Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

Pribumisasi Islam

Dibuat dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Paradigma Islam Nusantara

Dibuat oleh:
Ahmad Bachtiar Faqihuddin
Fatimatuzzahroh

FAKULTAS ISLAM NUSANTARA


PROGRAM STUDI PPM SKI ISLAM NUSANTARA

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA (UNUSIA)

2020/2021
Pribumisasi Islam

Pengantar
Pribumisasi Islam adalah hasil kesadaran sejarah nusantara yang sangat mendalam dari
pemikiran seorang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1980-an. Ada dua tulisan Gus
Dur yang berkaitan langsung dengan tema pribumisasi Islam. Pertama, artikel “Salahkah jika
dipribumikan” yang berbentuk tulisan kolom di majalah Tempo pada 16 juli 1983, dan kedua,
“Pribumisasi Islam”, sebuah antologi dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh.

Kesadaran ini muncul ketika Islam hanya dipahami secara legal-formal atau fiqh sentris atau
hukum Islam yang tidak memperhatikan tradisi dan budaya lokal di nusantara. Islam seolah
hanya menjadi otoritas Timur Tengah (Arab). Arab menjadi tolak ukur keislaman diri secara
simbolik. Gagasan Gus Dur dilatari keresahannya atas adanya golongan-golongan yang
mendesakkan agar hukum agama diseragamkan dan diformalisir.

Gagasan pribumisasi Islam secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Gus Dur pada tahun
1980-an. Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang
bersumber dari Tuhan, diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa
kehilangan identitasnya masing-masing, sehingga tidak ada pemurnian Islam atau proses
menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah. (Abdurrahman
Wahid, 2011: 111)

Gagasan Pokok Pribumisasi Islam

Konsep pribumisasi Islam adalah usaha mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Pribumisasi
Islam menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola
nalar keagamaan. Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi
Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan di dalam merumuskan hukum-hukum
agama.

pribumisasi Islam adalah bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan
diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas
masing-masing. Proses pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi,
sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. “Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut
Gus Dur adalah suatu pemahaman yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam
merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri.

Sebagai jawaban dari Islam autentik mengandaikan tiga hal:

Pertama, Islam Pribumi memiliki sifat kontekstual, yakni Islam yang dipahami sebagai ajaran
yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah
menjadi kunci untuk mengonterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami
perubahan dan dinamika dalam merespon perubahan zaman.

Kedua, Islam pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai
ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), ettapi dilihat sebagai
pemicu untuk melakukan respon kreatif secara intens. Ketiga, Islam pribumi memiliki karakter
liberatif, yaitu Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara
universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik.

Arah Pemikiran Gus Dur tentang Pribumisasi Islam

Pada 8-9 Maret 1989, sekitar 200 kiai berkumpul di Pondok Pesantren Darut tauhid
Arjawinangun Cirebon untuk mengadili Gus Dur. Dari sini muncul beberapa kubu yang saling
berhadapan dalam menyikapi wacana yang digulirkan oleh Gus Dur terkait gagasan Islam
Pribuminya. Tetapi, Gus Dur mengakui, beliau bukanlah yang pertama memulai. Beliau adalah
generasi penerus dari langkah strategis yang pernah dijalankan oleh Wali Songo, yang telah
berhasil mengislamkan tanah Jawa, tanpa harus berhadapan dan mengalami ketegangan dengan
budaya setempat. (Ahmad Baso, 2007: 284).

Islam pribumi yang telah dilontarkan Gus Dur, sesungguhnya mengambil semangat yang telah
diajarkan oleh Wali Songo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad 15 dan 16 di
Pulau Jawa. Wali songo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas
Indonesia. Kreativitas Wali Songo melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam yang tidak harfiyah
meniru Islam di Arab.

Tidak ada nalar arabisme yang melekat dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Para Wali
Songo justru mengakomodir Islam sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan
kebudayaan. (Zainul Milal Bizawie dalam Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan
Antropologis Islam Nusantara”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14).

“Pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-
norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya. Titik tolak pemikiran Gus Dur bukan
dengan mengagungkan modernisme, tetapi mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan
menggunakan pisau tradisionalisme Islam. Gus Dur memandang Aswaja harus diperluas
cakupannya meliputi dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Tanpa melakukan
pengembangan itu, Aswaja akan sekadar menjadi muatan doktrin yang tidak mempunyai
relevansi sosial.

“Pribumisasi Islam” memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait
dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci
untuk menginterpretasikan ajaran. Pribumisasi Islam” bersifat progresif, yakni kemajuan zaman
bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam),
tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif. Pribumisasi Islam memiliki
karakter liberatif, yaitu Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem
kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik.

Catatan Akhir

Pribumisasi Islam adalah bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan,
diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya
maisng-masing. Arabisme atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah
adalah tercerabutnya kita dari akar budaya sendiri.

Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya


setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti pribumisasi Islam (Islam Pribumi)
adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab
polarisasi yang demikian memang tidak terhindarkan.

Pribumisasi Islam bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu
menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan
oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushul Fiqih dan
Qawaidul Fiqhiyyah.

Anda mungkin juga menyukai