Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kerukunan antar umat beragama merupakan dambaan setiap umat
manusia. Sebagian besar umat beragama di dunia ingin hidup rukun, damai dan
tenteram dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta
dalam menjalankan ibadahnya.
Kerukunan antar umat beragama dapat dikatakan sebagai suatu kondisi
sosial dimana semua golongan agama bisa hidup berdampingan bersama-sama
tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban
agamanya.
Kerukunan antar umat beragama merupakan satu unsur penting yang
harus dijaga di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan, yang terdiri
dari 17.504 pulau yang di dalamnya di huni oleh berbagai suku. Tidak hanya itu
di Indonesia juga terdapat agama yang beraneka ragam namun pemerintah hanya
mengesahkan enam agama saja yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha,
dan Konghucu. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu
mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing- masing dan
berpotensi konflik.
Untuk itu sikap toleransi yang baik diperlukan dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan tersebut agar kerukunan antar umat beragama dapat tetap
terjaga, sebab perdamaian nasional hanya bisa dicapai kalau masing-masing
golongan agama pandai menghormati golongan lain. Mewujudkan kerukunan
hidup antarumat beragama yang sejati, harus tercipta satu konsep hidup
bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda agama
guna menghindari konflik antarumat beragama yang bisa saja terjadi tiba-tiba.
Kerukunan antar umat beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan
kekayaan bangsa dan negara di Indonesia yang harus disyukuri.

1
Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membiarkan para
pemeluk agama lain tersebut menjalankan ajaran agamanya masing-masing,
inilah dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan
dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama. Ajaran Islam
menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong dengan sesama
manusia dalam hal kebaikan, kerjasama dan tolong menolong tersebut
diharapkan manusia bisa hidup rukun dan damai dengan sesamanya. Dengan
terciptanya kerukunan maka diharapkan dapat menimbulkan kesejahteraan dan
kemakmuran di keberagaman masyarakat Indonesia.
Kerukunan dan toleransi antar umat beragama merupakan hal yang harus
diperhatikan karena masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada
sejauh mana keharmonisan hubungan antarumat beragama. Kegagalan dalam
bertoleransi akan menimbulkan konflik serta mengakibatkan terpecah belah
suatu bangsa. Menyadari hal tersebut maka perlu adanya pembahasan tentang
mengenai kerukunan antar umat beragama sehingga kita dapat mengetahui
seberapa pentingnya kerukunan dan dapat mengambil sikap untuk menjaga
kerukunan yang ada.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana agama sebagai rahmat tuhan bagi manusia?
2. Bagaimana kerukunan antar umat beragama menurut konsep pluralisme dan
pluralistik ruang lingkupnya?
3. Bagaimana kerukunan antar umat beragama menurut konsep Vertikal
Oriented, Horizontal Oriented dan Era Globalisasi
4. Bagaimana Agama sebagai faktor perekat dan factor konflik dalam
masyarakat?
5. Apa faktor penghambat kerukunan antar umat beragama dan langkah
pencegahannya

2
6. Apa dampak permusuhan agama bagi persatuan dan kesatuan
bermasyarakat?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui serta
memahami agama sebagai rahmat Tuhan, memahami kerukunan beragama
menurut konsep pluralisme dan konsep konsep Vertikal Oriented, Horizontal
Oriented dan Era Globalisasi, memahami agama sebagai faktor perekat dan
faktor konflik dalam masyarakat, mengetahui faktor penghambat kerukunan
antar umat beragama dan langkah pencegahannya dan dampak dari permusuhan
antarumat beragama.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dalam tiga bab, yaitu
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi mengenai latar belakang masalah, tujuan penulisan serta
sistematika penulisan dari penulisan makalah yang ditulis.
BAB II KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Bab inti menguraikan sub pokok bahasan dari materi yaitu agama sebagai
rahmat tuhan bagi manusia, kerukunan antar umat beragama menurut konsep
pluralism dan pluralistik, kerukunan antar umat beragama menurut konsep
vertikal oriented dan horizontal oriented, agama sebagai faktor perekat dan
faktor konflik dalam masyarakat, faktor penghambat kerukunan antar umat
beragama dan langkah pencegahannya, serta dampak permusuhan agama bagi
persatuan dan kesatuan bermasyarakat
BAB III PENUTUP
Bab ini merupakan merupakam kesimpulan dari seluruh cakupan materi.

3
BAB II

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

1. Agama merupakan rahmat tuhan bagi manusia

Rahmat terdiri dari tiga huruf râ’, hâ’, dan mîm. Menurut Ibnu Faris dalam
Maqâyîs al-Lughah setiap kata Arab yang berakar dari tiga huruf râ’, hâ’, dan mîm
memiliki arti dasar ‘kelembutan, kehalusan dan kasih sayang’.

Setiap agama di dunia kebanyakan mengambil nama dan penemunya atau


tempat agama tersebut dilahirkan dan dikembangkan, sebagaimana agama Nasrani yang
mengambil nama dari tempat Nazareth, agama Budha yang berasal dari nama
pendirinya, Budha Gautama. Tetapi tidaklah demikian untuk agama Islam. Agama
Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang, tempat atau masyarakat tertentu
tempat agama ini dilahirkan atau disiarkan.

Berpijak pada pemahaman bahwa dalam masing-masing agama terdapat


keunikan, karena karakteristik yang beragam semakin jelas bahwa semua agama
tidaklah sama, sekalipun memiliki kesamaan-kesamaan dalam beberapa prinsip ajaran
yang bersifat universal. Tetapi dalam agama-agama terdapat partikularisme yang
membedakan agama satu dengan agama lain. Oleh sebab itu, yang perlu dipikirkan
adalah bagaimana agar perbedaan-perbedaan yang sifatnya particular dan menjadi
karakeristik agama-agama tetap terjaga tetapi tidak menimbulkan pertikaian antar
sesame pemeluk agama. Oleh sebab itu, memikirkan bagaimana menjadikan agama
sebagai rahmat seluruh manusia adalah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan.

Dalam konteks menghadirkan agama sebagai rahmat seluruh umat manusia,


salah satu yang bisa dikerjakan adalah dengan menghadirkan kesadaran toleransi
beragama, sebab toleransi merupakan fundamen dalam beragama. Tanpa sikap toleran
atas yang lain, kita akan menghalalkan segala cara untuk membasmi agama lain yang
berbeda-beda karena dianggap sesat penuh bidah dan ajarannya kufur. Al- Quran sendiri

4
demikian banyak mengajarkan tentang bagaimana agar muslim toleran pada non-
muslim. Pandangan tentang toleransi dalam islam memiliki posisi yang penting,
sehingga banyak ayat yang menempatkan bagaimana agar umat islam bersifat toleran
pada umat lain.1

Islam yang diturunkan melalui insan pilihan,Rasulullah Muhammad


SAW,bersifat universal dan mondial,berlaku bagi seluruh umat manusia dan seluruh
alam,disetiap waktu dan tempat.Dunia dan isinya ditransformasikan dar kegelapan (al-
zhulumat) ke suasana yang terang benderang (al-nur).

Islam rahmatan lil-alamin telah dipahami dalam konotasi yang bermacam-


macam,mulai dari agama yang menekankan kasih sayang,kelemahlembutan,hingga
makna yang lebih jauh; karena kasih sayang itu islam dipahami sebagai bersifat
akomodatif terhadap keberagaman (pada posisi yang sama).Bahkan karena interpretasi
yang tidak akurat,rahmatan lil-alamin telah dipahami sebagai kelembutan dalam
komunikasi umat islam tanpa menyentuh ruang nahi munkar terhadap
kenyataan,gerakan,da perilaku yang tidak akomodatif terhadap ajaran Tuhan sebagai
pencipta dan pemilik sifat rahmat itu.

Rahmat adalah sifat Allah yang paling menonjol.Dia selalu mengedepankan sifat
ini dari sifat lain dalam memilih,menetapkan,dan mempriotaskan semua
perkara.Bahkan seperti disebut Khoemaeni,sifat al-rahman dan al-rahim,pengasih dan
penyayang,menunjukan sifat kesempurnaan Allah.Adapaun sifat-sifat lain tunduk
kepada sifata-sifat itu.2

Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad menjelaskan bahwa rahmat itu adalah
kasih sayang Allah yang diberikan kepada manusia untuk disyukuri dan digunakan.3

1
Moqsith Al Ghazali. 2009. Merayakan Kebebasan Beragama. Jakarta. Kompas Gramedia. hlm 408
2
Fachruddin HS,1985.Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an.Jakarta.PT Bina Aksara.Hlm.100
3
Ibid.Hlm.100

5
Sementara itu,Abdurrahman Nashir al-Sa’dy ketika menafsirkan ayat diatas
mengatakan bahwa rahmat itu adalah kasih sayang Allah yang diberi kepada hamba-
Nya.Tugas manusia terhadapnya adalah menerimanya,mensyukurinya,dan
menegakkannya.

Terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan rahmat sebagai salah satu
sifat penting Allah SWT.

‫َب َعلَ ٰى نَ ْف ِس ِه الرَّحْ َمة‬ ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


َ ‫ض ۖ قُلْ هَّلِل ِ ۚ َكت‬ َ ‫قُلْ لِ َم ْن َما فِي ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬

Katakanlah,kepuyaan siapakah yang ada di langit dan di Bumi. Katakanlah ‘kepunyaan


Allah’. Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. (QS. Al-An’am [6]:12).

ِ ‫هُ َو هَّللا ُ الَّ ِذي اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو ۖ عَالِ ُم ْال َغ ْي‬
‫ب َوال َّشهَا َد ِة ۖ هُ َو الرَّحْ ٰ َم ُن ال َّر‬

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Dialah Yang MahaPemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hasyr [59]:22)

Ummu Al-Qur’an yang merupakan induk dari semua isi dan kandungan Al-
Qur’an telah meletakkan posisi rahmat sebagai menjiwai setiap kandungan Al-Qur’an.

Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah menegaskan

َ ‫إِ َّن َرحْ َمتِي تَ ْغلِبُ غ‬


‫َضبِي‬

“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari)

Dari pengertian itu dapat diketahui bahwa rahmat bermakna kasih sayang Allah
dalam bentuk menciptakan, memelihara, dan membuat yang terbaik dan yang sempurna
pada alam semesta serta yang bermanfaat bagi manusia di dunia dan di akhirat.

6
A. Memahami Rahmat Islam

Artinya, “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa: 107).
Ayat diatas sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar.
Rahmat Islam itu luas, seluas ajaran Islam itu sendiri. Itu pun juga pemahaman yang
benar. Sebagian orang secara sengaja (karena ada maksud buruk) ataupun tidak sengaja
(karena pemahaman Islam yang kurang mendalam), sering kali memaknai ayat di atas
secara menyimpang. Mereka mengartikan rahmat Islam harus tercermin dalam suasana
sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi sebagai
mayoritas. Sementara dibalik itu, sebenarnya ada tujuan lain atau kebodohan lain yang
justru bertentangan dengan Islam itu sendiri. Islam sebagai rahmat bagi alam semesta
adalah tujuan bukan proses. Artinya, untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi
umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitam, peperangan seperti di zaman
Rasulullah S.A.W. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi perang, tapi
sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukkan selalu didapatkan
dengan perjuangan.
Rahmat Allah dapat dilihat dari dua dimensi. Dimensi pertama, kedudukan
si pemilik rahmat Allah swt berada dalam posisi pencipta (rabb) dan yang disembah
(ilah).
Dalam Induk Kitab Suci (Ummu Al-Qur’an) yang mengedepankan empat julukan
Tuhan yang berbeda menyertai rahmat itu. Rabb al-alamin (Raja Segala Sesuatu), Al-
Rahman (Pengasih), maliki yawmiddin (Pemimpin Hari Keagamaan), dan al-Rahim
(Penyayang). Karena al-Rahman dan al-Rahim hanyalah dua faset dari yang tunggal
dan sama, maka keempat sifat tersebut dapat dijadikan tiga sifat, yaitu Rububiyyah

7
(Pemurah), Rahman (Rahmat), dan ‘adalah (Keadilan). Sifat-sifat ini adalah sifat
pemimpin.

Dengan demikian, transmisi rahmat itu dapat digambarkan sebagai berikut :

Allah

ٌ‫َر ْح َمة‬

Rasulullah

Alam Muslim Umat Manusia

Dimensi kedua adalah penerapannya. Rahmat yang ditetapkan Allah dalam


berbagai bentuk: 1). Kasih sayang-Nya yang bersifat menyeluruh (universal) dan adil,
menyantuni seluruh makhluk-Nya. 2). Sebagai konsekuensi dari sifat rahmat itu, maka
Allah tidak semena-mena menerapkan hukuman dan azab kepada hamba-Nya yang
melakukan kesalahan, tetapi disiapkan media pintu maaf bagi mereka yang
memanfaatkan tobat. 3). Sifat rahmat itu direalisasikan dengan menjamin kemutlatakan
berlakunya setiap keputusan, dan pasti sampai kepada objeknya. Tidak ada yang dapat
melakukan usaha-usaha inkonstitusional untuk menutupi segala macam kesalahan dan
penyimpangan yang dilakukannya.

Fungsi Islam sebagai agama rahmatal lil alamin tidak tergantung pada
penerimaan atau penilaian manusia. Substansi rahmat terletak pada fungsi ajarannya
tersebut. Fungsi itu baru akan terwujud dan dapat dirasakan oleh manusia sendiri

8
maupun oleh makhluk-makhluk yang lain, jika manusia sebagai pengembangan amanat
Allah telah mentaati dan menjalankan aturan-aturan ajaran Islam dengan benar atau
kaaffah. Fungsi Islam sebagai rahmat dan bukan sebagai agama pembawa bencana,
dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran surah Al-Anbiya: 170. Sedangkan bentuk-bentuk
kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu seperti berikut ini4:

1. Islam menunjukkan manusia jalan hidup yang benar.


2. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang
diberikan oleh Allah secara tanggung jawab.
3. Islam menghormati dan menghargai manusia sebagai hamba Allah, baik mereka
muslim maupun yang beragama lain.
4. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan proporsional.
5. Islam menghormati kondisi spesifik individu manusia dan memberikan
perlakuan yang spesifik pula’

B. Mencari Rahmat Islam


Allah S.W.T. berfirman:

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya. Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”(QS. Al-Baqarah: 208)
Ada beberapa dimensi universal ajaran Islam. Di antaranya adalah, dimensi
rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi seluruh dimensi kehidupan
manusia. Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi seluruh manusia agar

4
Wahyuddin, Achmad, M. Ilyas, M. Saifulloh, dan Z. Muhibbin. 2012. Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta. Grasindo. hml. 91

9
mereka mengambil petunjuk Allah. Dan tidak akan mendapatkan petunjuk-Nya, kecuali
mereka yang bersungguh-sungguh mencari keadaan-Nya.

Artinya, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Ankabut: 69)

C. Umat Islam Mendaratan Islam Rahmatan Lil-Alamin (Isra)


Kaum muslimin adalah pelanjut nilai-nilai risalah Rasulullah dalam berbagai
segi kehidupan,dan dengan demikian menjadi pelanjut dari upaya pembumuan rahmat
tersebut. Dalam hal ini sangat menarik statement Abdurrahman Nashir al-Sady ketika
menafsirkan surah al-Anbiya (21) ayat 107,mengatakan bahwa rahmat itu adalah kasih
sayang Allah yang diberi kepada hamba-Nya.Tugas manusia terhadapnya adalah
menerimanya,mensyukurinya,dan menegakkannya.5

Kehardiran umat islam sebagai rahmat menegaskan tiga tugas


pokok.Pertama,kaum muslimin diminta untuk mengabdi kepada Allah dan engabdian
tersebut harus beerimplikasi kepada keharusan menjadi manusia yang terbaik yang
memiliki kemanfaatan tinggi kepada manusia lain dan lingkungannya.Allah SWT
menegaskan kehidupan yang sulit bagi siapasaja yang beriman,tapi tidak memiliki
kepedulian pada yang orang lain dan lingkungannya,seperti ayat berikut:

ِ َّ‫ت َعلَ ْي ِه ُم ال ِّذلَّةُ أَي َْن َما ثُقِفُوا إِاَّل بِ َحب ٍْل ِم َن هَّللا ِ َو َح ْب ٍل ِم َن الن‬
‫اس‬ ْ َ‫ُرب‬
ِ ‫ض‬
Artinya,Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada,kecuali jika mereka
berpegang pada tali(agama) allah dan tali(perjanjian) dengan manusia.(QS.Ali Imran
[3]:112).

5
Abdurrahman Nashir as-Sa’di, Tafsir Al-Quran Jilid 4.DaruL Haq. Hlm 268

10
Hodgson menyebutkan bahwa umat islam sejatinya memiliki visi memimpin
perkembangan dunia.Hal tersebut menurutnya karena adanya penegasan al-Qur’an
bahwa umat islam adalah manusia terbaik yang dilahirkan ke tengah-tengah manusia
dengan tugas memerintah yang baik dan mencegah yang buruk dan beriman kepada
Allah(Q.S Ali Imran[3]:110).6 Dengan posisi tersebut,sebenarnya umat Islam
diharapkan menjadi pandu bagi pembangunan peradaban dunia,tentu atas rahmat
tersebut.
Kedua, Islam rahmatan lil-alamin dapat dikonkretkan dalam bentuk kasih
sayang terhadap sesama,kekasih,keluarga,kerabat,jin,dan seluruh umat manusia.Begitu
pentingnya kasih sayang dalam Islam hingga Rasulullah SAW memosisikan
aktualisasinya sebaga puncak rasionaltas,sebagaimana sabda beliau yang artinya
“Puncak akal setelah agama adalah mencintai sesama manusia dan membuka jalan
kebaikan bagi setiap orang yang baik maupun yang jahat”(HR.Thabrani).
Ketiga,menampilkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin dapat dilakukan melalui
kepeloporan dalam melakukan hal-hal yang bersifat baru,inovatif,dan baik.Sebab Allah
mendeklarasikan kedatangan islam sebagai revolusi bagi keadaan manusia sebelumnya.

2. Kerukunan Antarumat Beragama Menurut Konsep Pluralisme dan


Pluralistik

A. Menurut konsep Pluralisme


Secara etimologi, pluralisme atau pluralism (Inggris) terdiri dari dua kata plural
(=beragam) dan isme (=paham) yang berarti paham atas keberagaman. Sedangkan secara
terminologis, menurut Martin, pluralisme adalah paham kemajemukan atau paham yang
berorientasi kepada kemajemukan yang dimiliki berbagai penerapan berbeda dalam
berbagai falsafah agama, moral, hukum, dan politik, di mana batas-batas kolektifnya
adalah pengakuan atas kemajemukam di depan ketunggalan.7

6
G.S Hodgson,The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,University of Chicago
1974.Hlm 71.
7
Amirulloh Syarbini, 2013. Al-Quran dan Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta. PT Alex Media
Komputindo. Hlm5

11
Pluralisme dianggap oleh banyak kalangan sebagai tahap lanjutan dari
inklusivisme. Pluralisme makin meperjelas dan menyakini adanya perbedaan dalam
agama-agama. Bila dalam inklusivisme adanya pemahaman tentang yang lain yang
selalu ada dimensi kesamaan subtansi dan nilai, tapi dalam pluralisme justru mengakui
adanya perbedaan – perbedaan.
Jadi pluralisme agama adalah paham atau pandangan tentang kemajemukan
agama. Bahwa ada agama-agama lain di luar agama yang kita anut. Kita sadar,
mengetahui, dan mengakui ‘keberadaan’(bukan ‘kebenaran’) agama-agama lain
tersebut. Sementara ini, terkesan bahwa definisi tersebut merupakan pandangan
beberapa kalangan yang selama ini menganut inklusivisme. Sebab paham yang
menyatakan semua agama adalah sama tidak mempunyai kolerasi dengan pluralisme
sama sekali, bahkan bisa disebut bertentangan dengan pluralisme.
Namun, demikian pluralisme telah menimbulkan pro-kontra, terutama
dikalangan agamawan. Jika pluralisme didefinisikan sebagaimana difatwakan oleh
MUI, bahwa pluralisme hukumnya adalah haram hal ini secara jelas tercantum dalam
kep"utusan fatwa MUI Nomor 7/Munas VII/MUI/11/2005 tanggal 29 Juli 2005. 8 “Suatu
paham yang mengajarkan semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap
agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk tidak boleh mengklaim bahwa
hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di
surge”.
Adapun dalil keagamaan yang digunakan untuk mengharamkan pandangan
tersebut, antara lain : Perihal keyakinan, bahwa Islam adalah agama yang paling benar
Surah Ali Imran ayat 19: “ Sesungguhnya agama (yang diridai) disisi Allah hanyalah
Islam”. Agama selain Islam tidak akan diterima Tuhan di hari akhirat nanti Surah Ali
Imran ayat 85 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang

8
Budhy Munawar Rachman, Sekularisme Liberalisme dan Pluralisme. Jakarta. Grasindo. Hlm 5

12
yang merugi”. Realitas perbedaan agama Surah Al Kafirun ayat 6 “Untukmu agamamu,
dan untukku agamaku”.
Pluralisme, pada dasarnya liberalisasi pemikiran adalah konsekuensi dari proses
pluralisasi masyarakat modern yang makin kompleks yang mendorong keterbukaan
komunikasi antarwarga masyarakat. Pluralisme sebenarnya berusaha mengajak kita agar
lebih realistis, bahwa pada hakikatnya agama-agama adalah berbeda. Perbedaan tersebut
bisa dilihat dari segi penghayatan terhadap agama (syari’at). Tetapi bagi penganut
pluralisme, harus diakui sejak awal bahwa agama-agama pada hakikatnya adalah
berbeda antara satu agama dengan agama yang lain.9
Peter L. Berger, mempunyai pandangan lain yang lebih praktik perihal
pluralisme. Ia menyebutnya sebagai “pluralisme baru” yaitu pluralisme yang lahir dari
rahim globalisasi.10 Pada zaman ini, pluralisme hampir seperti pasar keagamaan. Di
mana-mana, agama dan keberagaman tumbuh dengan pesat. Upaya sekularisasi harus
diakui telah gagal karena agama justru makin tumbuh dan berkembang di era
globalisasi. Itulah wujud dari pluralisme agama. Karena pluralisme menjadi pasar
keagamaan, maka yang terjadi adalah determinasi untuk memilih bukan determinasi
untuk menyakini.
Pluralisme pada akhirnya melampaui fundamentalisme yang berkutat dalam
setiap agama. Agama yang pada mulanya hanya berkutat pada dimensi hukum
(heretical imperative) menuju dimensi pelayanan yang dilakukan secara sukarela
(voluntary imperative). Baik Islam maupun Kristen, menurut Berger, sama-sama
mempunyai potensi untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan dimensi
kemanusiaan.
Fundamentalisme merupakan lawan dari pluralisme. Fundamentalisme
mempunyai keyakinan taken-for-grantedness yang meyebabkan sulit untuk beranjak
dari ranah ritualistik.sedangkan pluralisme mencoba untuk membuka ruang baru bagi
agama, yaitu ruang kemanusiaan yang menekankan aspek pelayanan secara suka-rela.

9
Zuhairi Misrawi, 2010. Al-Quran Kitab Toleransi. Jakarta. Pustaka Oasis. Hlm 184
10
Peter L. Berger, pluralism and Voluntary Principle, makalah dalam konferensi tentang The New
Religious Pluralism and Democracy, 2005 di Universitas Goergetown, Amerika Serikat.

13
Ish Berlin, melihat pentingnya pluralisme sebenarnya terkait dengan pluralitas
ide, budaya dan tabiat manusia.11 Setiap manusia tidak bisa menghindari pluralitas,
karena ketiga hal tersebut bersifat objektif. Ketiganya merupakan sesuatu yang paling
vital dalam konteks kemanusiaan.
Menurut Berlin, dalam pratiknya ada dua kendala dalam pluralisme. Pertama,
monisme, yaitu sebuah paham yang menganggap hanya ada satu nilai yang benar,
sedangkan nilai lain yang dianggap salah. Kedua, relativisme, yaitu paham yang
menganggap setiap nilai adalah benar.12 Keduanya bukanlah pluralisme, karena
keduanya menyangkal sosiologi masyarakat yang mengisyaratkan adanya pluralitas ide,
budaya dan tabiat. Agama-agama yang terjebak ke dalam monisme dan relativisme,
secara nyata tidak mampu melahirkan pandangan kemanusiaan.
Pandangan Eck, Berger dan Berlin tentang pluralisme baru tersebut membuka
cakrawala kita tentang ranah sosiologis dari agama-agama, terutama yang paling
mutakhir adalah pergulatan agama-agama dengan globalisasi. Pluralisme tidak bisa
dielakkan telah menjadi sebuah alternatif untuk melahirkan sebuah paham social yang
mampu memberikan inspirasi kepada agama untuk memaksimalkan peran-peran social,
seperti toleransi. Karenanya, pluralisme tidak mempunyai pretensi untuk menggoyah
iman, melainkan memaksimalkan eksistensi toleransi.
Di sini, pluralisme hadir dalam rangka membangun toleransi di tengah
perbedaan dan keragaman tersebut. Pluralisme memandang, karena perbedaanlah pada
umumnya manusia lebih mungkin untuk berseteru antara satu komunitas dengan
komunitas lain. Karena itu, diperlukan pluralisme untuk menjadikan perbedaan sebagai
potensi toleransi.
Dalam hal ini, Diana L. Eck, Pimpinan Pluralism Project, Havard University
memberikan pemahaman terhadap pluralisme yang relatif distingtif. Setidaknya ada tiga
poin penting yang terkandung dalam pluralisme. Pertama, pluralisme adalah
keterlibatan aktif di tengah keragaman dan perbedaan.13 Pluralisme meniscayakan

11
Isiah Berlin, On Pluralism, New York review of Books, Volume xlv, Number 8, 1998.
12
Ibid
13
Diana L. Eck, A New Religious America. New York, 2001. Hlm 70

14
munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Pluralisme sesungguhnya
berbicara dalam tataran fakta dan realitas, bukan beebicara pada tataran teologisnya.
Artinya, pada tataran teologisnya kita harus meyakini bahwa setiap agama mempunyai
ritualnya tersendiri, yang mana antara suatu agama atau keyakinan berbeda dengan yang
lain. Tapi dalam tataran sosial, dibutuhkan keterlibatan aktif di antara semua lapisan
masyarakat untuk membangun sebuah kebersamaan. Sebab hanya dengan kebersamaan
sebuah bangsa akan tumbuh dengan baik dan mampu melahirkan karya-karya besar
bagi kemanusiaan universal. Oleh karena itu, pluralisme dalam tataran sosial lebih
sekadar “mengakui” keragaman dan perbedaan, melainkan “merangkai” keragaman
untuk tujuan kebersamaan.
Pluralisme, dalam hal ini, secara nyata memberikan pesan penting, bahwa yang
direkomendasikan oleh pluralisme adalah model toleransi aktif. Yaitu toleransi yang
tidak hanya sekadar mengakui perbedaan dan keragaman, tetapi lebih dari itu juga
menjadikan perbedaan sebagai potensi untuk bekerjasama dan berdialog untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia. Pluralisme hakikatnya
bukan sekadar memahami keragaman dan pluralitas, melainkan meningkatkan asimilasi
dan partisipasi aktif di semua level masyarakat.
Kedua, pluralisme lebih sekadar toleransi.14 Dalam toleransi akan lahir sebuah
kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Artinya, karena perbedaan dan
keragaman dalma masyarakat merupakan hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah
sikap terbuka terhadap keragaman. Karena itu, harus memahami dengan baik dan tepat
tentang perbedaan dan persamaan tersebut.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme.15 Pluralisme adalah upaya menemukan
komitmen bersama di antara berbagai komitmen. Setiap agama dan ideologi
mempunyai komitmen masing-masing. Namun, dari sekian komitmen yang beragam
tersebut dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian pada upaya
kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan. Di sini, keragaman dalam pluralisme tetap di
pertahankan, tidak dihilangkan. Pluralisme mencari komitmen bersama untuk
14
Ibid
15
Ibid. Hlm 71

15
kemanusiaan. Oleh karena itu, pluralisme sangat berbeda dengan relativisme yang
menafikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama di antara berbagai
komunitas masyarakat. Sedangkan relativisme menafikan komitmen, bahkan menafikan
kebenaran itu sendiri.
Dari ketiga poin penting pluralisme tersebut, maka pluralisme bukanlah paham
yang menyakini semua agama adalah sama. Pluralisme merupakan paham yang secara
eksplisit mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun
toleransi, kerukunan dan kebersamaan. Setidaknya ada komitmen bersama menjadi titik
tolak untuk mewujudkan kebersamaan. Misalnya, tentang keadilan sosial. Semua agama
dan ideologi mempunyai kepedulian yang sama soal hal tersebut. Maka, pluralisme
mempunyai kepedulian agar keadilan tersebut diusung bersama-sama untuk kehidupan
yang lebih baik.

B. Menurut konsep pluralistik


Pluralistik berasal dari kata “plural” artinya lebih dari satu atau banyak.
Pluralistik adalah masyarakat secara sah memiliki pandangan etika yang saling bersaing
dan diperbolehkan untuk memilih apa yang diyakini. Dengan tidak merendahkan
bahkan menyalahkan keyakinan orang lain serta dilarang melakukan pemaksaan untuk
mengikuti kenyakinannya.Masyarakat pluralistik artinya masyarakat yang bersifat
plural. Masyarakat yang di dalamnya terdiri dari banyak suku, etnik, golongan, agama
dan lain-lain. Contohnya masyarakat di Indonesia.

Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrati dan hukum Allah
(sunnatullah) mencerminkan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. ar-Rum 22)
Kemajemukan memang murni kekuasaan Allah SWT dengan ini manusia akan
diuji kesalehannya, untuk dapat menghormati dan menghargai ciptaan-Nya dan
berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Kalau memang keragaman merupakan sunatullah

16
maka tidak ada sikap lain bagi muslim terhadap pluralitas itu kecuali menerima
sepenuhnya.
Sebenarnya, komunitas Madinah pada zaman Nabi sendiri lahir dari suatu
masyarakat yang plural.16 Tanpa masnyarakat plural ini, tidak akan lahir Piagam
Madinah yang menjadi konstitusi masyarakat Madinah pada waktu itu. Pada waktu
Piagam Madinah dirumuskan dan disetujui, komunitas Islam masih merupakan
minoritas. Komunitas terbesar adalah komunitas Yahudi, ditambah dengan komunitas
Kristen dan penganut kepercayaan Pagan. Justru dalam masyarakat yang plural itu,
Nabi berperan sebagai pemersatu, tanpa melebur diri ke dalam suatu masyarakat
tunggal. Dalam kesepakatan plural itu, diproklamasikan terbentuknya “masyarakat yang
satu” (ummat-an wahidah). Namun dalam konstitusi yang merupakan kontrak sosial
(social contract) itu, identitas kelompok tetap diakui, namun mereka bersepakat untuk
membentuk solidaritas, itu merupakan reaktualisasi pluralitas di zaman klasik Islam.
Dari contoh tersebut dapat memberikan pemahaman mengenai pluralistik bahwa
manusia dalam konteks bermasyarakat dan bernegara mempunyai status hukum yang
sama. Artinya setiap manusia mempunyai hak yang sama baik dalam social,
Dalam fatwa MUI ada suatu keterangan tambahan. Di sana dibuat suatu
pembedaan antara dua konsep : pluralisme dan pluralitas. Pluralism dinyatakan haram,
karena sebagai isme, bertentangan dengan islam. Sementara pluralitas adalah halal
karena bukan isme, ide, atau ideology, tetapi sekedar menunjukkan saja bahwa ada
keragaman dalam masyarakat. Dengan kata lain, pluralitas sekedar statement factual,
sementara pluralisme adalah statement ideologis yang “value laden”, sarat nilai, karena
itu diharamkan. Sebab nilai yang terkandung di dalamnya berlawanan dengan cara
pandang yang khas Islam.

16
Budhy Munawar Rachman, op.cit. Hlm XLIX

17
3. Kerukunan Antarumat Beragama Menurut Konsep Vertikal Oriented,
Horizontal Oriented dan Era Globalisasi

A. Menurut Konsep Vertikal Oriented


Vertikal oriented hubungan yang harus dipelihara dan dilaksanakan dengan
Allah SWT. yang disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di
akhirat. Dalam konteks kemasyarakatan, banyak yang mempertentangkan suatu agama
dengan agama lain, bahkan antar sesama pemeluk agama tertentu. Seharusnya, kita
mesti terus belajar mendalami secara objektif agama kita masing-masing. Oleh karena
itu, dalam hal kerukunan antarumat beragama tidak layak untuk mempertentangkan dan
menghancurkan eksistensi orang lain dengan mengatasnamakan agama. Kerukunan
sesama manusia dilandasi oleh kesamaan dan kesetaraan manusia di hadapan Allah
SwT. Dalam Al-Quran dinyatakan sebagai berikut:

Artinya: Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan,
dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling
mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia
di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu,
Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).

Dari ayat ini memperlihatkan bahwa Tuhan Yang Maka Esa sengaja
menciptakan manusia dalam kondisi yang sangat beragam sehingga antara satu
kelompok, etnis, suku bangsa dapat saling berbuat yang baik yang harmonis dalam
bingkai kedamaian dan kerukunan. Sebaliknya dengan saling berbuat baik, akan dengan

18
sendirinya mengangkat harkat dan martabat suatu komunitas tersebut dalam pandangan
ketuhanan dan kemanusiaan.17

Di dalam ayat lain Allah juga berfirman yang artinya: “Dan kami tidak
mengutus engkau [wahai Muhammad dengan membawa ajaran Islam] melainkan untuk
menjadi [pembawa] rahmat bagi seluruh [umat manusia dan sekalian] alam”.[9] Ayat
ini jelas kelihatan memproklamirkan bahwa kedatangan Muhammad dengan agama
Islam adalah semata-mata untuk menebarkan kedamaian, rahmat, dan kerukunan dalam
akselerasi kehidupan umat manusia secara universal dan alam sekitarnya. 

B. Menurut Konsep Horizontal Oriented


Horizontal oriented adalah intraksi antar manusia yang dilandasi untuk
mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, pengakuan akan sifat
dasar manusia yang asasi, dengan menempatkan manusia pada posisi kemanusiaannya.
Kerukunan dalam konsep ini dapat menghidupkan suasana damai dalam
18
bertetangga dan bermasyarakat antarumat yang berbeda agamanya. Artinya, posisi
manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berakal
budi, yang kreatif dan  berbudaya. Suatu sifat dalam dialog, di mana seseorang melihat
lawan dialognya dengan hati lapang dan penuh penghargaan (‘ain al ridla), bukan
sebaliknya, melihat lawan dialognya sebagai musuh dan penuh kebencian (‘ain al
sukhth). Sikap dasar moral harus tetap dipertahankan dalam hubungan dialog horizontal.
Oleh karena itu tidak seharusnya manafikan eksistensi orang lain.
Kemudian Allah memberi petunjuk kepada umat Islam mengenai kode etik dan
moral pergaulan dengan penganut agama dan keyakinan lain, yaitu berlaku baik dan
adil terhadap mereka, jika mereka tidak berlaku zalim.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

17
Abdul Jamil Wahab,2015. Harmoni di Negeri Seribu Agama. Elex Media Komputindo. Hlm 96
18
Weinata Sairin, . Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. BPK Gunung
Mulia. Hlm 57

19
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagi kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan
membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. 60: 8-9).
Al-Quran membolehkan orang-orang mukmin menjalin hubungan kerjasama
dengan golongan lain yang berbeda akidah, dengan syarat golongan tersebut tidak
memusuhi mereka yang mukmin. Sebaliknya ayat kedua melarang orang-orang mukmin
menunjukkan sikap bersahabat dengan golongan berbeda agama, dengan syarat bila
mereka memusuhi orang-orang mukmin. Kebolehan dan larangan dalam dua ayat
tersebut tidak bersifat muthlaq melainkan muqayyad atau bersifat temporer, yakni
dibatasi dan dikaitkan dengan suatu sebab seperti membela diri atau pembelaan
terhadap penganiayaan dan mewujudkan kerukunan untuk kemaslahatan bersama dalam
kehidupan sosial 

C. Menurut Konsep pada Era Globalisasi


Hidup di era globalisasi, masyarakat dihadapkan pada kondisi masyarakat yang
serba majemuk dalam segala bidang kehidupan. Di Indonesia kita mengenal berbagai
macam agama. Diantaranya, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu.
Setiap agama saling mempengaruhi masyarakat, sebaliknya lingkungan mempengaruhi
agama yang menyebabkan lingkungan yang dinamis. Walaupun berbeda keyakinan
yang dianut oleh masing-masing orang, di Indonesia ada ideology pemersatu yaitu
Pancasila.

Di samping lima agama tersebut, di Indonesia juga telah berkembang agama-


agama yang tidak resmi yang dipeluk oleh sebagian kecil bangsa Indonesia, terutama di
daerah-daerah pedalaman. Agama-agama yang tidak resmi ini biasanya dikenal dengan
sebutan aliran kepercayaan yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi bersumber
pada keyakinan yang tumbuh di kalangan masyarakat sendiri. Keragaman seperti ini
menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat yang terkadang memicu konflik antar
agama.

20
Kemajemukan masyarakat dalam hal agama dapat merupakan sumber
kerawanan sosial apabila pembinaan kehidupan beragama tidak tertata dengan baik.
Masalah agama merupakan masalah yang bersifat sensitif yang sering memunculkan
konflik dan permusuhan antar golongan pemeluk agama. Negara Indonesia menjamin
kehidupan agama bagi seluruh rakyatnya. Dasar negara Pancasila memberikan jaminan
kebebasan beragama dengan sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” UU D
1945 juga menjamin kebebasan menjalankan agama dengan satu pasal khusus, yaitu
pasal 29. Di samping itu, semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” memberikan peluang
leluasa bagi beragam agama yang ada untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran agama
di bawah satu kesatuan dasar Pancasila dan UUD 1945. Menteri Agama RI tahun 1978-
1984 (H. Alamsjah Ratu Perwiranegara) menetapkan Tri Kerukunan Beragama, yaitu
tiga prinsip dasar aturan yang bisa dijadikan sebagai landasan toleransi antarumat
beragama di Indonesia. Tiga prinsip dasar yang dimaksud tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Kerukunan intern umat beragama.
2) Kerukunan antar umat beragama.
3) Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah
Namun pada zaman Era Globalisasi ini banyak orang yang salah memahami arti
toleransi beragama sehingga menyamakannya dengan tukar guling keyakinan. Dan
menganggap bahwa mereka yang bersikukuh bahwa agama dan kepercayaan merekalah
yang paling benar berarti “ tidak adanya toleransi”. Doktrin semacam ini sangat
menyimpang dan sangat tidak mungkin untuk diamalkan. Dalam hal ini, kita tetap
menghargai orang lain terhadap pilihan agamanya, dan ketika mereka melakukan ibadah
agama yang mereka yakini kita tidak harus menghinanya.

Jadi pada Era Globalisasi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan dari
segi teknologi,fashion,cara pandang dan agama. Disinilah peran agama dalam
lingkungan yang memiliki kemajemukan dalam agama. Jika agama dan globalisasi
disatukan dapat menjadi sebuah kerukunan yang kuat antar agama, dengan teknologi

21
globalisasi yang diiringi benteng kuat agama dalam hati maka melahirkan insan
beragama yang cerdas dan toleran.

4. Agama Sebagai Faktor Perekat dan Konfik Antar Umat Beragama

A. Agama sebagai faktor perekat


Clifford Geertz berteori bahwa agama adalah unsur perekat yang menimbulkan
harmoni sekaligus unsur pembelah yang menimbulkan disintegrasi.19 Pandangan teori
fungsional yang telah menjadi klasik seperti itu didasarkan atas pertanyaan mendasar,
apa sesungguhnya sumbangan fungsional agama terhadap sistem sosial. Dalam
pandangan fungsional agama sebagai perekat sosial adalah sesuatu yang sesuatu yang
mempersatukan aspirasi yang paling luhur, memberikan pedoman moral, memberikan
ketenangan individu dan kedamaian masyarakat, menjadi sumber tatanan
masyarakat,dan membuat manusia menjadi beradab.
Agama sebagai perekat mampu membuat sesorang menyatakan diri menjadi
pemeluk suatu agama, maka ia telah memposisikan dirinya ke dalam suatu wadah
identitas tertentu. Proses yang terjadi berikutnya adalah identifikasi diri terhadap
komunitas yang menjadi rujukan. Pada saat itu pula batas-batas telah terbentuk.
Bagaimanapun komunitas agama telah terbentuk oleh adanya kepercayaan dan ajaran
yang khas yang membedakannya dari kepercayaan dan ajaran lainnya.20
Adapun faktor yang menyebabkan agama menjadi faktor perekat sosial, Pertama
agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia
yang melibatkan takdir dan kesejahteraan. Terhadap dunia di luar jangkauannya, agama
selain memberikan tanggapan serta menghubungkan diri manusia dengan kebenaran
absolut juga memberikan atau menyediakan bagi pengikutnya pelipur lara dan
rekonsiliasi. Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transedental melalui pemujaan
19
Taufiq Rohman Dhohiri, 2007. Sosiologi 2. Jakarta. Yudhistira. Hlm 128
20
Mulyadi,dkk. 2012. Sosiologi 2. Jakarta. Yudhistira Ghalia Indonesia. Hlm 128

22
dan upacara ibadah sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa yang baru dan
identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastiaan dan ketidakberdayaan manusia
berhadapan arus perubahan sejarah. Melalui ajaran yang otoratif tentang kepercayaan
dan nilai, agama memberikan kerangka acuan di tengah kekaburan dan pendapat dari
berbagai sudut pandang manusia.
Ketiga, agama mendukung keluhuran norma-norma yang telah terbentuk dan
menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Norma tradisi itu bertujuan
untuk mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu dan
disiplin kelompok di atas dorongan hati individu. Keempat, agama juga melakukan
fungsi yang bertentangan dengan yang sebelumnya karena agama dapat memberikan
standar nilai ketika norma-norma lama harus dilakukan pengkajian kembali karena
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan kerena kedatangan agama bertujuan
meneguhkan nilai-nilai humanitas itu. Kelima, agama melakukan fungsi identitas
penting yaitu manusia menerima nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan
kepercayaan tentang hakikat dan takdir, kemudian individu mampu mengembangkan
aspek penting tentang pemahaman dan batasan diri.21

B. Agama sebagai faktor konflik


Akan tetapi, fungsi agama selain sebagai perekat, pada saat yang sama juga
agama juga dituduh sebagai penyebab dari konflik. Konflik dan kekerasaan adalah
unsur yang berbeda, tidak semua konflik memiliki unsur kekerasan. Dapat dikatakan
konflik tidak selamanya identik dengan unsur kekerasan namun kekerasan dapa terjadi
disebabkan konflik. Munculnya berbagai konflik yang melanda Indonesia belakangan
ini baik dilandasi ras, suku ataupun agama merupakan sesuatu yang dapat mengganggu
stabilitas nasional. Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep
keagamaanlah yang menjadi unsur konflik utama antar umat manusia. Tidak dapat
dipungkiri bahwa sejumlah teks keagaman memang mengatur masalah kekerasan dan
perang. Akibatnya agama sering dijadikan legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan
21
Lubis, Ridwan. 2017. Agama dan Perdamaian : Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama. hlm 13

23
radikal kelompok tertentu terhadap kelompok lain. Agama sebagai sumber konflik
muncul ketika masing-masing penganut agama, di samping mengklaim bahwa ajaran-
ajaran agama yang dianutnya merupakan yang benar (truth claim), juga merasa
berkewajiban untuk menyebarkan kebenaran yang diyakininya itu secara tidak etis.22 Di
sinilah sikap dan cara penyebaran agama menjadi krusial, sebab bisa menjadi sumber
ketegangan antara penganut satu dengan penganut lainnya.
Konflik keagamaan bisa terjadi bukan hanya antar komunitas yang berbeda,
tetapi juga sering melibatkan dua komunitas yang sama. Badan Libang dan Diklat
Kementerian Agama menyebutkan faktor-faktor keagamaan lain yang secara tidak
langsung dapat menimbulkan konflik antar umat beragama,23 di antaranya:
1) Penyiaran agama
2) Bantuan keagamaan dari luar negeri
3) Perkawinan antarpemeluk agama yang berbeda
4) Pengangkatan anak
5) Pendidikan agama
6) Perayaan hari besar keagamaan
7) Perawatan dan pemakaman jenazah
8) Penodaan agama
9) Kegiatan kelompok sempalan
10) Transpransi informasi keagamaan
11) Pendirian rumah ibadah.
Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor-faktor itu. Penyiaran agama
merupakan perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa
disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk
memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan
yang sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak
hubungan antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang
22
Syamsul Arifin, 1996. Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: SI Press. Hlm 132
23
Abdul Jamil Wahab, 2014. Manajemen Konflik Keagamaan. Elex Media Komputindo. Hlm 9

24
berlebihan atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag
dan Mendagri No 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di
Indonesia, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu
terganggunya hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan
salah satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama
dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa
lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak
pasangannya untuk memeluk agama tersebut.
Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadah.
Kehadiran sebuah rumah ibadah sering mengganggu hubungan antar umat beragama,
atau bahkan memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang
kebanyakan menganut agama lain. Rumah ibadah dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat
sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga
sebagai simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tersebuh dipandang
oleh pihak lain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran
agama pada komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah
ibadah menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan
Mendagri No 1 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dan diganti dengan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2006/No 8
tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.
Secara teortis Bahrul Hayat mendeskripsikan berbagai faktor yang kemudian
berakumulasi dan melahirkan konflik antar umat beragama. Bahrul Hayat (out look),
bersikap (attitude), dan bertindak (conduct) penganutnya. Perbedaan pemahaman
penganut suatu agama terhadap aspek teologis seperti pemahaman terhadap konsep
ketuhanan dan bentuk ritual yang berbeda bukan saja antaragama, tetapi juga antaraliran
keagamaan yang menjadi faktor endogen terjadinya konflik agama. Hal tersebut akan

25
semakin kuat manakala muncul pula sikap fanatisme yang kaku dalam memandang tata
cara keberagamaan orang lain
Selanjutnya faktor eksogen yang menjadi pemicu konflik antar adalah
terdapatnya potensi konflik antarmasyarakat akibat dari ketidaksamaan peluang menuju
asset dan akses untuk memperoleh sumber daya. Pada saat yang sama, globalisasi
mendorong terjadinya kompetisi sosial yang hanya dimenangkan oleh mereka yang
memiliki modal kecakapan untuk memperoleh sumber daya tersebut. Apabila diperluas
maka pengertian eksogen dapat juga dilihat dari sikap masyarakat barat yang
memandang Islam dengan stereotip, prejudice, dan stigma. Terdapat kesan, keberadaan
Islam menjadi semacam ancaman bagi kelangsungan tata dunia baru.
Oleh karena itu, sikap mereka terhadap Islam diliputi rasa kebencian (islamo
phobia). Padahal, sebagaimana disebut Karen Amstrong : Nabi Muhammad tidak
pernah meminta kaum Yahudi dan Nasrani untuk menerima islam, tetapi mereka
sendirilah yang mencari kebenaran menurut mereka dan akhirnya mereka temukan
dalam Islam. Nabi Muhammad menggerakan dakwah adalah bertujuan untuk
membentuk kelompok manusia baru yang disebut ummah. Akan tetapi citra Islam yang
dibangun Nabi Muhammad SAW selalu dipandang sebagai pembawa bencana bagi
kemanusiaan. Sentimen kesejarahan inilah yang terus menerus hidup di sebagian negeri
barat yang terus berlanjut sampai sekarang yang kemudian menyuburkan islamo phobia
itu.
Faktor terakhir, yakni relasi di antara umat beragama telah dipengaruhi adanya
perbedaan suku dan budaya. Pada konteks yang lain terlihat pula adanya komposisi
penganut agama yang sering tidak sama antara komposisi secara nasional dan
komposisi pada tingkat provinsi dan kabupaten. Komunitas yang merasa bahwa pada
komposisi mereka secara nasional tidak seimbang dengan komposisi daerah kemudian
mengambil keuntungan pada keunggulan tingkat daerah ini. Demikianlah, bentuk
pemahaman masyarakat terhadap pengertian mayoritas dan minoritas yang menjadi
pemicu lahirnya konflik di antara umat beragama.

26
Faktor relasi masa lalu yang sering menjadi pemicu konflik di Indonesia adalah
pola hubungan masyarakat Pribumi dengan masyarakat Tionghoa yang sering disebut
masyarakat nonpribumi. Hal ini agak berbeda dengan pola relasi antara golongan timur
asing (vreemde oosterlingen) lainnya yaitu masyarakat India dan Arab dimana
keduanya tidak pernah terdengar adanya konflik yang sifatnya masif. Faktor utama
konflik antara masyarakat Pribumi dan Tionghoa yakni masyarakat Tionghoa memiliki
fasilitas pendidikan yang baik, dan kekuasaan yang cukup baik di masyarakat. Di
samping itu tentu saja ada faktor budaya yakni dinamika, kreativitas, dan inovasi yang
ada pada masyarakat Tionghoa. Akhirnya faktor-faktor yang menguntungkan terhadap
priveliese menjadi melebar persepsinya yaitu tidak lagi terbatas pada faktor ekonomi
melainkan juga merambah pada perbedaan agama.
Adanya tiga faktor konflik di atas hendaklah disadari oleh seluruh komponen
bangsa sebagai persoalan laten yang sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan. Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan pembangunan yang selalu didasarkan kepada
pertimbangan rekonsiliatif sehingga adanya faktor pembeda justru dapat direkayasa
sebagai perekat sosial bangsa Indonesia.
Adanya wewenang Pemerintah Daerah yang terbagi berdasarkan Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 yang menyangkut pemerintahan di daerah sedikit banyak
ikut menjadi faktor ketidakpastiaan terhadap manajemen kerukunan antar umat
beragama. Hal itu disebabkan karena dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
terdapar lima bidang urusan pemerintahan yang ditarik ke pusat yakni luar negeri,
pertahanan atau keamanan, fiskal, peradilan dan agama. Sebagian daerah memandang
urusan agama ini merupakan unsur pemerintah pusat sehingga mereka kurang
memberikan dukungan terhadap pengaktifan forum kerukanan antar umat beragama.

5. Faktor Penghambat Kerukunan Antar Umat Beragama Dan Langkah


Pencegahannya
Secara etimologi kata kerukunan pada mulanya adalah dari Bahasa Arab,
yakni ruknun yang berarti tiang, dasar, atau sila. Jamak rukun adalah arkaan. Dari

27
kata arkaan diperoleh pengertian, bahwa kerukunan merupakan suatu
kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dari setiap unsur tersebut
saling menguatkan. Kesatuan tidak dapat terwujud jika ada diantara unsur tersebut
yang tidak berfungsi. Sedangkan yang dimaksud kehidupan beragama ialah
terjadinya hubungan yang baik antara penganut agama yang satu dengan yang
lainnya dalam satu pergaulan dan kehidupan beragama, dengan cara saling
memelihara, saling menjaga serta saling menghindari hal-hal yang dapat
menimbulkan kerugian atau menyinggung perasaan.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu bentuk hubungan yang harmonis
dan dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling menguatkan yang diikat oleh
sikap pengendalian hidup dalam wujud:
a) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
b) Saling hormat menghormati dan berkerjasama intern pemeluk agama, antara
berbagai golongan agama dan
c) Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama kepada orang
lain.
Namun dalam praktek perwujudan kerukunan umat beragama terdapat berbagai
rintangan ataupun hambatan-hambatan kerukunan antar umat beragama yakni:
a. Rendahnya sikap toleransi
Masalah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini,
khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy
tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat
dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya
menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama
merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog
yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan
atau agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama
mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain
bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak yang terjadi

28
hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga
dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda
agama, maka akan timbulah yang dinamakan konflik. Untuk itu maka dalam
rangka memperkuat toleransi maka masyarakat secara sadar untuk belajar
menghargai setiap pendapat antar individu bisa menjadi modal penting untuk
menghindarkan perpecahan di dalam kehidupan masyarakat. Toleransi beragama
adalah satu wujud nyata dari sikap menghargai dalam kehidupan bermasyarakat.
Karena memang unsur agama merupakan suatu hal yang krusial dan sensitif di
mata masyarakat.
b. Kepentingan politik
Faktor politik ini terkadang menjadi faktor utama sebagai kendala dalam
mencapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama. Agama sering
dijadikan sebagai sasaran untuk memperoleh kekuasaan dalam politik sehingga
politikus juga sering menggunakan dalil-dalil agama di dalam melegitimasi
gagasan dan program mereka yang menyebabkan terjadi ‘perang dalil’ satu sama
lain. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak
mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita
seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya. Dalam pencegahannya
maka masyarakat sebagai pemeluk agama harus memahami agama secara
universal sehingga jauh dari menebar kebencian dan penebar kekerasan politik
atas nama agama karena agama merupakan pencipta perdamaian dan solusi dari
berbagai macam permasalahan.
c. Sikap fanatisme
Dalam kamus KBBI disebutkan arti kata fanatik adalah teramat kuat
kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama dan sebagainya) 24.
Maka jika dikatakan kepada seseorang bahwasannya dia adalah seorang yang
fanatik agama. Artinya seseorang tersebut adalah orang yang teramat kuat
kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran agamanya. Sedangkan fanatisme
24
KBBI daring. 2016. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia

29
adalah adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap
sesuatu secara berlebihan. Nilai-nilai keagamaan yang dipelajari, dipahami,
didalami, dimaknai, dilakukan dan diamalkan dalam perbuatan sehari-hari
tentunya akan membawa dampak positif bagi diri sendiri maupun lingkungan
sekitarnya yang saling berhubungan. Namun jika dalam diri seseorang bersifat
negatif maka akan timbul sikap yang berlebihan menentang hal-hal yang
berbeda dengan pemikiran dan pemahaman mereka sendiri, maka munculah
perbuatan ekstremis dan radikal.
Fanatisme diperbolehkan misalnya dalam fanatisme pada satu jenis
profesi atau bidang pekerjaan merupakan sikap yang dibutuhkan untuk
menumbuhkan loyalitas terhadap satu jenis bidang kerja. Dengan fanatisme,
seseorang akan mudah memotivasi dirinya sendiri untuk lebih meningkatkan
karir. Selain itu, fanatisme akan menumbuhkan ‘selling point’ dalam diri anda.
Ini dapat dijadikan ‘bargaining position’ pada suatu saat kelak. Karena
fanatisme pada satu jenis profesi mengarah pada spesialisasi. Dan semakin lama
anda menekuni satu jenis profesi akan semakin dalam pula penguasaan anda
pada bidang tersebut.
Kondisi tersebut akan memudahkan anda meningkatkan posisi dan baik
bagi profesional muda yang ingin mengembangkan karir. Untuk itu, fanatisme
ini juga harus didukung dengan penambahan wawasan di bidangnya. Misalnya
dengan cara banyak membaca buku dan mengikuti informasi seputar profesi dan
bidang lain yang masih bersinggungan. Selain itu jangan lupa lakukan
pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang berkembang di bidang tersebut.
Salah satu hal yang menyebabkan fanatisme pada diri seseorang adalah besarnya
minat dan kecintaan pada satu jenis profesi. Faktor lainnya adalah attitude
(sikap) pribadi, lingkungan kerja, dan lamanya karyawan menekuni satu jenis
pekerjaan tertentu. Selain itu motivasi keluarga juga mempengaruhi fanatisme
seseorang terhadap bidang kerjanya.

30
Sejarah telah membuktikan baik pemeluk agama Islam, kristen, Buddha,
maupun Hindu yang menganut fanatisme negatif selalu menimbulkan
pertentangan dan perselisihan yang menimbulkan tindakan-tindakan yang
merugikan umat lain yang tidak sepaham dengan pemikiran mereka. Ketika kita
berbicara tentang fanatisme, biasanya kita akan tertuju pada fanatisme negatif
dan tercela daripada fanatisme positif. Fanatisme negatif yaitu membela dan
mengikuti sebuah ideologi tanpa disertai argumentasi tepat (mutlak)
kebenarannya dan buta (tidak mencari tahu akan kebenaran ajaran atau ideologi
yang diikuti). Penafsiran dan pemahaman yang salah pada ajaran agama
menimbulkan kesalahan fatal. Sering kita saksikan terjadinya perselisihan antar
umat yang berbeda agama, bukan hanya itu bahkan yang seagama juga sering
terjadi.
Fanatisme negatif merupakan fanatisme yang tidak diperbolehkan sering
kita melihat tindakan-tindakan ekstrim, radikal, dan intoleran dalam kehidupan
sehari-hari. Timbulnya ormas-ormas radikal juga karena pemahaman akan
fanatisme negatif yang dianutnya dan akhirnya dapat menimbulkan terorisme.
Seperti halnya di Indonesia, sejak zaman dahulu kita mengenal Islam yang
mengutamakan akhlakul karimah untuk mewujudkan rahmatan lil alamin
dimana selalu diekspos oleh ulama-ulama NU yang moderat. Umat Islam NU
kita tahu juga sangat fanatik dengan ajaran agama Islam, namun segala tindak
tanduk umat Islam NU merupakan fanatik positif. Mereka selalu mengajarkan
kedamaian, menyejukan hati dan jiwa. Namun berbeda dengan umat Islam yang
menganut paham khilafah, mereka merasa pemahaman dan tindakan mereka
paling benar mengenai ajaran Islam. Sesama umat Islam yang tidak sepaham
dengan mereka bahkan dianggap munafik, kafir. Hal ini muncul karena sikap
ekstremis, dengan pembenaran dari mereka sendiri maka tindakan-tindakan
radikal dianggap benar oleh mereka dan oleh agama yang dipercayainya.
Bahkan jika tindakan-tindakan mereka ditentang dan dihalangi, mereka akan
semakin menunjukan keganasan mereka dengan aksi terorisme

31
Disamping itu, penyebaran paham khilafah yang dilakukan oleh ormas-
ormas Islam garis keras di Indonesia juga sudah cukup mengkhawatirkan.
Doktrim-doktrin kekerasan ditanamkan kepada umat Islam. Bagi umat Islam
yang pemahaman akan ajaran agama yang dangkal dapat menerima doktrin
tersebut dan membenarkan segala tindakan intoleran dan radikal sebagaimana
diajarkan oleh ulama dan keindahan akan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh
para Nabi.
Oleh karena itu maka kita sebagai masyarakat untuk menghindari dari
sikap fanatik ke arah negatif dalam beragama, maka kita harus memahami
bahwa agama manapun yang ada tidak mengajarkan kebencian, tidak
mengajarkan kekerasan, selalu mengajarkan cinta dan belas kasih universal
terhadap sesama makhluk hidup tanpa membeda-bedakan. Dengan belajar
agama yang baik, harusnya kita semakin mengetahui sifat-sifat baik dan mulia
seperti para Nabi sebagai contoh panutan. Dari kitab suci agama manapun selalu
ada dikisahkan hal baik dan buruk agar kita dapat lebih bijaksana dalam berpikir
karena hal baik pasti membawa kebaikan dan kebahagiaan, hal buruk atau
kejahatan pasti akan membawa keburukan dan penderitaan.

6. Dampak Permusuhan Antar Umat Beragama Terhadap Masyarakat,


Bangsa dan Negara
Indonesia dikenal sebagai suatu negara dengan masyarakatnya yang pluralistik
yang memiliki banyak kemajemukan dan keberagaman dalam hal agama, tradisi,
kesenian, kebudayaan, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-
kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia. Pada suatu sisi pluralistik dalam bangsa
Indonesia bisa menjadi positif dan konstruktif tetapi di sisi lain juga bisa menjadi
sebuah kekuatan yang negatif dan destruktif yang dapat berakibat pada disintegrasi
bangsa. Kenyataannya sejarah masyarakat adalah multi kompleks yang mengandung
religious pluralism. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus

32
menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat
Indonesia.
Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-
benturan atau permusuhan di antara mereka. Permusuhan atau konflik antar umat
beragama yang terjadi di tanah air semakin memperihatinkan. Bahkan dengan adanya
konflik-konflik baru akan bisa merambah ke daerah lain kalau masyarakat mudah
menerima isu dan terprovokasi. Konflik paling aktual adalah konflik antarumat
beragama di Poso. Di dalam konflik antar agama itu sendiri muncul tindakan yang
justru bertentangan dengan ajaran agama, dikarenakan emosi yang tidak dapat
terkendali sehingga dengan mudahnya mereka bertindak anarkis di luar ajaran agama.
Jika dikaitkan antara ajaran agama dan tingkah laku umat yang membakar tempat
ibadah dan membunuh sesama umat sungguh sangat kontroversial. Padahal semua
agama mengajarkan betapa pentingnya kerukunan dan kedamaian. Kalau pun terjadi
konflik anta rumat beragama, maka bukanlah ajaran agamanya yang salah namun umat
itu sendirilah yang sempit dalam memahami ajaran agama.
Dampak permusuhan antar umat beragama terhadap masyarakat, bangsa, dan
negara dapat dibagi kedalam beberapa sub tipe, yakni dapat menimbulkan dampak
langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung adalah akibat permusuhan atau
konflik yang dirasakan langsung oleh pihak-pihak yang berkonflik dan umumnya
dirasakan oleh masyarakat langsung. Dampak tidak langsung dari sebuah konflik adalah
dampak yang dirasakan oleh pihak-pihak diluar dari pihak yang berkonflik akibat dari
konflik tersebut, umumnya terjadi dalam lingkup bangsa dan negara.
Salah satu contohnya adalah konflik di Thailand Selatan antara kelompok
separatis dengan kelompok nasionalis, permusuhan yang berlangsung antar kedua pihak
ini mengakibatkan rasa trauma dan juga rasa takut pada masyarakat yang berada di
sekitar lingkungan terjadinya konflik, dan lebih jauh lagi, konflik ini kemudian
berlanjut menjadi konflik sensitif di Thailand yang bagi orang awam adalah konflik
antar agama, hal ini mengakibatkan reaksi yang lebih besar, bukan hanya bagi

33
masyarakat Thailand, namun seluruh masyarakat dunia menyaksikan, dan lebih dari itu,
juga menunjukkan responnya terhadap konflik yang terjadi itu.
Dampak langsung permusuhan antar umat beragama yang umunya terjadi di
dalam masyarakat:
a) Perubahan kepribadian individu umat beragama
Adanya perubahan kepribadian yang ditimbulkan dalam bentuk rasa
curiga, kebencian dan amarah yang menyebabkan terjadinya perpecahan bahkan
tindakan kekerasan. Individu-individu yang ada dalam kelompok agama tertentu
akan mengalami perubahan sifat. Biasanya mereka akan diliputi perasaan marah,
curiga, dan membenci orang-orang yang menjadi musuhnya. Terkadang
kepribadian seseorang lambat laun akan berubah menjadi seseorang yang
diliputi kecemasan. Ia tidak akan merasa tenang, karena khawatir jika konflik
akan terjadi lagi. Ia diliputi rasa curiga jika kelompok yang dulunya berkonflik
dengan mereka kembali menyulut permasalahan, sehingga permusuhan antar
umat beragama pun tidak akan pernah selesai dan bahkan dapat menimbulkan
bentuk konflik yang lebih keras karena adanya perubahan kepribadian yang ke
arah negatif tersebut.

b) Kerusakan harta benda dan jatuhnya korban jiwa


Permusuhan antar umat beragama yang sifatnya merusak bisa berakibat
rusaknya harta benda yang dimiliki oleh kelompok agama tertentu. Permusuhan
antar umat beragama sering diikuti dengan tindakan anggota kelompok dari
masing-masing kubu, untuk bertindak dengan mengandalkan kekerasan.
Kerusakan tempat tinggal, fasilitas umum, dan lain sebagainya, merupakan bukti
konkret bahwa konflik tersebut justru berakibat buruk terhadap kepemilikan
harta benda dari masing-masing kelompok.
Selain itu, kekerasan yang sering terjadi saat konfik berlangsung juga
menimbulkan adanya korban jiwa. Entah korban luka dari masing-masing
kelompok, atau bahkan korban meninggal dari salah satu atau masing-masing

34
kelompok. Sayangnya, justru hilangnya nyawa dari salah satu kelompok
biasanya dijadikan alasan untuk melakukan penyerangan yang lebih keras,
sehingga menimbulkan konflik yang lebih besar dan kerugian yang lebih besar
pula.
Saat kedua belah pihak yang tersulut konflik mulai bereaksi. Maka, tentu
ada aksi aksi yang dapat memimbulkan dampak yang berbahaya. Saat salah satu
pihak tersulut untuk menggunakan metode kekerasan seperti penyebab negara
Korea terpecah menjadi dua negara. Maka, tentu tidak ada pilihan bagi pihak
lawan selain melawan dan bertahan. Kerugian harta benda bahkan nyawa dapat
terjadi akibat pertikaian yang ditimbulkan. Tentunya hal ini merupakan hal yang
sangat tidak diharapkan oleh kita semua. Apalagi jika diikuti dengan perusakan-
perusakan pada fasilitas umum. Tentunya dapat melumpuhkan jaringan suatu
wilayah.

c) Terjadi dominasi dan penaklukan


Adanya konflik yang melibatkan dua kelompok tertentu, mau tidak mau
salah satu di antara mereka ingin menunjukkan dominasi mereka. Salah satu dari
dari kelompok tersebut ingin menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dan lebih
berkuasa terhadap suatu hal. Akibatnya, timbul keinginan untuk menaklukkan
kelompok yang bertentangan dengan kelompok tersebut.
Sebuah konflik entah itu pihak yang merasa benar atau pihak yang
disalahkan pasti menginginkan kemenangan atas konflik yang terjadi.
Kemenangan tersebut bisa menjadi indikator bahwa merekalah pihak yang
benar. Padahal dalam konflik tidak ada pihak yang bisa mengklaim dirinya
benar. Kemenangan salah satu pihak akan menimbulkam dominasi di wilayah
konflik. Kelompok yang menang akan merasa arogan dan otoriter seperti latar
belakang konflik israel Palestina. Dominasi ini kemudian akan berdampak pada
tertindasnya kaum minoritas yang kalah. Dan bahkan mereka bisa terusir dari
wilayah tersebut.

35
Dampak tidak langsung permusuhan antar umat beragama yang umumnya
terjadi pada lingkup bangsa dan negara:

a) Dapat melumpuhkan roda perekonomian negara


Ketika tindak kekerasan mulai meningkat dalam intensitas yang lebih
keras dan tinggi. Tentu dampak yang ditimbulkan dari permusuhan antar umat
beragama agama juga akan semakin meluas, seperti penyebab konflik berlin .
Kerusakan fasilitas umum ditambah situasi keamanan yang tidak kondusif tentu
akan sangat berpengaruh pada roda perekonomian suatu wilayah.
Perekonomian nasioanal akan semakin terpuruk dan membuat
kepercayaan para investor asing menurun karena para investor yang sudah tidak
mempercayai lagi atau merasa takut akan keamanan dan laba yang dihasilkan
dari investasi itu sendiri, yang bahkan dapat menimbulkan kerugian untuk para
investor yang berinvestasi.
Perputaran transaksi keuangan terhenti, kegiatan jual beli menjadi
minimum, orang tidak bisa bekerja dan menghasilkan uang. Hal inilah yang
kemudian akan mematikan roda perekonomian sebuah wilayah. Tentunya hal ini
tidak hanya berdampak pada wilayah tersebut namun juga bisa berdampak
dalam skala wilayah yang lebih luas.

b) Terhambatnya pendidikan formal dan informal


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya perusakan fasilitas umum,
seperti dengan merusak sekolah-sekolah serta menimbulkan keadaan yang tidak
aman dan tidak kondusif. Dengan kerusakan ini, tentu akan sangat berdampak
pada aktivitas pendidikan. Anak-anak sekolah tidak lagi memiliki ruang kelas
untuk belajar. Sehingga mereka terpaksa akan diliburkan atau belajar di lokasi
lain yang masih dirasa cukup aman. Meskipun begitu, tentunya hal ini akan
sangat berdampak pada psikologis anak-anak.

36
c) Meningkatnya kemiskinan di suatu negara
Kemiskinan dimana jika di dalam suatu negara yang terdapat
permusuhan serta konflik antar umat beragama terjadi semakin meningkat.
Meningkatnya tingkat kemiskinan suatu negara disebabkan oleh terhambatnya
roda perekonomian negara serta tidak kondusifnya keamanan wilayah negara.

d) Segregasi bangsa dan negara


Segregasi adalah pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa.
Segregasi merupakan bentuk pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam
struktur sosial. Segregasi yang disebabkan oleh permusuhan antar umat
beragama dapat mengakibatkan peretakan, runtuhnya tali kekeluargaan di dalam
suatu bangsa, dimana akan mengurangi rasa kebersamaan, dan gotong royong
serta perpecahan dalam suatu bangsa dan negara.25

Selain dampat negatif secara langsung dan tidak langsung yang dirasakan akibat
adanya permusuhan antar umat beragama bagi masyarakat, bangsa, dan negara, terdapat
dampak positif dari permusuhan tersebut bagi internal kelompok agama saja, bukan
eksternalnya. Diantaranya;
a. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group solidarity).
b. Munculnya pribadi-pribadi yang kuat dan tahan uji menghadapi berbagai
situasi konflik.
c. Konflik dapat memperkuat identitas pihak yang berkonflik.
d. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau
kelompok.

25
Weinata Sairin. 2013. Kerukunan Umat Beragama sebagai Pilar Utama Kerukunan Berbangsa.
Jakarta. PT BPK Gunung Mulia. hlm. 21-23

37
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dalam konteks menghadirkan agama sebagai rahmat seluruh umat manusia


salah satu yang bisa dikerjakan adalah dengan menghadirkan kesadaran
toleransi beragama sebab toleransi merupakan fundamen dalam beragama.Al-Qur’an
sendiri banyak mengajarkan tentang bagaimana agar muslim toleran pada non
muslim.Pandangan tentang toleransi dalam islam memiliki posisi yang penting sehingga
banyak ayat yang menempatkan bagaimana umat islam bersifat toleran.

Keberagaman merupakan kehendaknya yang bersifat kodrati dan mencerminkan


kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah. Oleh karena itu manusia akan
diuji kesolehannya,untuk dapat menghormati dan menghargai ciptaannya,dan berlomba-
lomba dalam hal kebaikan.Keberagaman sudah ada pada zaman nabi yang kemudian
lahir piagam madinah yang menjadi konstitusi masyarakat madinah pada saat itu.Dalam
masyarakat yang beragam dari berbagai agama,nabi berperan sebagai pemersatu

Agama sebagai perekat mampu membuat sesorang menyatakan diri menjadi


pemeluk suatu agama, maka ia telah memposisikan dirinya ke dalam suatu wadah

38
identitas tertentu. Akan tetapi, fungsi agama selain sebagai perekat pada saat yang sama
juga agama juga dituduh sebagai penyebab dari konflik.
Namun dalam praktek perwujudan kerukunan umat beragama terdapat berbagai
rintangan ataupun hambatan-hambatan kerukunan antar umat beragama yakni
rendahnya sikap toleransi, agama digunakan untuk kepentingan publik dan sikap
fanatisme.

39

Anda mungkin juga menyukai