasa Departemen Sosial yang mestinya mengayomi rakyat justru malah
korupsi besar-besaran, dengan mengungkapkan bahwa tikus telah menguasai
lumbung, yang secara tersirat bermakna bahwa pelaku korupsi di Departemen
tersebut sangat merajalela sehingga lumbungnya (Departemennya) harus
dibakar dalam artian harus dibubarkan36.

34
Abu Naim, “Tipologi Kepemimpinan Politik Gus Dur,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan,
Komunikasi, Dan Pemikiran Hukum Islam VI, no. 1 (2014): 1–20.
35
Lukman Hadi Subroto and Tri Indriawati, “Alasan Gus Dur Membubarkan Departemen
Penerangan,” Kompas.com, 2022, https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/29/160000979/alasan-
gus-dur-membubarkan-departemen-penerangan?page=all.
36
Syahrizal Sidik, “Alasan Gus Dur Hapus Kemensos, „Tikus Sudah Kuasai Lumbung,‟” CNBC
INDONESIA, 2020, https://www.cnbcindonesia.com/news/20201206192037-4-207191/alasan-gus-
dur-hapus-kemensos-tikus-sudah-kuasai-lumbung.

18 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


C. SIMPULAN
Gus Dur menegaskan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi, karena
pada hakikatnya, Islam sendiri mendorong keadilan, musyawarah, dan
perlakuan yang adil terhadap semua orang. Konsep-konsep ini pada dasarnya
adalah prinsip-prinsip yang mendasari demokrasi. Ia menggarisbawahi
pentingnya memperjuangkan demokrasi substansial, yang tidak hanya
berfokus pada pemilihan politik, tetapi juga pada keadilan, pemberdayaan
masyarakat, dan peningkatan kualitas hidup bagi semua orang.
Gus Dur juga menekankan bahwa implementasi demokrasi yang baik
harus mementingkan kebebasan berpendapat dan berorganisasi tanpa ada
intervensi yang berlebihan dari pemerintah. Baginya, demokrasi yang berjalan
dengan baik adalah demokrasi yang memungkinkan setiap individu untuk
berpartisipasi, menyuarakan pendapat, dan mengkritik pemerintah tanpa takut
akan tindakan represif.
Pendekatan pluralisme dan kebebasan beragama yang dianutnya juga
sangat relevan dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman agama
dan budaya. Gus Dur berjuang agar keberagaman ini diakui, dihormati, dan
dilindungi oleh Negara. Baginya, menjadikan Islam sebagai dasar ideologi
formal di Negara pluralistik seperti Indonesia akan membuka peluang konflik
dan tidak menghormati keberagaman yang ada.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah bahwa pemikiran politik Gus
Dur tentang Islam di Indonesia menyoroti pentingnya memadukan nilai-nilai
Islam dengan demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Pemikiran ini
tidak hanya relevan untuk konteks Indonesia, tetapi juga memberikan
pandangan yang inklusif dan progresif tentang bagaimana Islam dapat
berperan dalam masyarakat modern dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
demokratis dan kebebasan beragama.

19 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


DAFTAR PUSTAKA
Abror, Muhammad. “Kisah Umar Bin Khattab Bentuk Majelis Syura Untuk Memilih
Khalifah.” NU online, 2021. https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/kisah-umar-
bin-khattab-bentuk-majelis-syura-untuk-memilih-khalifah-LBa5w.
Annur, Cindy Mutiara. “10 Negara Dengan Jumlah Penduduk Terbanyak Di Dunia
Pertengahan 2023.” databoks.katadata.co.id, 2023.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/28/10-negara-dengan-
jumlah-penduduk-terbanyak-di-dunia-pertengahan-2023.
Baihaqi, Wazin. “Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan Kekuasaan Politik Di
Indonesia.” Al-Qalam 22 (2005): 1–20.
https://doi.org/https://doi.org/10.32678/alqalam.v22i1.1437.
Barton, Greg. Gus Dur : The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid.
Yogyakarta: Equinox Publishing, 2008.
Hakiki, Kiki Muhamad. “Islam Dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim Dan
Penerapannya Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2016,
1–17.
Hidayat, Aat. “Syura Dan Demokrasi Dalam Perspektif Al-Qur‟an.” Jurnal Addin 9,
no. 2 (2015): 401–20.
Idrus‟, Achmad Musyahid. “KEBIJAKAN PEMIMPIN NEGARA DALAM
PERSPEKTIF KAIDAH FIKIH : Tasarruf Al-Imam Manutun Bil Maslahah.”
Jurnal Ad-Daulah UIN Alauddin 10, no. 2 (2021): 123–37.
“Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Pada 17 Januari 2000 Tentang
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina,” 2000.
Khoiri, Ach. “Islamic Political Thought in Indonesia (Thought Study KH.
Abdurrahman Wahid Concerning the Relationship Between Islam and the
State).” Voice Justisia: Jurnal Hukum Dan Keadilan, 2019, 1–22.
Mahanani, Qisthi Faradina Ilma, Mega Alif Marintan, Irma Ayu Kartika Dewi, and
Moh. Ashif Fuadi. “ISLAM AND POLITICS IN INDONESIA (Historical
Perspective).” Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities
3.1 (2022): 1–199.
Munir, Sirojul. “Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia.”
Istinbath 13, no. 1 (2014): 1–25.

20 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


Naim, Abu. “Tipologi Kepemimpinan Politik Gus Dur.” Jurnal Darussalam: Jurnal
Pendidikan, Komunikasi, Dan Pemikiran Hukum Islam VI, no. 1 (2014): 1–20.
Ng., Al-Zastrouw. Gus Dur Sih Siapa Sampeyan? Tafsir Teoritik Atas Tindakan Dan
Pernyataan Gus Dur, 1999.
Putri, Aulia Mutiara Hatia. “Negara Dengan Umat Muslim Terbanyak Dunia.” CNBC
INDONESIA, 2023.
https://www.cnbcindonesia.com/research/20230328043319-128-424953/negara-
dengan-umat-muslim-terbanyak-dunia-ri-nomor-berapa.
“QS. Al-Mumtahanah Ayat 8,” n.d. https://quran.nu.or.id/al-mumtahanah/8.
“QS. Saba Ayat 15,” n.d. https://quran.nu.or.id/saba‟/15#:~:text=Sungguh%2C pada
kaum Saba‟ benar,Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya.
Rifai, Muhammad. Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009.
Edited by Atania Rahma. Jogjakarta: Garasi, 2014.
Rohimat, Rian, and Abdul Hakim. “Teologi Pembebasan Dan Demokrasi Menurut
Gus Dur.” JAQFI: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam 4, no. 1 (2019): 105–34.
Rusli, Muh. “Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur.” Jurnal Farabi 12
(2015): 50–71.
Santalia, Indo. “K.H. Abdurrahman Wahid : Agama Dan Negara, Pluralisme,
Demokratisasi, Dan Pribumisasi.” Jurnal Al-Adyan 1 (2015): 138–46.
Sidik, Syahrizal. “Alasan Gus Dur Hapus Kemensos, „Tikus Sudah Kuasai
Lumbung.‟” CNBC INDONESIA, 2020.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20201206192037-4-207191/alasan-gus-
dur-hapus-kemensos-tikus-sudah-kuasai-lumbung.
Subroto, Lukman Hadi, and Tri Indriawati. “Alasan Gus Dur Membubarkan
Departemen Penerangan.” Kompas.com, 2022.
https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/29/160000979/alasan-gus-dur-
membubarkan-departemen-penerangan?page=all.
Sudarjat, Ajat. “Islam Dan Demokrasi (Masalah Adaptasi Parsial).” Universitas
Negeri Yogyakarta, n.d., 1–30.
Sugiarto, Ato. “Demokrasi Dalam Pandangan Abdurrahman Wahid.” Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Triono, Aru Lego. “Perubahan Besar Era Presiden Gus Dur: Tionghoa, Papua,
Hingga Tentara.” NU online, 2020. https://www.nu.or.id/nasional/perubahan-

21 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid


besar-era-presiden-gus-dur-tionghoa-papua-hingga-tentara-Wzzcu.
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” n.d.
https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945.
Zaman, Malik Ibnu. “Dua Prinsip Demokrasi Yang Dibangun Gus Dur.” NU online,
2022. https://www.nu.or.id/nasional/dua-prinsip-demokrasi-yang-dibangun-gus-
dur-70qgO.

22 Paradigma Politik Islam Indonesia: Telaah Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid

Anda mungkin juga menyukai